Di permukaan, pernyataan “rezeki itu semuanya milik Allah; mau di laut, di darat, atau di udara, asalkan halal kenapa tidak diambil? Yang penting terima saja, syukuri” terdengar religius, optimistis, dan sederhana. Ia menggabungkan tiga gagasan: rezeki sebagai pemberian Ilahi, legitimasi mengambil semua peluang selama “halal”, dan anjuran psikologis untuk menerima serta bersyukur apa pun hasilnya. Namun ketika kalimat ini diangkat dari ruang motivasi menuju ruang nalar, etika, ekonomi, sosiologi, psikologi, serta ilmu keprofesian. Kita mendapati struktur yang rapuh. Ia mendorong legalisme minimal, memandulkan kompetensi, menyembunyikan problem keadilan distributif, dan menyuburkan budaya oportunisme yang ujungnya merusak kualitas manusia dan tatanan bersama. Di balik ajakan “terima saja, syukuri” mengintai bahaya yang lebih subtil, ersatz-syukur yang melalaikan ikhtiar, mengaburkan antara halal-murni dan halal-formal, serta mereduksi amanah menjadi perburuan peluang. Kritik ini tidak menolak dimensi teologis bahwa sumber segala rizki adalah Allah, tetapi menolak deduksi etis yang keliru dan implikasi praktis yang menggerogoti kompetensi.
Pertama-tama, mari bedah klaim “semua rezeki milik Allah.” Banyak tradisi mengakui bahwa sumber segala karunia adalah Tuhan. Akan tetapi, dari proposisi metafisis tidak otomatis turun kesimpulan normatif bahwa semua peluang yang tampak “halal” layak disergap tanpa syarat. Dalam etika keutamaan, sumber bukan satu-satunya pertimbangan; cara, niat, dampak, dan kualitas pelaku turut menentukan moralitas tindakan. Prinsip ini juga hidup dalam etika muamalah: halal bukan sekadar tanda lulus formal, melainkan horizon nilai yang memayungi keadilan (‘adl), ihsan, amanah, dan kehati-hatian terhadap mafsadah. Menyempitkan halal menjadi “tidak melanggar pasal X atau label Y” menempatkan kita pada jurang legalisme minimal: selama tidak ada larangan eksplisit, maka sergap. Padahal dalam kerangka maqasid, larangan eksplisit hanyalah pagar luar; di dalamnya ada kebajikan-kebajikan positif yang menuntut habituasi: integritas proses, kualitas produk, perlindungan yang lemah, dan maslahat lingkungan. Maka, kesimpulan “ambil saja semua yang halal” adalah lompatan logis dari premis yang benar menuju praktik yang keliru.
Kedua, gagasan “ambil semua yang halal” cenderung memicu budaya oportunisme yang halus. Oportunisme adalah orientasi ke peluang demi peluang tanpa komitmen mendalam terhadap mutu, kefasihan moral, dan keberlanjutan jangka panjang. Ia tampak efisien di jangka pendek namun menumpulkan pedang kompetensi. Seorang profesional yang mengejar setiap peluang yang “boleh” akan membagi fokusnya pada spektrum aktivitas yang terlalu lebar, menjadi generalis dangkal yang bergantung pada momentum pasar, bukan pada penguasaan ilmu dan ketekunan riyadhah keilmuan. Kompetensi sebagai gabungan pengetahuan, keterampilan, dan karakter, yang tumbuh melalui fokus, latihan deliberatif, umpan balik yang jujur, dan standar mutu yang tinggi. Budaya “ambil saja asalkan halal” membisikkan narasi lain: volume mengalahkan presisi, momentum mengalahkan mastery. Hasilnya adalah generasi praktisi yang gesit mengulik celah, tetapi gagap tatkala dituntut standardisasi, keselamatan, dan akuntabilitas.
Ketiga, doktrin “yang penting terima saja, syukuri” mudah tergelincir menjadi anestesi sosial. Secara spiritual, syukur adalah energi etik yang harusnya melahirkan produktivitas, kepedulian, dan keunggulan. Namun syukur yang dipisahkan dari ikhtiar dan itqan berubah menjadi resignasi: penerimaan yang pasif, yang mensterilkan dorongan untuk memperbaiki proses, memperjuangkan keadilan, atau meningkatkan mutu. Dalam psikologi kinerja, ada garis tipis antara tawakal yang matang dan learned helplessness. Yang pertama menumbuhkan ketenangan setelah ikhtiar maksimal; yang kedua mematikan motivasi karena dunia dianggap sepenuhnya di luar kendali. Slogan “terima saja” tanpa akuntabilitas proses membuka pintu ke yang kedua. Ia melemahkan growth mindset, menggeser locus of control sepenuhnya ke luar, dan menormalkan hasil apa adanya meski prosesnya ceroboh. Pada skala organisasi, ini menjelma budaya “asal jalan” tidak ada postmortem yang jujur, tidak ada continuous improvement, tidak ada standar mutu yang ditingkatkan. Semua dilapisi gula kata “syukur”.
Keempat, reduksi halal ke bentuk legal-formal meminggirkan dimensi tayyib dan adl. Sebuah produk bisa lolos standar tertentu namun merusak tatanan sosial-ekologis secara sistematis. Mengambil semua peluang “halal” tanpa mempertimbangkan eksternalitas berarti mengabaikan prinsip mencegah kerusakan yang lebih besar. Contoh yang nyata adalah praktik eksploitasi sumber daya yang sah secara hukum, namun berdampak pada kerusakan ekologis, ketimpangan, dan kesehatan publik. Dalam etika kebajikan, pilihan baik menyatukan niat, cara, dan dampak. Membela diri dengan “kan halal” adalah moral licensing: merasa telah memenuhi syarat minimal sehingga merasa bebas dari kewajiban yang lebih tinggi. Inilah akar dari krisis mutu di banyak sektor: perancang mengabaikan keamanan karena “sesuai regulasi”, pebisnis mengabaikan transparansi karena “tidak ada pasal yang dilanggar”, pengelola mengabaikan keselamatan kerja karena “audit lulus”. Label minimal membuat batin merasa aman, padahal kewajiban moral belum ditunaikan.
Kelima, narasi ini juga gagal membaca relasi antara rezeki, struktur, dan keadilan. Mengatakan “semua milik Allah, ambil saja yang halal” mengalihkan lensa dari struktur ketidakadilan menuju moral individu yang patuh. Ia berpotensi melegitimasi status quo: orang yang diuntungkan struktur akan membaca kalimat itu sebagai ajakan meraup lebih banyak, sementara yang terpinggirkan dibujuk untuk “menerima saja”. Padahal keadilan menuntut koreksi struktural: memastikan akses, perlindungan, dan peluang tidak dimonopoli. Rasa syukur yang sehat tidak anti pada kritik sistem; ia justru mendorong perbaikan tata kelola agar karunia tidak membusuk menjadi privilese yang memacetkan mobilitas sosial. Bila syukur dijadikan bantal empuk untuk tidur, kita menukar potensinya menjadi sedatif sosial.
Keenam, dari sudut pandang teori pilihan rasional dan ekonomi kelembagaan, perintah “ambil semua yang halal” menormalisasi strategi sergap tanpa analisis peluang-biaya. Tidak semua peluang halal layak diambil jika ongkos implisitnya adalah kehancuran reputasi jangka panjang, kanibalisasi fokus inti, atau menurunnya standar keselamatan. Laba tidak identik dengan nilai. Perusahaan dan profesional unggul menolak sebagian peluang yang secara formal “boleh” karena mengaburkan proposisi nilai, mencederai merek, atau mengganggu iklim psikologis tim. Menolak adalah bagian dari strategi. Prinsip ini paralel dengan etika asketik-kerja: kemampuan mengatakan “cukup” dan “tidak” demi kebaikan yang lebih tinggi. Budaya “ambil semua” menumpulkan kepekaan akan batas, menutup telinga dari panggilan kurasi. Kurasi adalah seni keunggulan: memilih sedikit untuk mengerjakan dengan sempurna.
Ketujuh, bahaya kompetensi yang mengintai dalam gagasan itu menyelinap lewat tiga saluran. Saluran pertama adalah pembiasaan standar minimal. Ketika standar etis didefinisikan pada ambang “halal formal”, standar teknis akan turun menyamai ambang “sekadar berfungsi”. Minimalisme moral menyedot minimalisme teknis. Kita melihatnya di proyek infrastruktur yang selesai tepat waktu di atas kertas namun cepat rusak; pada layanan yang memenuhi SLA tetapi mengabaikan empati; pada penelitian yang sahih statistiknya namun miskin validitas ekologi. Saluran kedua ialah fragmentasi identitas profesional. Mengejar banyak peluang memecah perhatian, memutus rantai latihan mendalam, dan memperkecil intensitas feedback loop yang dibutuhkan untuk mastery. Kompetensi lahir dari keutuhan identitas: saya seorang perawat yang berdedikasi pada keselamatan pasien; saya seorang insinyur yang berdedikasi pada keandalan sistem. Oportunisme mengubah identitas menjadi topeng sementara yang berganti sesuai peluang. Saluran ketiga ialah rasionalisasi spiritual. Ketika hasil buruk muncul, bukannya melakukan introspeksi proses, pelaku berlindung di balik “rezeki sudah diatur; kita terima dan syukuri”. Rasionalisasi spiritual memutus korelasi antara sebab-akibat dalam domain yang seharusnya kita kelola. Akhirnya organisasi berjalan tanpa pembelajaran; kesalahan berulang berganti kostum.
Kedelapan, terdapat kerancuan antara tawakal dan fatalisme. Tawakal yang matang menuntut ikhtiar serius, menambatkan unta, memeriksa simpul, mengaudit proses. Setelah itu baru kemudian menyerahkan hasil. Fatalisme menanggalkan kompetensi dengan argumentasi. Di balik selimut metafor “semua rezeki milik Allah” seseorang bisa menyembunyikan kemalasan menyiapkan prosedur, enggan membaca literatur, atau menolak kritik rekan sejawat. Dalam tradisi intelektual mana pun, kemalasan epistemik adalah dosa profesional. Ia memanipulasi bahasa iman untuk menghindar dari labor ilmu. Padahal iman yang sehat menyalakan keberanian menatap cacat sendiri, karena harga diri tidak bergantung pada performa semata, melainkan pada kejujuran menunaikan amanah.
Kesembilan, dari kacamata moral, “ambil semua” mengaburkan ajaran tentang cukup, hemat, dan menolak israf. Banyak perilaku merusak bumi sah secara hukum dan halal secara bahan, tetapi melampaui batas kebijaksanaan kolektif. Mengambil semua peluang konsumsi yang tidak melanggar aturan mengundang kehancuran gradual: limbah, emisi, eksploitasi sumber daya, dan ketidakadilan antar generasi. Etika syukur semestinya menumbuhkan stewardship: merawat, bukan melahap. Syukur yang benar mendorong pengekangan diri: kita tidak mengambil semua yang boleh kita ambil, karena kita menjaga ruang hidup bersama. Menjadikan halal sebagai tiket tanpa rem mempercepat kendaraan menuju jurang.
Kesepuluh, ada aspek epistemologis yang sering dilupakan: kita jarang sekali benar-benar tahu apakah sesuatu sungguh “halal” dalam konsekuensi luasnya. Pengetahuan kita terbatas, rantai pasok rumit, dampak jangka panjang sulit diprediksi. Karena itu, etika kehati-hatian (precautionary) justru semakin relevan di era kompleksitas. “Asalkan halal” adalah klaim kepastian atas domain yang sarat ketidakpastian. Praktik profesional yang bermartabat menyematkan rem kerendahan hati: jika ragu, teliti lagi; bila dampaknya sistemik, uji lebih keras; bila menyangkut nyawa, naikkan standar. Pernyataan “ambil semua” tak menyisakan ruang bagi keraguan konstruktif.
Kesebelas, dalam ekosistem organisasi, narasi “terima saja, syukuri” menyuburkan budaya tanpa retrospektif. Padahal learning organization tumbuh dari siklus build–measure–learn yang jujur. Hanya dengan pasca-aksi yang telanjang kita bisa menaikkan kualitas. Mendorong karyawan “menerima hasil” tanpa membedah proses adalah anti-sains. Ia memutus kanal data yang seharusnya menjadi bahan bakar peningkatan. Syukur bukan berarti anti-umpan balik; syukur justru menyediakan emosi stabil untuk menelan kritik. Bila syukur dijadikan dalih menutup percakapan tentang kesalahan, ia menjadi kemasan manis bagi budaya anti-akuntabilitas.
Keduabelas, kita perlu membedakan antara “peluang halal” dan “panggilan profesi”. Tidak semua peluang cocok dengan panggilan. Panggilan merujuk pada koherensi bakat, minat, dan kebutuhan dunia yang bisa kita layani dengan baik. Pengejaran karier yang didorong semata oleh peluang legal akan melahirkan kelelahan eksistensial, sinisme, dan sinyal kualitas yang kacau. Pasar tenaga kerja modern mengandalkan sinyal: portofolio, publikasi, testimoni. Sinyal yang tidak konsisten membuat kepercayaan rapuh. Menolak peluang yang tidak sejalan dengan panggilan bukan ketakutan; itu disiplin. Dengan begitu kompetensi mengental di domain yang tepat, reputasi memadat, dan kontribusi membesar.
Ketigabelas, mari kembali ke definisi syukur. Syukur yang dewasa bukanlah perasaan hangat atau ucapan ritual; ia adalah praksis. Dalam bangunan etika kerja, syukur memanifestasi melalui itqan, tekun, rapi, tuntas serta amanah dan tepat janji, transparan, dapat dipercaya. Syukur seperti ini bukannya “terima saja” melainkan “kerjakan setulus dan sebaik mungkin; bila gagal, bertobat proses; bila berhasil, jangan pongah.” Syukur tidak mematikan rasa lapar pada ilmu; syukur menyehatkan lapar itu agar tidak berubah menjadi kerakusan. Syukur yang beradab selalu diiringi qana’ah dan wara’: sikap cukup dan hati-hati. Di sinilah luka paling besar dari slogan yang kita kritik: ia mereduksi syukur menjadi anestesi emosional, bukan energi moral.
Keempatbelas, pada tataran kebijakan dan tata kelola, mengabsolutkan “ambil semua yang halal” mudah berubah menjadi pembenaran perburuan rente. Banyak kebijakan publik sah secara prosedural namun rancu secara moral, misalnya ketika regulasi dirancang demi kelompok tertentu. Para aktor lalu merasa aman karena bermain dalam koridor “legal”. Namun keadilan substantif tercederai. Etika kebijakan yang matang menguji kebijakan pada tiga lensa sekaligus: prosedur, substansi, dan dampak. Lolos satu lensa tidak cukup. Gugatan terhadap slogan kita terletak di sini: ia memberikan pelukan hangat pada prosedur, dan melupakan dua lensa lain.
Kelima belas, konsepsi rezeki sebagai pemberian Ilahi seharusnya mendorong etos stewardship, bukan predasi. Bila saya memandang harta, kesempatan, dan talenta sebagai titipan, maka logis bahwa saya harus memeliharanya dengan standar tinggi, membaginya adil, dan mengembangkannya. Titipan menuntut kompetensi; pemilik bisa ceroboh atas haknya sendiri, penjaga tidak boleh ceroboh atas titipan orang. Menyulap “titipan” menjadi “pembenaran” “karena ini titipan Tuhan, ya saya ambil saja sebanyak mungkin” adalah ironi etis. Titipan melahirkan tanggung jawab, bukan lisensi.
Keenam belas, kita perlu mengajukan kerangka alternatif yang lebih sehat. Pertama, tegaskan hierarki nilai: halal adalah fondasi, bukan plafon. Di atas fondasi itu berdirilah tayyib, adl, ihsan, amanah, dan maslahah. Keputusan etis melewati kesemua lapis ini. Kedua, rezeki dipahami sebagai ladang amanah yang meminta pembenahan diri terus-menerus: belajar, berlatih, menerima kritik, dan memperbaiki proses. Syukur terwujud sebagai disiplin, bukan sekadar afirmasi. Ketiga, kompetensi dipelihara melalui fokus strategis: memilih peluang yang menguatkan proposisi nilai inti, menolak peluang yang menggoda namun mengganggu pondasi. Keempat, keberanian mengatakan “cukup” menjadi kebajikan yang dihormati, sebab tanpa cukup tidak ada ruang bagi keadilan ekologis dan sosial. Kelima, kehendak untuk menimbang eksternalitas menjadi kebiasaan: jika peluang halal pada dirinya, apakah dampaknya pada yang rapuh, pada lingkungan, pada jangka panjang? Bila ragu, perlambat, teliti, dan mungkin menahan diri.
Ketujuh belas, secara psikologis-spiritual, kita perlu mendamaikan dua dimensi: ketenteraman hasil dan kegelisahan proses. Ketenteraman hasil adalah buah tawakal: apapun hasilnya, hati lapang. Kegelisahan proses adalah motor itqan: selalu ada yang bisa diperbaiki. Slogan yang kita kritik mematikan kegelisahan proses. Ia mengganti keingintahuan dengan kepasrahan, mengganti audit dengan mantra. Padahal keseimbangan sehat adalah hati yang tenang di ujung hari dan tangan yang tetap kotor oleh kerja di siang hari. Spiritualitas yang menghidupkan kompetensi adalah spiritualitas yang memaksa kita menatap data, bukan menolak data atas nama “penerimaan”. Ia memeluk kenyataan pahit sebagai bahan bakar perbaikan.
Kedelapan belas, pada aras pendidikan, menyuburkan kata-kata yang salah akan mencetak kurikulum yang salah. Bila murid-murid disuapi narasi “rezeki sudah diatur, ambil semua yang halal, terima saja dan syukuri” tanpa pengimbangan kewajiban ilmiah, mereka akan terbiasa dengan pelajaran hafalan tanpa riset, skripsi tanpa metode, praktik tanpa standar keamanan. Pendidikan yang baik justru menegaskan: tugasmu ialah menguasai alat konseptual, menguji hipotesis, menyusun argumen, dan melayani masyarakat dengan kerja bermutu. “Syukur” di sekolah berarti tidak mencontek, tidak mengambil jalan pintas, dan tidak memanipulasi data. Bila “syukur” dilatih sebagai pengganti integritas, generasi kompeten tidak akan lahir.
Kesembilan belas, mari kita bayangkan konsekuesi jangka panjang bila slogan ini dijadikan landasan peradaban. Profesi-profesi yang memerlukan akurasi tinggi, kedokteran, penerbangan, teknik sipil, keamanan siber akan kehilangan ethos introspektifnya. Kecelakaan diinterpretasi sebagai “rezeki buruk” alih-alih “kegagalan sistem yang harus diperbaiki.” Skandal kualitas dibaca sebagai “nasib” alih-alih “konsekuensi dari kanibalisasi fokus.” Dan ketika publik kecewa, kita mungkin tergoda memakai agama sebagai tameng dari kritik, merusak kepercayaan pada agama itu sendiri. Padahal peradaban yang sehat adalah yang memungkinkan etika publik menilai kinerja secara transparan, sementara spiritualitas pribadi menguatkan pelaku untuk menerima hasil evaluasi tanpa hancur harga diri.
Keseratus sebagai penutup yang menyintesis argumen panjang ini, kita bisa berkata begini: rezeki sebagai milik Allah adalah fondasi teologis yang menenteramkan, tetapi ia tidak pernah dimaksudkan untuk memandulkan agensi, mereduksi halal menjadi pagar minimal, atau melemahkan kompetensi. Setiap peluang harus disaring tidak hanya oleh status “halal”, tetapi juga oleh panggilan profesi, dampak jangka panjang, keadilan distributif, dan komitmen terhadap itqan. Syukur yang benar tidak pernah mematikan kritik; ia menyediakan emosi stabil untuk melakukan kritik terhadap diri sendiri. Tawakal yang benar tidak pernah menggantikan ikhtiar; ia memberi rumah bagi jiwa setelah ikhtiar maksimal dikerahkan. Dan kompetensi yang hidup tidak pernah lahir dari perintah “ambil semua yang boleh”, melainkan dari seni memilih dengan berani menolak sebagian besar demi mengerjakan yang terpilih dengan sangat baik.
Karena itu, betapa buruknya pemikiran yang menjadikan “asalkan halal, ambil” sebagai kaidah umum: ia menanam legalisme minimal, menyuburkan oportunisme, menidurkan akal epistemik, merusak kurikulum kompetensi, dan menyamarkan ketidakadilan struktural di balik retorika syukur. Bahaya kompetensi yang mengintai bukan ancaman samar; ia adalah arsitek diam-diam dari kejatuhan mutu. Jalan keluarnya bukan meninggalkan syukur atau menafikan rezeki sebagai karunia, melainkan menegakkan interpretasi yang dewasa: halal sebagai fondasi, tayyib sebagai kualitas, adl sebagai tujuan, ihsan sebagai standar, amanah sebagai cara, maslahah sebagai horizon, dan itqan sebagai habitus. Dengan demikian, kita tidak lagi “mengambil semua”, melainkan “mengambil secukupnya, mengerjakan sebaik-baiknya, dan mengembalikannya kepada Yang Memberi dalam wajah kemaslahatan”. Di situlah teologi berpadu dengan etika, syukur berpadu dengan kompetensi, dan spiritualitas melahirkan keunggulan yang nyata di dunia.


0 Komentar