Saat Syukur Membutuhkan Luka Orang Lain, Kritik atas Kekerasan Hati

Syukur dalam Alquran tampil sebagai jalan menuju pertambahan karunia. Ayat yang sangat masyhur menegaskan janji ilahi, jika kamu bersyukur niscaya Aku akan menambah. Janji ini bukan penawaran matematika yang dingin melainkan ajakan untuk memasuki orbit batin tertentu. Dari sisi bahasa, syukur berarti menyingkap nikmat, mengakui dan menampakkannya secara tepat. Dari sisi ajaran, para ulama menjelaskan syukur mencakup hati, lidah, dan anggota badan. Hati mengakui nikmat berasal dari Allah, lidah memuji, anggota badan menyalurkan nikmat sesuai kehendak Pemberi. Dalam kerangka inilah syukur berkelindan dengan rasa malu yang indah, karena penerima kebaikan merasa terpanggil untuk menjaga amanah nikmat. Syukur sejati tidak menggantungkan diri pada malapetaka orang lain. Ia bersumber pada kesadaran posisional manusia di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan kata lain, ia bersifat teosentris sekaligus etis. Teosentris dalam pengakuan asal nikmat, etis dalam cara memperlakukan nikmat agar meluas manfaatnya.



Sebaliknya, kekerasan hati menutup dua jendela ini sekaligus. Qaswat al qalb, menurut sejumlah mufasir, lahir dari kombinasi sebab yang saling memperkuat, yakni kebiasaan melanggar yang membuat dosa terasa biasa, lalai dari mengingat Allah, menutup telinga terhadap kebenaran, serta abai pada penderitaan sekitar. Alquran menggambarkan hati yang mengeras lebih keras daripada batu. Gambaran ini bukan sekadar retorika. Batu masih dapat memancarkan air ketika terhempas, sementara hati yang beku tidak lagi menangis oleh ayat, tidak tergetar oleh suara kemanusiaan. Dalam karya karya tazkiyah, para sufi dan ahli akhlak menyusun daftar gejala kekerasan hati. Di antaranya, cepat lega ketika mendengar kabar buruk tentang orang lain, ringan menunda kebaikan, berat memaafkan, dan merasa bangga pada diri ketika melihat orang terjatuh. Bebatuan psikologis ini menyulitkan syukur untuk tumbuh. Bahkan bila syukur diucapkan, ia berubah menjadi syukur yang hampa, atau lebih buruk lagi, menjadi syukur yang menindas.

Di titik ini muncul persoalan etika yang halus. Bolehkah seseorang merasakan kelegaan atau rasa cukup karena ia tidak mengalami musibah seberat saudaranya. Secara manusiawi, rasa lega dapat muncul spontan. Namun menjadikannya alasan utama untuk bersyukur menyimpan dua risiko. Pertama, syukur menjadi negasi terhadap pengalaman orang lain. Nikmatku disusun dari puing nasibmu. Kedua, syukur berubah dari pengakuan kepada Allah menjadi pembandingan yang menumbuhkan rasa unggul. Dalam bahasa akhlak, ia mendekati hasad yang disamarkan. Hasad murni adalah berharap nikmat orang lain sirna. Variannya banyak. Ada yang tidak ingin orang lain sejahtera karena hal itu mengguncang rasa aman diri. Ada yang diam diam puas ketika melihat saingannya tersisih. Dalam dunia modern, hasad menyebar melalui budaya pamer dan perbandingan tanpa akhir. Orang terdorong untuk mengukur diri dengan mengintip nasib orang lain, lalu memahat makna kebahagiaan di atas kurva ranking sosial imajiner. Bila kurva ini turun, ia segera mencari korban yang lebih celaka agar kurvanya tampak naik.

Islam tidak menutup mata pada naluri komparatif manusia. Namun ia membingkainya agar tidak liar. Dalam soal dunia, Rasulullah menganjurkan memandang ke bawah agar tidak meremehkan nikmat yang ada. Anjuran ini sering dipahami dengan sederhana sebagai resep menghibur diri. Padahal maksudnya lebih dalam. Memandang ke bawah bukan mengamati penderitaan sebagai tontonan, melainkan mengingatkan diri pada tugas mengulurkan tangan. Dengan begitu, syukur tidak memerlukan korban pembanding. Ia menemukan bentuknya dalam gerak memberi. Ketika lidah memuji, tangan bekerja menyalurkan nikmat, dan hati merasakan kelembutan karena turut merawat ciptaan. Inilah syukur yang tidak menempel pada malapetaka orang lain. Ia berdiri sendiri sebagai cahaya pengakuan dan pengabdian.

Para pemikir akhlak menekankan bahwa syukur sejati harus antitesis terhadap sombong, ujub, dan riya. Abu Hamid al Ghazali menyebut syukur sebagai mahkota yang menaungi ibadah karena ia menjaga arah hati. Ujub membuat pelaku merasa cukup oleh dirinya, seakan nikmat prestasi bersumber dari keunggulan pribadi yang absolut. Riya mengubah ibadah menjadi panggung. Keduanya memperkeras hati, menutup jalan syukur. Di seberang sana, empati memelihara syukur. Hadis tentang perumpamaan kaum beriman sebagai satu tubuh meneguhkan prinsip ini. Bila satu bagian sakit, seluruh tubuh merasakan demam dan terjaga. Maka rasa syukur orang beriman seharusnya tidak mungkin lahir dari kegembiraan atas luka saudaranya. Ia justru menumbuhkan kesiagaan untuk meringankan luka itu. Kegembiraan yang lahir dari keruntuhan orang lain bukan syukur, melainkan kemabukan batin yang menipu.

Dalam wilayah sosial, syukur teruji melalui keadilan. Nikmat harta dipelihara oleh zakat, infak, sedekah, dan inisiatif kebajikan lain. Nikmat pengetahuan dipelihara dengan berbagi, mengajar, dan merendah agar ilmu memancar. Nikmat kekuasaan dipelihara dengan amanah dan menjaga hak. Seluruh perangkat kewajiban sosial ini adalah rute agar syukur tidak berubah menjadi tembok pemisah antara aku yang kenyang dan engkau yang lapar. Bila aturan aturan ini ditinggalkan, syukur tercerabut dari maknanya, yang tinggal hanya rasa puas yang menumpuk ketidakadilan. Di sinilah maqasid syariah memberi arah besar. Penjagaan jiwa, akal, harta, keturunan, dan agama tidak mungkin berlangsung bila syukur dijalankan sebagai perayaan privat yang buta pada luka publik. Syukur yang sehat memotivasi kebijakan publik yang adil, tata ekonomi yang tidak menindas, serta budaya kerja yang menghormati martabat.

Marilah menimbang lagi ungkapan keras di awal. Ia menangkap fenomena yang kian akrab dalam era keterhubungan digital. Di layar kecil, kabar duka berseliweran, kadang diiringi komentar sinis. Orang menjadi saksi atas segala yang buruk, namun bukan untuk menolong, melainkan untuk merasa bahwa nasibnya masih lebih baik. Dalam psikologi moral, fenomena ini menyerupai rasa puas karena orang lain tertimpa celaka. Ia bertumbuh dari kombinasi iri, takut tersaingi, dan rasa rendah diri yang tidak diakui. Islam menawari terapi yang bertolak dari kejujuran. Akui bahwa hati dapat menikmati kabar buruk, lalu bawa pengakuan itu ke hadapan Allah. Mohon dibersihkan dari kenikmatan yang gelap. Sertai pengakuan itu dengan tindakan nyata menolong. Ketika tangan bergerak memberi, hati belajar merasakan kembali kehangatan yang lama hilang.

Ibn Qayyim al Jawziyah menulis bahwa kehidupan hati bergantung pada tiga pilar, cinta, takut, dan harap. Syukur bernaung dalam cinta. Ia berakar pada pengenalan terhadap kebaikan Allah yang tidak putus. Karena itu syukur harus menyuburkan cinta pada sesama makhluk. Tidak mungkin cinta kepada Pemberi nikmat bersanding dengan kegembiraan atas nestapa ciptaan Nya. Para sufi menambahkan satu pilar lagi, yakni rindu untuk meneladani akhlak ilahi dalam batas kemampuan manusia. Bila Allah Maha Pengasih, maka penghambaan memancar sebagai kasih. Bila Allah Maha Adil, maka ibadah menuntun pada keadilan. Inilah resonansi teologis syukur. Ia tidak berhenti di bibir, melainkan memantul dalam tata perilaku sosial.

Pertanyaan filosofis kerap muncul. Bagaimana mungkin seseorang bersyukur di dunia yang penuh luka. Bukankah syukur menuntut perasaan nyaman. Alquran menjawab dengan mengikat syukur pada pengetahuan dan amanah, bukan pada kenyamanan. Nabi yang paling banyak diuji tidak berhenti dari pujian. Ungkapan terkenal, jika engkau menyenangi Aku, maka tidak ada sesuatupun yang sulit bagiku, mencerminkan kepasrahan yang penuh cahaya. Namun kepasrahan nabi tidak mematikan solidaritas. Ia menangis ketika melihat duka, menahan lapar bersama yang lapar, berjaga untuk merawat yang lemah. Di situ kita melihat bentuk syukur yang matang. Ia tidak menutupi luka, tetapi menatap luka dengan mata yang terhormat, lalu bekerja untuk menyembuhkannya.

Dalam etika publik, syukur menuntut pembongkaran struktur yang menindas. Nikmat dalam Islam bukan sekadar selamat dari bencana. Nikmat adalah kesempatan untuk menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, ketika melihat penderitaan yang bersumber dari ketimpangan sistemik, syukur mendorong para pemilik kelebihan untuk bersekutu dengan yang tertindas, mendorong reformasi kebijakan, mencegah korupsi, dan mengawasi jalannya kekuasaan agar tidak keluar dari amanah. Bila syukur berhenti pada rasa aman pribadi, ia berpotensi melumasi mesin ketidakadilan. Bila syukur dipahami sebagai tugas mengembangkan rahmat, ia menjadi energi perbaikan.

Kita juga perlu menyentuh aspek epistemik. Bagaimana seseorang mengenali nikmat. Banyak orang salah menilai karena cermin batin buram. Dalam tradisi tazkiyah, pembiasaan zikir, tilawah, muhasabah, dan menuntut ilmu menjadi sarana membersihkan cermin itu. Batin yang bening mampu membedakan nikmat yang sejati dari jebakan. Kekayaan bisa nikmat, bisa juga jerat. Kedudukan bisa peluang berbuat baik, bisa pula penggoda yang mengikis nurani. Beningnya cermin membuat syukur tidak berkembang ke arah rasa aman palsu, melainkan memperdalam rasa tanggung jawab. Orang yang demikian tidak memerlukan kabar buruk tetangga agar ia merasa cukup. Ia justru cepat gelisah ketika melihat karunia dirinya belum maksimal bermanfaat.

Dalam ranah keluarga dan komunitas, laku syukur terwujud melalui sikap menutup aib serta memperluas kebersamaan. Penutup aib bukan berarti membiarkan kejahatan. Ia berarti tidak menjadikan kekurangan orang sebagai bahan tontonan. Bila ada peluang memperbaiki, ia menolong. Bila ada kejahatan, ia menempuh jalur hukum dan keadilan tanpa merendahkan martabat manusia melebihi batas yang dibutuhkan oleh kebenaran. Budaya menertawakan kesialan orang, baik di tongkrongan maupun di ruang digital, adalah lawan syukur. Budaya itu merusak empati, melahirkan sinisme, dan pada akhirnya menyuburkan kekerasan hati. Sebaliknya, budaya menyapa, menguatkan, dan berkabar baik menghidupkan syukur. Di ruang publik, media dan pendidikan memegang peran penting dalam membingkai peristiwa agar tidak menjadi panggung kebencian.

Pada tataran individu, ada latihan latihan sederhana yang sudah lama diwariskan. Melafalkan hamdalah ketika menerima rezeki, meluaskan doa untuk orang orang lain ketika mendapat kabar baik, dan memperbanyak sedekah sebagai bentuk terima kasih. Latihan lain yang tidak kalah penting adalah menahan lidah dari komentar ketika melihat orang ditimpa musibah, kecuali doa dan dorongan menolong. Tradisi ini memutus kebiasaan membangun rasa cukup di atas derita orang lain. Selain itu, menumbuhkan ghibtah yang sehat dapat menjadi obat. Ghibtah ialah iri yang mulia, yakni berharap memiliki kebaikan seperti yang dimiliki orang lain tanpa menginginkan nikmatnya sirna. Ia mengubah energi perbandingan menjadi etos peningkatan diri. Ghibtah membuat mata melihat orang baik sebagai teladan, bukan sebagai ancaman.

Tidak bisa dipungkiri, terdapat keterikatan erat antara syukur dan sabar. Dua kata ini sering berjalan beriring. Sabar adalah kemampuan menata reaksi terhadap ujian dan menata langkah perubahan. Syukur adalah kemampuan menata reaksi terhadap pemberian dan menata amanah. Keduanya membentuk keseimbangan batin. Agar tidak terjebak pada syukur yang memuaskan diri dan sabar yang pasrah dalam arti salah, diperlukan kompas nilai yang jelas. Kompas itu ditunjukkan oleh teladan nabi. Di medan keberlimpahan, beliau mengeluarkan zakat dan sedekah, menolak hidup berlebihan, memilih kesederhanaan agar dekat dengan yang kecil. Di medan kekurangan, beliau bekerja, berdoa, mengajak, dan tidak menyalahkan korban. Itulah garis sikap yang membuat hati tetap lembut.

Dalam lintasan sejarah pemikiran, banyak cendekiawan muslim yang mengurai relasi syukur, pengetahuan, dan kemajuan peradaban. Syukur tidak membuat umat vakum. Justru dari syukur lahir rasa ingin tahu, pencarian ilmu, dan pengabdian pada kemaslahatan. Bila karunia akal disyukuri, maka aktivitas ilmiah dianggap ibadah. Bila karunia alam disyukuri, maka eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya diikat oleh etika penjagaan bumi. Sikap ini menjadi penawar terhadap dua ekstrem. Ekstrem pertama ialah materialisme yang menuhankan keberlimpahan dan menilai penderitaan sebagai bahan bakar kompetisi. Ekstrem kedua ialah fatalisme yang memandang penderitaan sebagai takdir yang tidak boleh disentuh. Syukur menggeser keduanya ke poros tengah, tempat manusia memuliakan Pemberi nikmat dengan memuliakan ciptaan Nya.

Bila demikian, bagaimana mengubah ungkapan keras di awal menjadi undangan lembut untuk memperbaiki diri. Pertama, sadari bahwa hati bisa mengeras. Pengakuan ini menembus kebekuan yang sering ditutupi oleh dalih religius. Kedua, latih syukur yang tidak bergantung pada perbandingan. Catat hal hal kecil yang mengandung rahmat, dari udara yang dihirup sampai senyuman orang di rumah, lalu kaitkan semuanya pada amanah. Ketiga, perbanyak tindak berbagi agar syukur berwujud. Keempat, rawat empati melalui perjumpaan, sebab jarak sosial memperpanjang usia kebekuan hati. Kelima, bangun budaya tutur yang menyejukkan agar ruang bersama tidak dipenuhi sorak sorai atas kabar buruk. Dengan langkah langkah seperti ini, syukur berubah dari pernyataan privat menjadi kebijakan batin yang menuntun seluruh gerak.

Akhirnya, perlu ditekankan bahwa tujuan syukur bukan membuat manusia nyaman dalam dunia yang timpang, melainkan menjadikannya agen rahmat. Syukur tidak identik dengan senyum yang menutup mata. Ia adalah kesadaran yang membuka mata lebih lebar, sehingga nikmat tidak menjadi alasan untuk lupa, tetapi modal untuk hadir bagi yang lain. Hati yang bersyukur adalah hati yang mudah tersentuh dan cepat tergerak. Ia menemukan kebahagiaan bukan pada kabar buruk tentang orang lain, melainkan pada kesempatan memperkecil kabar buruk itu. Dengan demikian, ungkapan keras tadi menjadi batu uji. Bila kita masih membutuhkan penderitaan orang lain demi merasakan nikmat, berarti syukur kita belum lahir dari pengakuan dan pengabdian. Yang mengeras bukan nasib dunia, melainkan dinding batin yang perlu dibasahi oleh zikir, ilmu, dan amal.

Renungan ini pada akhirnya berpulang pada pilihan. Tiap hari, manusia dihadapkan pada kabar yang dapat melahirkan dua jenis rasa. Yang satu adalah lega karena orang lain jatuh, yang lain adalah lirih karena ada tugas yang menunggu. Di hadapan dua rasa itu, syukur sejati memilih yang kedua. Ia menundukkan kepala, memuji dengan hati yang sadar, lalu melangkah untuk menyalurkan nikmat. Bila pilihan ini terus diulang, insya Allah batu di dalam dada akan retak dan memancarkan air. Dari celah celah itu tumbuh taman yang membuat orang lain beristirahat. Di situ, syukur menemukan wajah paling indahnya, yakni menjadi oase bagi yang kehausan dan pelita bagi yang kebingungan. Di situ pula, rasa cukup tidak lagi membutuhkan cermin yang memantulkan luka orang lain, karena ia telah menemukan sumber kebahagiaan pada tugas yang diembannya sebagai khalifah di bumi.

Dengan demikian, kajian ini menegaskan bahwa syukur yang menjadikan derita orang lain sebagai pembanding utama adalah syukur yang salah arah. Islam menawarkan bangunan batin yang berbeda, yakni syukur yang berakar pada pengakuan dan tumbuh sebagai pengabdian. Kekerasan hati dapat mengubah syukur menjadi senjata, tetapi kelembutan hati mengubah syukur menjadi jembatan. Jalan menuju kelembutan itu terbuka bagi siapa pun yang mau belajar dari ayat, meneladani Nabi, mensyukuri nikmat dengan memberi, dan menyapa sesama dengan rahmat. Bila langkah langkah ini diambil, maka kalimat pedih di awal tidak lagi menjadi cermin hidup kita. Ia tinggal peringatan yang membuat kita waspada, sementara keseharian kita dipenuhi oleh pujian yang meluaskan manfaat dan kasih yang menyembuhkan.

Posting Komentar

0 Komentar