Kepada PNS "Kue di Piringmu Tidak Mengecil"

Ada satu suasana batin yang sering muncul ketika kabar tentang aturan baru beredar. Sebagian aparatur negara merasa resah saat mendengar rencana perubahan status untuk saudara saudari kita yang berstatus P3K. Ada kekhawatiran bahwa status itu akan segera setara dengan PNS. Ada suara hati yang berbisik bahwa ini tidak adil. Ada pula yang mempertanyakan asal rezeki dan pembagian gaji seolah semua itu diambil dari piring pribadi. Dalam suasana semacam ini kita perlu duduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menimbang dengan tenang. Apakah yang sebenarnya sedang bergolak di dalam dada. Apakah persoalannya mengenai keadilan kebijakan. Atau jangan jangan yang tumbuh diam diam adalah rasa iri. Kajian ini hendak mengajak kita melihat persoalan dengan cahaya syariat dan akal sehat yang sederhana. Bahasa yang mudah dicerna. Contoh yang dekat. Dan doa yang menyejukkan.

Pertama kita perlu memahami bahwa rezeki bukan semata angka dalam daftar gaji. Rezeki adalah anugerah Allah yang datang dalam banyak rupa. Ada angka rupiah. Ada kesehatan. Ada waktu luang yang berkualitas. Ada ilmu. Ada keluarga yang menentramkan. Ada kesempatan untuk berbuat baik. Allah berfirman bahwa di langit ada rezeki kalian dan apa yang dijanjikan kepada kalian. Ayat ini memberi arah yang jelas bahwa sumber rezeki bukan manusia. Bukan atasan. Bukan rekan kerja. Bukan status dalam struktur birokrasi. Sumbernya adalah Allah. Manusia hanya menjadi perantara. Lembaga hanya menjadi saluran. Mekanisme negara hanya menjadi alat. Bila sumbernya satu maka bergaduh memperebutkan saluran tidak akan memperbanyak aliran. Yang perlu diperkuat adalah keyakinan bahwa Allah membagi dengan adil. Tugas kita adalah menjemput bagian yang halal dengan cara yang diridhai.

Bayangkan negara sebagai sebuah dapur yang besar. Di dalamnya ada resep. Ada koki. Ada alat ukur. Ada lemari bahan. Dapur yang baik tidak memasak hanya untuk satu orang. Dapur itu memasak untuk seluruh rumah. Kue yang dihasilkan lalu dipotong dengan aturan. Ada irisan untuk PNS. Ada irisan untuk P3K. Ada juga irisan untuk yang bekerja di ranah lain. Ketika aturan irisan berubah kita sering merasa porsi di piring kita akan mengecil. Perasaan ini wajar sebagai reaksi spontan. Namun jika kita telusuri perlahan ternyata porsi di piring tidak otomatis berkurang hanya karena tetangga mendapat kue yang tampak lebih manis. Yang sering berkurang justru rasa lapang di hati. Kue pada piring masih sama. Tetapi karena pandangan tertuju pada piring orang lain maka rasa syukur tiba tiba hambar. Jika kita ubah arah pandang kembali kepada pemberi rezeki maka rasa lapang itu pulih. Bahkan hasrat untuk berbagi menjadi lebih kuat.

Ada juga metafora lain yang membantu. Rezeki laksana air yang mengalir dari satu sumber yang jernih. Air itu menempuh banyak pipa dan keran. Ada pipa menuju rumah PNS. Ada pipa menuju rumah P3K. Ada pipa menuju rumah pekerja swasta. Ada pula pipa menuju rumah petani dan pelaku usaha kecil. Kita sering sibuk menilai pipa. Padahal jernih tidaknya air ditentukan oleh sumbernya. Bila sumbernya suci maka airnya menyehatkan. Bila hati kita percaya kepada sumber yang Maha Kaya maka iri kepada pipa lain akan memudar. Kita akan sibuk memastikan pipa di rumah sendiri bersih dan tidak bocor. Itu artinya kita bersungguh sungguh menjaga amanah. Kita menutup kebocoran berupa kemalasan. Kita mengencangkan sambungan berupa profesionalitas. Kita mengganti segel berupa integritas. Di saat seperti itu rasa iri kehilangan tempat karena seluruh tenaga sudah diarahkan untuk memperbaiki saluran pribadi agar layak bagi aliran rahmat.

Islam sangat jelas menuntun urusan ini. Allah melarang kita iri terhadap karunia yang Allah berikan kepada sebagian yang lain. Larangan ini bukan sekadar nasihat moral. Ini panduan untuk menjaga kesehatan jiwa dan kesehatan sosial. Iri membuat hati perih. Iri mendorong prasangka. Iri menggiring lidah pada olok olok. Iri memecah keutuhan barisan pelayanan. Sebaliknya Allah juga memerintahkan adil dan ihsan. Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ihsan berarti melampaui sekadar adil dengan keindahan budi dan kemurahan hati. Dalam debat publik kita boleh mempertanyakan kebijakan. Kita boleh mengajukan usul perbaikan. Kita boleh menganalisis dampak. Itu wilayah adil. Namun kita tidak boleh menumbuhkan kebencian kepada saudara seprofesi yang juga lulus tes dan mengabdi di tempat yang sama. Itu wilayah ihsan. Ia memerintahkan kita menahan hasad. Ia mendorong kita untuk mendoakan saudara sesama abdi negara agar kuat memikul amanah.

Pada tahap ini ada baiknya kita membedakan hasad dan ghibtah. Hasad adalah keinginan agar nikmat yang ada pada orang lain hilang. Ini penyakit hati. Ia membawa kerusakan. Ghibtah adalah keinginan untuk ikut memiliki kebaikan yang dimiliki orang lain tanpa berharap kebaikan itu hilang dari dirinya. Ini perasaan yang boleh bahkan bisa menjadi bahan bakar untuk belajar dan meningkatkan kompetensi. Ketika ada saudara yang naik status lalu kita terdorong untuk memperbaiki diri agar layak mendapat kenaikan yang sama pada waktu yang tepat maka itu ghibtah. Ketika ada saudara yang memperoleh fasilitas dan kita berharap fasilitas itu dicabut agar ada rasa lega maka itu hasad. Bila suara batin condong pada yang kedua maka segeralah memohon perlindungan kepada Allah dan sibuklah mengisi hari dengan amal yang mendatangkan kelapangan.

Sebagian mungkin berkata bahwa kekhawatiran mereka bukan soal iri. Mereka mengaku khawatir pada kualitas layanan. Mereka takut standar turun. Kekhawatiran ini bisa jadi lahir dari kecintaan pada mutu. Agar menjadi berfaedah kekhawatiran semacam ini perlu diarahkan pada jalur yang benar. Alih alih menjatuhkan martabat rekan yang berbeda status lebih baik kita mengusulkan mekanisme peningkatan kapasitas yang jelas. Misalnya pelatihan berjenjang. Uji kompetensi yang transparan. Masa adaptasi yang cukup. Penilaian berkala oleh atasan yang objektif. Penguatan budaya kerja yang bersih dan melayani. Semua usul itu bisa disampaikan dalam forum resmi dengan bahasa yang santun. Dengan demikian kita berdiri di sisi keadilan. Kita menuntut standar bukan memojokkan pribadi. Kita ingin sistem makin rapi bukan hati makin keruh.

Perlu juga diingat bahwa banyak dari saudara kita yang berstatus P3K telah melalui proses seleksi. Mereka menempuh tes. Mereka mengumpulkan pengalaman pelayanan di tempat yang tidak selalu ringan. Ada yang mengajar di sekolah yang jauh dari kota. Ada yang membantu pelayanan kesehatan di daerah yang terbatas fasilitas. Ada yang bekerja di unit administrasi yang beban kerjanya tinggi. Ketika mereka mengajukan harapan untuk mendapat kepastian karier maka yang mereka minta pada dasarnya adalah kejelasan jalur pengabdian. Bila ada celah dalam aturan atau ada kekurangan dalam pelaksanaan maka jalan keluarnya bukan stigma dan cemooh. Jalan keluarnya adalah evaluasi yang jernih. Kita bisa mendorong perbaikan regulasi sambil tetap menghormati orang orang yang bekerja di lapangan.

Di ruang digital kita juga perlu menjaga adab. Al Qur an memperingatkan agar kita tidak saling merendahkan. Agar kita tidak mudah berburuk sangka. Agar kita tidak mencari cari aib. Di masa ketika kabar beredar cepat kita mudah terprovokasi oleh judul yang tajam. Kita tergoda untuk menulis komentar yang panas. Padahal kata kata memiliki jejak dan dampak. Komentar yang mengandung prasangka bisa menusuk jantung orang yang membacanya. Lebih baik kita berhenti sejenak. Bertanya apakah kabar itu telah terverifikasi. Menimbang apakah komentar kita mendatangkan manfaat. Mengganti sinisme dengan usulan. Mengubah caci menjadi saran yang jelas. Dengan begitu diskusi publik tetap bernilai pendidikan. Ia menguatkan masyarakat. Ia membuat para pengambil kebijakan mendengar aspirasi yang matang.

Kita juga penting memahami bahwa kebijakan publik selalu bertemu dengan beragam kepentingan. Ada sisi anggaran negara. Ada sisi kebutuhan layanan. Ada sisi pemerataan. Ada sisi pengembangan sumber daya manusia. Tidak semua sisi akan memuaskan semua pihak dalam waktu bersamaan. Karena itu Allah memerintahkan adil. Adil bukan berarti semua orang mendapat hal yang sama. Adil berarti setiap orang mendapat hak sesuai amanah dan tanggung jawabnya. Ketika prinsip ini dipegang maka perubahan status tidak dipandang sebagai ancaman. Ia dilihat sebagai bagian dari ikhtiar negara memperkuat pelayanan. Tentu saja penegakan standar tetap perlu. Evaluasi tetap berjalan. Kualitas tetap dijaga. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan sikap batin yang bersih dari hasad.

Pada tingkat pribadi ada beberapa latihan batin yang membantu. Pertama melatih syukur. Syukur bukan hanya ucapan. Ia adalah cara memandang hidup. Orang yang bersyukur melihat nikmat kecil sebagai karunia besar. Ia melihat rutinitas sebagai kesempatan. Ia melihat rekan yang maju sebagai pengingat untuk ikut bertumbuh. Kedua melatih sabar. Sabar bukan pasif. Sabar adalah kemampuan mengelola emosi agar tidak meledak pada saat yang salah dan tidak padam pada saat yang tepat. Orang yang sabar tidak tergesa menilai. Ia menahan lidah. Ia memilih waktu yang pas untuk berbicara. Ketiga melatih tawakkal. Tawakkal adalah keyakinan bahwa hasil akhir berada di tangan Allah setelah ikhtiar dilakukan. Dengan tawakkal kita bisa berjalan mantap tanpa terbakar oleh kabar yang naik turun. Keempat melatih doa. Doa memurnikan niat. Doa menenangkan dada. Doa membuat kita ingat bahwa kita hamba. Dengan ingatan itu kita lebih mudah memaafkan. Lebih ringan mendoakan. Lebih ikhlas bekerja.

Ada juga latihan profesional yang bisa menyertai latihan batin. Kita dapat memperbarui ilmu. Mengikuti pelatihan. Mencari mentor. Membaca regulasi agar memahami arah kebijakan. Membuat catatan kinerja pribadi yang rapi sehingga ketika tiba saat penilaian kita memiliki bukti yang tertata. Menjaga etika layanan di meja kerja setia pada disiplin waktu ramah kepada pemohon dan tertib pada standar. Semua itu adalah cara kita memperbaiki pipa rezeki di rumah sendiri. Semakin bersih pipa maka aliran akan semakin lancar. Kita tidak perlu mempersempit pipa orang lain agar aliran di rumah kita deras. Kita cukup memperbaiki sambungan dan menyaring kotoran yang ada di pipa milik kita. Lambat laun tetangga akan melihat bahwa cara terbaik menghadapi perubahan bukan menggerutu tetapi berbenah.

Mari kita mengingat sabda Nabi bahwa tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Hadis ini menjadi cermin jujur. Apakah kita gembira ketika saudara kita mendapat kemudahan dalam tugas dan kesejahteraan yang layak. Apakah kita mendoakan agar mereka diberi keistiqamahan dalam melayani. Ataukah hati kita menyimpan duri kecil yang berharap nikmat itu terlepas dari tangan mereka. Bila yang terjadi adalah yang kedua maka jangan berkecil hati. Itu sinyal bahwa hati perlu dirawat. Kita semua bisa terjatuh pada rasa iri. Tidak ada yang kebal. Yang penting adalah kesediaan untuk bangkit dengan istighfar. Kita memohon kepada Allah agar diangkat dari hati ini sifat hasad. Kita memohon diganti dengan rasa sayang kepada sesama. Dengan harapan itu kita melangkah lagi ke meja kerja. Menyapa rekan dengan hangat. Menyelesaikan tugas dengan tuntas.

Dalam perdebatan soal status kepegawaian sering muncul kalimat tentang hak dan beban. Ketika bicara hak kita cenderung menoleh ke atas. Ketika bicara beban kita cenderung menoleh ke bawah. Padahal keindahan pelayanan publik lahir saat semua menoleh pada dirinya sendiri. Pemegang kebijakan memastikan aturan jelas dan adil. Aparatur memastikan kinerja nyata dan bersih. Masyarakat memastikan partisipasi dan pengawasan dilakukan dengan cara yang beradab. Dengan pola itu hak dan beban bertemu dalam satu garis yang seimbang. Tidak ada yang merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua. Tidak ada yang merasa boleh bertindak semena mena. Tidak ada yang merasa boleh memperolok rekan. Semua belajar menjadi dewasa di hadapan Allah dan bertanggung jawab di hadapan bangsa.

Sebagian orang mungkin tetap bertanya apakah aman jika perubahan status dilakukan. Jawabannya kembali pada kualitas pelaksanaan. Jika seleksi dijaga. Jika transisi disiapkan. Jika evaluasi dibuat jelas. Jika sistem pengembangan karier dibuka untuk semua yang memenuhi syarat. Maka perubahan itu bisa menjadi peluang memperbaiki layanan. Kita dapat berkontribusi dengan cara yang konkret. Menulis saran yang jernih. Mengajukan masukan tertulis kepada lembaga yang berwenang. Menghadiri forum audiensi dengan bahasa yang hormat. Menggagas kelompok belajar kecil di kantor untuk memperkuat kemampuan teknis. Mengajak rekan lintas status untuk saling bertukar pengalaman. Di titik ini akan terasa bahwa saudara kita yang berstatus P3K bukanlah pesaing. Mereka adalah teman seperjalanan dalam tugas pelayanan.

Di ruang hati kita pun bisa menanam satu keyakinan yang menyejukkan. Bahwa rezeki tidak salah alamat. Bahwa Allah mencatat tetes keringat yang sering tak terlihat oleh manusia. Bahwa doa di subuh hari bisa mengubah suasana batin sepanjang siang. Bahwa senyum pada pemohon layanan bisa menjadi pintu rezeki yang tidak kita duga. Bahwa kesabaran saat berhadapan dengan berkas yang rumit adalah bentuk ibadah. Dengan keyakinan seperti ini kita menapaki hari kerja bukan dengan rasa takut kehilangan. Kita melangkah dengan rasa ingin memberi yang terbaik. Kita tidak lagi mengukur diri dengan status orang lain. Kita mengukur diri dengan amanah yang harus kita tunaikan.

Pada akhirnya kita kembali pada dua kata kunci. Adil dan iri. Adil adalah perintah. Iri adalah larangan. Adil menumbuhkan akal sehat kebijakan. Iri menumbuhkan penyakit hati. Bila ada ruang kosong di hati yang hendak diisi oleh iri maka segeralah isi dengan ilmu dan doa. Bacalah ayat yang menenangkan. Ingatlah sabda Nabi yang memuliakan kasih sayang antarsaudara. Teguhkan niat untuk bekerja dengan jujur. Tunjukkan bahwa keunggulan seorang abdi negara tidak terletak pada status yang disandang. Keunggulannya tampak dari mutu pelayanan. Dari ketelitian dalam tugas. Dari kesantunan dalam berbicara. Dari kebersihan dalam mencatat. Dari keteguhan menolak gratifikasi. Semua itu adalah amal yang membawa berkah bagi diri sendiri. Bagi keluarga. Bagi masyarakat. Bagi negara.

Sebelum menutup mari kita hadirkan sebuah doa. Ya Allah yang Maha Adil. Lapangkan hati kami dari hasad. Jauhkan kami dari prasangka yang melukai. Dekatkan kami dengan sikap adil dan budi pekerti ihsan. Bimbing para pemegang kebijakan agar menetapkan aturan yang jelas dan bermanfaat bagi umat. Kuatkan para aparatur agar bekerja dengan jujur. Sejahterakan para pelayan publik yang setia di garis paling depan. Mudahkan saudara saudari kami yang sedang menanti kepastian jalan karier. Jadikan semua perubahan sebagai jalan perbaikan. Jadikan kantor kami sebagai tempat yang membuat orang betah karena dilayani dengan tulus.

Penutup ini bukan garis akhir. Ia ajakan untuk bergerak dengan pikiran yang jernih dan hati yang bening. Jika esok ada kabar baru tentang aturan. Kita tidak akan tergesa marah dan tidak juga tergesa percaya. Kita akan menimbang dengan ilmu. Kita akan berdialog dengan adab. Kita akan bekerja dengan tekun. Kita akan saling mendoakan agar setiap langkah menjadi amal. Bila saudara kita naik derajat maka kita ikut bersyukur. Bila giliran kita belum tiba maka kita bersabar sambil memperbaiki kualitas diri. Sebab tugas kita bukan sekadar mengurus status. Tugas kita adalah mengabdi. Dan Allah menyaksikan setiap helaan napas dalam pengabdian itu.

Posting Komentar

0 Komentar