Mengapa Rezeki Kita Macet? Apakah karena Saat Sakitnya Hanya Alasan Dari Kerjaan?

Kita sering mengeluh, “Kok rezeki seret, ya?” Padahal kalau jujur bercermin, ada momen-momen kecil yang kita remehkan namun berdampak besar pada lancar tidaknya aliran berkah dalam hidup. Salah satunya adalah ketika kita mengajukan izin sakit padahal tidak sakit-sakit amat, hanya lelah mental, enggan bertemu tugas, atau sekadar butuh hari kosong untuk bernafas. Di balik selembar surat keterangan, di balik satu pesan singkat kepada atasan, sebenarnya ada soal besar yang bernama amanah. Dan amanah itu bukan sekadar kata indah dalam spanduk motivasi; ia adalah barometer integritas, kompas yang menunjukkan ke mana niat kita benar-benar mengarah. Ketika bekerja tidak lagi diniatkan karena Allah, melainkan semata untuk menghindari potongan gaji atau amarah atasan, di situlah lubang-lubang kecil mulai merembeskan barakah. Rezeki bukan hanya angka, ia adalah rasa cukup, lapang, tenang, dan hubungan yang membaik. Dan rasa-rasanya, semua itu sulit kita rengkuh bila pondasinya rapuh, bila yang mendorong langkah bukan lillah, melainkan takut rugi.

Mari kita jujur pada diri sendiri. Mengatakan “izin sakit” padahal masih sempat bergurau di media sosial atau sibuk mengejar diskon tengah malam mungkin tampak sepele. Tidak ada yang dirugikan, begitu pikir kita. Toh pekerjaan bisa menunggu. Tapi setiap ketidakjujuran, sekecil apa pun, selalu memungut ongkos. Ongkosnya kadang tidak langsung jatuh dalam bentuk pemotongan nominal, melainkan dalam bentuk yang lebih halus: kehilangan kepercayaan rekan kerja, menurunnya respek atasan, menumpuknya beban tugas yang akhirnya membuat kita semakin penat, menipisnya rasa bangga pada diri sendiri. Dan, diam-diam, hati kita menjadi biasa terhadap alasan. Alasan adalah pintu rahasia menuju kemalasan; ia tampak bijak, terdengar wajar, legal secara prosedur, tapi kalau keseringan, ia mengikis otot moral yang bernama tanggung jawab. Begitu tanggung jawab melemah, kita mudah bernegosiasi dengan standar, mudah berkata “nanti”, lalu nanti berubah jadi besok, dan besok bertumpuk menjadi lusa. Pada akhirnya, kualitas kerja melorot, kinerja tercatat rata-rata, peluang tertutup pelan-pelan, dan rezeki pun seperti macet di simpang yang lampunya selalu merah.

Dalam iman, niat adalah mesin utama. Orang yang menyalakan mesin kerja karena takut dipotong gaji berbeda dengan orang yang menyalakannya karena ingin menjalankan titipan Allah berupa amanah profesi. Yang pertama, semangatnya akan naik turun mengikuti besaran ancaman dan insentif. Bila atasan longgar, performa longgar. Bila aturan ketat, performa naik demi selamat. Sedangkan yang kedua, semangatnya cenderung stabil karena sumber tenaganya bukan dari luar, melainkan dari dalam, dari keyakinan bahwa kerja adalah ibadah, ladang pahala, sarana menebar manfaat. Orang yang bekerja karena Allah akan menjaga kualitas meski tak ada yang mengawasi, akan tepat waktu meski sidik jarinya tak dipindai, akan menepati janji meski pelanggan belum tahu. Di titik itu, hasil kerja menjadi sedekah yang terus-menerus mengundang balasan: rasa cukup yang tak bisa dibeli dan pintu kesempatan yang dibukakan pada waktu yang tepat.

Ada yang berkata, “Tapi saya sungguh lelah, saya butuh istirahat.” Lelah itu manusiawi, istirahat itu perlu. Islam tidak mewajibkan kita menjadi mesin tanpa jeda. Namun perbedaan antara istirahat yang menyehatkan dan alasan yang memiskinkan terletak pada kejujuran. Bila memang sakit, berobatlah. Bila memang butuh cuti, ajukanlah dengan jujur. Badan diistirahatkan, hati diringankan, atasan pun paham. Justru kejujuran hibah yang melapangkan. Ketika kita mengaku lelah dan meminta cuti dengan baik, kita memberi diri kita kesempatan untuk pulih sekaligus menjaga integritas agar tetap utuh. Integritas yang utuh memantulkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah mata uang karier yang nilainya sering lebih mahal dari gaji bulan ini.

Rezeki yang seret tidak selalu berarti Tuhan menahan; terkadang Tuhan sedang mengajari. Pelajaran itu kadang berupa kaca kecil yang diarahkan ke wajah kita: apakah kita telah bekerja dengan ihsan? Ihsan bukan performa yang sempurna tanpa cela, melainkan kesungguhan untuk memberi yang terbaik sesuai kemampuan, dengan hati yang merasa diawasi Tuhan. Barangkali kita sudah rajin datang pagi, tapi abai meningkatkan kualitas. Barangkali kita cekatan menunaikan tugas, tapi enggan belajar hal baru. Dunia kerja bergerak cepat; keterampilan yang hari ini cukup, besok bisa jadi ketinggalan. Ketika kompetensi mendatar sementara tuntutan naik, wajar bila rezeki seret. Bukan karena Tuhan pelit, tetapi karena kita lupa memperluas wadah agar pantas menampung aliran yang lebih deras. Wadah itu bernama skill, adab, jaringan, dan reputasi. Kita bisa berdoa setiap malam memohon kelapangan rezeki, tapi bila siang harinya kita menyempitkan wadah dengan malas belajar, asal-asalan, atau bersandar pada alasan, doa kita kehilangan tempat untuk mendarat.

Kejujuran dalam hal kecil seperti alasan izin adalah batu uji yang mengungkap tabiat kita dalam hal besar. Orang yang berani memelintir kenyataan agar dapat libur sehari, cenderung akan memelintir angka agar target tampak tercapai, atau memelintir janji agar klien tak kecewa sesaat. Lama-lama, kebohongan menjadi kebiasaan, kebiasaan menjadi reputasi, reputasi menjadi nasib. Nasib bukan semata takdir yang tak bisa diubah; dalam banyak hal, ia adalah kebiasaan yang dipadatkan. Maka ketika rezeki terasa macet, jangan-jangan yang perlu kita benahi bukan semata strategi mencari tambahan penghasilan, melainkan kebiasaan kecil yang merusak kepercayaan, menodai niat, dan mengeroposkan hati.

Sementara itu, niat karena takut pemotongan gaji adalah bentuk ibadah yang rapuh. Takut tidak selalu buruk; ia bisa jadi rem agar kita tidak kebablasan. Namun bila seluruh dorongan kerja bertumpu pada rasa takut, kita akan gampang lelah, gampang sinis, dan gampang mencari jalan pintas. Rasa takut fokus pada diri sendiri: bagaimana agar saya tidak rugi. Niat karena Allah mengalihkan fokus ke nilai yang lebih besar: bagaimana agar amanah ditunaikan, manfaat tersebar, dan Tuhan ridha. Dari luar, mungkin hasilnya sama-sama bekerja delapan jam sehari. Namun dari dalam, yang satu menimbun stres, yang satu menumbuhkan makna. Stres yang menumpuk membuat pikiran gelap, ide buntu, hubungan renggang dan semua ini efek samping yang diam-diam menutup pintu rezeki. Makna yang tumbuh membuka energi positif, memancing ide, mempererat kolaborasi, ini kebun yang menumbuhkan peluang.

Kita sering lupa bahwa rezeki tidak hanya datang dari gaji. Ia datang dari reputasi yang baik sehingga orang lain membuka pintu. Ia datang dari keberkahan waktu sehingga dua jam produktif bisa setara delapan jam tanpa arah. Ia datang dari jaringan yang percaya sehingga proyek mengalir tanpa kita minta. Ia datang dari pikiran yang jernih sehingga keputusan tepat diambil pada momen krusial. Dan semua kanal ini, tanpa terkecuali, disuplai oleh satu sungai kecil bernama kejujuran. Dalam doa, kita memohon dilimpahkan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Dalam kerja, kita memastikan tidak menjadi penghalang bagi rezeki yang sedang diarahkan kepada kita. Mengapa menutup pintu dari dalam dengan alasan-alasan yang kita ciptakan sendiri?

Ada pula dimensi hak orang lain yang kerap kita abaikan. Ketika kita tidak benar-benar sakit tapi mengambil izin, ada beban yang berpindah ke rekan kerja. Mereka menambal tugas, menanggung tenggat, memikul keluhan pelanggan. Mungkin mereka tidak protes, mungkin atasan mengerti. Namun di ruang tak terlihat yang disebut hati, ada rasa yang terbentuk. Rasa itu mempengaruhi cara mereka memperlakukan kita kelak. Apakah mereka akan menyebut nama kita saat ada peluang promosi? Apakah mereka yakin menitipkan proyek strategis? Ataukah mereka sekadar bekerja berdampingan tanpa kehangatan tim yang sejati? Hubungan yang dingin, kolaborasi yang hanya seremonial, bisa membuat performa tim menurun dan ujungnya kembali lagi ke kita dalam bentuk kesempatan yang mengecil. Rezeki, bila diurai, sering berupa kesempatan-kesempatan kecil yang dilewatkan karena kepercayaan yang tak lagi penuh.

Sisi lain yang patut direnungkan adalah kebiasaan membandingkan. Kita merasa sudah cukup rajin, tapi kenapa si A rezekinya lebih lancar? Mungkin kita lupa menghitung hal-hal yang tidak tercatat di laporan. Si A mungkin tidak pernah “sakit-sakit dikit” demi menghindari presentasi. Si A mungkin tidak sempurna, tetapi setiap amanah ia selesaikan dengan rapi. Si A mengakui saat tidak sanggup, bukan bersembunyi di balik absen. Sementara kita, tanpa sadar, telah menjadikan alasan sebagai bahasa kedua. Bahasa membentuk realitas; semakin fasih kita beralasan, semakin pandai kita membenarkan diri. Dan semakin pandai membenarkan diri, semakin sulit menerima koreksi. Padahal koreksi adalah pintu perbaikan. Tanpa koreksi, kualitas mandek, dan rezeki pun cenderung berputar di sana-sana saja.

Perubahan tidak hadir dengan khotbah yang panjang, melainkan dengan keputusan yang jujur. Besok, ketika tubuh terasa berat, tanyakan dengan jelas "apakah ini sakit yang perlu istirahat atau penolakan terhadap tugas yang menakutkan?" Bila sakit, rawatlah, komunikasikan dengan baik, dan pulihkan dengan sungguh-sungguh agar kembali prima. Bila penolakan terhadap tugas, hadapilah, pecah menjadi bagian kecil, minta bantuan bila perlu, dan bergerak sedikit demi sedikit. Kita akan kaget menyadari bahwa ketakutan yang dihadapi berubah menjadi rasa percaya diri baru. Kepercayaan pada diri ini, bersama kepercayaan orang lain, ibarat dua sisi koin yang sering menjadi tiket rezeki berikutnya.

Mengubah niat juga bukan perkara sekadar mengucap “lillah” di bibir. Ia perlu dirawat dengan tiga hal: ilmu, zikir, dan amal yang konsisten. Ilmu membuat kita paham bahwa bekerja adalah ibadah: memberi nafkah keluarga, melayani manusia lewat profesi, menebar manfaat dalam sistem yang lebih luas. Zikir menjaga hati agar tidak cepat gelap oleh keluhan, tidak cepat meledak oleh kecewa, tetap elastis menghadapi kendala. Amal konsisten mengkristalkan niat menjadi kebiasaan. Konsisten hadir tepat waktu, konsisten menutup pekerjaan dengan rapi, konsisten memperbaiki detail yang sempat terlewat. Ketika kebiasaan itu melekat, niat tidak lagi menjadi slogan yang mudah pudar, melainkan napas yang mengalir tanpa perlu diingatkan.

Ada pula persoalan tak terlihat yang mempengaruhi rezeki, hak-hak yang kita tunda. Kadang bukan pekerjaan utama yang mengganjal, melainkan janji-janji kecil yang belum kita lunasi. Janji mengirim laporan, janji menyiapkan materi, janji menelepon klien, janji meminta maaf pada rekan. Janji yang tertunda adalah simpul yang menahan aliran. Setiap kita menepati janji, satu simpul terurai, aliran energi terasa lebih lancar. Energi ini bukan sekadar istilah psikologis; ia hadir sebagai kejernihan fokus dan kehendak yang lebih kuat. Orang yang jernih dan kuat kehendaknya lebih mudah melihat peluang, berani mengambil langkah, dan pantang menyerah ketika menemui dinding. Rezeki seringkali tidak pergi, kita saja yang duduk di depan pintunya tanpa tenaga untuk membuka.

Sebagian dari kita juga terperangkap dalam budaya kerja yang memuja tampilan dibanding substansi. Kita sibuk terlihat sibuk. Kalender padat, rapat tak putus, chat meledak-ledak, namun sedikit pekerjaan yang benar-benar selesai. Dalam kondisi seperti itu, izin sakit palsu adalah kabar buruk bagi siapapun, termasuk diri kita. Sebab ia menambah satu variabel ketidaktuntasan di tengah himpitan kesibukan semu. Ketika niat diluruskan karena Allah, fokus bergeser dari “bagaimana orang melihat” menjadi “bagaimana amanah tuntas”. Lalu kita belajar berkata tidak pada rapat yang tidak perlu, belajar membatasi distraksi, belajar membangun blok waktu untuk pekerjaan mendalam. Tiba-tiba dua jam bernilai tinggi muncul, tugas-tugas inti bergerak, dan di situ rezeki menemukan jalannya.

Jangan dilupakan pula dimensi keluarga. Ada anak yang memperhatikan cara kita menghadapi kerja. Bila ia mendapati ayah atau ibunya sering beralasan, meledek pekerjaan, menunda-nunda kewajiban, ia belajar tanpa diminta. Nilai diturunkan lebih kuat lewat teladan dibanding ceramah. Mungkin rezeki seret terasa hanya milik kita hari ini, namun efeknya bisa menjadi budaya dalam keluarga yang bertahan lama. Sebaliknya, ketika anak melihat orang tuanya berangkat kerja dengan ringan karena niatnya lurus, pulang dengan senyum meski lelah karena tahu lelahnya bernilai, anak itu memungut pelajaran berharga tentang martabat. Apa pun profesinya kelak, ia membawa standar yang sama, dan standar itu sendiri adalah rezeki yang menyelamatkan.

Lantas, bagaimana membuka simpul-simpul yang terlanjur mengikat? Pertama, bertaubat dengan sederhana: akui kesalahan tanpa banyak alasan. Kita kadang memeras energi untuk membela diri. Padahal mengakui kesalahan tidak membuat martabat runtuh; justru membuat pondasi baru yang kuat. Kirim pesan pada atasan bila perlu: kemarin saya salah menilai kondisi, saya akan memperbaikinya, berikut rencana konkret untuk mengejar ketertinggalan. Tindakan ini mungkin kecil, namun efeknya besar: kepercayaan mulai pulih, dan yang terpenting, diri kita kembali selaras dengan nilai yang kita yakini. Kedua, tata ulang kebiasaan. Tubuh punya memori; ia mengingat jalan cepat menuju alasan. Ganti jalan itu dengan ritual-ritual kecil: menyiapkan agenda malam sebelumnya, menata tiga prioritas harian, memulai kerja dengan doa singkat, menutup hari dengan evaluasi jujur. Ketiga, perluas wadah rezeki. Ambil satu keterampilan yang relevan dan dalami serius tiga bulan. Buka buku, ikuti kursus, minta feedback, terapkan. Keterampilan baru adalah magnet peluang; semakin spesifik dan dalam, semakin kuat tarikannya. Keempat, jaga kesehatan sungguh-sungguh. Ironis bila kita sering izin sakit palsu, namun abai pada sehat yang sejati. Atur tidur, jaga makan, bergerak teratur. Tubuh yang bugar memudahkan hati untuk istiqamah.

Sebagian orang menganggap nasihat semacam ini terdengar ideal dan sulit diterapkan dalam realitas kantor yang penuh intrik. Memang, lingkungan tidak selalu ramah. Kita bisa bertemu atasan yang tidak adil, budaya kerja yang toksik, sistem yang kusut. Namun prinsipnya tetap sama: kejujuran dan amanah adalah modal yang kita bawa kemana pun melangkah. Bila tempat sekarang tidak menghargainya, modal itu yang membuka jalan ke tempat lain yang lebih cocok. Banyak kisah orang yang bertahan dengan integritas, pelan-pelan membangun reputasi, dan ketika kesempatan muncul, namanyalah yang dipanggil. Ini bukan dongeng moral; ini pola yang berulang di dunia profesional manapun. Rezeki tidak selalu datang dari “sini”, dan terkadang ia menunggu kita menutup satu pintu dengan bermartabat agar pintu lain terbuka dengan lapang.

Pada akhirnya, pertanyaan “mengapa rezeki seret?” tidak untuk menuduh Tuhan atau lingkungan, melainkan untuk mengaudit diri. Apakah saya sudah jujur pada sakit dan sehat saya? Apakah saya bekerja karena Allah, yang artinya saya menjaga amanah bahkan saat tidak ada yang melihat atau karena takut dipotong gaji? Apakah saya menepati janji kecil yang saya ucapkan? Apakah saya terus merawat kompetensi atau sekadar berputar di zona nyaman? Apakah saya memuliakan rekan dengan tidak menumpahkan beban ke punggung mereka melalui alasan-alasan yang manis? Apakah saya merawat keluarga dengan teladan kerja yang bermartabat? Bila jawaban-pertanyaan itu mulai terang, jalur rezeki pun biasanya ikut terang.

Kita tutup dengan doa yang mudah namun padat makna. Ya Allah, luruskan niat kami dalam bekerja agar setiap jam menjadi ibadah, setiap peluh menjadi sedekah. Ampuni kelalaian kami ketika kami bersembunyi di balik alasan. Kuatkan kami untuk menepati amanah dalam perkara kecil, agar Engkau percayakan pada kami perkara yang lebih besar. Lapangkan rezeki kami bukan hanya dalam angka, tetapi dalam rasa cukup, sehat, tenang, dan hubungan yang hangat. Bila tempat kami sekarang bukan lahan terbaik, tunjukkan jalan dengan cara yang lembut dan mulia. Dan bila Engkau menahan sesuatu, jadikan itu pelajaran yang memerdekakan, bukan hukuman yang mematahkan.

Di hari-hari mendatang, ketika godaan alasan datang menyelinap, ingatlah bahwa setiap izin palsu adalah utang yang harus dibayar. Lebih mudah membayar di muka dengan jujur, daripada menanggung bunga yang menjerat kita perlahan. Ingat pula bahwa setiap keputusan kecil membentuk dirimu yang besar. Pilihlah jujur, pilihlah amanah, pilihlah bekerja karena Allah. Maka rezeki, dalam banyak bentuknya, akan menemukan kita, mungkin tidak selalu dalam cara yang kita bayangkan, tetapi cukup, tepat, dan membawa pulang damai. Dan bukankah damai itu, pada akhirnya, adalah rezeki yang paling kita cari?

Posting Komentar

0 Komentar