Dalam kehidupan, kita sering melihat orang yang tampaknya sudah memiliki segalanya. Ia punya ilmu yang luas, ia memiliki kekayaan yang cukup, bahkan mungkin jabatan dan status sosial yang tinggi. Namun anehnya, kehadirannya tidak membawa manfaat bagi orang lain. Ilmunya tidak pernah ia gunakan untuk mengajar, membimbing, atau memberi inspirasi. Kekayaannya tidak pernah ia alirkan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Jabatannya tidak pernah ia gunakan untuk memperjuangkan kepentingan banyak orang. Ia hidup untuk dirinya sendiri, sibuk dengan kesenangan pribadi, dan tenggelam dalam kemalasan yang membungkam semua potensi kebaikan yang seharusnya bisa lahir darinya.
Fenomena ini sangat relevan untuk direnungkan, karena dalam Islam, ilmu dan kekayaan bukanlah tujuan akhir, melainkan amanah. Keduanya bukan sekadar simbol kesuksesan, tapi ujian besar tentang sejauh mana manusia mampu memanfaatkannya untuk kesejahteraan bersama. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashash: 77).
Ayat ini menegaskan bahwa kekayaan dan nikmat yang Allah berikan harus diarahkan untuk kebaikan, bukan untuk kesia-siaan.
Orang yang malas dimulai dari malas belajar, malas bekerja, malas memberi. Dampaknya akan mengubur potensi dirinya. Ilmunya bagaikan buku yang tertutup berdebu, tidak pernah dibaca orang lain. Kekayaannya bagaikan harta karun yang dikubur dalam tanah, tidak pernah dipakai untuk kebaikan. Padahal Rasulullah ï·º bersabda
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad).
Artinya, ukuran keberhasilan seseorang bukan hanya seberapa banyak ia memiliki, tapi seberapa banyak ia memberi manfaat.
Sayangnya, kemalasan membuat seseorang lebih suka berdiam diri dalam zona nyaman. Ia mungkin berkata, “Untuk apa susah-susah? Bukankah aku sudah cukup bahagia dengan hidupku sendiri?” Kalimat seperti ini terdengar wajar, tetapi jika diteliti lebih dalam, sebenarnya itu adalah bentuk egoisme yang halus. Ia lupa bahwa nikmat yang ia punya bukan hanya untuk dirinya, melainkan titipan dari Allah yang harus dibagikan kepada orang lain.
Sejarah mencatat banyak orang yang memiliki ilmu atau harta, namun karena malas, ilmunya terkubur dan hartanya tidak pernah menjadi amal jariyah. Ada ilmuwan yang menulis ribuan halaman pengetahuan, tetapi karena malas mengajarkannya, karyanya hilang ditelan waktu. Ada saudagar yang memiliki harta melimpah, tetapi karena malas bersedekah, hartanya lenyap tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Inilah yang disebut sebagai kesuksesan yang mandul, sukses yang tidak pernah melahirkan kesejahteraan bagi orang lain.
Kemalasan dalam Islam dipandang sebagai penyakit berbahaya. Rasulullah ï·º bahkan berdoa agar dilindungi darinya:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan pikun, serta dari siksa kubur.” (HR. Bukhari-Muslim).
Doa ini menunjukkan bahwa malas bukan sekadar kelemahan kecil, melainkan penyakit yang bisa membunuh produktivitas spiritual dan sosial seorang muslim.
Di era modern, kita sering menjumpai orang-orang dengan gelar akademik tinggi, lulusan universitas ternama, atau pengusaha kaya raya. Namun sebagian dari mereka memilih hidup nyaman untuk dirinya sendiri. Mereka jarang menulis, jarang berbagi pengetahuan, jarang memberi beasiswa atau peluang kerja. Mereka sibuk mengumpulkan lebih banyak untuk diri sendiri, sementara masyarakat di sekitarnya tetap miskin ilmu dan ekonomi. Bayangkan jika setiap orang kaya sedikit saja melawan kemalasannya dan mulai berbagi, berapa banyak anak yatim yang bisa sekolah, berapa banyak keluarga miskin yang bisa makan layak, dan berapa banyak ide kreatif yang bisa lahir dari generasi muda.
Kemalasan adalah bentuk pemborosan nikmat Allah. Ilmu yang tidak dibagikan akan hilang dari ingatan, harta yang tidak dibagikan akan habis tanpa nilai, dan waktu yang tidak digunakan akan sirna tanpa bekas. Bukankah Allah sudah mengingatkan dalam Surat Al-‘Ashr, bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran? Orang yang malas tidak akan sempat beramal saleh dengan optimal, karena ia sibuk menunda, sibuk mencari alasan, dan sibuk berdiam diri.
Kemalasan juga membuat ilmu dan harta kehilangan keberkahannya. Seorang ilmuwan malas yang hanya menyimpan pengetahuannya sendiri mungkin tetap dikenang sebagai cerdas, tetapi ia tidak akan dikenang sebagai guru. Seorang kaya yang malas berbagi mungkin tetap memiliki rumah mewah dan kendaraan mewah, tetapi ia tidak akan dikenang sebagai dermawan. Sebaliknya, orang yang rajin berbagi, walau ilmunya sedikit, akan dikenang sebagai inspirasi. Orang yang rajin menolong, walau hartanya tidak banyak, akan dikenang sebagai penolong sejati.
Kita bisa melihat contoh dari Rasulullah ï·º sendiri. Beliau adalah manusia paling berilmu dan paling kaya secara spiritual, namun beliau tidak pernah malas untuk berbagi. Bahkan dalam kondisi letih sekalipun, beliau tetap mengajarkan wahyu, tetap membimbing umat, tetap memberi teladan. Beliau tidak hanya menggunakan ilmunya untuk diri sendiri, tetapi menjadikannya cahaya bagi seluruh manusia. Kekayaan beliau pun tidak ditumpuk untuk pribadi, melainkan selalu diberikan kepada fakir miskin, anak yatim, dan kaum dhuafa. Inilah tanda keberhasilan sejati: ilmu dan harta yang digunakan untuk menebar manfaat.
Maka, orang yang malas padahal berilmu dan berharta sebenarnya sedang menipu dirinya sendiri. Ia mengira dirinya sukses, padahal hakikatnya ia gagal, karena ilmu dan hartanya tidak pernah menjadi jalan untuk mengangkat derajat orang lain. Ia lupa bahwa ketika ajal menjemput, yang akan ia bawa bukanlah gelar, rekening, atau aset, melainkan amal jariyah. Dan amal jariyah hanya lahir ketika ilmu diajarkan dan harta dibagikan.
Betapa banyak orang sederhana, yang mungkin tidak setinggi itu ilmunya atau tidak sebanyak itu hartanya, namun rajin berbagi, sehingga namanya tetap harum setelah ia tiada. Sebaliknya, betapa banyak orang kaya raya atau cendekiawan terkenal yang dilupakan begitu saja karena ia malas memberi manfaat. Inilah hukum kehidupan: kebermanfaatan lebih abadi daripada kepemilikan.
Pada akhirnya, kemalasan adalah musuh besar yang harus dilawan. Ia membuat potensi besar menjadi sia-sia, membuat nikmat Allah terbuang, dan membuat kesuksesan tampak megah di luar namun kosong di dalam. Orang yang malas, walaupun kaya dan berilmu, tidak akan pernah benar-benar sejahtera, karena kesejahteraan sejati adalah ketika hidup kita menambah kesejahteraan bagi orang lain.


0 Komentar