Rekrutmen ODP Bank: Kenapa Aturannya Terasa Bodoh dan Apa Solusinya?

Kalau kita membicarakan lowongan ODP di bank program yang konon menyiapkan “calon-calon pemimpin” keganjilan paling pertama terasa di pintu masuknya: syarat dan peraturan yang seolah disusun bukan untuk mencari orang terbaik, melainkan untuk memisahkan siapa yang mirip satu sama lain. Ada angka IPK yang sakral, batas usia yang kaku, universitas yang dipuja, tes berlapis yang panjang, pernyataan ketersediaan ditempatkan di mana saja, kontrak ikatan dinas berbulan-bulan, sampai kalimat ambigu seperti “mampu bekerja di bawah tekanan” yang terdengar keren tapi tidak menjelaskan apa-apa. Banyak orang menyebutnya bodoh; bukan karena semua unsur di dalamnya salah total, melainkan karena keterkakuannya sering gagal menangkap kemampuan manusia yang sebenarnya. Tulisan ini mencoba membedahnya dengan kacamata intelektual ekonomi, sosiologi organisasi, psikologi kerja sambil menaburkan metafora yang membumi, supaya orang yang baru pertama kali membaca pun bisa paham tanpa harus jadi akademisi.



Bayangkan seorang pelamar bernama Adi membuka halaman karier bank besar. Di layar ponselnya, ia melihat poster digital yang halus: “Officer Development Program: jalur cepat menuju kepemimpinan.” Lalu turun ke bawah, syarat-syarat itu menyembul seperti pagar tinggi: IPK minimal 3,25; usia maksimal 24 untuk S1, 26 untuk S2; hanya lulusan jurusan tertentu; kemampuan bahasa Inggris dibuktikan sertifikat tertentu; bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia; siap mengikuti pelatihan intensif; sanggup kerja lembur; dan seterusnya. Ia menghela napas. Ia lulus tepat waktu, IPK 3,18, punya pengalaman magang serius, pernah memimpin organisasi kampus, dan membangun komunitas literasi kecil di kampung. Tapi angka 3,18 tidak berubah jadi 3,25 hanya karena ia bersemangat. Temannya, Sari, IPK 3,6, tetapi pemalu, kurang pengalaman memimpin, cepat cemas saat harus berbicara di depan umum. Dalam peraturan yang kaku, Sari berhak lewat, Adi tertahan. Apakah Sari pasti lebih cocok? Belum tentu. Adakah alasan rasional di balik peraturan itu? Ada. Tetapi, apakah cara menerjemahkan alasan rasional itu ke daftar syarat layaknya palang pintu tol? Di sinilah problemnya: masuk akal di atas kertas, bisa jadi meleset saat berhadapan dengan manusia.

Dari kacamata ekonomi, sebagian syarat ODP sebetulnya upaya menyaring informasi yang sulit terlihat. Ini yang disebut teori “screening”: perusahaan memakai penanda yang mudah diperiksa IPK, usia, universitas sebagai proksi bagi sifat yang tidak mudah diukur, seperti disiplin, kapasitas belajar, atau ketahanan. Bank, sebagai lembaga yang bekerja dengan risiko terukur, ingin “mengurangi ketidakpastian” di hulu rekrutmen. Mengukur semua hal yang penting rasanya mustahil dan mahal. Maka digunakanlah filter sederhana. Masalahnya begini: saringan itu seperti saringan teh dengan diameter lubang yang kebetulan cocok untuk daun teh ukuran tertentu. Daun yang lebih besar tertahan bukan karena tak enak, melainkan karena kebetulan ukuran lubangnya tidak cocok. Beberapa orang brilian ber-IPK 3,18 tersangkut, sementara sebagian yang ber-IPK 3,6 melenggang. Bukan karena yang pertama inferior, melainkan karena saringan memihak kepada ukuran yang mudah dihitung, bukan rasa sebenarnya.

Dipandang dari sosiologi organisasi, ada gejala lain: kemiripan antarbank dalam menulis peraturan lowongan bukan kebetulan. Ini efek “penyeragaman kelembagaan”: organisasi meniru praktik yang dianggap sahih di industri supaya terlihat kredibel. Bila bank A membuat ODP dengan syarat X, bank B merasa aman menyalin pola yang sama. Keamanannya bukan karena X pasti benar, melainkan karena seandainya keliru, semua keliru bersama-sama. Jadilah festival seragam: daftar syarat bak copy-paste, spidolnya hanya ganti warna. Seperti swalayan yang menata rak-rak mi instan dengan susunan sama, sehingga pelanggan merasa “ya begini standar toko yang modern”. Kesan modern ini punya harga: kita lupa bertanya, apakah susunan itu memang memudahkan pembeli, atau memudahkan kasir menghitung stok?

Bank juga hidup dari reputasi prudensial. Mereka harus berhati-hati bukan saja pada kredit macet, tetapi juga “macet” dalam pipeline talenta: orang yang masuk salah jurusan, salah motivasi, salah ekspektasi. Peraturan ketat dianggap semacam pagar seng keliling proyek: bikin jelek pemandangan, tetapi menjaga area tidak dimasuki orang yang salah. Namun pagar seng yang terlalu tinggi juga menutup sinar matahari, tanaman di dalamnya tumbuh pucat. Kita bisa menertawakan betapa bodohnya pagar yang tak tembus pandang, tetapi manajer proyek akan menjawab: “tanpa pagar, risiko masuknya pedagang asongan dan pencuri meningkat.” Perdebatan ini bukan antara pintar dan bodoh, melainkan antara kenyamanan jangka pendek dalam mengelola risiko dengan kualitas jangka panjang dalam membangun keragaman.

Pertanyaan berikut: mengapa IPK dan usia menjadi simbol utama? Karena keduanya adalah angka yang cepat diverifikasi. Dalam ujian massal yang pesertanya ribuan, angka adalah jalan tol. Tetapi angka adalah peta, bukan wilayah. IPK yang tinggi bisa berarti rajin, bisa juga hanya paham cara mengejar nilai. Usia muda bisa berarti energi melimpah, bisa juga pengalaman terbatas. Peta berguna untuk berangkat, tetapi orang yang tinggal di kampung tahu: ada jalan tikus yang tidak tertulis di peta, bahkan lebih cepat dan teduh. Peraturan ODP sering mengabaikan jalan tikus itu. Orang yang pernah bekerja paruh waktu di bengkel ayahnya, mengelola arus kas kecil, menenangkan pelanggan marah, mungkin punya bakat manajemen risiko mikro yang tak kalah dari asisten dosen statistik. Tetapi ceklis rekrutmen tidak punya kolom “pernah menenangkan pelanggan yang marah sambil menghitung uang receh”.

Sekarang mari bicara mengenai tes berlapis. Banyak bank memandang ODP sebagai jalur komando: mereka ingin “melihat” ketangguhan mental, daya analitis, kepemimpinan. Maka dibuatlah rangkaian seleksi: psikotes, tes logika, studi kasus, diskusi kelompok, presentasi, wawancara panel. Di atas kertas, ini seperti lari maraton dengan checkpoint, siapa yang berhasil konsisten akan sampai finish. Dalam praktik, rangkaian itu sering jadi lomba daya tahan tanpa relevansi nyata. Tes logika yang memeriksa “aturan angka ajaib” bisa menyaring orang yang cepat mengenali pola sederhana, tetapi pekerjaan di cabang bank yang rawan fraud membutuhkan kepekaan sosial, bukan tebak-tebakan deret. Diskusi kelompok memamerkan siapa yang paling lantang, bukan selalu siapa yang paling tajam membaca risiko reputasi. Presentasi 10 menit di depan panel menilai retorika, padahal banyak peran perbankan mengharuskan kemampuan mendengarkan yang sabar, seperti agronom yang memeriksa kesuburan tanah, bukan badut yang memikat penonton.

Lalu ikatan dinas. Ini sering jadi sumber umpatan. Dari perspektif bank, logikanya rapi: mereka menanam biaya pelatihan, maka ada “clawback” bila peserta kabur. Tapi ada kesalahan desain yang sering tidak disadari: ikatan dinas memperlakukan semua peserta sebagai investasi homogen, padahal nilai tambah tiap individu berbeda. Ikatan dinas yang terlalu panjang mengirim sinyal sinis: “Kami kurang percaya pengalaman pelatihan kami akan membuatmu betah, jadi kami kunci saja.” Itu seperti menyajikan sup yang enak lalu menyuruh tamu menghabiskan seluruh panci sambil mengikat tangannya di kursi, katanya demi “menghargai koki”. Bila sup enak, tamu akan balik lagi tanpa diikat. Bila program ODP benar-benar menumbuhkan, orang akan bertahan bahkan tanpa borgol administratif. Ikatan yang wajar bisa dimengerti; ikatan yang berlebihan menunjukkan rasa aman palsu.

Peraturan penempatan di mana saja juga menarik. Bank nasional harus hadir di berbagai daerah; mobilitas adalah syarat objektif. Namun cara menguji kesiapan mobilitas sering kekanak-kanakan: satu kotak dicentang “bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia”. Itu seperti menanyakan pada remaja: “kamu siap mengurus bayi?” lalu menganggap jawaban “siap” sama bobotnya dengan pengalaman lima malam begadang mengganti popok. Kesiapan tidak lahir dari deklarasi, melainkan dari simulasi realistis. Orang perlu tahu seperti apa bekerja di kota kecil yang jauh dari orang tua, berapa biaya hidup, bagaimana akses kesehatan, bagaimana sekolah anak, bagaimana koneksi internet. Kesiapan adalah campuran informasi dan motivasi. Formulir hanya menyentuh motivasi deklaratif, bukan pemahaman yang matang.

Aspek lain yang sering membuat orang menggerutu adalah siluet kandidat ideal yang tak dinyatakan: tinggi badan proporsional, rapi bak model majalah, gaya bicara standar urban, hobi yang terdengar “profesional”. Di diskusi kelompok, yang bicara dengan logat daerah kerap diasumsikan kurang pintar. Ini bukan tertulis sebagai syarat, tetapi merayapi ruang-ruang penilaian. Organisasi suka menyangka ia menilai “kompetensi”, padahal yang dinilai adalah “kemiripan”. Pabrik seragam menyukai manusia-seragam. Padahal bank, untuk bertahan di dunia digital yang liar, justru membutuhkan campuran orang yang mahir menjahit, melukis, memperbaiki mesin, dan—ya—menghitung bunga. Seragam memudahkan apel pagi, tetapi tidak otomatis memudahkan inovasi siang hari.

Mari kita pakai metafora akuarium. Bank adalah akuarium besar yang airnya harus bening: ada aturan, tata kelola, audit. ODP adalah cara memasukkan ikan baru ke akuarium. Peraturan lowongan menjadi filter air masuk: memastikan tidak ada lumpur, bakteri, atau predator. Filter penting. Tetapi bila lubang filternya terlalu kecil, plankton yang justru menjadi makanan ikan ikut tersaring. Akuarium tampak bening, tetapi ekosistemnya miskin. Ikan terlihat sehat dua minggu, lalu kelaparan. Itulah bank yang berhasil merekrut orang yang tampak seragam dan “aman”, tetapi kemudian bingung mencari ide segar. Airnya jernih, ekosistemnya lapar.

Dari sisi psikologi kerja, ada paradoks menarik. Perusahaan sering berkata “mencari growth mindset,” tetapi peraturan lowongan menyukai fixed metric: IPK, usia, sertifikat. Pertumbuhan berarti kemampuan memperbaiki diri lewat umpan balik, ketangguhan menghadapi kegagalan, kemauan belajar lintas peran. Sementara angka-angka adalah foto diam. Kita boleh menyukai foto diam untuk memulai percakapan, tetapi jangan melupakan film yang bergerak. Pelamar seperti Adi yang membangun komunitas literasi, mengelola kas kecil, bernegosiasi dengan tetangga, sedang menayangkan film tentang cara ia belajar dan beradaptasi. Peraturan yang hanya memandang foto IPK bisa meloloskan orang yang fotogenik tetapi canggung saat disuruh bergerak.

Apakah berarti peraturan itu harus dibuang? Tidak sesederhana itu. Bank berhadapan dengan risiko riil: kepatuhan, kerahasiaan, integritas. Mereka perlu standar minimum demi menjaga kepercayaan publik. Tetapi “standar minimum” bukan alasan untuk menutup jalan alternatif menuju “standar yang sama melalui rute berbeda.” IPK tinggi adalah satu rute; pengalaman kerja keras sambil kuliah adalah rute lain. Sertifikat bahasa adalah rute; portofolio menulis atau siaran podcast berbahasa asing bisa jadi rute lain. Peraturan yang cerdas menulis tujuan belajar, bukan sekadar angka gerbang. Kalau tujuan kita adalah literasi finansial yang kokoh, mengapa bukan itu yang diuji langsung, misalnya dengan simulasi yang mengundang kandidat menjelaskan produk ke pedagang pasar, ketimbang menanyakan “apa arti duration pada obligasi” di kertas pilihan ganda?

Kita geser ke metafora kebun mangga. Petani kadang memanen mangga saat belum terlalu matang agar tahan di perjalanan. ODP sering memanen orang yang paling muda, paling “segar” di atas kertas, supaya gampang dibentuk dan tahan lama di perusahaan. Namun mangga yang terlalu muda rasanya masam. Petani bijak akan memadukan panen: sebagian muda, sebagian matang pohon, supaya pasar menikmati rasa yang berlapis. Demikian pula tim ODP: campuran fresh graduate dan kandidat yang punya dua atau tiga tahun pengalaman lapangan justru membuat proses belajar saling silang. Yang muda membawa energi, yang berpengalaman membawa insting. Peraturan yang mencoret otomatis pelamar berusia 27 hanya karena ia pernah cuti kuliah dua tahun untuk merawat orang tua adalah peraturan yang lupa rasa manis mangga matang pohon.

Ada juga persoalan kejujuran informasi. Lowongan jarang transparan soal gaji, struktur bonus, jam kerja nyata, metrik evaluasi, dan jalur karier realistis. Ikhtisar yang disajikan manis: “eksposur ke pimpinan, rotasi lintas fungsi, impact.” Di meja, yang disajikan sirup, sementara yang diminum nanti air putih. Kandidat masuk dengan ekspektasi melambung, lalu mendarat di pekerjaan rutin yang penting tapi membosankan. Frustrasi terjadi bukan karena pekerjaan jelek, melainkan karena jarak antara janji dan kenyataan. Kejujuran sejak awal adalah vaksin terhadap sinisme. Bank sering takut mengungkap jam kerja yang panjang atau target yang keras, khawatir menurunkan minat pelamar. Padahal, orang yang pergi karena jujur lebih murah daripada orang yang masuk karena ilusi lalu keluar setelah setahun dengan rasa pahit. Transparansi bukan kelemahan; itu alat seleksi alami yang elegan.

Sekarang kita telusuri dampaknya pada organisasi. Peraturan yang menyukai kemiripan menghasilkan kelompok lulusan ODP yang rapi, sopan, mampu menyusun deck presentasi, tetapi sering kikuk berkolaborasi dengan tim teknologi atau analitik yang gaya komunikasinya langsung, bercampur jargon. Ketika bank mau meluncurkan produk digital, terjadi kebuntuan kecil: tim bisnis ingin pitch deck yang enak dibaca komisaris, tim rekayasa ingin spesifikasi yang terukur. ODP yang dilatih kuat di jalur presentasi, mungkin jago di forum formal tetapi gelagapan di kanal kerja asinkron yang menuntut kejelasan teknis. Ini bukan salah ODP sebagai individu; ini konsekuensi kurasi awal yang menonjolkan retorika lebih dari lintas bahasa profesional. Bila peraturan lowongan tidak memberi ruang bagi orang yang pernah membangun bot kecil di rumah atau mengelola spreadsheet jorok untuk UMKM, organisasi kehilangan jembatan antarbahasa.

Rasa bodoh pada peraturan ODP juga muncul karena efek samping pada pelamar: orang belajar “bermain game” ketimbang mengembangkan kompetensi. Muncul kurus kilat untuk tes psikometrik, bimbel interview yang menjual template jawaban, kursus speaking yang melatih senyum enam belas derajat. Bukannya mengasah kepekaan pada risiko pinjaman mikro, pelamar sibuk menghafal cara memegang spidol saat presentasi. Sistem mendorong apa yang bisa diukur, sehingga yang diasah adalah kulit, bukan buah. Ketika orang masuk, mereka perlu waktu lama mengupas kulit itu lagi untuk menemukan dagingnya. Ini inefisiensi murni.

Di titik ini, mari kita jujur: tak semua peraturan tolol. Ada syarat yang memang wajib: integritas, rekam jejak bersih, kemampuan numerik dasar, disiplin, dan komitmen pada layanan. Tetapi cara memeriksa itu bisa dibikin lebih cerdas dan manusiawi. Integritas, misalnya, lebih baik diuji lewat simulasi dilema etis, apa yang dilakukan kandidat saat atasan memintanya “memoles” angka ketimbang sekadar memaksa tanda tangan di formulir “saya berintegritas”. Kemampuan numerik bisa dilihat dari bagaimana kandidat membaca laporan sederhana dan menarik risiko, bukan dari soal deret angka yang tak pernah muncul di meja kerja. Disiplin terpotret dari konsistensi menyelesaikan tugas kecil dalam waktu terbatas, bukan dari berapa lama ia sanggup duduk di ruang tes tanpa minum.

Kita tambahkan metafora kopi. Barista yang baik memilih biji, mengatur gilingan, memperhatikan suhu, menyelaraskan ekstraksi. Kalau gilingan terlalu halus, air sulit lewat, kopi over-extracted, rasanya pahit. Kalau terlalu kasar, rasanya hambar. Peraturan lowongan adalah pengaturan gilingan. Selama ini banyak bank menggiling terlalu halus syarat terlalu rapat, sehingga yang lolos tampak “pekat” di atas kertas, tetapi rasa sebenarnya pahit dan berat. Gilingan yang pas, bukan longgar tanpa arah, melainkan tepat pada tujuan akan menghasilkan cangkir yang seimbang: ada keasaman yang segar (curiosity), ada body yang kuat (ketahanan), dan ada aftertaste yang manis (etik kerja). Ekstraksi yang baik tidak diukur dari seberapa lama air ditahan, melainkan dari kecocokan antara biji, gilingan, dan suhu. Demikian pula seleksi: bukan jumlah layer tes, melainkan ketepatan alat terhadap tujuan.

Bagaimana dengan argumen biaya? Menilai manusia secara kaya itu mahal. Benar. Tetapi mahal di awal belum tentu lebih mahal daripada turnover tinggi dan kinerja datar di hilir. Biaya “false negative” menolak talenta yang kemudian bersinar di tempat lain, sulit dihitung tetapi nyata. Bank yang serius menghitung risiko kredit seharusnya juga mampu membangun model kasar tentang risiko bakat. Mengganti satu lulusan ODP yang keluar di tahun kedua bisa setara biaya pelatihan satu batch kecil. Investasi di seleksi yang lebih bermakna, misalnya tugas rumah berbasis masalah nyata, wawancara perilaku yang dirancang baik, permainan peran dengan aktor klien, memotong keborosan retorika dan mempertebal peluang menemukan “intan yang belum diasah”.

Ada sisi keadilan sosial yang tak boleh dilupakan. Peraturan yang tampak netral sering memberi keunggulan pada mereka yang sejak awal punya privilese: universitas favorit, bimbingan bahasa, akses kursus, jaringan keluarga. ODP, kalau dirancang asal, menjadi mesin pelestari ketimpangan: bank merekrut mereka yang paling mirip dengan bankir yang sudah ada, lalu menguatkan narasi bahwa “yang terbaik memang datang dari sini.” Padahal, di luar pagar kampus bergengsi, ada anak-anak yang pandai bernegosiasi harga gabah, cermat menghitung ongkos solar, dan sigap menilai karakter pembeli, semua kompetensi yang relevan untuk kredit mikro. Metafora pasar tradisional membantu kita melihat ini: orang yang jago bertahan di pasar yang keras biasanya punya intuisi risiko yang sulit dibeli di kelas. Peraturan yang menutup pintu bagi mereka karena IPK 2,98 atau karena usia 27 adalah peraturan yang membuang kasir terbaik hanya karena seragamnya bukan putih-abu.

Apakah bank akan berantakan bila semua peraturan dilonggarkan? Tidak harus. Syarat minimum bisa dipertahankan, tetapi dengan jalur alternatif yang diakui setara. Misalnya, IPK minimal 3,25 atau bila di bawah itu bukti capaian praktis yang kuat: portofolio proyek social commerce, leter of recommendation yang merinci kontribusi di UMKM, atau hasil studi kasus yang “hidup” menunjukkan intuisi bisnis. Batas usia bisa tetap menjadi panduan, tetapi dengan pengecualian wajar bagi mereka yang punya jeda karier karena alasan perawatan keluarga atau kerja informal yang relevan. Sertifikat bahasa bisa dilengkapi dengan penilaian produksi bahasa nyata: minta kandidat membuat video penjelasan produk tabungan anak untuk orang tua di desa. Kita tidak sedang menurunkan standar; kita sedang mengubah cara mengukur agar tepat sasaran.

Sebagian orang akan bertanya, “Kalau terlalu fleksibel, nanti bias penilai makin besar dong?” Inilah gunanya desain penilaian yang serius: rubrik eksplisit, pelatih penilai, kalibrasi antar-asesor, dan penggunaan lebih dari satu contoh perilaku. Bias tidak hilang hanya karena angka tampak objektif; angka pun bisa bias bila dipakai sebagai selubung untuk selera. Transparansi proses—menjelaskan kepada pelamar apa yang dinilai, contoh perilaku yang diharapkan, dan alasan keputusan—adalah cahaya yang membuat jamur bias sulit tumbuh.

Kita kembali ke Adi dan Sari. Dalam sistem yang lebih cerdas, Sari yang ber-IPK tinggi dan retorika baik tetap punya peluang besar, tetapi ia tidak lagi menang hanya karena cocok dengan template. Ia harus menunjukkan bagaimana ia menghadapi nasabah yang menuntut restitusi, bagaimana ia memperbaiki kesalahan data, bagaimana ia berkolaborasi dengan analis teknologi. Sementara Adi tidak otomatis tersingkir oleh angka; ia mendapatkan kesempatan membuktikan cara berpikirnya lewat studi kasus yang meniru realita, bukan teka-teki angka abstrak. Bila ternyata Sari lebih unggul, keputusan terasa adil. Bila Adi bersinar karena kejeliannya membaca risiko kredit di pasar basah, keputusan terasa masuk akal. Orang yang kalah pun bisa menerima karena medan pertandingannya wajar.

Tidak ada organisasi besar yang kebal dari dorongan menyederhanakan hal yang kompleks. Manusia adalah mosaik, bukan barcode. Peraturan lowongan yang sekarang sering memperlakukan manusia sebagai barcode—pindai, cocokkan, lolos. Barcode cepat, tetapi mosaiklah yang memberi kita gambar utuh. ODP sebagai jalur pembibitan pemimpin seharusnya tidak puas dengan barcode. Ia perlu memandang komposisi warna, tekstur, celah-celah kecil yang membuat satu batu bata unik. Bank berada di industri kepercayaan; kepercayaan publik terbangun bukan hanya dari neraca yang sehat, tapi juga dari cara bank memperlakukan manusia sejak gerbang rekrutmen.

Pada akhirnya, menyebut peraturan itu bodoh adalah cara marah yang bisa dimengerti. Namun di balik amarah ada undangan untuk berpikir lebih halus. Kita bisa mengganti amarah dengan desain. Bukannya merobohkan pagar, kita menambah pintu dan membuat papan petunjuk yang jelas. Bukannya mengecilkan lubang filter, kita menakar ulang sambil menambahkan lapisan yang justru menangkap yang baik. Bukannya memperbanyak lapisan tes yang membuat lelah, kita menciptakan sedikit momen yang benar-benar bermakna. Bukannya menyembunyikan yang pahit, kita jujur sejak awal sehingga orang datang dengan harapan yang tepat.

Jika ODP adalah kapal yang membawa generasi baru bankir ke lautan perubahan, maka peraturan lowongan adalah dermaganya. Dermaga yang baik tidak hanya kuat, tetapi juga ramah: papan pijakan tidak licin, jarak dengan lambung kapal pas, ada lampu yang menuntun kapal mendekat malam hari. Dermaga yang buruk membuat kapal yang baik sulit merapat. Bank-bank yang ingin bertahan di arus digital, iklim regulasi yang ketat, dan selera nasabah yang cepat berubah, perlu dermaga yang lebih pintar. Bukan dermaga yang mewah, melainkan dermaga yang menyambut aneka kapal, dari perahu nelayan yang kecil sampai kapal penumpang yang besar.


Dan pada saat kita bertanya lagi, “Mengapa peraturan lowongan ODP terasa bodoh?”, mungkin jawaban paling jujur adalah: karena peraturan yang terlalu lama dibiarkan berjalan sendiri tanpa melihat manusia nyata yang melaluinya. Seperti mesin fotokopi yang terus menyalin halaman yang sama sampai tinta habis, tanpa sadar bahwa zaman sudah menulis bab baru. Sudah saatnya berhenti menyalin. Saatnya menulis ulang dengan akal sehat, dengan empati, dan dengan keberanian untuk merangkul jalan yang tidak selalu lurus, tetapi mengantar kita pada tujuan yang lebih benar. Jika kita bisa melakukan itu, maka kata “bodoh” akan kehabisan amunisi. Yang tersisa adalah kebijakan yang layak diikuti, karena ia mengerti manusia yang hendak dilayani.

Posting Komentar

0 Komentar