Bayangkan sebuah aula sekolah berlabel Islam pada suatu sore yang seharusnya tenang. Kursi-kursi disusun rapi, mikrofon menyala, dan seorang praktisi hipnoterapi berdiri di depan barisan siswa. Niatnya baik, targetnya sederhana: membantu pelajar mengelola stres, meningkatkan fokus, merawat luka-luka batin yang sering tak sempat ditangani di ruang kelas. Tetapi alih-alih hening yang mendalam, yang terjadi justru gelombang teriakan, tangis yang meledak seperti hujan tiba-tiba, beberapa anak berdiri tidak terkendali, bahkan ada yang merusak fasilitas di sekitarnya. Adegan itu membuat kita bertanya, seperti orang yang memandang permukaan danau mendadak bergelora: apa yang sebenarnya bergerak di dasar air tersebut. Apakah metode yang diterapkan keliru, apakah ada luka yang selama ini tersembunyi, atau justru ada situasi keagamaan di sekolah dan asrama yang perlu dikaji ulang agar jiwa-jiwa yang tumbuh di sana merasa aman, teduh, dan dipeluk rahmah.
Hipnoterapi, pada dasarnya, bukan sihir dan bukan pula pertunjukan. Ia adalah teknik psikologis untuk mengarahkan atensi, menenangkan sistem saraf, dan membuka jalan bagi sugesti yang konstruktif. Metaforanya seperti radio yang disetel pada frekuensi tertentu: ketika frekuensinya pas, suara menjadi jernih, pesan terapinya masuk, dan penerima merasa lebih lega. Namun radio yang sama, bila disetel terlalu keras atau terkena gangguan listrik, menjelma bising yang memekakkan telinga. Dalam skala kelompok, hipnoterapi menuntut kehati-hatian khusus. Bagi sebagian orang, relaksasi dan fokus napas akan menuntun pada ketenangan. Tetapi bagi sebagian lain, terutama mereka yang membawa muatan emosi berat, ajakan untuk menutup mata dan menelusuri memori dapat memicu gelombang rasa yang dahsyat. Teriakan dan perilaku destruktif terkadang adalah pelepasan emosi yang selama ini mengendap, seperti panci bertekanan yang akhirnya mendesis karena katupnya dibuka terlalu cepat.
Kita perlu membedakan antara dua hal yang sering tercampur: pelepasan emosi yang memang muncul sebagai bagian dari proses penyembuhan, dan luapan panik yang lebih menyerupai ledakan ketakutan massal. Yang pertama ibarat aliran air yang keruh di awal tetapi lama-lama bening setelah endapan tersapu keluar. Yang kedua lebih seperti api yang menyambar jerami kering, cepat, menular, dan membuat anak-anak lain ikut terbakar hanya karena melihat kawan di sebelahnya gemetar. Dalam situasi kelompok, mekanisme saling meniru sangat kuat. Seorang siswa yang mulai menangis keras bisa menjadi sinyal ke otak siswa lain bahwa ada bahaya, walau bahaya itu bukan ancaman nyata. Sistem saraf simpatis bereaksi, napas memendek, otot menegang, pikiran memutar cerita-cerita lama tentang marah, takut, atau malu. Inilah sebabnya sesi semacam itu memerlukan batasan yang jelas, penyaringan peserta, penjagaan jumlah kelompok yang wajar, serta kehadiran tenaga pendamping yang terlatih untuk menenangkan, membumi, dan memandu keluar bila gelombang emosi menjadi terlalu tinggi.
Di sekolah Islam, pertanyaan berikutnya selalu muncul dengan wajar: adakah masalah agama dalam kegiatan semacam ini. Jawabannya tidak tunggal, karena agama di sekolah bukan hanya kumpulan dalil yang dibacakan di kelas, melainkan juga suasana batin yang dialami siswa sepanjang hari. Dari sisi prinsip, banyak ulama kontemporer menerima teknik relaksasi dan fokus atensi selama tidak disertai unsur yang diharamkan, tidak melibatkan bantuan jin, tidak ada unsur perdukunan, tidak ada suggesti yang menyalahi akidah, dan tujuan utamanya adalah pengobatan atau pengembangan diri yang mulia. Hipnoterapi yang berbasis ilmu kejiwaan, yang bekerja lewat perhatian, bahasa, dan pernapasan, berada di wilayah yang berbeda dari praktik klenik atau ritual gelap. Ia bisa sejalan dengan tujuan menjaga jiwa, akal, dan kehormatan, asalkan koridornya jelas. Masalah justru lahir bila sesi diubah menjadi panggung yang menstimulasi rasa ingin tahu tanpa batas, bila praktisinya menjanjikan hal-hal spektakuler, atau bila teknik yang dipakai mengaburkan batas antara terapi dan hiburan. Ketika batas itu kabur, peserta menjadi rentan. Jiwa yang rapuh merasa sedang dinilai di hadapan massa, perasaan malu bersilang dengan dorongan untuk mengikuti teman, dan pada saat yang sama standard etika Islam seperti penjagaan pandangan, aurat, pemisahan gender, serta kehormatan individu bisa tergelincir tanpa disadari.
Sebuah pesan penting yang sering terlewat adalah persoalan niat dan cara. Niat lembaga untuk menolong siswa menata emosi patut diapresiasi. Tetapi cara menolong tidak boleh mengguncang kehormatan anak. Dalam lintasan nilai Islam, kehormatan itu seperti kain putih yang mesti dijaga dari noda. Bila sebuah metode mengundang risiko tersingkapnya kelemahan batin seseorang di depan banyak orang, bila tangis dan rintihan direkam dan dibagikan, bila ada sentuhan fisik lintas jenis tanpa kebutuhan darurat medis, maka ia telah menabrak rambu. Bukan karena hipnoterapi pada dirinya pasti terlarang, melainkan karena cara pelaksanaannya menjadikannya berpotensi menzalimi. Di titik ini, kita melihat bahwa yang perlu dikaji bukan sekadar teknik, melainkan iklim nilai yang memandunya. Apakah sesi tersebut diawali dengan penjelasan yang jernih tentang tujuan, risiko, dan hak untuk menolak. Apakah ada persetujuan yang sadar dari siswa dan walinya. Apakah ruangnya aman, tertutup dari pandangan pihak yang tidak berkepentingan, dan sesuai adab pergaulan. Apakah jumlah peserta cukup kecil agar pendamping mampu mengawal emosi tiap anak. Apakah ada kode berhenti yang disepakati, sehingga peserta bisa kembali berlabuh ketika hembusan perasaan terlalu kencang.
Teriakan dan perusakan fasilitas sering dianggap bukti bahwa hipnoterapi itu buruk. Penilaian ini tergesa-gesa. Ia bisa juga menjadi cermin dari hal-hal yang lebih dalam. Bayangkan asrama yang padat kegiatan, jadwal ibadah dan belajar yang ketat, larangan gawai yang longgar penerapannya, konflik antarteman yang disapu di bawah karpet, dan rasa rindu rumah yang jarang diakui karena dianggap tanda kelemahan. Jiwa remaja adalah gelas yang mudah penuh. Ketika hipnoterapi mengundang anak menutup mata dan meraih kejujuran pada dirinya, cairan yang bertahun-tahun ditahan bisa tumpah sekaligus. Ia bukan semata-mata produk teknik, melainkan juga buah dari iklim pengasuhan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hipnoterapi kadang ibarat lampu senter yang akhirnya menyinari gudang berdebu. Debunya bukan diciptakan oleh senter; senter hanya membuatnya terlihat berterbangan. Kalau gudangnya rapih, senter membuat kita lega. Kalau gudangnya menumpuk barang, senter membuat kita batuk.
Karena itu pertanyaan apakah ada permasalahan pada agama di sekolah dan asrama perlu diurai dengan kelembutan. Agama tidak hanya diukur dari rapinya jadwal shalat, panjangnya hafalan, atau banyaknya pengajian. Agama juga hadir pada cara guru menegur, cara pengurus asrama memeluk murid yang menangis, cara teman sebaya saling menjaga harga diri. Bila agama diajarkan sebagai pagar yang hanya menakut-nakuti, sebagai katalog larangan tanpa nafas kasih sayang, sebagai tugas yang selalu dikejar tanpa ruang jeda untuk bernapas, maka anak akan mengaitkan setiap ajakan menenangkan diri dengan hukuman yang mengintai. Dalam ruang batin seperti itu, sugesti menutup mata bisa memicu alarm, bukan karena kalimat terapisnya salah, melainkan karena kepala anak sudah penuh dengan lonceng-lonceng kekhawatiran. Sebaliknya, bila agama dirasakan sebagai naungan teduh yang menenangkan detak jantung, hipnoterapi justru lebih mudah selaras. Anak belajar bahwa tenang bukan dosa, menitik air mata bukan aib, dan yang najis dibersihkan bukan hanya pakaian tetapi juga pikiran yang lekat pada rasa bersalah berlebihan.
Kita juga perlu menyentuh pertanyaan yang sering beredar di ruang-ruang pesan: apakah hipnoterapi terkait dengan ruh, jin, atau praktik ghaib yang terlarang. Penjelasan yang jujur adalah bahwa hipnoterapi psikologis bekerja dengan hukum-hukum pikiran yang bisa diobservasi: perhatian, bahasa, ingatan, persepsi tubuh, dan pernapasan. Ia tidak menundukkan ruh dan tidak memanggil makhluk lain. Bila ada praktisi yang mengklaim dapat mengikat ruh atau mengundang entitas gaib, maka ia bukan lagi berada pada wilayah ilmu jiwa yang wajar dan sekolah Islam berhak menutup pintu rapat-rapat. Dalam koridor yang benar, hipnoterapi berdampingan secara sehat dengan praktik spiritual seperti dzikir yang khusyuk, murajaah yang menenangkan, tadabbur ayat tentang ketenangan, serta latihan syukur. Ibarat dua tangan yang saling menolong, satu menenangkan fisiologi dan kognisi, satu menyirami makna dan harapan.
Masalah lain yang patut ditelaah adalah rupa pelaksanaannya. Sering kali yang diundang ke sekolah bukan terapis klinis, melainkan performer yang biasa tampil di panggung hiburan. Gaya panggung mengandalkan efek dramatis, musik yang menggugah, perintah yang keras, dan dorongan untuk unjuk diri. Siswa yang sedang dibentuk akhlaknya menjadi bingung ketika sebuah proses penyembuhan diwarnai sorakan atau tawa massa. Di sinilah kita kembali pada garis ajaran tentang menjaga kehormatan. Sesi internal yang intim, kecil, tenang, dan penuh penjagaan akan jauh lebih aman. Semua itu bukan sekadar prosedur teknis, tetapi pancaran adab. Adab adalah jembatan antara sains dan iman. Ia memastikan bahwa pengetahuan modern yang bermanfaat tetap mengalir sebagai rahmat, tidak berubah menjadi banjir yang merusak ladang.
Faktor berikutnya adalah kesiapan sistem dukungan di sekolah dan asrama. Hipnoterapi yang memicu gelombang emosi butuh tempat mendarat yang empuk. Bila setelah sesi tidak ada debriefing, tidak ada ruang konseling pribadi, tidak ada orang dewasa yang siap duduk berlama-lama mendengar tanpa menghakimi, maka energi emosi itu akan mencari jalan sendiri. Terkadang jalannya adalah merusak barang, terkadang mencela teman, terkadang memendam lalu meledak di kamar. Kesiapan sistem inilah yang menentukan apakah teriakan di aula akan berakhir sebagai badai yang lewat membawa kesegaran, atau sebagai angin puting beliung yang menyisakan reruntuhan.
Kita juga harus menelaah faktor keselamatan psikologis. Anak yang pernah mengalami kekerasan, perundungan, pelecehan, atau kehilangan mendadak mungkin bereaksi kuat terhadap instruksi menutup mata dan “kembali” ke suatu peristiwa. Bagi mereka, tubuh menyimpan memori seperti arsip yang mudah tersentuh. Sesi yang aman memerlukan skrining sederhana, pernyataan bahwa semua orang berhak berhenti kapan saja, kesepakatan sinyal tangan untuk berhenti tanpa harus berbicara, serta teknik pembumian yang lembut seperti menaruh kedua telapak pada lutut, menyebut lima hal yang dilihat, empat hal yang dirasa, tiga hal yang didengar, dua hal yang dicium, dan satu hal yang dirasakan di dalam diri. Teknik-teknik ini bukan ritual khusus, melainkan cara mengajak sistem saraf kembali dari tepi jurang. Di lingkungan Islam, teknik itu dapat disertai lafaz doa yang menenangkan, bukan sebagai mantra, melainkan sebagai pengingat bahwa setiap nafas adalah amanah dan setiap hati berhak atas keteduhan.
Pertanyaan inti kembali menyala: apakah semua kegaduhan itu tanda bahwa agama di sekolah dan asrama bermasalah. Jawaban jujur yang menuntun pada perbaikan adalah bahwa tanda-tanda tersebut mengajak kita melakukan muhasabah lembaga. Bila nilai dan praktik keagamaan dihidupkan sebagai kasih yang menjaga, anak-anak cenderung tenang dan mudah diarahkan. Bila nilai-nilai itu tampil sebagai tekanan dan rasa takut yang menumpuk, maka kegiatan yang mendorong kejujuran batin berpotensi memantik api. Dengan demikian, masalahnya tidak tunggal. Ada bagian yang merupakan tantangan teknik hipnoterapi itu sendiri. Ada bagian yang merupakan cermin kesehatan emosional siswa yang mungkin menuntut perhatian selama ini. Dan ada bagian yang mengajak sekolah untuk menimbang cara mereka mengajar, menegur, dan mengasuh.
Dalam bahasa sederhana, hipnoterapi adalah alat. Pisau di dapur bisa membuat sup atau melukai jari. Agar menjadi alat yang bermanfaat di sekolah Islam, ia harus dipegang oleh tangan yang paham adab, bergerak di ruang yang aman, dan dipayungi niat yang jernih. Praktisinya sebaiknya memiliki literasi nilai Islam yang memadai agar tidak memberi sugesti yang bertentangan dengan keyakinan, tidak menyentuh fisik lintas jenis, tidak mempermalukan peserta, dan menyadari bahwa kehormatan remaja adalah barang pecah belah yang mudah retak. Sesi kelompok perlu dirancang kecil, dengan pendamping sejenis kelamin, dengan P3K psikologis yang siap, dan dengan jalur rujukan bila ada anak yang memerlukan penanganan klinis lanjutan. Penjelasan di awal harus gamblang, seperti pemandu wisata yang menunjukkan peta sebelum perjalanan: inilah tujuan kita, inilah jalan yang ditempuh, inilah hak kalian untuk berkata cukup, inilah cara kami menolong bila gelombang emosi datang.
Di samping itu, sekolah dapat mengintegrasikan pendekatan religius yang menyejukkan ke dalam kerangka hipnoterapi. Alih-alih kalimat-kalimat yang memaksa atau menggurui, gunakan bahasa yang mengajak: mari bernapas seperti orang yang sedang menunggu azan, perlahan, penuh harap. Saat mata terpejam, ingatlah bahwa yang kita cari bukan masa lalu untuk ditangisi, melainkan kekuatan untuk melangkah. Ketika tubuh menegang, ajak ia melembut sebagaimana tanah ladang yang disirami hujan sari. Bila sesal muncul, ajak ia berwujud tekad, seperti benih yang memutuskan menjadi pohon. Ini bukan memadu doa ke dalam terapi sebagai obat segala hal, melainkan menjaga agar arah hati tetap terhubung pada kebaikan. Dengan cara ini, pelajar belajar membedakan antara sugesti yang memberdayakan dan sugesti yang melemahkan.
Perlu juga dicatat bahwa tidak setiap anak cocok dengan hipnoterapi, sebagaimana tidak setiap tanaman cocok dengan tanah yang sama. Ada yang tumbuh indah dengan metode konseling naratif. Ada yang lebih nyaman dengan latihan pernapasan dan olahraga ringan. Ada yang memerlukan rujukan psikolog klinis karena lukanya dalam. Sekolah yang bijak tidak memaksa semua orang meminum sirup yang sama, apalagi bila rasanya membuat sebagian mual. Kebijakan yang baik memberi pilihan, mendengar umpan balik, dan memperbaiki desain program dari tahun ke tahun. Ini bukan kompromi terhadap nilai, melainkan perwujudan nilai itu sendiri: memuliakan manusia sesuai keunikannya.
Tentang fasilitas yang rusak, kita bisa membacanya sebagai pesan keras dari sistem bahwa ruang dan waktu untuk terapi kelompok tidak boleh disusun seperti jam olahraga massal. Ruang perlu disetting dengan kursi yang tidak mudah terseret emosi, benda-benda yang tajam disingkirkan, pintu yang dibuka untuk sirkulasi aman, dan jarak yang cukup agar ekspresi anak tidak saling menular. Bukan untuk mengekang, melainkan untuk menciptakan kandang aman di mana kuda liar bisa perlahan mau didekati. Setelah itu, program pemulihan pascasession harus hadir, termasuk permintaan maaf yang dipandu bila ada yang merasa terganggu, serta perbaikan fasilitas yang melibatkan siswa agar mereka belajar bertanggung jawab tanpa dipermalukan.
Dari kacamata syariah, pijakan yang menenteramkan adalah maqashid, tujuan luhur yang menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Hipnoterapi yang aman membantu menjaga jiwa dari cengkeram kecemasan, memperkuat akal untuk belajar, melindungi kehormatan dengan menuntun anak berbicara tentang perasaannya di ruang privat yang aman, dan pada akhirnya melindungi harta sekolah karena pelaksanaan yang tertib mencegah kerusakan. Ketika yang terjadi kebalikannya, berarti ada simpul yang salah ikat. Simpul itu bisa terletak pada seleksi praktisi, pada desain sesi, pada komunikasi dengan orang tua, atau pada iklim asrama yang keras sehingga anak meledak begitu diberi kesempatan untuk merasa. Memperbaiki simpul adalah ibadah yang halus: menata ulang niat, memperbaiki cara, memohon bimbingan, dan bekerja sama.
Pada akhirnya, pertanyaan awal kita mengerucut menjadi nasihat: jangan buru-buru membuang alat hanya karena salah pakai, dan jangan pula memaksakan alat hanya karena sedang populer. Sekolah Islam memiliki warisan panjang dalam merawat jiwa lewat ilmu, adab, dan teladan. Hipnoterapi bisa menjadi salah satu pelengkap, seperti ladle di dapur yang memudahkan menyendok kuah. Namun kuahnya tetap harus sehat, bumbunya tidak berlebihan, dan dapurnya bersih. Bila selama ini banyak siswa berteriak dan merusak ketika sesi, itu tanda untuk menata ulang lima hal yang saling terkait. Tanda untuk merapikan tujuan agar tidak jadi tontonan, untuk mengecilkan skala agar jiwa tak terdorong beramai-ramai meledak, untuk menyaring peserta agar yang rapuh tidak dibiarkan sendiri di tengah arus, untuk menyiapkan pendamping yang paham adab dan teknik, serta untuk meninjau kultur agama di sekolah dan asrama agar semakin lembut dan memulihkan. Semua ini tidak ditulis sebagai hukuman atas kesalahan, melainkan sebagai undangan untuk memilih jalan yang lebih aman dan lebih sesuai dengan misi memuliakan manusia.
Bayangan telaga pada sore hari kembali hadir. Air dapat bergelombang karena angin besar, dapat juga karena batu kecil yang dijatuhkan sembarangan. Bila kita ingin permukaannya kembali teduh dan langit memantul indah di sana, kita tidak cukup memarahi air. Kita meneduhkan angin, kita berhati-hati menapakkan kaki di dermaga, kita memilih kapan melempar batu dan kapan hanya duduk menikmati pendar cahaya. Hipnoterapi hanyalah salah satu cara untuk melihat lebih dalam ke telaga itu. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa telaga dijaga oleh penjaga yang bijak, diberi pagar yang pas, dan tetap menjadi sumber air yang menyehatkan semua yang hidup di sekitarnya. Di sekolah Islam, telaga itu bernama iman yang dicintai, ilmu yang mencerahkan, dan akhlak yang menyembuhkan. Jika ketiganya mengalir bersama, teriakan akan lebih jarang terdengar, air mata akan menjadi doa yang pelan, dan tangan-tangan remaja akan lebih sering merapikan kursi daripada merusaknya.
Maka jawaban atas tanya apakah ada permasalahan dalam agama di sekolah dan asramanya adalah jawaban yang mengajak kita berbenah, bukan saling menyalahkan. Ada tanda yang perlu ditangkap bahwa agama harus dihidupkan sebagai pelepas beban, bukan penambah beban. Ada ajakan untuk memastikan bahwa pendekatan psikologis modern berjalan dalam pagar adab dan rasa aman. Ada kebutuhan untuk menjadikan guru, musyrif, dan praktisi duduk satu meja, menyusun rencana yang manusiawi, dan menuliskannya dengan bahasa yang mudah dipahami setiap anak. Ada kesempatan untuk menjadikan sekolah sebagai pelabuhan di mana kapal-kapal muda itu belajar berlayar, tahu kapan menurunkan jangkar, tahu kapan memperbaiki layar yang sobek, dan tahu bahwa di bawah bintang petunjuk, lautan luas sekalipun dapat dilalui dengan hati yang tenang. Jika itu ditempuh, hipnoterapi tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, melainkan alat bantu yang kadang dipakai, kadang disimpan, namun selalu diingatkan untuk tunduk pada satu hal yang paling penting: memuliakan manusia karena Allah memuliakan manusia.


0 Komentar