Mari kita mulai dari gambaran umum tentang ekologi pendidikan. Sekolah dan kampus tidak berdiri di ruang hampa. Ada pemerintah pusat dan daerah, dinas, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua murid, siswa, lembaga penyedia pelatihan, penerbit buku, sampai penyedia sarana. Setiap aktor memiliki kepentingan, keterbatasan, dan sumber daya yang berbeda. Di atas semua itu, ada aturan perundang undangan, kebijakan, dan anggaran yang menentukan gerak. Di titik ini, kejujuran seorang guru atau kepintaran seorang kepala sekolah belum tentu otomatis berbuah kebaikan pribadi. Semuanya sangat ditentukan oleh insentif yang dibentuk oleh aturan, budaya, dan kebiasaan di wilayahnya.
Bayangkan seorang guru muda yang cerdas, penuh ide kreatif, dan memegang teguh kejujuran. Ia datang ke sekolah negeri di sebuah kota kecil. Dengan semangat, ia menyiapkan perangkat pembelajaran, merancang penilaian yang adil, dan menolak meminta uang yang tidak sesuai aturan kepada orang tua murid. Pada minggu minggu awal, ia dipuji karena energinya. Namun beberapa bulan kemudian, ia mulai dianggap menyulitkan karena tidak mau menandatangani laporan kegiatan yang menurutnya tidak benar. Ia keberatan ketika diminta meluluskan semua siswa meski sebagian belum mencapai kompetensi minimal. Ia menolak praktik iuran yang tidak transparan. Tiba tiba ia mendapatkan surat pemindahan tugas. Tidak ada alasan akademik yang jelas, hanya kalimat singkat demi pemerataan. Apakah ia salah jika lalu merasa bahwa kejujuran justru membuat hidupnya lebih sulitKisah seperti ini sering dianggap kisah biasa di berbagai daerah. Namun alasan sesungguhnya tidak sesederhana karena ada satu dua orang tidak suka pada si guru. Masalahnya lebih dalam. Pertama, birokrasi pendidikan di banyak tempat masih sarat logika ketertiban administratif ketimbang mutu pembelajaran. Dokumen sering lebih penting dari isi. Ketika aparat lebih fokus pada tertib formulir dan laporan yang rapi ketimbang bukti proses belajar yang bermakna, maka orang yang jujur akan tergoda memalsukan dokumen agar terlihat sesuai. Orang yang pintar akan diminta memoles angka agar seolah olah semua berjalan baik. Jika ia menolak, ia dianggap tidak kooperatif. Di sinilah kejujuran dapat dipersepsi sebagai ancaman bagi kenyamanan sistem.
Kedua, budaya kerja kolektif tidak selalu memihak pada meritokrasi. Kadang yang dihargai adalah loyalitas pada atasan, keluwesan bergaul, atau kesediaan membantu urusan pribadi atasan dan rekan kerja. Kecerdasan intelektual dan integritas moral baru dihargai jika keduanya tidak mengganggu harmoni sosial yang sudah mapan. Dalam situasi seperti ini, orang yang memberi pertanyaan kritis kerap dicap sebagai pembuat gaduh, padahal niatnya membenahi. Orang yang jujur kerap dipandang tidak peka terhadap situasi, padahal ia sedang melindungi publik dari penyimpangan.
Ketiga, politik lokal dapat memengaruhi dinamika sekolah. Penempatan kepala sekolah, promosi jabatan, atau distribusi program terkadang terkait kedekatan dengan tokoh setempat. Dalam keadaan demikian, guru atau dosen yang ingin maju karena prestasi sering kali kalah oleh yang memiliki koneksi kuat. Mereka yang jujur tetapi tidak punya akses akan merasa terhambat. Sekalipun mereka pintar, jalur formal yang seharusnya menjadi arena persaingan sehat tidak selalu terbuka atau transparan.
Keempat, sistem penghargaan terhadap kinerja guru belum konsisten. Sebagian daerah memiliki skema insentif yang baik, namun di tempat lain penilaian kinerja masih formalitas. Kinerja yang nyata di kelas seperti keberhasilan membangkitkan minat belajar, menurunkan angka ketidakhadiran, memperbaiki budaya baca, justru tidak tercermin dalam penilaian. Yang ditanya sering hanya pemenuhan dokumen. Alhasil, orang pandai yang mengabdikan energinya untuk peningkatan mutu pembelajaran tidak selalu memperoleh imbal balik yang layak. Sementara itu, orang yang fasih mengurus berkas dapat melaju lebih cepat.
Kelima, ada beban ekonomi yang menekan. Di banyak sekolah, guru honorer hidup dengan penghasilan terbatas. Mereka terpaksa mengambil pekerjaan sampingan. Pada kondisi tekanan ekonomi, godaan untuk mengikuti praktik yang tidak jujur bisa muncul, seperti menerima pemberian sebagai syarat layanan atau mengarahkan orang tua murid untuk membeli layanan tambahan dari pihak tertentu. Guru yang menolak akan tampak gagap di antara rekan rekan yang sudah terbiasa. Penolakan itu menimbulkan jarak sosial, yang kemudian diikuti tekanan psikologis.
Keenam, ada warisan budaya ujian yang keras. Selama bertahun tahun, keberhasilan sekolah dinilai dari angka kelulusan, nilai rata rata, dan peringkat. Penekanan yang kuat pada angka mendorong praktik bantuan yang tidak semestinya dalam ujian. Kejujuran dalam ujian lalu dianggap sebagai tindakan yang mempermalukan sekolah jika angka menjadi merosot. Orang pintar yang membangun sistem penilaian ketat bisa jadi disingkirkan pelan pelan, karena dianggap merusak citra.
Semua faktor itu membentuk medan sosial yang membuat kejujuran dan kepintaran tidak selalu menguntungkan. Namun, apakah itu berarti orang pintar dan jujur pasti tidak bisa hidup baik di negeri ini Jawabannya perlu nuansa. Ada banyak guru, dosen, dan kepala sekolah yang tetap teguh dan tetap hidup baik. Mereka mampu bertahan karena beberapa hal. Dukungan komunitas yang kuat, kepemimpinan sekolah yang berpihak pada integritas, akses terhadap jejaring profesional, dan kemampuan bernegosiasi tanpa mengorbankan nilai, semua itu bisa menjadi perisai. Artinya persoalan kita bukan hukum alam yang tidak dapat diubah, melainkan soal tata kelola, budaya, dan insentif yang dapat dibenahi.
Untuk memahami mengapa keadaan yang membuat orang jujur menjadi sulit bertahan bisa muncul, kita dapat meminjam sudut pandang ekonomi politik. Dalam sudut pandang ini, kebijakan publik tidak pernah netral. Ia lahir dari tarik menarik kepentingan berbagai pihak. Pendidikan membawa anggaran besar, menyentuh banyak orang, dan memberi kuasa pada pejabat publik untuk menetapkan prioritas. Di ruang gelap yang tercipta di antara ideal dan praktik, peluang penyimpangan tumbuh. Misalnya, pengadaan sarana belajar, penunjukan penyedia pelatihan, atau penugasan proyek sekolah. Di sini kejujuran seorang individu sering berhadapan dengan arus kuat yang menuntut kompromi. Tanpa pelindung institusional, ia mudah terseret.
Di level sekolah, hubungan kuasa juga nyata. Kepala sekolah memiliki kewenangan untuk menilai kinerja, membagi beban mengajar, menentukan siapa yang boleh mengikuti pelatihan, dan mengusulkan promosi. Jika budaya kenal dekat lebih kuat dari budaya kinerja, maka kesetiaan personal mengalahkan prestasi. Orang jujur yang menyuarakan keberatan terhadap praktik keliru mungkin dianggap mengancam. Jalan yang sering diambil untuk meredakan ancaman adalah memindahkan orang itu. Tindakan pemindahan lalu diberi alasan administratif umum agar tampak wajar.
Namun, mekanisme seperti ini hanya bisa bertahan jika ada banyak orang yang memilih diam. Diam karena takut, karena merasa tidak punya saluran, atau karena yakin sindiran akan berbalik menjadi bumerang. Diam juga bisa terjadi karena kelelahan. Ketika hari hari dihabiskan untuk mengisi formulir yang tidak berguna, menyusun laporan untuk memuaskan format, dan memenuhi permintaan berulang yang tidak terkait pembelajaran, semangat berinovasi menurun. Di saat seperti itu, kepintaran tidak mendapat ruang tumbuh, dan kejujuran terasa seperti beban.
Dampak keadaan ini sangat luas. Pertama, siswa belajar pesan yang salah. Mereka melihat bahwa angka bisa lebih penting dari proses, koneksi lebih menentukan dari prestasi, dan kejujuran bisa dihukum. Pesan ini bertahan lama hingga mereka dewasa. Kedua, profesi guru kehilangan daya tarik. Anak muda yang cerdas dan berintegritas mungkin enggan masuk dunia pendidikan karena khawatir akan terjebak dalam kultur yang tidak sejalan dengan hati nurani. Ketiga, sekolah menjadi kering dari inovasi. Guru yang kreatif memilih diam, atau pindah profesi, atau hanya bekerja sekadarnya. Keempat, publik kehilangan kepercayaan. Orang tua murid menjadi sinis terhadap kebijakan dan layanan sekolah, meski sebenarnya ada banyak pelaku baik di dalamnya.
Meskipun demikian, tidak adil jika kita menimpakan kesalahan hanya pada individu yang kebetulan memegang kuasa. Hal yang perlu dilihat adalah sistem pengawasan dan insentif. Transparansi anggaran sekolah, partisipasi orang tua dalam perencanaan, audit yang independen, penilaian kinerja berbasis bukti, serta perlindungan bagi pelapor pelanggaran adalah unsur penting untuk mengubah arus. Jika unsur unsur ini hadir, orang jujur tidak lagi menjadi minoritas yang terasing, melainkan menjadi bagian dari arus utama.
Di sisi lain, kualitas pendidikan guru di kampus juga penting. Banyak program pendidikan guru masih menekankan teori tanpa pengalaman praktis yang memadai di kelas real. Mahasiswa calon guru perlu dibekali kemampuan mengelola kelas, merancang penilaian autentik, serta berkomunikasi dengan orang tua murid. Mereka juga perlu pengetahuan literasi keuangan sekolah, etik profesi, dan hukum administrasi publik dasar. Dengan bekal itu, guru muda akan lebih siap menghadapi tekanan struktural dan lebih cakap membangun argumen ketika menolak praktik yang tidak sesuai.
Penguatan organisasi profesi juga krusial. Organisasi profesi yang sehat dapat menjadi tameng bagi guru guru jujur ketika menghadapi tekanan. Organisasi demikian seharusnya tidak hanya menjadi tempat berkumpul, melainkan juga pusat pembelajaran berkelanjutan, layanan bantuan hukum, dan ruang untuk merancang standar etik yang jelas. Jika organisasi profesi berani menyatakan dukungan terbuka pada anggotanya yang berintegritas, kultur akan bergeser. Kepala sekolah dan pejabat dinas pun akan berhitung ulang untuk menekan guru yang jujur.
Digitalisasi layanan pendidikan membuka peluang perbaikan. Sistem informasi manajemen sekolah yang baik dapat mengurangi ruang abu abu dalam pengelolaan anggaran, pengadaan, dan penilaian. Rekam jejak transaksi yang rapi menutup kesempatan rekayasa dokumen. Penilaian siswa yang terdokumentasi dengan baik memudahkan supervisi akademik dan mengurangi tekanan untuk memanipulasi nilai. Namun digitalisasi tidak otomatis menyelesaikan masalah jika tidak disertai perubahan budaya. Data bisa dipalsukan jika tidak ada audit dan partisipasi publik. Karena itu, literasi data untuk guru, kepala sekolah, dan komite sekolah mutlak diperlukan.
Mari bayangkan sebuah perubahan yang bertumpu pada tiga pilar. Pilar pertama ialah tata kelola yang transparan. Sekolah membuat rencana kerja dan anggaran yang dapat diakses orang tua murid, guru, dan publik. Semua pengadaan diumumkan terbuka, semua penerimaan dicatat rinci, semua belanja dilaporkan. Komite sekolah dilibatkan dalam perencanaan dan pengawasan. Dengan begitu, beban menjaga kejujuran tidak lagi ditanggung sendirian oleh individu, melainkan menjadi norma bersama.
Pilar kedua ialah meritokrasi yang nyata. Promosi jabatan kepala sekolah atau pengawas diselenggarakan berdasarkan portofolio kinerja yang terukur dan diverifikasi pihak independen. Guru guru berprestasi memperoleh kesempatan pelatihan dan kenaikan pangkat. Di sini, indikator kinerja tidak boleh hanya berupa tumpukan berkas. Indikator harus menyentuh inti pembelajaran. Apakah siswa semakin kritis, apakah praktik membaca di sekolah meningkat, bagaimana tingkat kehadiran, bagaimana tindak lanjut terhadap siswa yang tertinggal, hal hal seperti itu perlu menjadi fokus.
Pilar ketiga ialah perlindungan bagi pelapor. Banyak orang tahu praktik menyimpang, tetapi diam karena takut. Ketakutan itu hanya dapat diatasi dengan mekanisme pelaporan yang aman, adanya pendampingan, serta jaminan tidak ada pembalasan. Dalam dunia pendidikan, lembaga pengawas internal dan eksternal perlu memiliki kanal yang mudah diakses. Guru atau orang tua murid yang melapor harus mendapat umpan balik yang jelas. Sanksi bagi pelaku penekanan terhadap pelapor perlu tegas. Saat pelaporan menjadi hal lazim dan aman, kejujuran mendapat ruang untuk tumbuh.
Apa yang dapat dilakukan oleh individu yang ingin tetap jujur dan hidup baik Satu, kembangkan kecakapan negosiasi. Jujur bukan berarti kaku. Banyak konflik administratif dapat diselesaikan melalui dialog yang menghormati wajah semua pihak. Dua, bangun aliansi. Carilah rekan satu nilai di sekolah, di komunitas guru, atau di jejaring profesional. Aliansi memecah kesepian dan memberi dukungan ketika tekanan datang. Tiga, dokumentasikan pekerjaan dengan rapi. Catat keputusan, simpan bukti, simpan pesan resmi. Dokumentasi ini berguna untuk pembelaan jika terjadi perselisihan. Empat, pelajari dasar dasar hukum pendidikan dan keuangan sekolah. Pengetahuan ini memberi landasan kuat saat menolak permintaan yang tidak sesuai aturan. Lima, kelola kesejahteraan personal. Pastikan ada perencanaan keuangan keluarga, asuransi yang memadai, dan kegiatan yang menjaga kesehatan mental. Orang jujur sering kalah bukan karena argumen, melainkan karena kelelahan.
Kita juga perlu melihat sisi lain dari pernyataan awal. Frasa tidak bisa hidup baik sering dimaknai semata pada ukuran materi. Padahal hidup baik memiliki dimensi yang lebih luas, yakni kehormatan, ketenangan batin, relasi yang sehat, serta rasa manfaat bagi sesama. Banyak pendidik yang memilih tetap jujur karena mereka merasakan makna dari pekerjaannya. Mereka mungkin tidak kaya secara materi, tetapi mereka hidup cukup dan dihormati. Mereka menjadi rujukan moral bagi lingkungan sekitar. Ini juga bagian dari hidup baik. Bukan berarti kita menoleransi kemiskinan atau kesulitan. Maksudnya adalah memperluas imajinasi tentang kesejahteraan agar tidak melulu diukur dari harta.
Tetapi tentu saja, idealisasi tidak boleh menutupi kenyataan. Banyak pendidik yang jujur tetap menghadapi kesulitan yang tidak perlu. Mereka kehilangan kesempatan, mengalami pemindahan sewenang wenang, atau tertekan oleh budaya kerja yang tidak sehat. Karena itu, memperbaiki sistem bukan sekadar pilihan moral, melainkan keharusan demi keberlanjutan kualitas pendidikan. Jika ekosistem pendidikan menjadi tempat yang ramah bagi kejujuran dan kecerdasan, maka lebih banyak talenta terbaik akan tertarik bergabung, bertahan, dan mengabdi.
Di titik ini, muncul pertanyaan praktis. Bagaimana memulai perubahan Mengapa upaya baik kerap kandas Pertama, perubahan memerlukan tonggak yang jelas. Misalnya, mengikat akuntabilitas sekolah pada indikator kesejahteraan siswa, bukan hanya angka ujian. Kedua, perubahan memerlukan pemimpin yang sanggup menyerap kritik. Sekolah yang sehat adalah sekolah yang memperbolehkan warganya berbicara tanpa rasa takut. Ketiga, perubahan memerlukan dukungan publik. Orang tua murid perlu percaya bahwa keterlibatan mereka akan berpengaruh dan dihargai. Keempat, perubahan memerlukan waktu. Kita perlu menerima bahwa budaya yang terbentuk puluhan tahun tidak bisa berganti seketika. Yang penting ada arah yang konsisten.
Contoh kecil yang bisa dilakukan segera adalah memulihkan makna rapat dewan guru. Rapat tidak lagi menjadi ajang membacakan surat dan daftar tugas, melainkan forum untuk mengkaji pembelajaran. Guru mempresentasikan praktik di kelas, rekan rekan memberi masukan, kepala sekolah memfasilitasi refleksi. Jika ada tekanan agar menurunkan standar penilaian demi mengejar citra, forum bersama dapat membahas dampak jangka panjang dan mencari jalan tengah tanpa mengorbankan integritas. Budaya seperti ini melatih sekolah untuk menghadapi konflik secara dewasa.
Contoh kecil lain adalah keterbukaan informasi di papan pengumuman dan situs sekolah. Rencana kegiatan tahunan, rincian sumber pendanaan, daftar pengadaan, dan laporan realisasi dipajang secara berkala. Orang tua murid dan masyarakat dapat menilai, bertanya, dan memberi saran. Keterbukaan membuat praktik menyimpang lebih sulit dilakukan. Di saat yang sama, keterbukaan yang ramah menjadikan publik sebagai mitra, bukan lawan.
Selanjutnya, sekolah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan pengawas akademik yang kompeten. Pengawas ini berkunjung bukan untuk mencari kesalahan administratif, melainkan untuk mendampingi guru memperbaiki pembelajaran. Perjumpaan semacam itu menggeser percakapan dari berkas menuju praktik. Ketika percakapan bergeser, nilai nilai yang dihargai pun ikut bergeser. Orang pintar tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai aset. Orang jujur tidak lagi dianggap keras kepala, melainkan sebagai penyangga marwah sekolah.
Kita juga perlu menengok peran media dan ruang digital. Cerita tentang pendidik yang setia pada kebenaran sering menghangatkan hati publik. Namun cerita tentang penyimpangan juga sering menjadi viral. Dua hal ini bisa diarahkan agar produktif. Media dapat diberi akses pada data yang sudah dianonimkan untuk meliput inovasi pembelajaran. Peneliti dapat menulis ulasan kebijakan berbasis bukti, bukan rumor. Komunitas belajar guru dapat menyebarkan modul dan praktik baik, sehingga standar mutu naik secara alami. Ketika narasi yang beredar di publik menonjolkan nilai, yang bermasalah akan makin sulit berlindung pada kenyamanan lama.
Ada keberatan yang patut ditanggapi. Sebagian orang berpendapat bahwa terlalu banyak kejujuran akan menghambat kelenturan sosial. Di dunia nyata, kata mereka, orang perlu pintar pintar. Bagaimana menanggapi keberatan ini Kita bisa membedakan antara kelenturan yang arif dan kompromi yang mengkhianati tujuan. Kelenturan yang arif terjadi ketika kita menyesuaikan cara agar tujuan mulia tetap tercapai tanpa memutihkan pelanggaran. Misalnya, jika penerapan aturan baru membuat geger, kita bisa menyiapkan masa transisi, pelatihan, dan pendampingan. Itu kelenturan yang sehat. Adapun kompromi yang mengkhianati tujuan terjadi ketika kita membiarkan praktik salah demi menjaga rasa aman jangka pendek, padahal dampak jangka panjangnya merusak. Di sinilah prinsip perlu dijaga. Kejujuran bukan musuh kelenturan. Kejujuran justru landasan agar kelenturan terarah.
Keberatan lain menyatakan bahwa kecerdasan sering membuat orang sombong dan sulit membaur. Karena itu, orang pintar dianggap sulit hidup baik. Anggapan ini tidak selalu benar. Kecerdasan dapat hadir bersama kerendahan hati jika sejak awal dipupuk sebagai alat untuk melayani, bukan untuk membuktikan keunggulan. Dalam lingkungan yang sehat, pendapat kritis ditanggapi sebagai sumbangan, bukan serangan. Tugas pemimpin adalah memastikan iklim yang memelihara kombinasi kecerdasan dan empati. Dengan cara itu, kepintaran tidak menjauhkan, melainkan mendekatkan.
Kita juga perlu merefleksikan makna kata jujur. Jujur bukan hanya tidak berbohong. Jujur berarti berani mengakui keterbatasan, mau memperbaiki kesalahan, dan setia pada bukti. Jujur berarti berani mengatakan kepada orang tua murid bahwa anaknya butuh dukungan tambahan, bukan memaniskan nilai agar semua senang. Jujur berarti menolak memanipulasi data untuk mendapatkan program tambahan, meski tekanan kuat. Jujur adalah sikap yang sulit, tetapi justru karena itulah ia memiliki daya ubah. Jika semakin banyak orang memperagakan kejujuran, standar akan terangkat. Ketika standar terangkat, yang menyimpang makin tampak janggal.
Apakah perubahan ini realistis Jawabnya ya, jika kita memulainya dari ruang yang bisa kita pengaruhi. Kepala sekolah dapat memulai dengan mengumumkan kebijakan keterbukaan dan perlindungan bagi pelapor. Guru dapat memulai dengan memperbaiki penilaian kelas dan mengajak rekan untuk refleksi bersama. Orang tua murid dapat memulai dengan bertanya baik baik tentang rencana sekolah dan menawarkan bantuan. Dinas pendidikan dapat memulai dengan mengubah cara mengevaluasi sekolah, dari sekadar angka menjadi gambaran nyata pengalaman belajar siswa. Akademisi dapat memulai dengan memberi pendampingan berbasis penelitian lapangan. Media dapat memulai dengan memberi panggung pada insan pendidikan yang menjaga nilai.
Jika langkah langkah kecil ini dirajut, kita akan melihat pola. Kejujuran menjadi kebiasaan, kecerdasan menjadi alat memecahkan masalah nyata, dan hidup baik menjadi mungkin tanpa harus mengkhianati diri sendiri. Orang pintar dan jujur tidak lagi dianggap ganjil. Mereka adalah teladan dan tumpuan harapan. Sekolah yang diisi orang orang demikian akan mengirimkan pesan kuat kepada anak anak kita bahwa negeri ini milik semua yang bekerja dengan kepala dan hati.
Pada akhirnya, pernyataan bahwa orang pintar dan jujur tidak bisa hidup baik di Indonesia adalah diagnosis yang lahir dari luka. Ia menangkap sisi gelap yang nyata. Namun ia belum tentu menjadi vonis yang final. Pendidikan memberikan kita kemampuan untuk membayangkan masa depan yang lebih baik dan alat untuk menempuh jalan ke sana. Jika ekosistem pendidikan mampu menata ulang insentif, memperkuat perlindungan, menegakkan meritokrasi, dan menumbuhkan budaya belajar yang sejati, maka kejujuran dan kecerdasan akan menemukan rumahnya. Di rumah itu, hidup baik bukan lagi kemewahan, melainkan buah wajar dari kerja yang bermakna.
Sebelum menutup, izinkan saya menekankan tiga pelajaran. Pertama, nasib orang jujur dan pintar tidak ditentukan oleh watak personal semata, tetapi oleh desain sistem. Karena itu, memperbaiki sistem bukan tugas sampingan, melainkan inti. Kedua, perubahan tidak harus menunggu komando besar. Ia bisa tumbuh dari praktik kecil yang konsisten, yang lalu menular. Ketiga, makna hidup baik perlu diperluas sehingga mencakup kehormatan, relasi sehat, dan rasa manfaat, di samping kecukupan materi. Jika tiga pelajaran ini kita bawa bersama, maka pernyataan di awal dapat berubah menjadi dorongan kolektif untuk membuktikan sebaliknya.
Dengan begitu, kajian ini mengajak kita melihat jauh ke balik cerita cerita pilu tentang guru yang dipindah karena jujur. Cerita itu penting, tetapi ia harus menjadi awal untuk bertanya lebih dalam. Siapa yang membentuk insentif, siapa yang diuntungkan, siapa yang dapat mengubahnya, dan bagaimana melakukannya tanpa menimbulkan luka baru. Pertanyaan pertanyaan ini membawa kita pada kerja panjang yang menuntut kesabaran. Namun melalui kerja panjang itulah pendidikan dapat menjadi ruang yang memuliakan kejujuran dan kecerdasan. Ketika hari itu tiba, orang pintar dan jujur bukan hanya bisa hidup baik, melainkan akan menjadi ukuran hidup baik itu sendiri.


0 Komentar