Mengapa Orang Curang Seolah Dibiarkan? Pelajaran dari Surat Al-Fil

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menyaksikan pemandangan yang membuat hati kita bertanya-tanya. Ada orang-orang yang hidupnya penuh tipu daya, menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan, kekayaan, atau pengaruh, namun tetap saja terlihat sukses dan bahkan semakin berkuasa. Mereka yang licik, yang tak segan memanipulasi fakta, menjilat atasan, atau meminggirkan orang-orang jujur, seolah mendapat karpet merah menuju puncak dunia. Sementara mereka yang memegang teguh kejujuran, bekerja dengan hati bersih, dan menolak cara-cara kotor justru tertinggal di belakang. Fenomena ini bukan hanya kita saksikan di dunia politik atau bisnis saja, melainkan juga di lingkaran pertemanan, lingkungan kerja, bahkan dalam organisasi sosial dan keagamaan.



Pertanyaan yang sering muncul adalah: mengapa Tuhan seolah membiarkan hal ini terjadi? Mengapa keadilan seolah lambat hadirnya? Tidakkah seharusnya kejahatan segera dibalas dengan kehancuran, dan kebaikan langsung diberi kemenangan? Pertanyaan semacam ini sudah muncul sejak dahulu kala, sejak manusia pertama kali melihat kezaliman di muka bumi. Bahkan dalam Al-Qur’an, pertanyaan tentang mengapa orang zalim dibiarkan juga muncul dalam keluhan para nabi dan orang-orang beriman.

Di sinilah Surat Al-Fil memberi kita pelajaran penting. Surat yang sangat singkat ini hanya terdiri dari lima ayat, namun menyimpan pesan mendalam tentang bagaimana Allah mengatur keadilan di dunia. Surat ini turun di Makkah, menceritakan kisah pasukan bergajah di bawah pimpinan Abrahah, seorang gubernur dari Yaman yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Kristen Habasyah (Ethiopia). Abrahah membangun sebuah gereja megah di Sana’a, berharap orang-orang Arab yang setiap tahun berziarah ke Ka’bah di Makkah akan mengalihkan tujuan mereka ke gerejanya. Namun rencana ini gagal total karena orang-orang Arab tetap memuliakan Ka’bah sebagai rumah suci warisan Nabi Ibrahim.

Dengan penuh amarah dan kesombongan, Abrahah memutuskan untuk menghancurkan Ka’bah. Ia memimpin pasukan besar, termasuk gajah-gajah perang yang kala itu merupakan simbol kekuatan dahsyat, sesuatu yang sama sekali tidak dimiliki bangsa Arab di Makkah. Dari segi militer, Abrahah nyaris tak terkalahkan. Tidak ada satu pun kekuatan di Jazirah Arab yang sanggup menandingi pasukannya. Ia melaju menuju Makkah dengan penuh keangkuhan, yakin tidak ada yang bisa menghalangi niatnya.

Namun yang menarik, Allah membiarkan pasukan itu berjalan, membiarkan mereka mendekat, bahkan hingga mereka sampai di luar kota Makkah. Orang-orang Quraisy kala itu tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka tidak memiliki pasukan, senjata, apalagi kekuatan untuk menghentikan serangan. Mereka bahkan meninggalkan kota dan menyerahkan urusan ini kepada Allah semata. Pada titik inilah keajaiban terjadi. Tiba-tiba, ketika kesombongan pasukan Abrahah memuncak, Allah mengirimkan burung-burung yang membawa batu-batu kecil dari tanah yang terbakar. Batu-batu itu menghancurkan pasukan bergajah, membuat mereka binasa total tanpa satu pun yang selamat.

Kisah ini kemudian diabadikan Allah dalam Al-Qur’an melalui firman-Nya:

“Apakah engkau tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia? Dan Dia mengirim kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil: 1-5)

Kisah ini memberi pelajaran bahwa Allah tidak selalu tergesa-gesa menurunkan hukuman. Allah membiarkan Abrahah berjalan sampai kesombongannya mencapai puncak. Allah membiarkan orang-orang beriman melihat semua itu, menyaksikan bagaimana pasukan bergajah yang begitu perkasa seolah tak terbendung. Baru ketika waktunya tiba, ketika semua rencana manusia mencapai klimaksnya, Allah turun tangan dengan cara yang tidak terduga dan menghancurkan kesombongan itu dalam sekejap.

Jika kita renungkan, pola ini sering terjadi dalam kehidupan. Ada orang-orang zalim yang dibiarkan seolah bebas berbuat kerusakan. Mereka memanipulasi hukum, membeli suara, menguasai media, bahkan memutarbalikkan kebenaran. Semakin lama, mereka tampak semakin kuat, semakin berkuasa, dan semakin angkuh. Tapi sejarah menunjukkan, selalu ada titik di mana kesombongan itu berbalik menjadi kehancuran. Tidak ada kekuasaan yang abadi, tidak ada kejahatan yang selamanya berjaya.

Di sinilah kita belajar bahwa penundaan bukanlah pengabaian. Allah menunda bukan karena tidak mampu menghukum, tetapi karena setiap hal ada waktunya. Penundaan ini bisa menjadi ujian bagi orang beriman: apakah kita tetap sabar, tetap memegang teguh prinsip, atau justru tergoda untuk ikut dalam arus kebatilan karena melihat ia seolah menang?

Filosofi penundaan hukuman dalam Al-Qur’an adalah salah satu tema yang sering kali muncul, dan ini bukan hanya sekadar kisah di Surat Al-Fil. Dalam banyak ayat, Allah menegaskan bahwa kezaliman memang terkadang dibiarkan berlangsung sementara waktu. Dalam Surat Ibrahim ayat 42, Allah berfirman,

“Dan janganlah engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Dia memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata-mata (mereka) terbelalak.”
Ayat ini menegaskan bahwa penundaan bukanlah tanda kelengahan, melainkan strategi Ilahi yang penuh hikmah.

Ada beberapa hikmah yang dapat kita renungkan dari penundaan ini. Pertama, penundaan memberi kesempatan bagi pelaku kezaliman untuk bertobat. Allah Maha Pengasih, bahkan kepada orang-orang yang durhaka kepada-Nya. Ia tidak serta-merta menghukum, melainkan memberi waktu agar mereka sadar, agar mereka punya peluang memperbaiki diri. Banyak kisah dalam Al-Qur’an tentang kaum-kaum yang diajak bertobat oleh para nabi sebelum akhirnya dihancurkan, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Madyan. Mereka semua mendapat peringatan berkali-kali, namun tetap memilih jalan kesombongan, hingga akhirnya hukuman datang dengan tuntas.

Kedua, penundaan ini juga menjadi sarana bagi manusia untuk melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kesombongan itu membuncah. Ketika pasukan Abrahah melaju dengan gajah-gajahnya, orang-orang Quraisy tidak berdaya. Mereka melihat betapa kecilnya mereka dibanding kekuatan militer lawan. Tapi justru di situlah Allah menunjukkan bahwa kemenangan bukan ditentukan oleh jumlah pasukan atau kekuatan materi, melainkan oleh kehendak-Nya. Bayangkan, pasukan yang begitu perkasa itu hancur hanya dengan batu-batu kecil yang dibawa burung. Ini pesan yang tak mungkin dilupakan orang-orang Quraisy seumur hidup mereka.

Ketiga, penundaan menjadi ujian bagi orang-orang beriman. Di dunia modern, kita sering melihat orang-orang curang di dunia kerja yang naik pangkat dengan cara menjilat, memfitnah rekan kerja, atau memanipulasi laporan. Kita melihat politisi yang korup, pengusaha yang culas, bahkan tokoh agama yang memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi. Ketika mereka tampak sukses dan berkuasa, iman kita diuji. Apakah kita tetap percaya bahwa keadilan Ilahi ada, ataukah kita tergoda untuk berkata, “Mungkin kejujuran itu percuma, mungkin kecurangan memang lebih menguntungkan”?

Di sinilah pentingnya kesabaran. Kesabaran bukan berarti diam tanpa usaha, melainkan menjaga hati agar tidak putus asa dan tidak ikut dalam kebatilan meskipun kebatilan itu tampak berjaya. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersabar. Bahkan dalam Surat Al-‘Ashr yang sangat singkat, Allah menegaskan bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. Artinya, kebenaran dan kesabaran adalah dua pilar yang tak terpisahkan.

Kita bisa melihat bagaimana filosofi ini berlaku di dunia nyata. Sejarah manusia penuh dengan contoh di mana kesombongan berujung pada kehancuran. Lihatlah kisah Firaun dalam Al-Qur’an. Ia mengaku sebagai tuhan, memerintah dengan tangan besi, dan membunuh anak-anak Bani Israil tanpa belas kasihan. Namun Allah membiarkannya berkuasa selama puluhan tahun. Bani Israil berdoa, memohon keadilan, tapi pertolongan Allah datang setelah Musa diutus, setelah serangkaian tanda-tanda ditunjukkan, dan setelah Firaun mencapai puncak kesombongannya dengan berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” Baru setelah itu Allah menenggelamkannya di Laut Merah, menjadikan jasadnya sebagai pelajaran bagi generasi setelahnya.

Fenomena ini terus berulang. Dalam sejarah modern, kita melihat diktator-diktator yang berkuasa bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, memerintah dengan kejam, menindas rakyat, dan mematikan suara kebenaran. Tapi akhirnya satu per satu mereka tumbang, sering kali dengan cara yang tragis dan tak terduga. Ada yang dikhianati orang kepercayaan sendiri, ada yang digulingkan rakyat, ada pula yang mati dalam keadaan hina setelah bertahun-tahun hidup dalam kemewahan.

Hal ini sejalan dengan sunnatullah bahwa kezaliman tidak akan langgeng. Nabi Muhammad ï·º bersabda, 

“Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada orang zalim. Namun apabila Dia menghukumnya, Dia tidak akan melepaskannya.” (HR. Bukhari-Muslim). 

Hadis ini menegaskan bahwa penundaan bukanlah pengampunan tanpa batas. Ada saatnya ketika kezaliman sudah melampaui ambang tertentu, keadilan Ilahi turun dengan cara yang tak bisa dihindari.

Dalam konteks kehidupan pribadi, pesan ini relevan bagi siapa saja yang merasa dizalimi atau melihat ketidakadilan di sekitarnya. Kadang kita melihat rekan kerja yang curang justru dipromosikan, sementara yang jujur diabaikan. Kita melihat orang yang memfitnah justru dipercaya, sementara yang berkata jujur diragukan. Ini bisa memunculkan rasa putus asa atau bahkan godaan untuk ikut-ikutan curang. Tapi pelajaran dari Surat Al-Fil dan ayat-ayat lain di Al-Qur’an menegaskan: sabarlah, karena Allah tidak pernah lengah.

Kita juga belajar bahwa kemenangan sejati bukan semata-mata tentang jabatan, harta, atau popularitas. Abrahah mungkin merasa menang ketika memimpin pasukan bergajah. Firaun merasa hebat ketika mengaku sebagai tuhan. Tapi apa yang tersisa dari mereka sekarang selain cerita tentang kehancuran? Sementara orang-orang beriman yang dulu tampak lemah justru dikenang sebagai simbol keteguhan dan kesabaran.

Di sinilah kita memahami mengapa Allah membiarkan proses itu berlangsung. Tanpa proses ini, manusia tidak akan melihat dengan jelas perbedaan antara jalan kesombongan dan jalan kebenaran. Tanpa proses ini, kita mungkin mengira bahwa kesombongan memang membawa kemenangan. Padahal kemenangan sejati adalah ketika seseorang tetap teguh di jalan yang benar meskipun dunia seolah melawan.

Jika kita melihat lebih dalam, ada dimensi psikologis yang juga penting. Orang-orang zalim yang dibiarkan berkuasa sering kali tidak merasa mereka sedang dalam bahaya. Mereka mengira penundaan itu berarti mereka aman. Padahal sebenarnya mereka hanya diberi waktu untuk semakin menumpuk dosa, hingga ketika hukuman datang, semuanya dibalas sekaligus. Ini seperti orang yang menabung, tapi bukan menabung pahala, melainkan menabung keburukan yang kelak akan meledak menjadi kehancuran.

Jika kita memindahkan pelajaran dari Surat Al-Fil ke dunia modern, kita akan menemukan cerminan yang sangat jelas. Di dunia kerja, misalnya, kita sering mendengar cerita tentang orang yang memanipulasi laporan, menjilat atasan, atau menyingkirkan rekan kerja dengan cara-cara licik demi mendapatkan promosi. Sementara orang yang jujur, bekerja keras tanpa intrik, kadang tidak dilirik sama sekali. Fenomena ini tidak jarang membuat orang baik merasa kecewa, bahkan putus asa. Mereka bertanya-tanya, apakah kejujuran masih ada nilainya di zaman sekarang? Apakah bekerja dengan integritas hanya membuat kita kalah bersaing dengan mereka yang tidak segan-segan menipu?

Namun jika kita kembali pada pelajaran Al-Fil, kita akan sadar bahwa ukuran keberhasilan bukanlah siapa yang paling cepat naik pangkat atau siapa yang paling banyak dipuji manusia. Abrahah dulu mungkin merasa dirinya sangat hebat. Ia membawa pasukan bergajah, sesuatu yang tidak pernah dilihat bangsa Arab sebelumnya. Seluruh Jazirah Arab gemetar menyaksikan kekuatannya. Tapi dalam hitungan menit, seluruh kejayaan itu runtuh hanya karena batu-batu kecil yang dilempar burung-burung kecil. Inilah simbol bahwa Allah bisa menghancurkan kesombongan dengan cara yang paling tidak diduga.

Dalam dunia politik pun kita melihat pola serupa. Ada pemimpin yang berkuasa dengan tangan besi, memanipulasi hukum, membungkam suara rakyat, dan menggunakan propaganda untuk memoles citra diri. Mereka terlihat kokoh, bahkan kadang disanjung sebagian masyarakat yang termakan pencitraan. Namun sejarah mencatat, semakin lama mereka berkuasa dengan kezaliman, semakin besar pula potensi kehancuran yang menunggu di ujung jalan. Lihatlah kejatuhan rezim-rezim diktator di berbagai negara. Banyak di antara mereka tumbang justru di saat mereka merasa paling kuat. Ada yang digulingkan rakyatnya sendiri, ada yang dikhianati lingkaran terdekatnya, ada pula yang jatuh karena krisis yang tak terduga.

Mengapa ini terjadi? Karena kesombongan selalu memiliki tanggal kedaluwarsa. Allah membiarkan mereka berjalan sampai pada titik di mana kesombongan itu menutupi akal sehat, memadamkan nurani, dan menutup mata terhadap kebenaran. Pada titik itulah kehancuran datang dengan cara yang tak bisa dihalangi siapa pun.

Fenomena ini tidak hanya berlaku di level besar seperti politik atau militer, tetapi juga dalam skala kecil seperti hubungan antarindividu. Kita mungkin pernah melihat orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, berbohong demi keuntungan pribadi, atau memanipulasi emosi untuk mendapatkan simpati. Awalnya mungkin mereka berhasil. Mereka mendapat apa yang mereka inginkan. Tapi lambat laun, kebohongan dan kecurangan selalu meninggalkan jejak. Sekali dua kali orang mungkin percaya, tapi pada akhirnya kebenaran selalu menemukan jalannya untuk muncul ke permukaan.

Di sinilah kesabaran orang beriman diuji. Ketika melihat kebatilan tampak menang, iman kita dipertanyakan: apakah kita tetap yakin bahwa keadilan Allah akan datang, ataukah kita tergoda untuk ikut dalam arus kebatilan itu? Banyak orang baik yang akhirnya menyerah, lalu berkata, “Tidak ada gunanya jujur di zaman sekarang.” Padahal sebenarnya kejujuran itulah yang kelak menjadi penyelamat, bukan hanya di dunia, tetapi terutama di hadapan Allah kelak.

Surat Al-Fil mengingatkan bahwa pertolongan Allah bisa datang dengan cara yang di luar nalar manusia. Siapa yang menyangka pasukan bergajah yang begitu kuat bisa dihancurkan oleh burung-burung kecil? Logika militer mengatakan itu mustahil. Tapi di situlah Allah ingin menunjukkan bahwa kekuatan materi, jumlah pasukan, atau strategi manusia tidak ada artinya jika berhadapan dengan kehendak-Nya.

Bagi orang-orang yang merasa terzalimi, kisah ini memberi ketenangan. Bahwa Allah tidak pernah lengah. Bahwa jika kezaliman itu dibiarkan, itu bukan karena Allah tidak peduli, melainkan karena setiap hal ada waktunya. Dan ketika waktunya tiba, keadilan datang dengan cara yang paling sempurna.

Ada dimensi lain yang menarik untuk direnungkan: mengapa Allah memilih cara yang begitu simbolik untuk menghancurkan pasukan Abrahah? Mengapa tidak dengan gempa bumi, badai, atau hal-hal lain yang lebih dahsyat? Mengapa dengan burung-burung kecil yang membawa batu? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini adalah simbol bahwa kesombongan bisa dihancurkan dengan cara yang paling remeh sekalipun. Abrahah datang dengan gajah-gajah raksasa, simbol kekuatan militer superpower saat itu. Tapi Allah mengirim burung-burung kecil, makhluk yang nyaris tak diperhitungkan, untuk menunjukkan bahwa kekuatan sebesar apa pun tidak ada artinya di hadapan kekuasaan-Nya.

Pesan ini sangat relevan di era modern, ketika banyak orang mengandalkan teknologi, uang, atau kekuasaan seolah-olah itu bisa menjamin segalanya. Manusia modern kadang merasa terlalu pintar, terlalu kuat, hingga lupa bahwa semua itu bisa runtuh hanya karena satu virus mikroskopis, satu bencana alam, atau satu krisis yang datang tiba-tiba. Bukankah pandemi COVID-19 mengajarkan hal ini? Dunia yang begitu sombong dengan teknologi dan ilmu pengetahuan mendadak lumpuh hanya karena makhluk kecil yang bahkan tidak terlihat mata. Inilah cara Allah mengingatkan manusia bahwa kesombongan selalu rapuh.

Jika kita kembali pada pertanyaan awal, mengapa orang curang, licik, dan penjilat seolah dibiarkan. Jawabannya ada di semua refleksi ini. Mereka dibiarkan bukan karena Allah tidak peduli, tapi karena Allah memberi waktu. Waktu untuk mereka bertobat jika mau, waktu untuk orang-orang beriman menunjukkan kesabaran, waktu untuk sejarah mencatat bahwa kesombongan tidak pernah membawa kemenangan sejati. Dan ketika waktu itu habis, ketika kesombongan sudah di puncaknya, kehancuran datang dengan cara yang paling mengejutkan.

Maka tugas kita bukanlah mendikte kapan keadilan harus turun, tapi menjaga hati agar tetap bersih dari rasa putus asa dan iri terhadap kebatilan. Dalam Surat Hud ayat 113, Allah memperingatkan,

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
Artinya, melihat kebatilan berjaya jangan sampai membuat kita ikut-ikutan atau bahkan bersimpati kepada mereka. Sebaliknya, kita diminta untuk tetap teguh di jalan kebenaran meskipun jalannya tampak terjal.

Pada akhirnya, pelajaran terbesar dari Surat Al-Fil adalah bahwa kemenangan sejati bukanlah soal berapa lama seseorang berkuasa atau seberapa besar kekayaannya, melainkan bagaimana akhir hidupnya dan apa warisan moral yang ia tinggalkan. Abrahah mungkin pernah berjaya, tapi yang diingat sejarah hanyalah kehancurannya. Firaun mungkin pernah mengaku sebagai tuhan, tapi yang tersisa hanyalah jasadnya sebagai tanda bagi manusia. Sebaliknya, orang-orang beriman yang dulu ditindas justru dikenang sebagai simbol kesabaran dan keteguhan iman.

Karena itu, ketika melihat orang curang seolah berjaya, jangan tergoda untuk iri atau putus asa. Ingatlah bahwa hidup ini bukan hanya tentang hari ini, tapi tentang keseluruhan perjalanan, tentang bagaimana cerita ini berakhir. Dan dalam setiap cerita, keadilan Allah selalu menjadi bab penutup yang tak terbantahkan.

Posting Komentar

0 Komentar