Bagian 1. Esensi Sholat Tepat Waktu dan Cermin Kepemimpinan yang Amanah
Ketika gaji pegawai terlambat dibayarkan, janji pemerintah meleset, dan amanah jabatan terasa ringan diucapkan tetapi berat ditunaikan, masyarakat bukan hanya merasakan kekecewaan, mereka menyaksikan retaknya simpul moral yang seharusnya menjaga bangunan kepercayaan antara rakyat dan penguasa. Keterlambatan upah bukan sekadar masalah administrasi, melainkan sinyal bahwa ada sesuatu yang lebih mendasar sedang bermasalah seperti disiplin, kejujuran terhadap waktu, dan rasa takut akan pertanggungjawaban. Di sinilah sholat, lebih khusus lagi sholat yang dijaga tepat pada waktunya menjadi cermin yang jernih untuk menilai integritas. Bukan karena sholat sekadar ritual identitas, melainkan karena ia adalah pelatihan harian tentang cara menata prioritas, menepati janji, dan bertanggung jawab di hadapan Zat yang Maha Melihat. Bila seorang pejabat abai melaksanakan sholat pada waktunya, ada risiko nilai-nilai yang melandasi ketepatan itu ikut memudar dalam cara ia mengelola urusan publik.
Esensi pertama dari sholat tepat waktu adalah pengakuan bahwa waktu bukan milik kita sepenuhnya, melainkan titipan yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam kesadaran ini, seorang hamba belajar bahwa menunda tanpa alasan yang haq adalah bentuk kelalaian terhadap hak Allah. Jika kesadaran ini tertanam, menunda hak manusia, seperti upah pegawai akan terasa sama memalukannya dengan menunda hak Allah. Maka hubungan antara ritual dan sosial menjadi menyatu kepada siapa yang menepati waktu sholat sebagai hak Allah, seharusnya bergetar nuraninya ketika hak manusia terabaikan. Sebaliknya, kelonggaran yang diizinkan pada diri untuk mengakhirkan sholat tanpa uzur memperlihatkan pola pikir yang permisif terhadap penundaan hal-hal lain. Disiplin yang retak di ranah batin sering merembes menjadi kelonggaran di ranah publik.
Esensi kedua adalah amanah. Sholat itu sendiri adalah amanah yang dititipkan ke pundak setiap mukmin. Ia datang dengan rambu-rambu yang jelas dengan waktunya, syaratnya, rukunnya, adabnya. Menjaga amanah ini mengasah kepekaan terhadap amanah-amanah lain. Ketika seorang pejabat berdiri di hadapan rakyat, jabatannya adalah amanah untuk menjaga hak, menunaikan janji, dan menegakkan keadilan. Keduanya, baik sholat dan jabatan sama-sama membutuhkan pondasi yaitu, tekad untuk setia pada ketentuan yang sudah ditetapkan. Orang yang belajar setia pada ketentuan sholat akan lebih mudah setia pada ketentuan jabatan, orang yang ringan menyalahi ketentuan sholat akan lebih mudah menganggap remeh ketentuan jabatan. Ketaatan yang dilatih lima kali sehari membentuk otot moral yang sama dipakai untuk memikul beban publik setiap hari.
Sholat tepat waktu juga menanamkan rasa hadir di hadapan pengawasan yang lebih tinggi daripada pengawasan manusia. Dalam setiap takbir, seorang hamba menyadari bahwa ada pandangan yang tidak pernah berkedip, catatan yang tidak pernah lengah. Kesadaran muraqabah seperti ini melahirkan integritas, yaitu konsistensi antara yang tampak dan yang tersembunyi. Integritas inilah yang paling dibutuhkan dalam kepemimpinan. Banyak sistem pengawasan dapat dibuat audit, inspektorat, komisi, perangkat digital. Namun semua itu akan kalah oleh satu hal kemauan seseorang untuk jujur pada dirinya sendiri. Sholat dengan kesadaran pengawasan ilahi menumbuhkan kejujuran batin yang kemudian memancar menjadi kejujuran publik. Pejabat yang menghayati sholatnya akan merasa tidak tenang bila ada hak orang lain tertahan di mejanya, ia akan mengejar keterlambatan bukan karena takut diperiksa, tetapi karena takut menanggung dosa penzaliman.
Bila kita menelusuri ritme lima waktu sholat, kita menemukan sebuah kurikulum waktu yang cermat. Fajar memanggil sebelum aktivitas dunia dimulai, mengajak manusia menata niat, menyusun rencana, dan memohon kejernihan. Dzuhur datang saat kesibukan memuncak, seakan berkata: ingatlah untuk menepi sejenak, agar gairah produktivitas tidak berubah menjadi kerakusan yang menelan hak orang lain. Ashar mengingatkan di penghujung siang supaya tak menyia-nyiakan sisa waktu dan menyelesaikan amanah hari itu. Maghrib memasuki pergantian suasana, menuntut ketenangan sekaligus evaluasi singkat, apa yang belum tuntas? Isha kemudian menutup hari dengan syukur dan perenungan, mengantar tubuh beristirahat, pikiran berpasrah, dan niat diperbarui. Pola ini bukan sekadar agenda rohani, ia membentuk pola kerja yang disiplin, ritmis, dan terukur. Seorang pemimpin yang hidup dalam pola ini akan cenderung menyusun kalender kerja yang sinkron dengan ritme kehidupan, tidak membiarkan hal-hal penting menumpuk hingga lewat tenggat, dan terbiasa melakukan evaluasi sehingga keterlambatan dapat dicegah, bukan sekadar ditambal.
Di titik ini, mungkin ada yang berkeberatan: bukankah ada orang yang rajin sholat tetapi tetap lalai menunaikan tugas publik? Bukankah ada orang yang ibadahnya tampak tertib, namun kebijakannya tidak berpihak? Benar, hal itu bisa terjadi. Namun keberatan ini justru menegaskan inti persoalan, sholat yang dimaksud di sini bukan sekadar gerak, melainkan sholat yang mengubah cara seseorang memaknai waktu, amanah, dan pengawasan ilahi. Sholat yang tepat waktu melatih kehadiran batin, bukan sekadar kehadiran fisik. Ia mencegah kemunafikan performatif dan menuntut kejujuran rutinitas. Ketika seseorang menjaga sholat tepat waktu bukan demi citra, melainkan karena takut pada Tuhan dan cinta pada kebenaran, karakter itu akan sulit dipisahkan dari kebijakan-kebijakannya. Memang tidak ada korelasi mekanis yang otomatis manusia tetap punya kebebasan untuk berkhianat pada makna yang ia ucapkan. Namun bila Anda mencari indikator yang masuk akal untuk menilai kesiapan karakter seorang pemimpin, kebiasaan sholat tepat waktu adalah salah satu indikator yang kuat, sebab ia adalah latihan konsisten mengatasi godaan penundaan, memprioritaskan yang paling berhak diprioritaskan, dan tunduk pada aturan di luar dirinya.
Kita juga perlu mengurai dimensi keadilan dalam sholat. Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, termasuk menempatkan waktu pada haknya. Sholat yang tepat waktu adalah simbol bahwa hak Allah ditempatkan pada tempatnya. Dari sana, seseorang dituntun untuk menempatkan hak manusia pada tempatnya bahkan termasuk hak pegawai menerima upah tepat waktu. Keterlambatan upah bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan penggeseran hak dari tempatnya. Ia menyulitkan keluarga, memutus rantai kebutuhan dasar, menimbulkan stres, dan merusak kepercayaan. Seorang pemimpin yang taat sholat tepat waktu akan merasa bahwa menahan hak orang adalah bentuk kezhaliman yang nyata, sama nyatanya dengan menahan sholat hingga lewat waktu. Bahkan bila ada kendala struktural atau administratif, pemimpin yang diisi oleh ruh sholat akan bergegas mencari cara paling adil untuk meminimalkan beban rakyat memberi informasi yang jelas, menyediakan skema talangan, memotong jalur birokrasi yang tidak perlu, atau mengutamakan pos-pos yang menyangkut hajat hidup pegawai. Ia peka terhadap rasa sakit yang ditimbulkan oleh kelambanan administrasi, karena ia sendiri dilatih peka oleh lonceng waktu ibadah yang tak boleh ditunda sesuka hati.
Ada pula dimensi amanah yang tampak dalam niat. Sholat berulang-ulang menyaring niat: untuk siapa kita bekerja, untuk apa kita berkuasa, kepada siapa kita akan kembali. Niat yang jernih inilah yang membimbing keputusan-keputusan sulit. Kerap kali keterlambatan upah atau pelaksanaan program bukan semata akibat ketidakmampuan, melainkan akibat prioritas yang salah: proyek mercusuar didahulukan, sementara hak-hak dasar ditunda, citra didahulukan, substansi diabaikan. Orang yang terbiasa memurnikan niat dalam sholat cenderung menata ulang prioritas publiknya, menempatkan yang paling wajib di depan, bukan yang paling menarik kamera. Ia menyadari bahwa sebesar apapun tepuk tangan, yang paling menentukan adalah catatan amanah di hadapan Tuhan. Dengan cara pandang ini, menepati gaji bulanan pegawai adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar kewajiban administratif.
Di sisi praktis, sholat tepat waktu adalah sekolah manajemen waktu. Ia mengajarkan perencanaan mundur bila Dzuhur jatuh pada pukul tertentu, bagaimana menyusun rapat, penandatanganan berkas, dan kunjungan lapangan agar tidak mengorbankan kewajiban? Bila Isha sudah dekat, bagaimana memastikan laporan harian telah dievaluasi dan instruksi untuk esok hari jelas? Pola pikir ini bila diterapkan pada birokrasi akan mendorong budaya perencanaan yang konkret, timeline yang realistis, indikator yang terukur, dan mekanisme mitigasi saat muncul gangguan. Bukan artinya semua akan lancar tanpa hambatan, tetapi pola sholat melatih respons yang tepat segera menyesuaikan, bukan menunda, segera menginformasikan, bukan menyembunyikan dan segera menanggung, bukan melempar tanggung jawab.
Sholat juga mengikis ego. Seorang pejabat yang setiap hari menundukkan kepala dan menempelkan kening ke lantai di hadapan Tuhannya akan lebih mudah merasakan bahwa kekuasaan itu sementara, dan bahwa ia hanyalah pelayan publik. Dari sini lahir kebijakan yang empatik. Keterlambatan upah, misalnya, bukan dilihat sebagai angka-angka pada buku kas, tetapi sebagai kegelisahan ayah yang tak bisa membeli susu untuk anaknya, sebagai air mata ibu yang menunda biaya sekolah, sebagai rasa malu seorang pegawai yang berutang pada tetangga. Kepekaan seperti ini lahir dari ibadah yang dihayati, sebab sholat mengajarkan bahwa kemuliaan bukan pada jabatan, tetapi pada kerendahan hati. Pemimpin yang tawadhu’ akan lebih cepat meminta maaf ketika salah, lebih cepat memperbaiki ketika terlambat, dan lebih cepat mengembalikan hak ketika tertahan.
Dalam konteks memilih pemimpin, melihat cara seseorang melaksanakan ibadah, terutama ketepatan waktu sholat memberi jendela untuk memahami pola batinnya. Orang yang menunaikan sholat tepat waktu di tengah kesibukan, yang mengatur jadwal rapat agar tidak melalaikan ibadah, yang tidak menjadikan kesibukan sebagai alasan untuk terus-menerus melewatkan waktu sholat, sedang membuktikan bahwa baginya ada poros yang lebih tinggi daripada ambisi pribadi. Ia menunjukkan kemampuan mengelola konflik prioritas, yakni kecakapan yang sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan. Dunia kekuasaan selalu menawarkan godaan untuk menunda kebenaran demi keuntungan sesaat. Orang yang terbiasa tidak menunda sholat akan lebih mudah menolak godaan menunda kebenaran.
Namun kita juga harus jujur mengakui bahwa indikator religius seperti sholat tepat waktu harus dibaca bersama indikator lain, agar penilaian tetap adil dan menyeluruh. Integritas finansial, catatan pelayanan, keberanian menolak korupsi, komitmen terhadap transparansi semua itu penting. Tetapi bila dua sosok tampak sama di atas kertas, dan Anda mencari penanda yang menembus permukaan, perhatikan bagaimana mereka memperlakukan waktu sholat. Orang yang melalaikan kewajiban paling personal kepada Tuhannya, tanpa uzur, seringkali akan tanpa beban pula melalaikan kewajiban publik yang tidak langsung menegur hati. Sebaliknya, orang yang menjaga kewajiban itu dengan tekun setiap hari memiliki peluang besar untuk menjaga kewajiban publiknya dengan tekun pula, bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia telah menempuh latihan disiplin yang tidak henti-henti.
Jika ada yang mengatakan bahwa sholat adalah urusan privat dan tidak layak dijadikan bahan pertimbangan publik, kita dapat menjawab bahwa kepemimpinan adalah cermin menyeluruh dari karakter, dan karakter dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan privat yang paling konsisten. Tentu, ruang privat tetap harus dihormati; tidak perlu mengintip-intip. Tetapi kebiasaan yang menampakkan dirinya secara wajar, misalnya seorang calon pemimpin yang diketahui selalu menyempatkan sholat tepat waktu meski di sela acara memberi petunjuk tanpa melanggar batas. Kita tidak sedang menilai penampilan ibadah untuk dicatatkan sebagai prestasi, melainkan membaca disiplin yang menghidupi ibadah itu untuk diproyeksikan ke disiplin yang menghidupi jabatan.
Sholat tepat waktu juga mengajarkan keberanian mengambil jeda. Di tengah hiruk-pikuk, ia memaksa pemilik jabatan untuk berkata: “Cukup. Saatnya menunaikan yang lebih hakiki.” Keberanian mengambil jeda ini menyehatkan akal dan hati, mencegah penguasa dikungkung oleh kejaran agenda hingga lupa makna. Dari jeda lahir kejernihan melihat yang benar-benar penting, dan dari kejernihan lahir keputusan yang adil. Banyak keterlambatan kebijakan terjadi karena pengambil keputusan terjebak dalam arus, tak sempat berpikir jernih, lalu menunda karena ragu. Orang yang terbiasa berhenti untuk sholat belajar seni berhenti dengan benar: bukan kabur dari tanggung jawab, melainkan kembali dengan perspektif yang lebih tajam. Ia tidak menunda untuk menunda; ia menepi untuk mempercepat.
Akhirnya, marilah kembali ke persoalan awal keterlambatan upah dari pemerintah kepada pegawai. Dalam kacamata sholat, keterlambatan ini bukan sekadar kurangnya efisiensi, melainkan kegagalan menempatkan hak pada waktunya. Ia adalah alarm agar kita memeriksa ulang budaya yang hidup di dalam institusi, adakah pemimpin yang membiarkan penundaan menjadi kebiasaan? Adakah mekanisme yang menyulitkan penyelesaian tepat waktu? Adakah kejujuran untuk mengakui, meminta maaf, dan memperbaiki? Budaya ini tidak akan terbangun dari slogan. Ia tumbuh dari orang-orang yang setiap hari melatih diri pada jam-jam ibadah, membasuh kesombongan, menajamkan integritas, dan mengikat dirinya kepada waktu yang ditentukan. Dari orang-orang seperti inilah harapan untuk menepati janji jabatan menemukan pijakan.
Bagian ini menegaskan bahwa sholat tepat waktu mengandung esensi yang langsung berkelindan dengan urusan publik, disiplin waktu, amanah, rasa diawasi, keadilan, perencanaan, tawadhu’, keberanian mengambil jeda, dan pengelolaan prioritas. Semua itu menyatu menjadi karakter yang sanggup menanggung beban kepercayaan. Ketika masyarakat menilai calon pemimpin, melihat ketepatan ibadahnya bukanlah sikap sempit, melainkan ikhtiar membaca sumber kebiasaan yang membentuk konsistensi. Sebab pada akhirnya, jabatan adalah amanah dan amanah adalah janji. Orang yang menjaga janji kepada Tuhannya pada waktu-waktu yang telah ditetapkan akan lebih mudah menjaga janji kepada manusia pada waktu-waktu yang disepakati. Dan dari pemimpin seperti itulah, upah pegawai akan lebih terjamin tepat waktu, kebijakan akan lebih bermartabat, dan kepercayaan publik akan tumbuh seperti pohon yang akarnya menembus jauh ke dalam tanah, kokoh, tenang, dan meneduhkan.
Bagian 2. Sholat sebagai Fondasi Moral, Sosial, dan Politik dalam Kepemimpinan
Sholat adalah ritual ibadah yang diwariskan sejak zaman Nabi Muhammad ï·º sebagai pilar utama agama. Ia bukan sekadar kewajiban individual, tetapi juga pembentuk watak kolektif umat. Di dalamnya terkandung dimensi moral yang melekat pada pribadi, dimensi sosial yang menata hubungan dengan sesama, dan dimensi politik yang secara tak langsung memengaruhi cara kekuasaan dijalankan. Jika kita mendalami keterlambatan pembayaran gaji pegawai, janji-janji pejabat yang tidak ditepati, dan lemahnya tanggung jawab pemerintah kepada rakyat, kita akan menemukan akar masalah yang sama: kegagalan menata diri di hadapan waktu, amanah, dan komitmen. Padahal ketiga hal itu adalah inti dari sholat yang tepat waktu.
Sholat bukan hanya bentuk penghambaan, melainkan juga pelatihan psikologis. Setiap kali seorang hamba mendengar adzan, ia diingatkan bahwa ada panggilan yang lebih mendesak dari semua urusan dunia. Apabila ia segera menyambut panggilan itu, ia sedang melatih dirinya untuk menomorsatukan yang benar-benar hakiki. Proses ini mengikis ego dan mengajarkan bahwa ambisi pribadi tidak boleh mengalahkan hak-hak yang sudah ditentukan. Dengan kata lain, orang yang terbiasa mendahulukan sholat dari urusan dunia akan lebih peka untuk mendahulukan hak rakyat daripada kepentingan politiknya.
Mari kita bayangkan seorang pejabat yang sibuk dengan rapat-rapat kenegaraan, negosiasi anggaran, dan kunjungan lapangan. Tiba waktu Dzuhur, ia memilih untuk menghentikan kegiatannya sejenak, berwudhu, lalu berdiri menunaikan sholat. Apa arti sikap ini? Ia mengirim pesan kepada dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya bahwa tidak ada urusan sebesar apapun yang boleh menunda kewajiban inti. Bila pola ini menjadi kebiasaan, ia akan menular ke cara ia memandang janji kepada masyarakat. Bila ia berani berhenti dari hiruk pikuk untuk menunaikan hak Allah, ia pun akan berani menunda ambisi politik demi menunaikan hak rakyat.
Kita bisa membandingkan hal ini dengan kebalikannya: pejabat yang sering menunda sholat dengan alasan sibuk, rapat penting, atau agenda mendesak. Penundaan itu lama-lama membentuk pola pikir permisif bahwa hak bisa ditunda demi urusan lain. Ketika pola ini meresap ke ranah publik, ia menjelma menjadi keterlambatan upah, penundaan pembangunan, atau pengabaian janji. Dalam jangka panjang, rakyat akan merasakan dampak pahit dari kebiasaan kecil yang diremehkan. Maka dari itu, mengamati ketepatan waktu sholat seorang calon pemimpin bukanlah perkara sepele, tetapi cermin yang memantulkan bagaimana ia akan memperlakukan waktu dan hak orang lain.
Integritas adalah kemampuan untuk konsisten antara yang diucapkan, yang diyakini, dan yang dilakukan. Sholat tepat waktu melatih konsistensi ini setiap hari. Seseorang yang menunda sholat padahal waktu sudah tiba berarti ia tidak konsisten antara kesadarannya akan kewajiban dan tindakannya. Sebaliknya, orang yang segera sholat ketika waktunya datang membuktikan bahwa ia menepati janji imannya. Kebiasaan menepati janji kepada Allah ini melatihnya untuk menepati janji kepada manusia.
Ketika seorang pemimpin berjanji kepada pegawai bahwa gaji akan dibayarkan tanggal tertentu, janji itu sama nilainya dengan janji yang ia ucapkan dalam sholat, janji untuk hadir tepat waktu. Jika ia setia kepada Allah, ia akan segan melanggar janji kepada manusia. Maka integritas moral yang ditempa oleh sholat langsung terhubung dengan kejujuran administratif dalam kepemimpinan.
Sholat bukan hanya urusan individu. Dalam sholat berjamaah, kita belajar tentang kesetaraan dan keadilan. Semua orang berdiri sejajar tanpa memandang jabatan atau harta. Imam memimpin, makmum mengikuti, dan aturan ini berlaku tanpa bisa dinegosiasikan. Pesan moralnya jelas: dalam kehidupan sosial, setiap orang memiliki hak dan kedudukan yang setara di hadapan hukum.
Apabila pesan ini meresap ke dalam jiwa pemimpin, ia tidak akan berani menunda gaji pegawai kecil sementara proyek-proyek besar berjalan lancar. Ia akan merasa malu jika hak rakyat biasa diabaikan sementara kepentingan elite diprioritaskan. Kesadaran shaf dalam sholat mengajarkan bahwa keadilan bukanlah retorika, melainkan kenyataan yang diwujudkan dalam keputusan. Menunda gaji adalah bentuk ketidakadilan yang nyata, karena ia memutus mata rantai kebutuhan keluarga pegawai. Seorang pemimpin yang jiwanya dibentuk oleh sholat akan merasa berat memikul dosa ketidakadilan seperti itu.
Sholat lima waktu, bila dipahami mendalam, adalah sekolah politik dalam arti yang paling mulia dalam melatih kemampuan mengatur komunitas. Seorang imam harus adil, fasih, dan dipercaya. Ia memikul tanggung jawab untuk memastikan jamaah sholatnya sah dan tenang. Bila ia salah bacaan, ia harus siap dikoreksi; bila ia salah arah, jamaah akan mengingatkan. Pola ini adalah miniatur kepemimpinan politik: pemimpin harus amanah, rakyat harus aktif, dan interaksi keduanya harus terbuka untuk koreksi.
Dari sini kita melihat bahwa sholat melatih dua hal penting dalam politik yaitu, tanggung jawab dan akuntabilitas. Pemimpin yang terlatih oleh sholat akan melihat jabatannya seperti imam dalam jamaah sebuah amanah yang berat, bukan kehormatan untuk dipamerkan. Ia akan sadar bahwa setiap kesalahannya bisa berdampak pada orang banyak, dan oleh karena itu ia harus berhati-hati. Keterlambatan membayar upah, dalam perspektif ini, sama dengan imam yang sengaja menunda rukuk sehingga jamaah tersiksa berdiri terlalu lama. Itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan.
Sholat menanamkan disiplin waktu dengan cara yang sangat konkret. Lima kali sehari, seorang muslim diingatkan untuk menyesuaikan aktivitasnya dengan ketetapan ilahi. Tidak ada ruang untuk menunda terlalu lama, karena setiap waktu sholat memiliki awal dan akhir yang jelas. Kebiasaan ini melatih manajemen waktu yang ketat.
Seorang pemimpin yang terbiasa mengatur hidupnya berdasarkan waktu sholat akan lebih mudah mengatur tenggat kebijakan. Ia tahu bagaimana menyusun prioritas, kapan harus berhenti, kapan harus bergerak, dan bagaimana memastikan semuanya selesai tepat waktu. Sebaliknya, pemimpin yang tidak terbiasa sholat tepat waktu akan cenderung longgar dalam manajemen waktu publik. Maka tidak mengherankan bila keterlambatan pembayaran gaji menjadi hal biasa di bawah kepemimpinannya.
Ketika masyarakat hendak memilih pemimpin, salah satu pertanyaan penting yang jarang diajukan adalah bagaimana ia memperlakukan sholat? Bukan dalam arti apakah ia rajin memamerkan ibadah, melainkan apakah ia menjaga waktunya, menomorsatukan kewajibannya, dan memegang konsistensi. Bila jawabannya positif, besar kemungkinan ia akan menomorsatukan kewajiban publiknya pula. Bila jawabannya negatif, patut diwaspadai bahwa pola itu akan merembes ke dalam kebijakannya.
Seorang calon pemimpin yang menganggap sepele panggilan sholat mungkin juga akan menganggap sepele panggilan rakyat. Ia terbiasa menunda yang seharusnya segera, sehingga tidak aneh bila ia juga menunda pembayaran upah atau pemenuhan janji kampanye. Sebaliknya, calon pemimpin yang terbiasa mendahulukan sholat meski di tengah kesibukan menunjukkan bahwa ia mampu mengalahkan egonya demi kewajiban. Inilah tipe pemimpin yang diharapkan mampu mengalahkan kepentingan pribadinya demi kesejahteraan rakyat.
Bagian 3. Sholat sebagai Latihan Empati Sosial dan Refleksinya dalam Kebijakan Publik
Sholat, jika dipandang hanya sebatas kewajiban ritual, mungkin tampak seperti urusan individual antara seorang hamba dan Tuhannya. Namun jika ditelusuri lebih dalam, sholat adalah latihan sosial yang amat kaya. Ia tidak hanya mendidik hati untuk taat, tetapi juga mengasah empati kepada sesama. Ketika seseorang benar-benar menghayati sholat, ia akan merasakan getaran keadilan, kepedulian, dan kasih sayang yang kemudian tercermin dalam sikap sosial maupun kebijakan yang diambil jika ia seorang pemimpin. Keterlambatan pembayaran upah pegawai oleh pemerintah, misalnya, adalah contoh nyata dari absennya empati dalam tata kelola publik. Padahal sholat, bila dijaga esensinya, semestinya melahirkan sensitivitas mendalam terhadap penderitaan akibat keterlambatan itu.
Sholat Sebagai Simulasi Kesetaraan
Salah satu pesan paling jelas dari sholat berjamaah adalah kesetaraan. Semua orang berdiri dalam satu shaf, tanpa dibedakan oleh jabatan, harta, atau status sosial. Seorang pejabat tinggi bisa berdiri di samping tukang sapu, seorang kaya raya bisa berdiri di samping buruh miskin. Semua menunduk dalam ruku’, semua sujud menempelkan kening ke tanah. Gambaran ini begitu kuat di hadapan Allah, semua sama, yang membedakan hanya ketakwaan.
Bila seorang pemimpin menginternalisasi makna ini, ia akan membawa kesadaran kesetaraan ke dalam kebijakan publik. Ia tidak akan tega menunda gaji pegawai kecil, karena ia sadar bahwa hak mereka sama pentingnya dengan hak pejabat tinggi. Keterlambatan upah bukan sekadar angka, melainkan tamparan terhadap prinsip kesetaraan yang dipraktikkan setiap kali ia sholat berjamaah.
Bayangkan seorang pegawai rendahan yang menunggu gaji untuk membeli beras, membayar listrik, atau menyekolahkan anak. Keterlambatan sehari saja bisa mengacaukan seluruh ritme hidupnya. Sementara seorang pejabat dengan fasilitas berlimpah mungkin tak merasakan dampaknya secara langsung. Di sinilah sholat berjamaah mengingatkan: engkau, wahai pejabat, tidak lebih mulia daripada pegawai itu, engkau pun suatu saat akan sujud di tanah yang sama. Bila engkau bisa menunda haknya, engkau sedang mempermalukan nilai sujudmu sendiri.
Sholat Sebagai Latihan Rasa Peduli
Sholat juga melatih kepedulian batin. Ketika membaca doa al-Fatihah, seorang muslim setiap hari mengucapkan doa bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh umat: “Ihdinash shirathal mustaqim” tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Kata kami di sini menandakan bahwa doa itu kolektif, tidak egois. Bahkan doa-doa lain dalam sholat banyak yang berbentuk jamak, melibatkan komunitas, bukan individu semata.
Latihan ini menanamkan kebiasaan memikirkan orang lain. Pemimpin yang menghayati sholat akan terbiasa berpikir kolektif, tidak hanya untuk dirinya atau kelompoknya. Keterlambatan gaji, dari sudut pandang ini, bukan hanya soal administrasi, tetapi pelanggaran terhadap semangat kebersamaan. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang setiap hari berdoa bersama umat untuk kebaikan bersama, justru membiarkan sebagian dari mereka menderita karena haknya ditunda?
Sholat Sebagai Latihan Menunaikan Hak
Dalam sholat, setiap gerakan dan bacaan memiliki aturan yang jelas. Ada rukun yang wajib, ada syarat yang harus dipenuhi, ada adab yang disarankan. Semua ini menunjukkan bahwa sholat adalah urusan hak: hak Allah untuk diingat, hak tubuh untuk disucikan, hak hati untuk ditenangkan. Bila seorang muslim mengabaikan satu rukun, sholatnya tidak sah.
Pelajaran ini sangat relevan dengan tata kelola publik. Upah pegawai adalah hak yang jelas, sama seperti rukun dalam sholat. Bila ia ditunda atau diabaikan, maka urusan publik tidak sah secara moral. Sama seperti sholat yang batal tanpa rukun, pemerintahan yang menunda hak rakyat kehilangan legitimasi moralnya. Pemimpin yang terbiasa teliti dalam menunaikan hak-hak sholat akan lebih teliti pula dalam menunaikan hak-hak sosial.
Empati dalam Perspektif Sholat Malam
Sholat malam, atau tahajjud, memberi dimensi lebih dalam terhadap empati. Ketika seseorang bangun di sepertiga malam terakhir, ia berdiri dalam kesunyian, mendoakan bukan hanya dirinya, tetapi juga orang lain. Dalam doa itu, ia sering mengingat penderitaan sesama, memohon ampunan bagi mereka, atau memohon kebaikan bagi seluruh umat.
Seorang pemimpin yang terbiasa sholat malam akan merasakan kedekatan batin dengan penderitaan rakyatnya. Ia mungkin membayangkan wajah pegawai yang cemas menunggu gaji, anak-anak yang lapar, atau keluarga yang terlilit hutang. Bayangan itu membangkitkan rasa empati yang mendalam. Maka ketika ia kembali ke ranah publik, ia terdorong untuk menghindari segala keterlambatan yang bisa melukai mereka. Sholat malam, dengan kesunyian dan doa kolektifnya, menjadikan empati bukan sekadar retorika, tetapi pengalaman rohani yang hidup.
Sholat dan Kesadaran Keterbatasan
Dalam setiap sholat, manusia menundukkan dirinya serendah mungkin, menempelkan kening ke tanah. Gerakan ini bukan hanya simbol kerendahan hati di hadapan Allah, tetapi juga pengakuan akan keterbatasan diri. Sehebat apapun manusia, ia tetap lemah tanpa pertolongan Tuhan.
Kesadaran ini seharusnya membentuk pemimpin yang rendah hati. Ia sadar bahwa jabatannya bukan kuasa absolut, melainkan amanah yang bisa salah kapan saja. Maka ketika terjadi keterlambatan gaji, ia tidak akan menyalahkan bawahan atau sistem semata. Ia akan berani mengakui kesalahan, meminta maaf, dan segera memperbaiki. Rendah hati dalam sholat melahirkan rendah hati dalam kepemimpinan.
Sholat sebagai Alarm Sosial
Setiap kali adzan berkumandang, itu adalah alarm yang mengingatkan manusia akan waktunya. Alarm ini tidak hanya berbunyi untuk satu orang, tetapi untuk seluruh komunitas. Suara adzan menyatukan perhatian masyarakat pada satu titik: kewajiban yang tak boleh ditunda.
Bila seorang pemimpin peka, ia akan melihat adzan sebagai simbol alarm sosial juga. Sama seperti rakyat yang menunggu adzan untuk segera sholat, rakyat juga menunggu janji pemerintah untuk segera ditunaikan. Jika adzan tidak dihiraukan, maka sholat tertunda. Jika janji pemerintah tidak ditepati, maka kepercayaan rakyat hancur. Keduanya sama-sama merusak tatanan: yang satu tatanan spiritual, yang lain tatanan sosial.
Refleksi: Keterlambatan Upah Sebagai Bentuk “Tidak Sholat Tepat Waktu”
Jika kita tarik analogi, keterlambatan pembayaran upah bisa disebut sebagai bentuk “tidak sholat tepat waktu” dalam ranah sosial. Sama seperti orang yang sengaja menunda sholat hingga hampir habis waktunya, pemerintah yang menunda upah sedang menggeser hak dari tempatnya. Akibatnya bukan hanya administratif, tetapi juga moral: kepercayaan rakyat runtuh, rasa adil hilang, dan empati terkikis.
Bagian 4. Sholat, Pertanggungjawaban Akhirat, dan Kepemimpinan yang Anti-Penundaan
Setiap kali seorang muslim menunaikan sholat, ia pada hakikatnya sedang mengingat sebuah janji besar: bahwa hidup ini akan berakhir dengan hisab, perhitungan yang tak ada satu pun detail terlewatkan. Sholat adalah pengingat paling dekat tentang perjumpaan di hari akhir itu. Karena itu, sholat bukan sekadar menenangkan hati, melainkan juga menanamkan rasa takut akan pertanggungjawaban. Seorang pemimpin yang sungguh menghayati sholat akan menjadikan rasa takut itu sebagai penuntun dalam setiap kebijakannya, termasuk dalam hal yang tampak sederhana seperti pembayaran upah pegawai tepat waktu.
Keterlambatan gaji pada dasarnya adalah bentuk pengabaian terhadap hak orang lain. Dalam Islam, menahan upah pekerja adalah dosa besar yang bahkan dilaknat oleh Nabi ï·º. Bila sholat menanamkan kesadaran akan hisab, maka seorang pemimpin yang tekun sholat akan merasa ngeri menanggung beban dosa menunda upah. Ia tahu bahwa setiap keterlambatan bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga catatan di akhirat yang akan ditagih tanpa bisa beralasan.
Sholat sebagai Latihan Harian untuk Menghadapi Hisab
Sholat lima waktu adalah simulasi kecil dari hisab. Setiap kali sholat, seorang muslim “dihisab” oleh dirinya sendiri: apakah ia sudah berwudhu dengan benar, apakah niatnya lurus, apakah bacaan dan gerakannya sah. Jika ada yang kurang, ia harus memperbaikinya. Proses ini mengajarkan kebiasaan evaluasi diri yang berulang.
Seorang pemimpin yang terbiasa mengevaluasi sholatnya akan membawa pola itu ke dalam kepemimpinan. Ia akan terbiasa memeriksa: apakah gaji sudah cair tepat waktu, apakah janji kampanye sudah dijalankan, apakah program sudah berjalan sesuai target. Ia tidak menunggu orang lain menegur, melainkan memulai evaluasi dari dirinya sendiri. Keterlambatan upah dalam perspektif ini bukan hanya kesalahan sistem, tetapi alarm untuk introspeksi.
Rasa Takut yang Menyelamatkan
Dalam sholat, seorang muslim membaca ayat-ayat yang penuh peringatan: tentang surga, tentang neraka, tentang balasan amal. Rasa takut yang lahir dari bacaan itu bukanlah ketakutan yang melumpuhkan, tetapi ketakutan yang menyelamatkan. Ketika seorang pemimpin merasa takut tidak bisa mempertanggungjawabkan hak rakyat di hadapan Allah, rasa takut itu akan mendorongnya bekerja lebih sungguh-sungguh.
Ia tidak akan mencari-cari alasan untuk menunda. Ia tidak akan bersembunyi di balik birokrasi. Sebab ia sadar, semua alasan itu tidak berlaku di hadapan Allah. Rasa takut yang ditanamkan oleh sholat membuatnya terjaga dari dosa penundaan. Ia tahu, lebih baik repot di dunia untuk memastikan gaji tepat waktu daripada repot di akhirat mempertanggungjawabkan air mata anak-anak pegawai yang lapar.
Amanah sebagai Ujian Terbesar
Sholat adalah amanah pribadi, sedangkan jabatan adalah amanah sosial. Keduanya sama-sama berat, tetapi sholat melatih seseorang untuk memikul yang lebih besar. Nabi ï·º pernah bersabda bahwa jabatan adalah amanah, dan di akhirat akan menjadi penyesalan kecuali bagi yang mampu menunaikannya dengan benar. Sholat tepat waktu menanamkan kesadaran bahwa setiap amanah memiliki waktunya, aturannya, dan pertanggungjawabannya.
Jika seorang pemimpin terbiasa menjaga amanah sholat, ia akan merasa setiap amanah sosial pun harus ditunaikan dengan ketelitian yang sama. Ia tidak akan menunda pembayaran upah, karena ia memandang itu sebagai bagian dari ujian amanah yang kelak akan dipertanyakan. Seperti halnya orang yang mengabaikan rukun sholat membuat sholatnya batal, pemimpin yang mengabaikan hak rakyat membuat kepemimpinannya cacat.
Sholat dan Ketegasan Mengelola Prioritas
Sholat melatih seseorang untuk berani berkata “cukup” pada dunia ketika waktunya tiba. Seorang pedagang yang sedang sibuk melayani pelanggan harus berani meninggalkan dagangannya ketika adzan berkumandang. Seorang pejabat yang sedang rapat harus berani menunda agenda duniawi untuk menyambut agenda ukhrawi. Keberanian ini bukan kelemahan, tetapi ketegasan dalam mengelola prioritas.
Ketegasan ini bila dibawa ke kepemimpinan melahirkan pemimpin yang tidak ragu menempatkan hak rakyat di atas urusan politik, citra, atau kepentingan kelompok. Bila gaji pegawai harus dibayar tanggal tertentu, maka itu prioritas yang tidak boleh digeser. Sholat tepat waktu mengajarkan bahwa prioritas tidak bisa ditawar: hak Allah harus didahulukan, begitu juga hak manusia.
Hisab Dunia dan Hisab Akhirat
Kepemimpinan selalu diawasi, baik oleh rakyat maupun oleh Allah. Di dunia, pemimpin mungkin bisa mengatur pencitraan, memoles laporan, atau mengalihkan isu. Namun di akhirat, semua itu tidak berlaku. Sholat adalah pengingat harian bahwa hisab akhirat jauh lebih detail daripada hisab dunia.
Seorang pemimpin yang sadar akan hal ini akan menganggap keterlambatan upah sebagai aib besar, bukan sekadar kesalahan kecil. Ia tahu bahwa setiap pegawai yang terlambat menerima haknya akan menjadi saksi di akhirat. Setiap keluarga yang kesulitan karena gaji belum turun akan menambah beban hisabnya. Sholat yang dijaga dengan kesadaran ini akan menjadikan pemimpin sangat hati-hati terhadap penundaan hak rakyat.
Keadilan Ilahi sebagai Standar Kepemimpinan
Dalam setiap doa sholat, seorang muslim memohon keadilan Allah: agar ditunjukkan jalan yang lurus, agar dijauhkan dari murka, agar diberi kebaikan. Doa ini seharusnya membentuk standar keadilan dalam kepemimpinan. Jika Allah saja begitu teliti menegakkan keadilan, bagaimana mungkin seorang pemimpin berani menunda hak rakyat tanpa merasa takut?
Bagian 5. Sholat Melahirkan Tanggung Jawab Kolektif dalam Pemerintahan
Sholat, terutama dalam bentuk berjamaah, tidak hanya melatih ketaatan individual, tetapi juga menciptakan pola kebersamaan yang sarat dengan makna sosial-politik. Ia mengajarkan bahwa sebuah urusan besar tidak bisa hanya dipikul oleh individu, melainkan harus dijalankan dengan keteraturan kolektif. Pemerintahan pada hakikatnya juga sebuah “jamaah besar” yang menuntut disiplin, koordinasi, dan rasa tanggung jawab bersama. Maka hubungan antara sholat berjamaah dan pemerintahan menjadi sangat dekat: bagaimana sebuah barisan di masjid bisa menjadi cermin bagi barisan birokrasi yang mengurus negara.
Sholat Berjamaah sebagai Simbol Keteraturan Sosial
Dalam sholat berjamaah, setiap orang memiliki peran yang jelas. Imam memimpin dengan suara lantang, makmum mengikuti dengan tertib, dan barisan shaf dijaga agar lurus. Jika seorang makmum maju atau mundur tidak sesuai aturan, barisan menjadi kacau. Jika imam salah, makmum wajib mengingatkan. Tidak ada yang boleh berjalan sendiri, semua harus mengikuti tata tertib.
Pola ini adalah pelajaran nyata bagi pemerintahan. Seorang presiden, gubernur, atau bupati adalah ibarat imam. Ia memimpin, memberi arahan, dan menanggung tanggung jawab besar di hadapan jamaah rakyatnya. Para pejabat di bawahnya adalah makmum yang punya peran mendukung, memastikan kebijakan berjalan, serta mengingatkan bila ada kesalahan. Bila barisan birokrasi tidak lurus, sama seperti shaf sholat yang bengkok: keindahan hilang, kekhusyukan rusak, dan tujuan utama tidak tercapai.
Keterlambatan upah pegawai bisa dipandang sebagai tanda bahwa barisan birokrasi tidak lurus. Ada pejabat yang lengah, ada administrasi yang bertele-tele, ada sistem yang tidak dijaga. Sama seperti imam yang terlalu lama diam hingga jamaah bingung, keterlambatan dalam birokrasi menandakan tidak adanya kepemimpinan yang tegas. Sholat berjamaah mengajarkan bahwa semua ini bisa dihindari bila barisan dijaga dengan disiplin kolektif.
Sholat Menanamkan Kesadaran Tanggung Jawab Bersama
Dalam sholat berjamaah, kesalahan satu orang bisa memengaruhi yang lain. Jika imam salah arah kiblat, seluruh jamaah ikut salah. Jika makmum tidak mengikuti gerakan imam, sholatnya bisa tidak sah. Hal ini menanamkan kesadaran bahwa tanggung jawab ibadah tidak hanya individual, tetapi juga kolektif.
Demikian pula dalam pemerintahan. Keterlambatan gaji pegawai bukan hanya kesalahan bendahara atau pejabat teknis, melainkan kegagalan institusi secara keseluruhan. Ada tanggung jawab kolektif yang harus dipikul: mulai dari pejabat tertinggi hingga staf lapangan. Jika satu bagian lalai, seluruh pemerintahan tercoreng. Pemimpin yang memahami hakikat sholat berjamaah akan menanamkan budaya tanggung jawab bersama, bukan sekadar mencari kambing hitam.
Shaf yang Lurus dan Birokrasi yang Lurus
Nabi ï·º menekankan pentingnya meluruskan shaf. Beliau bersabda bahwa meluruskan shaf adalah bagian dari kesempurnaan sholat. Mengapa demikian? Karena shaf yang bengkok menunjukkan hati yang tidak tertib, dan hati yang tidak tertib akan merusak kekhusyukan ibadah.
Dalam pemerintahan, meluruskan shaf bisa diartikan sebagai meluruskan birokrasi. Dokumen harus jelas, alur administrasi harus transparan, sistem harus sederhana. Jika birokrasi berbelit-belit, sama saja dengan shaf yang bengkok: rakyat akan kesulitan, pegawai akan tertekan, dan keadilan tidak tercapai. Sholat mengajarkan bahwa keteraturan barisan adalah syarat kesempurnaan ibadah; demikian pula keteraturan birokrasi adalah syarat tercapainya keadilan sosial.
Imam yang Adil dan Rakyat yang Patuh
Dalam sholat, imam harus dipilih dari yang paling baik bacaan Al-Qur’annya, paling taat, dan paling berilmu. Makmum wajib mengikuti imam selama imam benar. Namun jika imam salah, makmum berhak mengingatkan, bahkan menggantikan bila kesalahan fatal. Sistem ini menegaskan dua hal: kepemimpinan harus dipilih berdasarkan kualitas, dan rakyat harus berpartisipasi aktif dalam menjaga jalannya kepemimpinan.
Di sinilah sholat memberi pelajaran mendalam bagi demokrasi atau sistem pemerintahan apapun: pemimpin bukan sosok yang kebal kritik, melainkan manusia yang bisa salah dan harus dikoreksi. Bila gaji pegawai terlambat, rakyat berhak mengingatkan dan menuntut. Dan pemimpin yang benar-benar meneladani prinsip imam dalam sholat akan menerima kritik itu dengan lapang, lalu segera memperbaiki, bukan menutup telinga.
Tanggung Jawab Kolektif dalam Eksekusi Janji
Setiap kali sholat berjamaah, imam mengucapkan takbir dengan suara keras, lalu jamaah mengikutinya. Tidak ada imam yang berkata: “Kalian saja yang sholat, saya tidak.” Sebab imam bukan hanya pemberi instruksi, tetapi juga teladan yang ikut melaksanakan.
Hal ini adalah cermin bahwa dalam pemerintahan, pemimpin tidak boleh sekadar memberi janji atau instruksi tanpa ikut memastikan pelaksanaannya. Janji gaji tepat waktu, misalnya, bukan cukup diucapkan dalam pidato, tetapi harus dikawal hingga benar-benar sampai ke rekening pegawai. Jika ada hambatan, pemimpin harus turun tangan, seperti imam yang memperbaiki bacaannya ketika diingatkan.
Sholat mengajarkan bahwa tanggung jawab tidak berhenti di instruksi, tetapi harus diwujudkan dalam aksi kolektif. Pemimpin dan rakyat bergerak bersama, saling menguatkan. Keterlambatan gaji adalah tanda bahwa rantai tanggung jawab kolektif itu putus di suatu titik.
Solidaritas Jamaah dan Solidaritas Pemerintah-Rakyat
Sholat berjamaah menciptakan solidaritas. Ketika berdiri bersama, hati jamaah saling menyatu. Mereka merasakan bahwa mereka sedang menghadap Tuhan dalam kebersamaan. Bahkan doa yang dibaca imam mencakup seluruh jamaah: “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah” diucapkan sebagai salam kolektif, bukan salam individual.
Bagian 6. Sholat Menumbuhkan Kesadaran Spiritual atas Waktu
Salah satu esensi paling mendalam dari sholat adalah keterikatannya dengan waktu. Tidak ada ibadah yang Allah tetapkan dengan disiplin waktu seketat sholat. Puasa hanya satu bulan, zakat hanya setahun sekali, haji hanya sekali seumur hidup, namun sholat ditetapkan lima kali sehari dengan waktu yang jelas: Subuh sebelum terbit matahari, Dzuhur saat matahari tergelincir, Ashar ketika bayangan panjang, Maghrib saat matahari tenggelam, dan Isya hingga pertengahan malam. Ketelitian waktu ini bukan sekadar aturan ritual, melainkan latihan spiritual untuk menanamkan kesadaran tentang arti kedisiplinan dan ketepatan waktu dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kepemimpinan dan pemerintahan.
Waktu dalam Sholat adalah Ukuran Kehidupan
Manusia sering menyepelekan waktu. Ia menunda pekerjaan, mengulur janji, atau menganggap enteng tenggat. Namun sholat menampar kelalaian itu setiap hari. Sholat tidak bisa ditunda seenaknya; Subuh tidak bisa diganti Dzuhur, Dzuhur tidak bisa diganti Ashar. Sekali lewat, kesempatan itu hilang.
Seorang pemimpin yang sungguh memahami hal ini akan menanamkan kesadaran yang sama dalam jabatannya: bahwa ada waktu yang tak boleh ditunda. Bila gaji pegawai dijanjikan cair pada tanggal tertentu, maka itu sama seperti waktu sholat tidak boleh lewat. Begitu lewat, bukan hanya administrasi yang rusak, tetapi juga amanah yang dikhianati. Pemimpin yang mengerti hakikat waktu sholat tidak akan membiarkan “Subuh” upah berubah menjadi “Ashar” atau “Isya,” sebab ia tahu bahwa setiap hak memiliki waktunya.
Sholat sebagai Alarm Moral
Sholat lima waktu adalah alarm moral yang terus berulang. Setiap kali adzan berkumandang, hati seorang muslim diingatkan: waktunya sudah tiba, tinggalkan urusan lain. Alarm ini lebih kuat dari alarm ponsel karena ia bukan hanya panggilan mekanis, tetapi panggilan spiritual yang langsung terkait dengan ridha Allah.
Jika seorang pemimpin membiasakan diri peka terhadap alarm sholat, ia akan membawa kepekaan itu dalam urusan pemerintahan. Ia akan terbiasa tergerak ketika tenggat sudah dekat. Ia tidak akan menunda tanda tangan, tidak akan menunda persetujuan anggaran, tidak akan membiarkan birokrasi molor. Sebab bagi dirinya, keterlambatan adalah kegagalan moral. Sama seperti orang yang sengaja menunda sholat dianggap lalai, pemimpin yang sengaja menunda hak rakyat pun adalah lalai.
Menghargai Waktu sebagai Bentuk Menghargai Kehidupan
Setiap menit dalam sholat memiliki nilai. Subuh yang hanya dua rakaat sangat singkat, tetapi nilainya lebih tinggi dari dunia dan isinya. Dzuhur yang empat rakaat memberi ruang panjang untuk munajat. Setiap waktu punya keindahan dan hikmahnya sendiri. Dari sini, seorang muslim belajar bahwa waktu bukan sekadar angka, tetapi kehidupan itu sendiri.
Pemimpin yang menyerap pelajaran ini akan memandang waktu rakyat sebagai sesuatu yang berharga. Ia tidak akan membiarkan pegawai menunggu gaji berbulan-bulan, karena ia tahu menunggu itu menyiksa, menunda itu mencuri kehidupan orang lain. Keterlambatan upah berarti memotong waktu keluarga untuk tenang, waktu anak-anak untuk belajar, waktu rumah tangga untuk terjamin. Maka disiplin waktu dalam sholat membentuk kepedulian yang konkret dalam menjaga kehidupan orang lain melalui ketepatan janji.
Disiplin Sholat sebagai Latihan Mengelola Tenggat
Bayangkan seorang muslim yang selama puluhan tahun hidupnya selalu menunaikan sholat tepat waktu. Lima kali sehari, tiga puluh kali sebulan, lebih dari seribu kali setahun, ia berlatih mengejar waktu. Ia tahu kapan harus berwudhu, kapan harus berhenti bekerja, kapan harus bergegas ke masjid. Latihan ini berlangsung terus-menerus, hingga membentuk pola pikir: bahwa setiap urusan harus memiliki tenggat, dan tenggat itu harus ditepati.
Dalam kepemimpinan, pola pikir ini sangat berharga. Negara dipenuhi oleh jadwal: jadwal gaji, jadwal program, jadwal pembangunan. Pemimpin yang sholatnya benar akan membawa kedisiplinan spiritual itu dalam birokrasi. Ia akan menegakkan aturan waktu dengan tegas, bukan karena takut pada rakyat, tetapi karena takut pada Allah yang melatihnya melalui sholat.
Waktu adalah Amanah, Sholat adalah Penjaga
Setiap kali adzan berkumandang, Allah seakan berkata: “Aku beri engkau amanah waktu, gunakanlah untuk menyembah-Ku.” Bila seseorang menjawab panggilan itu dengan sholat tepat waktu, ia menjaga amanah. Bila ia menunda, ia khianat.
Demikian pula dengan jabatan: setiap janji waktu adalah amanah. Tanggal gaji, tanggal janji politik, tanggal realisasi pembangunan, semua adalah ujian amanah. Pemimpin yang setia pada sholat akan memperlakukan waktu jabatan sama seperti waktu sholat: harus dijaga, tidak boleh ditunda, dan tidak boleh diabaikan.
Ketepatan Waktu Sholat Sebagai Standar Integritas
Ada pemimpin yang piawai berpidato, hebat berstrategi, atau pandai menyusun program. Namun ukuran integritas yang lebih dalam bukan terletak pada kata-kata, melainkan pada bagaimana ia menjaga waktu. Seperti sholat, integritas bukan hanya janji mulut, tetapi konsistensi menjalankan kewajiban pada waktunya.
Bagian 7. Sholat sebagai Fondasi Etika Sosial dan Amanah Kepemimpinan
Sholat bukan hanya ibadah vertikal antara hamba dengan Allah, tetapi juga memiliki dimensi horizontal yang membentuk etika sosial. Ketika seseorang menunaikan sholat dengan benar, ia tidak sekadar melaksanakan kewajiban ritual, tetapi juga membangun kesadaran tentang hak orang lain, keadilan, serta amanah yang harus dijaga. Karena itu, keterlambatan pemerintah dalam memenuhi hak pegawai atau masyarakat tidak bisa dilepaskan dari lemahnya kualitas sholat para pejabat yang mestinya menjadi teladan.
Sholat sebagai Penjaga Amanah
Allah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Salah satu bentuk kemungkaran terbesar dalam pemerintahan adalah mengkhianati amanah rakyat. Upah yang tidak dibayarkan tepat waktu, janji yang tidak ditepati, serta tanggung jawab yang diabaikan adalah pengkhianatan terhadap amanah.
Seorang pemimpin yang benar-benar menghayati sholat akan sadar bahwa setiap jabatannya adalah titipan. Sama seperti waktu sholat adalah titipan Allah yang harus ditegakkan, demikian pula jabatan adalah titipan rakyat yang harus dipelihara. Ia tidak akan berani menunda hak orang lain karena ia tahu bahwa sholat mengajarkannya untuk memegang teguh amanah dengan ketelitian waktu.
Sholat dan Kesadaran Kolektif terhadap Hak Orang Lain
Ketika sholat berjamaah, seorang muslim tidak bisa hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia harus menyesuaikan gerakan dengan imam, menjaga barisan agar lurus, dan memikirkan kenyamanan jamaah di sampingnya. Sholat membentuk kesadaran kolektif bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, melainkan tentang menjaga hak dan kenyamanan orang lain.
Prinsip ini seharusnya terbawa ke dalam dunia pemerintahan. Pegawai negeri, guru, tenaga kesehatan, dan seluruh aparatur yang mengandalkan gaji dari negara punya hak yang harus dijaga. Menunda gaji mereka berarti mengabaikan kenyamanan hidup mereka, sama seperti makmum yang tidak peduli barisan sehingga merusak shaf orang lain. Sholat melatih pejabat agar tidak egois, tetapi peduli pada hak kolektif masyarakat.
Ketidakdisiplinan Sholat sebagai Cermin Kelalaian Sosial
Jika seseorang terbiasa menunda sholat, ia juga cenderung menunda kewajiban lain. Jika ia tidak merasa bersalah melewatkan Subuh, ia pun tidak merasa bersalah melewatkan janji kepada rakyat. Kelalaian dalam sholat akan merembes ke kelalaian dalam kehidupan sosial.
Inilah mengapa ulama menekankan bahwa sholat adalah barometer moral. Bila pejabat sholatnya rusak, besar kemungkinan amanahnya juga rusak. Sebaliknya, bila ia menjaga sholat dengan khusyuk dan tepat waktu, ia akan terbiasa menjaga janji dan tanggung jawab dengan serius. Maka memilih pemimpin dengan melihat bagaimana ia menjaga sholat bukanlah sikap fanatisme sempit, melainkan ukuran realistis untuk menilai akhlak sosialnya.
Sholat Mengajarkan Keadilan
Dalam sholat berjamaah, semua orang berdiri sejajar. Tidak ada pangkat, tidak ada gelar, tidak ada perbedaan status. Si kaya berdiri di samping si miskin, pejabat di samping rakyat jelata, semua sama di hadapan Allah. Kesetaraan ini adalah pelajaran penting tentang keadilan sosial.
Bila pejabat sungguh menghayati hakikat sholat, ia akan membawa prinsip kesetaraan itu ke dalam kebijakan publik. Ia tidak akan membeda-bedakan pegawai berdasarkan kedekatan, tidak akan memprioritaskan yang dekat dengan kekuasaan sambil mengabaikan yang lemah. Sama seperti dalam sholat, semua makmum berhak merasakan ketenangan yang sama, dalam pemerintahan semua rakyat berhak merasakan keadilan yang sama — termasuk dalam hal menerima gaji atau hak sosial lainnya tepat waktu.
Janji dalam Sholat dan Janji dalam Kepemimpinan
Setiap kali sholat, seorang muslim berulang kali membaca doa dan janji di hadapan Allah: janji untuk beribadah, janji untuk tidak menyekutukan, janji untuk hidup di jalan yang lurus. Janji ini diulang setiap hari, agar manusia tidak lupa.
Pemimpin yang menjaga sholat akan terbiasa menghargai janji. Sebaliknya, pemimpin yang meremehkan sholat akan mudah meremehkan janji. Maka keterlambatan gaji pegawai adalah bukti konkret lemahnya penghargaan terhadap janji, sama seperti orang yang berani menunda sholat tanpa rasa bersalah. Sholat yang benar melahirkan integritas; sholat yang diabaikan melahirkan kelalaian.
Sholat dan Kepemimpinan sebagai Teladan
Imam dalam sholat bukan hanya memimpin bacaan, tetapi juga memberi teladan gerakan. Jika imam rukuk, makmum rukuk; jika imam sujud, makmum sujud. Kepemimpinan dalam sholat adalah kepemimpinan teladan.
Demikian pula dalam pemerintahan, pemimpin bukan sekadar pemberi instruksi, melainkan contoh nyata. Bila ia disiplin sholat, bawahannya akan ikut disiplin. Bila ia tepat waktu dalam urusan ibadah, birokrasi akan ikut tepat waktu dalam urusan administrasi. Sebaliknya, bila pemimpin abai terhadap sholat, bawahannya pun akan terbiasa abai terhadap tanggung jawab.
Bagian 8. Sholat Menumbuhkan Kesadaran Ihsan dalam Kepemimpinan
Di antara inti terdalam dari sholat adalah hadirnya rasa ihsan. Nabi Muhammad ï·º mendefinisikan ihsan sebagai beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan bila engkau tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihatmu. Inilah kesadaran spiritual yang membuat sholat bukan hanya sekadar gerakan tubuh, tetapi perjumpaan batin dengan Allah yang Maha Mengawasi.
Ihsan: Pengawas yang Tidak Pernah Lalai
Dalam birokrasi duniawi, manusia bisa mengelak dari pengawasan. Ada audit yang bisa dimanipulasi, laporan yang bisa dipoles, bahkan janji yang bisa diputarbalikkan. Tetapi seorang yang menghayati sholat akan tahu bahwa Allah tidak pernah lalai dari pengawasan. Bahkan sebelum ia menundukkan kepala dalam rukuk, Allah telah mengetahui isi hatinya.
Pemimpin yang membawa rasa ihsan dalam kepemimpinan akan menjalankan amanah tanpa harus diawasi ketat oleh manusia. Ia tahu bahwa menunda gaji pegawai berarti berhadapan dengan Allah yang Maha Adil, meski pegawai itu pasrah dan tidak bersuara. Kesadaran ini akan membuatnya takut khianat, sebagaimana ia takut melalaikan sholat di hadapan Allah.
Sholat Mengikat Pemimpin pada Tanggung Jawab Tak Kasat Mata
Ada tanggung jawab yang bisa diukur dengan angka — laporan keuangan, statistik pembangunan, atau jadwal proyek. Namun ada tanggung jawab yang tak kasat mata: kejujuran, niat yang tulus, dan kesetiaan pada janji.
Sholat adalah pengikat jiwa pada tanggung jawab semacam itu. Setiap kali seorang pemimpin berdiri dalam sholat, ia disadarkan bahwa ada Allah yang menyaksikan, meski rakyat tak melihat. Maka ketika gaji pegawai ditunda atau janji politik dilanggar, meski bisa disembunyikan dengan alasan teknis, ia tetap merasa berdosa. Kesadaran ihsan yang ditanamkan oleh sholat akan membuatnya bertindak jujur, bukan karena takut pada rakyat, tetapi karena takut pada Allah.
Sholat Melatih Rasa Malu kepada Allah
Dalam sholat, seorang hamba menghadap langsung kepada Allah. Ia merendahkan wajahnya di tanah, menaruh dahi simbol kehormatan manusia di tempat yang sama dengan telapak kaki. Inilah puncak rasa malu dan tunduk.
Rasa malu ini jika benar-benar meresap akan terbawa dalam kepemimpinan. Pemimpin yang sholatnya benar akan malu bila menunda hak rakyat. Ia akan merasa hina bila jabatannya digunakan untuk mengkhianati amanah. Sebagaimana ia malu berdiri di hadapan Allah dengan hati yang lalai, ia juga malu berhadapan dengan rakyat yang menuntut janji.
Sholat Sebagai Pengingat bahwa Jabatan adalah Titipan
Sholat tidak hanya menundukkan tubuh, tetapi juga menundukkan ego. Setinggi apa pun jabatan, ketika sholat semua manusia sama: tunduk, rukuk, sujud.
Kesadaran ini menanamkan keyakinan bahwa jabatan bukanlah kekuasaan mutlak, melainkan titipan. Sama seperti waktu sholat yang datang dan pergi, jabatan pun datang dan pergi. Pemimpin yang berjiwa ihsan akan menggunakan masa jabatannya dengan sebaik-baiknya karena ia tahu waktu itu terbatas. Menunda hak rakyat sama saja dengan menyia-nyiakan titipan Allah yang sebentar lagi akan dicabut.
Ihsan Menjaga Integritas yang Tidak Bisa Dibeli
Manusia bisa berpura-pura jujur di depan publik, bisa membuat pencitraan di media, bahkan bisa menipu sejarah dengan narasi. Tetapi ihsan tidak bisa dipalsukan. Hati yang terikat pada Allah akan selalu merasa diawasi, meski dunia memujinya.
Sholat adalah sarana menumbuhkan ihsan setiap hari. Maka bila seorang pemimpin benar-benar menjaga sholat, integritasnya akan terjaga. Ia tidak akan menunda hak rakyat demi keuntungan pribadi, sebab ia tahu Allah melihat dan akan menuntut pertanggungjawaban.
Sholat dan Kesadaran Hari Akhir
Setiap kali sholat, seorang muslim membaca ayat-ayat tentang kematian, kebangkitan, dan hari pembalasan. Sholat adalah pengingat rutin bahwa semua amal akan dihisab.
Pemimpin yang memahami ini tidak akan berani meremehkan tanggung jawab, sebab ia tahu bahwa di akhirat nanti ia akan ditanya tentang setiap hak rakyat. Jika gaji pegawai terlambat, Allah akan bertanya. Jika rakyat kelaparan karena kebijakan yang lalai, Allah akan menuntut. Sholat yang penuh kesadaran membuatnya hidup dengan rasa takut akan hisab, sehingga ia lebih hati-hati dalam setiap keputusan.
Bagian 9. Sholat Melahirkan Kesadaran Pelayanan dalam Kepemimpinan
Sholat, jika benar-benar dihayati, bukanlah sekadar ritual pribadi. Ia adalah latihan batin yang menanamkan kesadaran bahwa manusia adalah hamba. Kata “hamba” itu sendiri bermakna pelayan, bukan tuan. Dalam setiap rakaat, seorang muslim merendahkan diri di hadapan Allah, mengakui kelemahan, dan menegaskan bahwa seluruh hidupnya adalah untuk beribadah dan melayani kehendak Allah.
Kesadaran ini, bila terbawa dalam ranah sosial dan politik, akan membentuk pemimpin yang tidak merasa dirinya sebagai raja yang berhak dilayani, melainkan pelayan yang mengemban tanggung jawab untuk melayani rakyat.
Sholat sebagai Sekolah Kerendahan Hati
Dalam sholat, tidak ada ruang untuk kesombongan. Orang yang berpakaian mewah harus membuka alas kaki dan berdiri sejajar dengan orang miskin yang mungkin berpakaian sederhana. Dalam sujud, bahkan wajah yang dihormati di dunia harus ditempelkan ke tanah yang hina.
Inilah sekolah kerendahan hati yang sesungguhnya. Jika seorang pemimpin benar-benar mengambil pelajaran dari sholat, ia akan sadar bahwa jabatan bukanlah tempat untuk meninggikan diri. Sebaliknya, jabatan adalah sarana untuk melayani orang lain. Sama seperti ia dalam sholat tunduk total kepada Allah, dalam kepemimpinan ia tunduk pada amanah rakyat yang Allah titipkan kepadanya.
Sholat dan Etika Menjadi Pelayan
Setiap kali seorang muslim sholat, ia mengucapkan doa: memohon ampun, memohon petunjuk, memohon kebaikan untuk dirinya dan orang lain. Ada doa yang bersifat pribadi, tetapi ada juga doa yang mencakup kepentingan umat. Sholat membiasakan seorang muslim untuk tidak egois dalam berdoa, melainkan ikut mendoakan keselamatan bersama.
Dari sinilah lahir etika pelayanan. Pemimpin yang menjaga sholatnya dengan penuh kesadaran akan belajar bahwa hidup bukan hanya tentang dirinya, melainkan tentang keberlangsungan orang lain. Maka ia tidak akan menunda gaji pegawai, karena itu sama dengan mengabaikan doa-doa orang yang menanti hak mereka.
Pelayanan sebagai Ibadah
Bagi seorang pemimpin yang memahami sholat, melayani rakyat bukan sekadar tugas birokrasi, melainkan ibadah. Sebagaimana sujudnya kepada Allah adalah ibadah, menyalurkan hak rakyat tepat waktu pun adalah ibadah. Ia sadar bahwa setiap keputusan, sekecil apa pun, akan dicatat sebagai amal.
Melayani dengan baik adalah bentuk nyata dari ibadah sosial. Dan ibadah sosial ini menjadi bukti apakah sholatnya membuahkan hasil atau tidak. Sebab, bagaimana mungkin seseorang mengaku taat dalam sholat, tetapi lalai dalam melayani rakyat? Itu kontradiksi.
Sholat Membiasakan Kedisiplinan Waktu dalam Pelayanan
Sholat punya jadwal yang ketat: Subuh tidak bisa diundur ke siang, dan Maghrib tidak bisa ditunda ke malam hari. Disiplin waktu ini adalah pelajaran besar bagi pemimpin dalam melayani.
Jika sholat dilaksanakan tepat waktu, seharusnya pelayanan kepada rakyat pun demikian: gaji dibayar tepat waktu, janji ditepati sesuai jadwal, kebutuhan publik dipenuhi sesuai tenggat. Kedisiplinan yang dilatih lima kali sehari dalam sholat seharusnya menular ke disiplin dalam birokrasi.
Ketika pemerintah menunda hak rakyat, itu sama dengan seseorang yang menunda sholat sampai habis waktunya. Artinya ia tidak paham esensi kedisiplinan yang diajarkan sholat.
Imam dalam Sholat sebagai Gambaran Pemimpin Pelayan
Imam sholat bukanlah orang yang duduk di kursi kehormatan menunggu dilayani. Imam adalah orang yang berdiri paling depan, memandu, memberi contoh, dan bertanggung jawab penuh atas kesalahan bacaan atau gerakan.
Demikian pula pemimpin sejati: ia ada di depan rakyatnya, memberi teladan, bukan bersembunyi di balik kemewahan. Ia melayani rakyat sebagaimana imam melayani makmumnya dengan bacaan yang jelas, gerakan yang tertib, dan doa yang menyeluruh.
Sholat Mengikis Rasa Rakus dalam Kekuasaan
Orang yang benar-benar sholat tahu bahwa semua milik Allah, termasuk kekuasaan. Karena itu, ia tidak akan rakus terhadap jabatan, gaji, atau fasilitas. Ia sadar bahwa kekuasaan adalah titipan, dan harta adalah amanah.
Kesimpulan
Sholat bukanlah sekadar ritual lahiriah yang diulang lima kali sehari, melainkan sekolah kehidupan yang menanamkan nilai-nilai fundamental bagi seorang muslim, terlebih lagi bagi seorang pemimpin. Di dalam sholat terdapat disiplin waktu yang melatih konsistensi, ada sujud yang meruntuhkan kesombongan, ada doa yang menumbuhkan kepedulian, ada jamaah yang mengajarkan persaudaraan, ada bacaan yang mengingatkan akan hari akhir, dan ada ihsan yang menegaskan bahwa Allah selalu mengawasi.
Pemimpin yang menjaga sholat dengan sungguh-sungguh akan membawa nilai-nilai ini dalam kepemimpinannya. Ia akan sadar bahwa jabatan adalah amanah, bukan warisan; bahwa rakyat adalah titipan, bukan objek eksploitasi; bahwa hak orang lain harus ditunaikan tepat waktu, sebagaimana sholat tidak boleh ditunda dari waktunya. Menunda gaji pegawai, melalaikan janji politik, atau mengabaikan kepentingan masyarakat adalah cermin kelalaian spiritual yang bermula dari abainya seseorang terhadap sholat.
Sholat melahirkan ketundukan, kedisiplinan, tanggung jawab, solidaritas, keadilan, dan pelayanan. Semua itu adalah fondasi utama dalam kepemimpinan. Jika seorang pemimpin abai terhadap sholat, sulit diharapkan ia disiplin dan adil dalam mengurus rakyat. Sebaliknya, bila sholatnya benar, kepemimpinannya akan mencerminkan nilai-nilai sholat itu sendiri: penuh tanggung jawab, tepat waktu, adil, rendah hati, dan melayani.
Karena itu, memilih pemimpin seharusnya bukan hanya melihat retorika atau programnya, tetapi juga bagaimana ia melaksanakan sholat. Apakah ia menjaga waktunya? Apakah ia konsisten? Apakah sholatnya membuahkan akhlak sosial yang nyata? Sebab, cara seseorang mendirikan sholat sering kali sejalan dengan cara ia menjalankan jabatan. Pemimpin yang menjaga sholat akan menjaga rakyatnya. Pemimpin yang melalaikan sholat hampir pasti akan melalaikan amanah kepemimpinan.


0 Komentar