Kebiasaan buruk di bangku sekolah biasanya lahir dari pola yang berulang. Misalnya, menunda tugas sampai malam terakhir, belajar hanya untuk ujian lalu lupa, menghindari pelajaran yang menantang karena takut nilai jelek, atau memilih cara cepat yang tidak jujur. Di sekolah, sistem penilaiannya jelas, waktunya terjadwal, dan resikonya terbatas pada nilai, teguran, atau hukuman tertentu. Banyak perilaku terbentuk bukan karena sifat bawaan yang “tetap”, melainkan karena otak belajar menautkan situasi tertentu dengan respons tertentu. Ketika alarm tugas berbunyi, otak mengingat pengalaman masa lalu: menunda terasa lebih nyaman di awal, kecemasan turun sementara, dan walau bayar harganya belakangan, sensasi lega sesaat itu menjadi “hadiah” yang cukup untuk mengikat kebiasaan. Kebiasaan seperti ini bisa terbawa ke dunia kerja jika tidak pernah disadari, terutama karena tubuh dan pikiran kita cenderung memilih jalur yang sudah akrab.
Begitu masuk kerja, konteks berubah: tidak ada lagi ujian dengan soal pilihan ganda, tidak ada nilai rapor, tetapi ada target, tenggat, klien, rekan kerja, dan reputasi profesional. Perubahan konteks ini seringkali cukup kuat untuk mengganggu pola lama. Banyak orang sebenarnya membaik setelah bekerja karena tuntutan yang realistik dan konsekuensi yang langsung terasa. Namun, sebagian orang tetap membawa kebiasaan lama. Mengapa demikian? Sebab kebiasaan hidup dari tiga hal: pemicu, rutinitas, dan hadiah. Pemicu bisa berupa tekanan tenggat, rasa bosan saat mengerjakan tugas panjang, atau rasa takut dinilai orang. Rutinitasnya adalah menunda, menghindar, menyibukkan diri dengan hal-hal remeh, atau mengandalkan cara cepat. Hadiahnya adalah rasa lega sesaat, yang sayangnya cukup kuat untuk membuat otak berkata, “Lakukan itu lagi.”Perubahan menjadi sulit ketika pemicunya di dunia kerja mirip dengan pemicu di sekolah. Jika dulu setiap tugas besar memicu rasa takut gagal, sekarang setiap proyek penting juga memicu rasa yang sama. Jika dulu ada pola “belajar semalam” demi lulus, kini ada pola “lembur mepet” demi terlihat pahlawan. Bahkan, lingkungan kerja tertentu tanpa sadar memberi hadiah pada kebiasaan lama. Ada kantor yang secara budaya mengagungkan kerja mepet deadline, memuji orang yang lembur sampai subuh, atau memaklumi kerapihan yang dikorbankan demi kecepatan. Dalam lingkungan seperti itu, kebiasaan sekolah bukan saja bertahan, tetapi menjadi identitas: “dia memang selalu jago kebut semalam.” Identitas itu membuat kebiasaan semakin lengket.
Di sisi lain, perubahan menjadi mungkin ketika dua hal terjadi: ada kesadaran jujur tentang pola lama, dan ada struktur baru yang memberi hadiah pada perilaku yang berbeda. Kesadaran jujur jarang tumbuh dari nasihat belaka; biasanya lahir dari benturan dengan realitas. Contohnya, proyek gagal karena kualitas buruk yang tidak bisa ditambal di akhir, atau hubungan dengan rekan kerja rusak karena janji yang berulang kali diingkari. Momen krisis seperti ini sering menjadi “alarm keras” yang memaksa refleksi. Jika orang yang bersangkutan mau melihat pola lama tanpa defensif, perubahan mulai punya ruang. Lalu struktur baru bisa berupa cara kerja yang membagi tugas besar menjadi langkah kecil, ritual harian yang jelas, umpan balik cepat, dan budaya yang menghargai proses bukan sekadar heroisme di detik terakhir. Ketika otak mendapatkan hadiah baru—misalnya rasa tenang karena progres stabil, apresiasi rekan karena andal, tidur yang cukup—kebiasaan lama pelan-pelan kehilangan daya tariknya.
Pertanyaannya, adakah titik di mana sifat itu benar-benar tidak bisa berubah? Dalam bahasa sehari-hari, kita sering bilang “ya, memang dasarnya sudah begitu.” Namun jika kita bedakan antara kebiasaan, pola pikir, dan kondisi yang lebih dalam, gambarannya lebih nyambung. Kebiasaan adalah perilaku yang bisa dilatih ulang. Pola pikir seperti “saya harus selalu terlihat sempurna” atau “kalau tidak yakin berhasil, lebih baik tidak mencoba” juga bisa diubah, walau butuh waktu. Tetapi ada kondisi tertentu—misalnya kelelahan kronis, burnout berat, depresi, atau trauma—yang membuat perubahan tampak mustahil. Pada kondisi seperti itu, energi psikologis untuk mencoba hal baru sangat rendah. Orangnya bukan tidak mau berubah; ia tidak punya bahan bakarnya. Dalam situasi ini, dukungan kesehatan mental, istirahat yang cukup, dan penataan ulang beban kerja sering kali menjadi prasyarat sebelum bicara tentang kedisiplinan dan kebiasaan baru. Jadi yang tampak “tidak bisa berubah” sebenarnya adalah “belum punya daya untuk berubah.”
Faktor lain yang membuat perubahan terlihat buntu adalah identitas yang tertanam dalam cerita hidup. Jika sejak sekolah seseorang mendapat pengakuan karena menjadi “si kilat di akhir,” maka gambaran diri itu bisa menjadi kebanggaan. Identitas memberi rasa aman: kita tahu peran kita di mata orang. Masalahnya, identitas yang kaku membuat kita menolak masukan. Waktu ada rekan menyarankan perencanaan lebih dini, bagian diri yang takut kehilangan peran lama akan melawan: “gaya gue memang begini, yang penting hasil.” Ketika identitas sedang terancam, otak memperkeras kebiasaan lama untuk memastikan kita tetap dikenali. Untuk keluar dari jebakan ini, orang butuh narasi pengganti yang setara kuatnya, misalnya “saya adalah orang yang bisa diandalkan sejak awal sampai akhir,” bukan “saya jago kebut semalam.” Narasi baru itu harus diberi bukti kecil, berulang, sampai otak percaya, “ternyata saya memang bisa begitu.”
Lingkungan kerja punya peran besar. Ada perusahaan yang menulis nilai-nilai indah di dinding, tetapi kesehariannya memberi sinyal sebaliknya. Atasan memuji orang yang menyelesaikan banyak hal dalam waktu singkat tanpa peduli utang teknis atau kualitas, rapat dirancang mendadak, dan rencana berubah setiap hari tanpa koordinasi. Dalam lingkungan seperti itu, orang yang mencoba membentuk kebiasaan sehat sering tergerus. Mereka jadi minoritas yang dianggap “terlalu kaku” atau “tidak fleksibel.” Di sini, sulitnya perubahan bukan soal kemauan individu, melainkan ketidakcocokan antara sistem dan perilaku yang ingin dibangun. Solusinya bukan hanya pelatihan individu, tetapi juga desain organisasi: kalender yang punya ruang fokus, ekspektasi yang disepakati, ritme mingguan yang konsisten, definisi selesai yang jelas, dan pengukuran yang menilai kualitas proses, bukan hanya jumlah output.
Mari kita tarik ke pengalaman nyata. Bayangkan seseorang yang di sekolah sering menunda belajar dan baru bergerak saat H-1 ujian. Ia lulus, masuk kantor, bekerja dalam tim yang cepat. Pada awalnya, pola lama terasa tidak masalah karena banyak tugas kecil yang bisa ditangani mepet. Bahkan, ia sering dipuji karena “tanggap” dan “sigap.” Namun setelah setahun, ia mendapat proyek besar lintas tim. Tiba-tiba, menunda sehari berarti menghambat rekan lain yang menunggu input. Latar sekolah yang dulu hanya berdampak pada nilai pribadi, kini berdampak pada reputasi tim dan hubungan kerja. Di sinilah kebiasaan lama diuji. Jika organisasi menyediakan dukungan—misalnya pecah tugas menjadi paket mingguan, ada sinkronisasi progres, ada mentor yang membantu membuat rencana—peluang perubahan membesar. Tetapi jika budaya tim tetap mengandalkan kecepatan dadakan, orang ini cenderung menggandakan pola lama dan akhirnya kelelahan karena hidup di mode darurat terus-menerus.
Di level psikologis, perubahan kebiasaan bergerak melalui tahap yang jarang kita sadari. Pertama, pra-kesadaran, ketika kita belum melihat kebiasaan sebagai masalah. Kedua, kontemplasi, ketika kita mengakui ada masalah tetapi masih ragu mengubahnya. Ketiga, persiapan, ketika kita mulai merancang langkah kecil yang realistis. Keempat, aksi, saat kita mempraktikkan cara baru. Kelima, pemeliharaan, ketika kita menjaga ritme dan belajar dari kemunduran. Kemunduran di tahap pemeliharaan sangat umum. Orang sering salah menafsirkannya sebagai bukti bahwa “saya memang tidak bisa berubah,” padahal itu bagian normal dari proses belajar. Analogi yang sederhana: saat berlatih gitar, jari akan sakit dan nada sering fals. Bukan berarti kita tidak berbakat, hanya belum terbiasa. Sama halnya dengan belajar merencanakan tugas lebih awal, berbicara jujur soal hambatan, atau membangun disiplin dokumentasi. Sakitnya di depan, nyamannya nanti.
Bagaimana dengan faktor usia? Banyak yang merasa sifat dari sekolah sudah telanjur menempel saat dewasa muda, sehingga akan sulit sekali dilepas. Memang benar, bertambah usia membuat kita punya lebih banyak pengalaman yang menguatkan pola tertentu. Namun otak orang dewasa tetap plastis, artinya tetap bisa membentuk jalur kebiasaan baru jika ada latihan yang cukup, alasan yang kuat, dan dukungan lingkungan. Yang sering menipu adalah pembandingan yang tidak adil. Kita membandingkan kebiasaan yang sudah bertahun-tahun tertanam dengan kebiasaan baru yang baru seumur jagung. Tentu saja yang lama terasa lebih kuat. Kuncinya bukan bertanya “bisa berubah atau tidak,” melainkan “bagaimana cara saya membuat perilaku baru ini lebih mudah, lebih jelas, lebih menarik, dan lebih memuaskan dibanding opsi lama.” Jika setiap hari perilaku baru diikat dengan pemicu yang pas dan hadiah yang terasa, kebiasaan lama akan dilemahkan selangkah demi selangkah.
Sekarang mari kita bahas sisi yang sering terabaikan: emosi. Banyak kebiasaan buruk di sekolah lahir dari cara kita mengelola rasa takut, malu, atau cemas. Menunda seringkali adalah cara melindungi harga diri. Jika saya menunda dan hasilnya buruk, saya bisa berkata, “wajar, kan mepet.” Tetapi jika saya benar-benar berusaha dan tetap gagal, itu menampar harga diri lebih keras. Ketika masuk kerja, mekanisme pelindung ini tetap bekerja. Karena itu, saran seperti “ayo disiplin” sering tidak cukup, bahkan bisa memicu pertahanan lebih kuat. Pendekatan yang lebih efektif adalah menciptakan ruang aman untuk gagal kecil, memberi umpan balik yang fokus pada proses, dan menormalkan percobaan. Di tim yang aman secara psikologis, orang berani berkata, “aku stuck, butuh bantuan,” jauh sebelum deadline tiba. Inilah momen ketika kebiasaan buruk dari sekolah mulai retak.
Ada juga dimensi nilai. Di sekolah, target nilai tinggi sering menjadi tujuan utama. Di kerja, maknanya lebih luas: dampak pada pengguna, manfaat pada rekan, keberlanjutan proses. Jika seseorang menemukan makna yang ia pedulikan, motivasinya bergeser dari “menghindari hukuman” menjadi “mencapai sesuatu yang penting.” Perubahan berbasis makna cenderung lebih tahan lama dibanding perubahan berbasis rasa takut. Misalnya, seorang perawat yang dulu suka menunda tugas akademis bisa menjadi sangat teliti di rumah sakit karena menyadari setiap detail menyentuh keselamatan pasien. Ketika nilai jiwanya tersentuh, ia rela menata ulang kebiasaan. Ini menjelaskan mengapa perubahan kadang meledak cepat begitu orang “ketemu alasan.” Sifat yang tadinya dianggap bawaan ternyata adalah kebiasaan yang kehilangan alasan untuk dipertahankan.
Kapan perubahan menjadi hampir mustahil? Hampir mustahil ketika tiga hal bertemu sekaligus. Pertama, ada kepentingan pribadi yang kuat untuk mempertahankan pola lama, misalnya status atau keuntungan jangka pendek yang hilang jika berubah. Kedua, ada lingkungan yang menguatkan pola lama dengan hadiah sosial, misalnya pujian untuk “pahlawan lembur” dan cibiran untuk perencana yang rapi. Ketiga, ada keletihan psikologis atau beban hidup yang membuat energi berubah sangat rendah. Jika ketiganya hadir, upaya perubahan seperti mendayung melawan arus deras. Bukan tidak mungkin, tetapi butuh perubahan sistem sekaligus pemulihan energi. Realistisnya, dalam kondisi ini orang sering terlihat tidak berubah meskipun masuk ke tempat kerja. Mengganti perusahaan atau tim kadang menjadi pemantik, tetapi tanpa pemulihan dan narasi identitas baru, kebiasaan lama cepat menyusul.
Apa yang bisa dilakukan individu supaya sifat dari sekolah tidak mengunci nasib di kerja? Mulailah dari mengamati momen pemicu secara jujur. Tuliskan kapan Anda cenderung menunda, apa yang Anda rasakan sebelum menunda, dan apa hadiah sesaat yang Anda dapatkan setelah menunda. Lalu pilih satu perilaku pengganti yang kecil dan spesifik. Jika biasanya menunda mulai siang, cobalah membuat “pintu masuk” di pagi hari selama lima belas menit untuk memulai bagian yang paling kecil dari pekerjaan. Tujuannya bukan menyelesaikan semuanya, tapi mematahkan hambatan awal. Setelah itu, beri hadiah kecil yang terasa, misalnya jeda jalan sebentar atau kopi favorit. Hadiah penting agar otak mengaitkan perilaku baru dengan rasa nyaman. Seiring waktu, perpanjang durasi dan tingkatkan tantangan. Jika jadwal sering kacau, gunakan kalender bukan hanya sebagai pengingat, tetapi sebagai kontrak dengan diri sendiri yang menggambarkan kapan melakukan pekerjaan mendalam dan kapan rapat. Komitmen di kalender membantu menggeser pekerjaan penting dari “nanti” menjadi “sekarang” tanpa menunggu mood.
Di tingkat tim, pemimpin bisa merancang ritme yang menyehatkan. Rapat mingguan yang fokus pada hambatan, bukan hanya status, membantu kebiasaan bicara jujur berkembang. Definisi selesai yang rinci menurunkan ruang abu-abu yang sering menjadi alasan menunda. Peer review yang ringan tapi sering menjaga kualitas tanpa menumpuk di ujung. Menghargai progres konsisten lebih daripada penyelamatan dramatis mengubah sinyal budaya. Ketika seorang pemimpin memuji orang yang menutup lubang sebelum menjadi krisis, tim belajar bahwa pahlawan sejati adalah yang mencegah kebakaran, bukan yang memadamkan api dengan spektakuler.
Ada pula peran umpan balik. Umpan balik yang efektif spesifik pada perilaku, dekat dengan waktu kejadian, dan menyertakan alternatif yang bisa dicoba. Daripada berkata, “Kamu selalu mepet,” lebih berguna mengatakan, “Waktu integrasi kemarin kita baru mulai H-1, padahal ada risiko kompatibilitas. Minggu ini bagaimana kalau integrasi dicoba H-5 dengan checklist singkat?” Umpan balik seperti ini tidak menyerang identitas dan memberi jembatan ke perilaku baru. Untuk penerima umpan balik, cara paling sehat adalah menganggapnya sebagai data, bukan vonis. Tanyakan satu hal yang paling berdampak untuk dicoba minggu depan. Kemenangan kecil yang berulang akan membangun rasa percaya diri baru.
Pada akhirnya, menjawab pertanyaan “kapan sifat dari sekolah tidak bisa berubah ketika masuk kerja” menuntut kita membedakan antara tidak bisa dan belum bisa. Tidak bisa adalah klaim final yang menutup pintu. Belum bisa mengakui realitas saat ini sekaligus membuka peluang di masa depan. Banyak yang terlihat tidak bisa karena energi psikologisnya habis, karena lingkungan memberi hadiah pada pola lama, atau karena identitas lama masih menjadi penyangga harga diri. Jika ketiganya disentuh—pemulihan energi, perancangan ulang lingkungan, dan narasi diri yang baru—yang tampak beku menjadi lebih luwes. Kuncinya bukan mencari “sifat bawaan” yang mutlak, melainkan merapikan sistem kecil yang mempengaruhi perilaku setiap hari.
Orang sering salah mengira bahwa perubahan harus besar dan heroik. Padahal perubahan yang tahan lama biasanya membosankan dan berulang: tidur cukup, mulai lebih awal lima belas menit, mengomunikasikan hambatan tanpa menunggu meledak, menutup hari dengan mengecek tiga hal untuk esok. Kebosanan inilah yang diam-diam mengubah identitas. Suatu hari kita menyadari, tanpa sadar kita bukan lagi orang yang menunda atau mengandalkan kebut semalam. Kita sudah menjadi seseorang yang progresif, bisa diandalkan, dan tenang menghadapi tenggat. Bukan karena sifat kita di sekolah “menghilang,” tetapi karena kita menulis ulang cerita, memberikan hadiah pada perilaku yang kita inginkan, dan memilih lingkungan yang menyirami benih yang benar.
Jika Anda melihat diri Anda atau rekan kerja membawa kebiasaan lama, jangan buru-buru menempelkan label “tidak bisa berubah.” Lihatlah pemicunya, hadiahnya, identitas yang menyangganya, dan energi yang tersedia. Kadang-kadang, mengubah satu unsur saja—misalnya ritme mingguan atau cara memberi umpan balik—sudah cukup untuk menggeser pola yang tampak keras kepala. Pada akhirnya, yang disebut “sifat” sering hanyalah nama lain untuk kebiasaan yang sudah lama tidak diuji. Dunia kerja, dengan segala dinamika dan tanggung jawabnya, sebenarnya adalah sekolah kedua yang menawarkan kesempatan untuk belajar ulang. Dan seperti sekolah mana pun, yang paling menentukan bukanlah papan tulis atau kurikulumnya, melainkan keberanian untuk mencoba lagi besok pagi.


0 Komentar