Regulasi Beranak Usaha, Berdasarkan Tafsir Sinis atas MBG

Di sebuah republik yang sangat nyata namun serasa fabel, setiap kali pemerintah menerbitkan sebuah kebijakan, pasar tiba-tiba bergetar seperti senar gitar yang baru dipetik. Nada pertama belum habis, tiba-tiba terdengar bunyi kasir. Di ruang-ruang rapat yang dingin, di bawah lampu-lampu panel yang putih kebiruan, kebijakan adalah barang dagangan: dijajakan dengan riset, dihias dengan jargon, dan dikemas serapih proposal yang menjanjikan masa depan. Sementara itu, rakyat menjadi penonton yang membayar tiket, lalu dipersilakan bersorak ketika sutradara mengangkat tangan. Mereka menepuk tangan karena demikianlah tata tertib bermain di teater kebijakan; yang tak menepuk akan disuruh keluar oleh pemandu acara yang sopan tapi tak kenal kompromi.



Dalam negara yang dimaksud, ada satu akronim yang selalu berputar seperti fidget spinner di jari para penguasa: MBG. Orang-orang berdebat tentang kepanjangannya. Ada yang bilang “Memang Boleh Gitu?”, ada yang menyebut “Modal Beranak Guna”, ada pula yang dengan sinis menyebut “Mengatur Biar Gampang”. Tetapi bagi yang tekun membaca lembaran risalah sidang, MBG hanyalah nama bagi suatu pola yang berulang: kebijakan melahirkan pasar, pasar melahirkan kontrak, kontrak melahirkan konsorsium, dan konsorsium melahirkan kekayaan yang kemudian beranak pinak ke rekening yang tidak pernah disangka-sangka. Setiap undang-undang baru seperti ladang tebu yang manisnya tidak pernah habis jika tahu cara memerasnya. Yang menarik, mesin perasnya selalu sudah disiapkan sebelum tebu ditanam. Seolah-olah logika sebab-akibat telah dibalik: bukan kebijakan yang mengikuti kebutuhan, melainkan kebutuhan yang diciptakan agar kebijakan menjadi perlu.


Mari kita lihat bagaimana perangkat retorika bekerja. Mula-mula identifikasi masalah. Masalah itu harus dirumuskan cukup besar agar pantas dikerahkan mesin negara, namun cukup kabur agar solusinya fleksibel. Misalnya, persoalan kesejahteraan petani. Siapa yang berani menolak peningkatan kesejahteraan petani? Tak ada. Dengan begitu, masalah telah mendarat di landasan moral yang aman. Lalu tahap kedua: bangun “kegentingan”. Tanpa rasa genting, kebijakan dianggap kemewahan, bukan kebutuhan. Maka data dikemukakan dengan angka yang rapi, grafik yang tajam, dan perbandingan internasional yang terpilih. Tahap ketiga: definisi solusi yang spesifik tapi elastis. Spesifik karena harus terang siapa yang berwenang, elastis karena harus bisa disesuaikan dengan siapa yang menang. Tahap keempat: penganggaran. Angka-angka turun dari langit seperti hujan meteor, menerangi malam-malam pengusaha yang punya teleskop. Tahap kelima: pembentukan badan-badan baru, satuan tugas, panitia, unit pelaksana, dan entitas semi-swasta yang akan menjalankan program. Di sinilah MBG menyapa, karena badan-badan baru tak lahir sendirian; mereka membawa serta kebutuhan akan aplikasi, sistem, audit, pelatihan, logistik, seragam, booklet, dan poster dengan gradasi warna yang mengikuti selera zaman.


Kita belum bicara tentang pelelangan. Tender adalah panggung opera tempat sopran dan bariton bertukar aria. Di babak pertama, diumumkan kriteria yang luhur: transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada nilai terbaik. Di babak kedua, dokumen tender disusun sedemikian rinci namun menyisakan celah yang memerlukan pengetahuan batiniah. Di babak ketiga, datanglah perusahaan-perusahaan yang ajaibnya telah memenuhi seluruh kriteria, bahkan kriteria yang belum resmi diumumkan. Mereka membawa portofolio, bank garansi, dan, yang paling penting, silsilah pergaulan yang tak lama lagi akan terlihat pada foto-foto grup di kafe dengan lampu gantung industrial. Opera berakhir dengan tepuk tangan, pemenang diumumkan, dan semua pihak berkomitmen pada integritas. Para penonton pulang dengan perasaan campur aduk: menikmati musiknya tetapi tak yakin apa yang barusan terjadi.


Apakah ini berarti kebijakan selalu buruk? Tentu tidak. Namun kita hidup di ekosistem di mana kebijakan adalah sumber daya, seperti hutan atau tambang. Ia bisa dikelola, bisa pula dieksploitasi. Dalam ilmu ekonomi politik, ada istilah “perburuan rente” yang kedengarannya membosankan, padahal itu adalah genre sastra paling produktif di republik ini. Perburuan rente adalah cara halus mengatakan “mencari keuntungan tanpa menciptakan nilai tambah yang semestinya”. Bagaimana caranya? Dengan memastikan bahwa akses—bukan inovasi—adalah mesin laba. Akses pada pembuat keputusan, pada informasi pra-publik, pada interpretasi pasal yang bisa mengubah nasib suatu industri dalam satu catatan kaki.


Di kantor-kantor legislatif, terjadilah simbiosis yang terlalu sempurna untuk disebut kebetulan. Para anggota dewan berdiskusi tentang visi, tetapi di lorong mereka bertukar kartu nama. Bukan untuk hal yang curang, melainkan untuk sesuatu yang dewasa ini disebut “kolaborasi lintas-sektor”. Jika sebuah kebijakan mendorong penggunaan alat ukur tertentu, tiba-tiba muncul perusahaan rintisan yang berspesialisasi pada alat ukur dimaksud, lengkap dengan uji laboratorium dan sertifikasi yang—kebetulan—mengacu pada standar yang baru saja disahkan panitia kerja. Jika sebuah kebijakan mencanangkan akselerasi digital, besok pagi tersedia paket layanan integrasi sistem, termasuk konsultasi, pelatihan, dan sebuah platform berbasis awan yang menyatakan diri “solusi end-to-end”. Seakan-akan kebijakan tidak merancang pasar, melainkan menjemput pasar yang sudah menunggu di depan pintu.


Sementara itu, istilah kebermanfaatan publik tetap diulang dalam setiap pengantar. Kita, sebagai warga yang menghormati tata krama, mengangguk-angguk. Lalu kita foto daftar hadir musyawarah, kita unggah di media sosial, dan kita tulis “bangga menjadi bagian dari perubahan”. Foto itu mendapat ratusan suka, beberapa komentar, dan satu dua pesan pribadi yang isinya pertanyaan ringan: “Bang, ada slot buat ikut programnya?” Di sinilah teater kebijakan berjumpa dengan komedi keseharian. Mereka yang paling rajin mengunggah tagar #untukrakyat adalah mereka yang paling memahami bahwa rakyat adalah kata benda yang lentur. Ia bisa berarti pengguna, pelanggan, peserta, komunitas, bahkan “stakeholder” jika dibutuhkan nada yang lebih profesional.


Mari kita kembali ke MBG. Dalam pertumbuhannya, MBG memerlukan infrastruktur sosial: jaringan alumni sekolah, paguyuban, asosiasi profesi, komunitas hobi, dan grup pertemanan yang sudah menginjak usia dewasa dengan karier mapan. Dari situ lahir trust. Trust ini bukan trust pasar yang dibangun lewat reputasi, melainkan trust intim yang dibangun lewat peristiwa-peristiwa kecil: menalangi tagihan kafe, mengantar anak ke rumah sakit, menemani saat kalah pemilihan internal, atau sekadar ikut hadir di resepsi pernikahan. Hubungan macam ini bukan sekadar relasi profesional; ia menyerupai keluarga besar yang menyepakati kerja sama lintas meja. Bila kebijakan membutuhkan operator, telepon berdering. Bila operator butuh dukungan regulasi, telepon kembali berdering. Begitulah simfoni yang berjalan tanpa partitur karena seluruh pemain telah hafal lagunya.


Para akademisi sering datang belakangan untuk memberi nama. Mereka menyebutnya “regulatory capture”, “networked patronage”, atau “oligopoli kebijakan”. Di ruang seminar, istilah-istilah ini mengkilap. Tetapi di lapangan, istilah itu hanya memberi hak menyebut sesuatu yang semua orang sudah tahu. Kelebihan akademisi adalah keberanian menyusun peta, dan peta memberikan ilusi kendali. Namun tak ada peta yang mampu menangkap molekul-molekul hubungan personal yang mengikat aktor-aktor ini seperti lem bening. Sisanya adalah estetika: spanduk peluncuran kebijakan, video promosi, slogan dengan kata “inklusi” dan “berkelanjutan” yang ritmenya tetap, meskipun nadanya bisa dinaikkan setengah oktaf bila diperlukan.


Pada suatu kesempatan, seorang warga bertanya: jika kebijakan selalu memunculkan peluang usaha bagi yang dekat dengan kursi, apakah kita harus pesimis? Pertanyaan ini layak mendapat jawaban yang lebih dari sekadar sinisme. Sebab sinisme, seperti garam, bila kebanyakan membuat masakan busuk. Jawaban yang lebih jujur barangkali adalah mengakui dua hal yang berjalan beriringan. Pertama, kebijakan yang baik tetap mungkin, bahkan sering terjadi dalam skala kecil dan diam. Kedua, kebijakan sebagai ladang usaha juga tak terelakkan dalam sistem yang imbal jasanya bergantung pada kedekatan. Antara dua hal ini ada ruang abu-abu di mana kita hidup, bekerja, membayar pajak, dan sesekali sarapan sambil membaca berita yang tak kunjung memberi kejutan.


Satire, kalau boleh bekerja keras sebentar, mengajak kita melihat logika terselubung. Mengapa, misalnya, setiap program pemberdayaan pelaku kecil selalu dimulai dengan pelatihan yang modulnya dicetak penuh warna, dengan gambar ikon manusia yang tersenyum? Mengapa setiap platform digital pemerintah selalu membutuhkan akun yang tak pernah dipakai lagi setelah upacara peresmian? Mengapa audit keberhasilan program jarang berbicara tentang kualitas layanan, tetapi selalu tekun menghitung jumlah kegiatan yang terselenggara? Mengapa setidaknya satu vendor “lokal” ternyata memiliki alamat kantor yang sama dengan beberapa vendor “lokal” lain, seolah-olah lokalitas adalah konsep yang bisa dikloning? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak butuh jawab cepat; cukup kita simpan di saku, dikeluarkan sesekali sebagai penanda bahwa kita masih waras.


Ada teori yang menyenangkan untuk diingat: setiap kebijakan, selain tujuan resminya, membawa “efek samping ekonomi” berupa penciptaan pasar baru. Jika demikian, kenapa kita begitu terkejut ketika pasar tersebut dikuasai oleh mereka yang paling dulu tahu? Informasi adalah mata uang, dan dalam kebijakan, informasi bukan hanya “apa” yang diputuskan, melainkan “kapan”. Pembedaan waktu adalah tembok pembatas antara keuntungan biasa dan keuntungan spektakuler. Mereka yang tahu seminggu lebih cepat dapat menyusun konsorsium, menyalakan mesin tender, menyusun dokumen, dan mendaftar domain yang mayoritasnya telah habis diborong sejak subuh. Kita menyebut itu oportunisme; mereka menyebutnya kesiapan.


Di ujung lain, warga yang tertinggal dari arus berita cenderung merespons dengan cara paling manusiawi: mencurigai segalanya. Kecurigaan adalah pupuk sekaligus hama demokrasi. Ia menyuburkan skeptisisme yang sehat, tetapi bila dibiarkan menjadi gulma, ia mencekik tanaman. Karena itu, satire yang baik tidak berhenti pada tudingan; ia juga mengajak menyimak kemungkinan pembenahan. Misalnya, apa jadinya jika setiap rancangan program wajib menyebut jelas indikator kepentingan publik yang bisa diuji independen? Atau jika setiap tender mewajibkan publikasi pascatender yang menyandingkan koalisi peserta dengan jejaring asosiasinya? Atau jika evaluasi kebijakan diserahkan pada entitas yang pendanaannya tidak bergantung pada kementerian terkait? Tentu ini terdengar seperti utopia kecil, namun utopia kecil diperlukan agar kenyataan tidak melahap seluruh harapan.


Namun jangan salah, MBG bukanlah monster. Ia lebih mirip kebiasaan keluarga: awalnya terasa salah, lama-lama dianggap wajar. Kebiasaan lahir dari pengulangan, dan pengulangan dari insentif. Begitu insentif dibiarkan condong ke arah akses ketimbang kompetensi, maka ekosistem akan menyesuaikan. Kurikulum pelatihan bisnis akan memasukkan mata kuliah “cara membaca gelagat regulasi” dan “etiket bersosialisasi dalam acara peluncuran”. Para mentor akan mengingatkan muridnya untuk tidak hanya membangun produk, tetapi juga membangun cerita yang sesuai dengan narasi resmi. Maka, lahirlah generasi pendiri perusahaan yang fasih menyebut pilar-pilar pembangunan berkelanjutan sambil mempresentasikan grafik pertumbuhan pengguna yang sebagian besar dihasilkan oleh program pemerintah sendiri. Ini bukan penipuan, ini aritmetika.


Di parlemen, drama berbeda namun lakonnya sama. Rapat-rapat dengar pendapat berubah menjadi pameran mini. Perwakilan industri datang dengan presentasi, membawa masalah yang—kebetulan—bisa diselesaikan oleh amandemen pasal tertentu. Anggota dewan tidak dungu; mereka mengerti. Mereka tahu bahwa menolong industri adalah menolong lapangan kerja, dan menolong lapangan kerja adalah menolong pemilih yang nantinya menolong mereka kembali. Sirkulasi kebajikan semu ini membuat semua orang merasa menjadi bagian dari cerita pahlawan. Siapa yang berani mengganggu pahlawan? Yang berani biasanya dijuluki idealis, kadang naif, dan bila keras kepala, dianggap anti-kemajuan. Padahal mungkin ia hanya menawarkan jeda: “Sebelum kita mengesahkan, bolehkah kita bertanya siapa yang akan paling diuntungkan?”


Sementara itu, perdebatan publik di media sosial seperti pasar malam: riuh, meriuhkan, dan penuh atraksi cahaya. Algoritma menjadi pedagang cotton candy yang membekukan gula opini menjadi bola-bola manis yang ringan. Tak ada gizi, tapi memuaskan. Setiap kebijakan didramatisasi menjadi konten: pro-kontra, data versi A dan versi B, video potongan yang membenarkan keyakinan masing-masing. Di tengah keramaian, MBG melenggang. Ia tidak terganggu oleh teriakan; dia pernah belajar bahwa suara paling keras jarang yang menentukan hasil. Yang menentukan adalah sunyi di ruang-ruang kecil, ketika draf diperiksa, ketika klausul disusun, ketika angka diubah satu digit di belakang koma namun efeknya miliaran di depan mata.


Apakah tidak ada yang mencoba menginjak rem? Ada. Kadang lembaga audit mempublikasikan temuan yang menggemaskan: selisih angka, kegiatan fiktif, atau penerima manfaat yang ternyata kerabat jauh pejabat. Temuan ini menjadi bahan bakar obrolan di kafe selama beberapa pekan. Lalu masuklah babak berikut: klarifikasi. Klarifikasi adalah seni menyusun kalimat pasif sedemikian rupa sehingga tanggung jawab terbang seperti balon gas. “Telah terjadi,” “akan ditindaklanjuti,” “sedang dalam proses,” “sesuai ketentuan yang berlaku”—semua itu membentuk kabut sintaksis yang nyaman. Begitu kabut cukup tebal, kita akan lupa apa yang semula dipersoalkan.


Satire, jika masih punya napas, akan menyarankan eksperimen imajiner. Bayangkan sebuah republik yang menerapkan “penganggaran negatif” untuk kebijakan baru: siapa pun yang mendorong kebijakan wajib menunjukkan pos penghematan setara yang dihasilkan dari pembatalan kebijakan lama. Dengan demikian, setiap kebijakan baru berpasangan dengan kebijakan lama yang dimatikan. Pasar kebijakan menjadi permainan kursi musik yang jujur; tidak semua boleh duduk. Atau bayangkan kita menetapkan “masa jeda kebijakan”—enam bulan di mana aturan sudah diumumkan namun belum berlaku—agar pelaku ekonomi yang tidak punya teleskop tetap sempat menatap bintang. Akan ada protes tentu saja: “Kepastian lebih penting daripada jeda!” dan “Inovasi memerlukan kecepatan!” Namun tidakkah kecepatan tanpa akses yang adil hanyalah cara baru mengabadikan jarak?


Ada pula gagasan untuk membatasi “perusahaan kebijakan sekali pakai”—entitas yang muncul saat tender dan menghilang setelah laporan akhir. Perusahaan demikian sering didirikan untuk menjahit kebutuhan administratif semata, bukan untuk membangun kompetensi jangka panjang. Mereka seperti kios karnaval yang hanya buka selama pesta. Untuk mengatasi ini, bisa diwajibkan rekam jejak kinerja lintas proyek yang dievaluasi publik, bukan hanya opini auditor. Tentu akan ada cara mengakalinya, karena kreativitas dalam ekosistem MBG cenderung tak terbatas. Tetapi setiap aturan yang baik bukan bertujuan menjadikan pengelabuan mustahil, melainkan menjadikannya mahal.


Kita juga bisa berbicara tentang peran media dan masyarakat sipil tanpa memuja mereka secara berlebihan. Media yang tergantung pada iklan program pemerintah akan kesulitan menggigit tangan yang menyuapi. Organisasi masyarakat sipil yang bergantung pada hibah tahunan akan berhitung masak-masak sebelum mengusik program yang mungkin menjadi donor tahun depan. Jalan keluar parsial adalah diversifikasi pendanaan dan kebiasaan mempublikasikan konflik kepentingan, bahkan yang sifatnya potensial. Transparansi bukan jaminan kebajikan, tetapi ia memaksa pemain menyadari bahwa mereka dilihat, dan kesadaran dilihat—percaya atau tidak—mengubah perilaku.


Di tingkat warga, bentuk perlawanan paling sederhana mungkin adalah mengembalikan makna kata “partisipasi”. Jangan puas dengan undangan untuk hadir dan mengisi daftar hadir, atau memberi masukan pada draf yang mustahil diubah karena “sudah mepet waktu”. Partisipasi yang tulus harus terjadi sebelum garis besar diputuskan. Ia terjadi ketika masih mungkin berdebat tentang tujuan, bukan sekadar memilih warna spanduk. Tentu ini menuntut investasi energi; aktif sebelum ramai adalah pekerjaan sepi yang jarang mendapat tepuk tangan. Namun bila kita terus datang belakangan, kita hanya menjadi penonton yang memilih bangku paling nyaman untuk menyaksikan naskah yang tak pernah kita tulis.


Sampai di titik ini, mungkin ada yang bertanya: apa bedanya esai ini dengan keluh kesah di meja makan? Bedanya tipis namun penting. Keluh kesah berhenti di rasa geram; esai mencoba menawarkan kerangka berpikir, walau dengan ironi. Kerangka ini—yang mungkin terlalu rapi untuk dunia yang berantakan—mengajak kita memandang kebijakan sebagai infrastruktur peluang. Infrastruktur bisa diakses banyak pihak jika jalan masuknya dibuka. Kita tahu betapa sakralnya akses; karenanya, segala pembicaraan tentang perbaikan ujung-ujungnya kembali pada desain akses: data kebijakan yang benar-benar terbuka, draf yang dapat dilacak perubahannya, notulen yang tidak menghilang seperti pesan sementara, dan, terutama, alasan—ya, alasan—yang ditulis gamblang tanpa frasa teknokratis yang memukau tetapi kosong.


Pada akhirnya, satire yang paling jitu adalah yang bisa tertawa sambil bekerja. Kita menertawakan MBG karena kita melihat diri kita sendiri di sana: keinginan untuk mendahului, untuk menipu batas tipis antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Mengakuinya bukan tanda kalah, melainkan titik berangkat. Dari pengakuan lahir kehati-hatian, dari kehati-hatian lahir kebiasaan baru. Mungkin suatu hari nanti, ketika akronim lain menggantikan MBG, kita sudah memiliki otot kebijakan yang lebih sehat: otot yang terbiasa mengangkat beban argumen, bukan sekadar menandatangani kontrak. Kita akan masih punya usaha-usaha baru setiap kali kebijakan dilahirkan—memang demikianlah dinamika ekonomi modern—tetapi usaha-usaha itu lahir dari kompetisi yang jujur, bukan dari kedekatan yang disakralkan.


Sampai hari itu tiba, teater kebijakan akan terus bermain, dan kita masih menonton. Bedanya, kita tak lagi sekadar bertepuk tangan sesuai aba-aba. Kita belajar bersiul ketika nada sumbang, mengajukan interupsi ketika dialog melantur, dan sesekali, jika sutradara lupa bahwa panggung bukan milik keluarganya, kita berdiri dan menyalakan lampu ponsel, menyorot naskah yang mestinya untuk semua. Dalam sorot itu, wajah-wajah terlihat jelas, dan jelas pula bahwa tidak ada yang kebal untuk diajak berubah. Bahkan MBG, yang gemuk dan santai itu, mungkin suatu ketika akan menurunkan berat badan, mengurangi gula, dan mulai berlari mengikuti irama yang lebih sehat. Bukan karena dipaksa, melainkan karena kita, para penonton yang membayar tiket, akhirnya sepakat bahwa pertunjukan yang baik bukan yang membuat aktornya kaya, melainkan yang membuat penontonnya pulang dengan dada lega dan kepala ringan.


Begitulah kajian kecil yang lebih mirip cermin ketimbang palu. Ia tidak memukul, ia memantulkan. Yang tampak bisa saja kurang rapi, sebab ruangan tempat kita berdiri memang berantakan. Di pojok ada tumpukan brosur pelatihan, di meja ada paket merchandise program, di rak ada laporan tahunan yang sampulnya menawan. Tetapi di tengah berantakan itu, ada sesuatu yang sederhana: tekad untuk berhenti berpura-pura bahwa kebijakan selalu tak sengaja menciptakan usaha bagi yang dekat. Kita tahu pola itu ada. Kita menertawakannya agar tidak tenggelam dalam getir. Lalu, pelan-pelan, kita ubah satu dua kebiasaan yang membuatnya tumbuh. Jika esok pagi ada kebijakan baru dan bunyi kasir kembali terdengar, setidaknya kini kita sudah belajar membedakan apakah bunyi itu pertanda pasar yang sehat, atau sekadar kaset lama yang diputar ulang dengan judul baru dan akronim segar.


Posting Komentar

0 Komentar