Reset Total: Ketika Tambalan Hanya Memelihara Luka

Bayangkan sebuah rumah yang dari luar masih tampak berdiri, tetapi seluruh rangkanya sudah dimakan rayap. Kita bisa mengecat ulang, menambal retak, mengganti genteng, bahkan memasang tirai baru. Namun, setiap kali hujan deras, atapnya bocor lagi; setiap kali pintu dibuka, kusennya melesak; setiap kali kita mencoba memperbaiki satu bagian, bagian lain runtuh. Pada titik ini, “perbaikan” bukan lagi tindakan bijak, melainkan semacam hipnotis yang membuat kita lupa satu fakta sederhana: rangka rumah sudah busuk. Dalam keadaan seperti itu, menghancurkan rumah dan membangunnya dari nol bukanlah tindakan barbar, melainkan tindakan waras. Menghancurkan bukan berarti mengamuk tanpa arah; menghancurkan adalah merobohkan dengan tertib, pakai helm dan garis pembatas, agar bangunan yang baru bisa berdiri dengan pondasi yang sehat.


Kita sering takut pada kata “hancur” karena membayangkan ledakan dan kekacauan. Padahal yang dimaksud di sini adalah “pembongkaran terencana”, semacam bedah besar pada tubuh yang mengidap kanker stadium lanjut. Ada tumor yang tidak bisa lagi disembuhkan dengan obat atau terapi kecil-kecilan; ia menyebar, menyusup ke jaringan sehat, memerintah pembuluh darah untuk menyuplai keburukan. Jika kita bersikeras memberi vitamin, kita hanya menyehatkan tumor. Maka tindakan yang tegas memotong bagian yang busuk, menjadi pilihan yang tidak enak tetapi menyelamatkan. Tentu ada risiko, bedah selalu punya risiko. Tetapi mempertahankan tumor karena takut pisau, itu bukan kehati-hatian, itu ketakutan yang menyaru sebagai kebajikan.

Dalam organisasi yang sudah kronis rusaknya, “SDM tidak bisa diubah” sering bukan sekadar kalimat sinis, melainkan deskripsi soal kebiasaan yang mengeras menjadi batu. Ada pola yang berulang, yaitu: orang baik masuk, mencoba berbuat benar, lalu pelan-pelan disapu arus. Ia mulai menyesuaikan diri dengan kelaziman buruk agar tidak dijauhi; ia belajar lelucon yang sama, bahasa isyarat yang sama, alasan yang sama untuk telat dan berkelit. Di dalam kebun yang gulmanya dibiarkan menang, benih sehat pun pelan-pelan tertutup bayang. Anda boleh membawa bibit unggul, menyiram, memberi pupuk. Namun jika tanahnya asam berat, saluran airnya macet, dan matahari tidak pernah sampai karena rimbun yang salah, yang tumbuh justru gulma yang lebih subur. Pada fase ini, membalik tanah secara total membajak dalam, membakar sisa gulma, memetakan ulang bedengbukan pilihan ekstrem, melainkan satu-satunya cara membuat kebun kembali layak tanam.

Banyak orang memuja perbaikan bertahap karena terdengar dewasa. “Jangan tergesa, sedikit demi sedikit.” Kalimat itu benar pada banyak hal, tetapi bisa berbahaya ketika dipakai untuk menutupi kebekuan. Perbaikan kecil di sistem yang salah ibarat mengganti rem mobil yang mesinnya tersendat, rodanya oleng, dan setirnya longgar. Anda akan menganggap mobil “lebih baik” karena remnya empuk, sampai suatu hari mesin mendadak mati di tikungan, dan rem yang barusan diganti tak berguna apa-apa. Perbaikan bertahap memberikan ilusi kemajuan: rapat bertambah, dokumen bertambah, jargon bertambah. Yang tidak bertambah hanya satu: keberesan nyata. Ketika fakta ini menyakitkan, kita memutar volume jargon lebih keras. Kita bicara tentang “roadmap”, “quick wins”, “alignment”, padahal arah tetap buntu. Di sinilah “menghancurkan” adalah cara mematikan musik latar yang menipu telinga, agar kita bisa mendengar suara retak yang sebenarnya.

Mari gunakan metafora sungai. Ada sungai yang tampak mengalir, tetapi di hulu sudah dibendung kelompok yang berkuasa. Di hilir, warga masih melihat air, masih bisa mencuci, masih bisa menimba. Mereka merasa “ya lumayan mengalir kok.” Padahal aliran itu sisa-sisa; air beningnya habis, yang tersisa lumpur. Upaya “perbaikan” yang hanya membersihkan hilir sekadar membuat lumpur tampak rapi. Lumpur tetap lumpur. Jalan keluar satu-satunya adalah ke hulu: robohkan bendungan haram itu. Apakah mengrobohkan bendungan akan membuat sungai “berantakan” sementara? Ya. Lumpur akan terguncang, ikan-ikan lari. Tetapi hanya dengan cara itu, aliran alami bisa pulih. Menghancurkan bendungan bukan hobi keributan; itu bentuk keadilan pada sungai.

Banyak yang berkata, “Tapi menghancurkan itu berisiko, nanti yang menderita rakyat kecil.” Benar, transisi selalu membawa risiko. Namun mari jujur: siapa yang menanggung ongkos dari sistem buruk yang dibiarkan? Rakyat kecil juga. Mereka menanggung antrian yang tak berkesudahan, pungli yang menggerogoti nafkah, layanan yang tidak peka. Risiko transisi bisa dikelola dengan jembatan seperti mendirikan dapur umum ketika pasar lama dibongkar untuk dibangun ulang,sedangkan risiko dari membiarkan kebusukan hanya akan menumpuk tanpa ujung. Menghindari pembongkaran atas nama “stabilitas” sering kali adalah stabilitas untuk siapa? Jawabannya: stabilitas untuk mereka yang diuntungkan dari carut-marut itu.

Ada argumen lain yang sering muncul: “SDM bisa dilatih, diberi teladan, diberi dorongan.” Tentu bisa, dan pada kondisi normal bahkan dalam kondisi buruk tapi belum akut itulah pilihan pertama. Tapi ada ambang batas ketika pelatihan berubah menjadi sandiwara. Lembaga yang selama puluhan tahun dibangun di atas transaksi, bukan pelayanan, biasanya punya “sistem imun” yang menolak semua antibodi perbaikan. Ia akan menyerap istilah keren, memajang slogan, mengundang narasumber, memotret di aula, tetapi menyingkirkan inti perubahan saat rapat pintu tertutup. Anda bisa menilai dari tanda-tandanya: orang-orang yang benar disingkirkan, orang-orang yang bertanya dilabeli pembuat gaduh, orang-orang yang menyala padamkan lampu di ruang-ruang sunyi. Jika gejala ini menyebar seperti kabut pagi, maka menambah lampu bukan solusi, Anda harus membuka jendela selebar-lebarnya, meski angin masuk dan kertas berterbangan. Itu yang saya maksud dengan “menghancurkan” membuka jendela selebar-lebarnya sampai struktur lama tidak tahan lagi dan runtuh.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, ada kalanya “reset pabrik” lebih masuk akal daripada “servis ringan”. Komputer yang terlalu banyak virus, file sampah, program tumpang tindih, kadang tidak lagi tertolong oleh uninstall dan antivirus. Ia butuh diformat. Pemformatan memang menghapus banyak hal, termasuk hal-hal yang sebenarnya masih berguna. Tetapi hasilnya bersih, cepat, dan jelas. Setelah diformat, kita hanya menginstal program yang perlu, membuat folder dengan tata nama yang rapi, memasang firewall dari awal. Sistem operasi berjalan sebagaimana mestinya. Ini bukan glorifikasi teknik “bakar hutan”, melainkan pengakuan jujur bahwa beban warisan kadang terlalu berat untuk dipanggul oleh niat baik dan tambalan-tambalan.

“Bagaimana dengan pengalaman dan pengetahuan yang hilang?” Ini keberatan yang layak. Pengalaman itu penting. Namun kita harus berani membedakan pengalaman yang menjadi aset dengan pengalaman yang menjadi jerat. Ada pengalaman yang menajamkan keahlian; ada juga pengalaman yang hanya mengajarkan cara memelintir prosedur. Ketika pengalaman kolektif suatu lembaga adalah katalog cara-cara mengakali aturan, maka mewarisinya adalah malapetaka. Lebih baik kehilangan sebagian keterampilan teknis sementara yang bisa dipelajari ulang daripada mewarisi kebiasaan buruk yang menular seperti flu. Ingat, kebiasaan buruk punya kecepatan sebar yang lebih tinggi daripada ilmu baik, karena kebiasaan buruk menawarkan hasil cepat bagi pelakunya.

Kita juga harus jujur soal “biaya harapan palsu”. Perbaikan bertahap yang tidak sampai ke akar memakan waktu, energi, dan, yang paling mahal, kepercayaan. Orang-orang yang masih peduli akan ikut, bekerja, mencoba; ketika gagal, mereka lelah. Dua atau tiga putaran kegagalan seperti ini cukup untuk mematikan sisa-sisa kesungguhan. Setelah itu, proses perbaikan kehilangan “bahan bakar moral”-nya. Di titik itulah, pembongkaran menghadirkan sesuatu yang tak dimiliki perbaikan kosmetik: kejernihan moral. Ia berkata tegas, “Yang dulu tidak bisa dibiarkan. Kita mulai dari awal.” Kejernihan seperti ini menyatukan orang yang sebelumnya tercerai berai oleh kompromi kecil-kecilan yang melelahkan.

Ada yang menakut-nakuti kita dengan kata “kekacauan pasca-runtuh”. Benar, ada risiko kekosongan. Tetapi kekosongan bisa diisi dengan rancangan. Menghancurkan secara terencana bukan meloncat ke jurang, melainkan membangun jembatan sementara sambil merobohkan jembatan lama yang rapuh. Bayangkan pasar yang harus dibongkar karena strukturnya membahayakan. Pemerintah yang bertanggung jawab tidak sekadar meratakan tanah. Ia menyiapkan tenda sementara, jalur evakuasi, petugas keamanan, potongan biaya sewa. Selama beberapa bulan, tentu terasa kurang nyaman. Tetapi begitu pasar baru berdiri lebih terang, lebih bersih, aliran udara baik, kita akan bertanya-tanya mengapa dulu kita bertahan di tempat yang gelap dan pengap begitu lama. Transisi yang tidak nyaman adalah harga yang adil untuk tujuan yang sehat; yang tidak adil adalah menyuruh warga terus hidup di bangunan yang sewaktu-waktu bisa menimpa kepala mereka.

Kita juga perlu menyentuh wilayah yang sering dianggap tabu, niat baik di bawah atap buruk berubah wujud. Orang-orang baik yang numpang hidup di sistem busuk lama-lama belajar cara bertahan. Mereka akan bilang, “Saya hanya mengikuti aturan main.” Ini kalimat paling mengerikan karena menandakan akal sehat sedang dimuseumkan. Menghancurkan atap buruk maksudnya, struktur yang memaksa orang baik menjadi penonton memberi kesempatan agar orang-orang itu bangun dan memilih peran baru. Sementara kita terus mengecat atap lama, mereka akan tetap mengatakan kalimat yang sama. Harapan mereka bukan di tambalan, harapan mereka di langit yang benar-benar terbuka.

Mungkin Anda bertanya, “Kalau dihancurkan, siapa yang membangun ulang?” Pertanyaan ini penting. Jawabannya, bukan wajah yang sama dengan peran yang sama, bukan pola yang sama dengan janji baru. Menghancurkan yang saya bela mensyaratkan dua hal, tim pendiri yang baru dan kontrak sosial yang baru. Tim pendiri bukan berarti semua orang lama dibuang; yang dibuang adalah pola lama. Mereka yang memilih ikut pola baru boleh ikut, tetapi bukan sebagai pewaris, melainkan sebagai pelajar. Kontrak sosial yang baru artinya aturan main yang jelas sejak awal: rekrutmen terbuka, atasan memberi teladan, hukuman dan hadiah tegas, dan yang paling utama, pelayanan sebagai pusat, bukan transaksi. Tanpa dua hal ini, menghancurkan hanya mengganti papan nama.

Ada pula keberatan klasik: “Perubahan total itu utopis.” Tidak juga. Lihatlah hal-hal kecil yang berhasil di banyak tempat karena berani memulai dari nol di ruang yang lebih kecil: unit layanan terpadu yang baru dilahirkan dengan SOP baru, sekolah yang berdiri dengan kultur baru, kota yang berani menerapkan tata kelola baru. Mereka sering memulai sebagai “pulau” yang kebal dari arus lama. Pulau ini kemudian membesar, menjadi bukti hidup bahwa desain baru bisa bekerja. Nah, menghancurkan yang saya dukung tidak selalu berarti memusnahkan seluruh negara dalam satu malam. Ia bisa berarti merobohkan sektor kunci yang menjadi jantung keburukan dan membangunnya sebagai “pulau baru” dengan tembok aturan yang jelas, lalu menumbuhkan pulau itu sampai menjadi daratan utama. Ini bukan fantasi; ini strategi.

Mari kembali ke metafora kapal. Ada kapal yang lambungnya tambal-sulam, mesinnya sering mati, dan para awaknya terbiasa tidur di jam jaga. Kapal seperti ini mungkin masih mengapung karena pelaut-pelaut tua tahu trik untuk menahan air masuk. Tapi ombak tidak selalu ramah. Satu badai besar cukup untuk mengajar kita bahwa “masih bisa jalan” bukan ukuran. Mengganti papan satu per satu di tengah laut punya batas. Pada titik tertentu, kita perlu menepi ke galangan, mengangkat kapal, dan membongkar sampai rangka. Ya, selama itu, kapal tidak mengangkut penumpang. Tetapi ketika kembali ke laut, kapal tidak lagi hidup dari “trik”; ia hidup dari rancangan yang benar. Jika kita tidak pernah berani menarik kapal ke galangan karena takut kehilangan pemasukan sementara, maka kapal itu sebenarnya adalah kasino terapung yang mempertaruhkan nyawa semua orang di dalamnya.

Apakah semua ini berarti menghancurkan selalu lebih baik daripada memperbaiki? Tidak. Tetapi esai ini sengaja menimbang ke arah “ya” untuk kondisi yang Anda sebut: SDM dianggap tidak bisa diubah. Dalam kondisi seperti itu, memperbaiki justru menjadi cermin palsu yang memanjangkan derita. Menghancurkan menghadirkan tiga keunggulan yang sukar ditandingi perbaikan kosmetik. Pertama, kebersihan arsitektur. Struktur baru memungkinkan kita mendesain ulang alur keputusan, pintu masuk, jendela pengawasan, sirkulasi insentif, tanpa tersandera warisan lama. Kedua, kejelasan moral. Ia memberi garis tegas antara “sebelum” dan “sesudah”, yang membuat orang tidak bisa lagi bersembunyi di area abu-abu. Ketiga, energi sosial. Fase “awal mula” memanggil orang-orang yang dulu letih menjadi kembali percaya, karena ruang dirancang untuk mereka, bukan untuk kebiasaan tua.

“Bagaimana memastikan tidak jatuh ke lubang yang sama?” Pertanyaan ini tidak membatalkan gagasan menghancurkan; justru menguatkannya. Lubang yang sama muncul ketika kita berpindah kulit tanpa mengganti tulang. Menghancurkan yang benar memulai dari tulang: konstitusi organisasi, tata kuasa, sistem data, cara uang masuk dan keluar, cara orang dimasukkan dan dikeluarkan, cara warga menuntut dan menilai. Bila tulangnya diganti, kulit akan mengikuti. Bila yang diganti hanya kulit, tulang akan memaksanya kembali bengkok.

Kita tidak buta pada dampak manusiawi. Menghancurkan selalu berarti mengguncang hidup orang. Karena itu, “menghancurkan” yang saya bela datang bersama empati yang konkret: pesangon yang adil, program jembatan kerja, layanan minimal yang dijaga selama transisi, jalur cepat untuk urusan mendesak. Empati bukan alasan untuk mempertahankan bangunan busuk; empati adalah cara memastikan puing-puing tidak menimpa yang paling lemah. Di sini kita belajar membedakan dua hal yang kerap disamakan: kelembutan dan kelemahan. Kelembutan merobohkan dengan hati-hati. Kelemahan membiarkan bangunan roboh sendiri di malam hari tanpa peringatan, menimpa siapa saja yang kebetulan lewat.

Pada akhirnya, keputusan menghancurkan adalah keputusan berani untuk berhenti berputar di lingkaran “nanti juga membaik”. Ia memotong simpul gordian yang selama ini kita elus-elus tanpa pernah benar-benar diurai. Ada momen dalam hidup pribadi kita ketika kita menutup buku lama dan membuka halaman kosong, bukan karena kita benci menulis, tetapi karena kertasnya sudah terlalu penuh coretan, tinta tumpah, dan sobek-sobek. Kita butuh halaman baru untuk menulis dengan rapi. Begitu pula dengan instansi dan negara. Halaman baru bukan jaminan cerita akan indah, tetapi ia memberi kesempatan keindahan itu terjadi kesempatan yang tidak mungkin ada jika kita terus menulis di atas kusut yang sama.

Jadi, jika Anda berdiri di depan rumah yang rangkanya sudah rayap total, di depan sungai yang hulunya dipasung, di depan kapal yang disatukan oleh harapan dan lakban, jangan biarkan kata “menghancurkan” ditipu oleh reputasi buruknya. Di tangan yang bertanggung jawab, menghancurkan adalah seni merawat masa depan: seni mengosongkan ruang agar kehidupan yang sehat bisa berakar, seni menutup bab yang busuk agar bab berikutnya punya peluang adil. Dan bila selama ini Anda mencintai perbaikan, saya juga. Tetapi cinta yang matang tahu kapan harus merelakan, kapan harus menaruh palu di tangan, menyiapkan garis pembatas, dan berkata, dengan tenang namun tegas: “Kita robohkan. Kita bangun ulang. Kali ini, benar.”

Posting Komentar

0 Komentar