Hakmu Ditunda, Bungaku Berbunga

Berangkat dari praktik yang tampak “biasa” dalam keseharian bisnis, menahan pembayaran, kita sampai pada salah satu modus korupsi paling licik di era manajemen kas modern memanfaatkan dana yang seharusnya segera dibayarkan kepada pihak lain sebagai “float” untuk investasi atau kepentingan sepihak, lalu mengklaim persentase keuntungannya sendiri. Di permukaan, praktik ini kerap dibungkus istilah manajemen likuiditas, optimasi kas, atau efisiensi rantai pasok. Namun secara substansi, ia menyembunyikan pengalihan manfaat ekonomi dari pemilik hak yang sah kepada pihak yang kebetulan memegang kendali atas arus kas. Dalam etika Islam, penahanan pembayaran yang seharusnya ditunaikan apalagi jika pelakunya mampu, dikualifikasi sebagai kezaliman dalam hukum positif, ia dapat beririsan dengan wanprestasi, penggelapan, fraud, sampai tindak pidana korupsi bila menyangkut keuangan negara atau BUMN. Dalam kajian intelektual ini, saya mengurai struktur moral, hukum, dan ekonomi dari praktik tersebut, membedakan antara retensi yang legitimate dan penahanan koruptif, menjelaskan mengapa ia merusak ekosistem pasar, serta mengelaborasi sejumlah kasus nyata lintas yurisdiksi, terutama Indonesia untuk memperlihatkan pola, konsekuensi, dan pelajaran perbaikan.


Gagasan kuncinya sederhana: ketika pihak A berkewajiban membayar pihak B pada waktu tertentu, uang itu bukan lagi milik A. Jika A menahan pembayaran itu padahal mampu, lalu memutarnya untuk keuntungan sepihak, A pada hakikatnya sedang mengambil manfaat ekonomi dari harta milik orang lain tanpa izin, bahkan ketika A berencana membayar “nanti”. Pada level prinsip, Islam menutup ruang rasionalisasi semacam ini. Al-Qur’an memerintahkan pemenuhan akad dan penunaian amanah kepada ahlinya, dua kaidah yang menjadi rukun moral seluruh transaksi. “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah kontrak-kontrak (al-‘uqūd).” (QS. al-Mā’idah 5:1). Ayat lain menegaskan, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. an-Nisā’ 4:58). Di samping itu, larangan memakan harta sesama secara batil dan melalui manipulasi kekuasaan menutup pintu bagi model “meminjam paksa” dana pihak lain demi bunga sendiri. (QS. al-Baqarah 2:188). 

Hadis Nabi menambahkan ketegasan yang tak memberi ruang tafsir oportunistik “Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” Hadis lain yang tak kalah eksplisit berbunyi, “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.” Dua teks ini menolak seluruh bentuk pemindahan risiko kas kepada pihak yang lebih lemah melalui mekanisme “tahan dulu, ambil manfaatnya, bayar belakangan” apalagi ketika ketertundaan itu dimodali kemampuan finansial dan akses lembaga. Praktik “float” yang menguntungkan sepihak, ketika hak orang lain menjadi bahan bakar investasi sang penahan yang merupakan bentuk ketidakadilan yang persis disasar kedua hadis tersebut. 

Dalam teori kelembagaan, penahanan pembayaran koruptif berada di persilangan tiga persoalan masalah agensi, asimetri kekuasaan, dan penyamaran risiko. Dalam masalah agensi, para pengelola kas, direksi, pejabat bendahara, atau manajer unit, memiliki informasi dan kontrol yang tak simetris terhadap pihak yang berhak dibayar. Mereka bisa menjustifikasi penundaan dengan narasi “optimalisasi kas” yang terdengar rasional, padahal di balik itu ada pemindahan manfaat ekonomi kepada diri atau kelompoknya. Asimetri kekuasaan membuat pemasok kecil, nasabah, atau pekerja tak punya daya tawar melawan, terlebih jika institusi penunggak adalah korporasi besar atau entitas negara. Sementara penyamaran risiko terjadi ketika penahanan pembayaran didandani sebagai mekanisme pembiayaan rantai pasok atau “early payment program” yang katanya menguntungkan pemasok, padahal secara substansi perusahaan mengubah kewajiban dagang menjadi instrumen pembiayaan murah yang menekan pemasok atau yang lebih buruk, memutar dana yang bukan haknya untuk menambal kekurangan laba atau mengejar hasil investasi.

Di titik ini, perlu garis batas antara praktik manajemen kas yang sah dan penahanan koruptif. Dalam banyak kontrak konstruksi, misalnya, ada retensi pembayaran yang disepakati demi jaminan mutu, ini legitimate karena transparan, proporsional, dan disetujui kedua belah pihak. Demikian juga mekanisme supply chain finance yang benar, ketika bank membayar lebih cepat kepada pemasok dengan diskon sukarela, sementara pembeli tetap membayar sesuai jadwal. Masalah muncul ketika perusahaan memaksa pemasok menerima syarat pembayaran yang ultra-panjang, menyandera arus kas pemasok, sekaligus menahan dana dan manfaatnya untuk menutup lubang bisnis sendiri, sebuah pola yang sempat menjadi sorotan tajam pada keruntuhan Carillion di Inggris. Parlemen Inggris menggambarkan Carillion sebagai “notorious late payer” yang memaksa standar 120 hari dan menggunakan skema early payment facility sebagai “kartu kredit” untuk menopang model bisnis yang gagal, pada saat yang sama tidak mencatatnya sebagai utang secara memadai. Kesimpulan pedas Komite Pekerjaan dan Pensiun berbunyi “Satu-satunya kas yang menopang laba Carillion adalah kas yang dibanking dengan cara menolak membayar pemasok.” Ini bukan lagi efisiensi kas, melainkan penyalahgunaan kekuasaan pasar dan kosmetika akuntansi.

Dampak ekonomi dan sosial dari penahanan pembayaran koruptif itu sistemik. Pada tingkat mikro, pemasok kecil terdorong mengambil pembiayaan mahal atau memotong upah untuk bertahan, memindahkan beban kepada pekerja dan konsumen. Pada tingkat korporasi, praktik ini menciptakan ilusi profitabilitas melalui pengurangan kebutuhan modal kerja secara paksa, mendorong manajemen menyembunyikan kegagalan fundamental model bisnis. Pada tingkat makro, budaya “bayar belakangan seenaknya” memicu efek berantai gagal bayar, memperlemah resiliensi rantai pasok, dan pada akhirnya menambah premi sistemik dalam perekonomian. Literatur kebijakan pasokan beberapa tahun terakhir, sesudah guncangan pandemi justru mendorong transparansi dan disiplin pembayaran sebagai prasyarat ketahanan, bukan sekadar efisiensi jangka pendek.

Di Indonesia, dua skandal besar di sektor asuransi pelat merah memperlihatkan betapa penahanan pembayaran, ketika digandengkan dengan salah kelola investasi, menyusun ladang subur bagi korupsi yang merusak luas. Kasus PT Asuransi Jiwasraya terkuak di ruang publik pada Oktober 2018 ketika manajemen mengumumkan penundaan pembayaran klaim jatuh tempo produk JS Saving Plan senilai sekitar Rp802 miliar. Audit internal kala itu menguak gangguan likuiditas; belakangan investigasi pidana menemukan rangkaian pelanggaran pengelolaan investasi bertahun-tahun yang berujung vonis seumur hidup bagi sejumlah pelaku kunci dan kewajiban uang pengganti triliunan rupiah. Secara faktual, “gagal bayar” dan “penundaan pembayaran” di sini bukan fenomena kas sesaat, melainkan gejala dari strategi berisiko tinggi yang mengorbankan hak nasabah. Dalam sudut pandang moral, begitu hak klaim jatuh tempo, uang itu bukan lagi milik perseroan; ketika pembayaran ditahan sementara dana nasabah sebelumnya diputar ke portofolio saham berisiko yang sebagian bermasalah akibat praktik manipulatif, maka terjadi pemindahan manfaat ekonomi secara sepihak yang memenuhi elemen kezaliman menurut etika Islam, dan memenuhi ambang tindak pidana menurut hukum positif.

Rangkaian proses peradilan mempertegas bobot pelanggaran. Pada 26 Oktober 2020 Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis seumur hidup pada terdakwa utama, upaya banding dan kasasi ditolak sehingga putusan berkekuatan hukum tetap, disertai kewajiban uang pengganti dalam jumlah yang mencerminkan kerusakan massif terhadap keuangan negara. Laporan eksaminasi publik dan dokumen pengadilan merinci pola investasi yang melawan prinsip kehati-hatian, persekongkolan dengan pihak luar, dan penciptaan ilusi kinerja untuk menopang produk simpanan berjanji imbal hasil tinggi. Dalam kerangka kajian ini, penundaan pembayaran klaim sebesar ratusan miliar pada 2018 adalah “puncak gunung es” yang secara sosiologis memperlihatkan bagaimana penahanan hak digunakan sebagai bantalan waktu untuk investasi yang ternyata busuk.

Kasus PT ASABRI (Persero) menampakkan pola kembar namun dengan skala kerugian berbeda. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat estimasi kerugian negara sekitar Rp22,78 triliun akibat pengelolaan dana investasi yang menyimpang. Jaksa dan pengadilan memaparkan bagaimana dana peserta diputar ke saham dan reksa dana yang tidak sesuai ketentuan, dengan pola “goreng-menggoreng” bersama pihak swasta, sehingga merusak kemampuan entitas memenuhi kewajiban kepada para peserta. Dalam narasi etika, ini lebih dari sekadar salah urus; ketika daftar hak peserta tertunda, baik dalam bentuk klaim maupun manfaat lain, sementara dana mereka dijadikan kendaraan spekulasi yang menguntungkan segelintir pihak, maka berlangsung kezaliman yang dikecam syariat dan memenuhi prasyarat kriminal menurut UU Tipikor. Secara kebijakan, ini mengajarkan bahwa korupsi yang bersembunyi di balik bahasa teknokratis “investasi” pada dasarnya mengandalkan satu hal: waktu tambahan yang diperoleh dengan menahan hak orang lain. 

Untuk memperluas perspektif, kita bisa menoleh pada dua kasus global yang menyoroti sisi lain dari penahanan pembayaran dan penyalahgunaan dana titipan. Pertama, keruntuhan Carillion di Inggris pada Januari 2018, yang oleh parlemen diulas tajam sebagai contoh perusahaan besar yang “membiayai diri” dengan memaksa pemasok menjadi banknya, memperpanjang syarat pembayaran hingga 120 hari, dan mengandalkan skema early payment facility untuk merias neraca. Carillion bukan sekadar terlambat membayar; ia menjadikan keterlambatan sebagai model bisnis untuk memerah likuiditas pemasok, sementara perusahaan sendiri mempertahankan tampilan profit. Inilah wajah lain dari penahanan pembayaran yang, meski tak selalu berpuncak pada tuntutan pidana korupsi, merusak keadilan pasar dan menulari ekosistem industri. 

Kedua, skandal MF Global di Amerika Serikat pada 2011 menunjukkan betapa pengelolaan dana titipan yang menyimpang dalam hal ini dana nasabah yang seharusnya disegregasi dapat berujung pada hilangnya kemampuan memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu. Otoritas derivatif AS (CFTC) menjerat MF Global dan pimpinan puncaknya atas penggunaan dana nasabah secara melawan hukum mendekati US\$1 miliar, yang pada praktiknya menyebabkan “ketertundaan” dan kegagalan pengembalian ketika krisis likuiditas memuncak. Meskipun latar institusi berbeda, pelajaran moralnya identik: begitu pihak pemegang amanah menganggap dana titipan sebagai bantalan likuiditas untuk taruhan sendiri, hak pembayaran pihak yang dititipi berada di bawah ancaman.

Kita kembali pada perspektif Islam untuk menguji klaim rasionalisasi yang lazim di ruang rapat. Ada yang berkata: “Toh pada akhirnya kami bayar, ini hanya timing.” Tetapi syariat tidak hanya menilai hasil akhir, melainkan juga cara, niat, dan dampak selama proses. Larangan menunda pembayaran oleh orang mampu bukan karena syariat anti-efisiensi, melainkan karena ia melindungi tiga maqāshid penting: hifzh al-māl (perlindungan harta), hifzh al-‘irdh/karāmah (penjagaan martabat pihak lemah yang bergantung pada arus kasnya), dan hifzh al-‘ahd (penjagaan janji/akad). Dalam kerangka fiqh muamalah, penahanan pembayaran yang tidak berdasarkan syarat sah yang disepakati, atau melebihi kelaziman ‘urf yang adil, termasuk khiyānah al-amānah (pengkhianatan amanah) dan ta’addi (agresi) atas hak orang lain. Itulah mengapa hadis “upah sebelum kering keringat” bersuara keras: ia bukan metafora puitik, melainkan pedoman operasional agar pihak berkuasa atas arus kas tidak menjadikan keringat orang lain sebagai instrumen pembiayaan murah. 

Dalam ranah hukum positif Indonesia, spektrum sanksi yang mungkin menjerat pelaku bergantung pada status pihak dan sumber dananya. Jika dana yang ditahan dan diputar adalah keuangan negara atau BUMN/BUMD, UU Tipikor memberi landasan untuk menjerat pelaku, sebagaimana terlihat pada Jiwasraya dan ASABRI. Jika menyangkut hubungan privat, jalur wanprestasi dan gugatan ganti rugi terbuka, dan pada situasi tertentu dapat beririsan dengan tindak pidana penggelapan ketika ada amanah yang disalahgunakan. Perkara-perkara asuransi di atas memperlihatkan bagaimana pelanggaran tata kelola investasi yang agresif dapat berakibat domino kepada penundaan pembayaran hak nasabah yang secara normatif, baik menurut hukum positif maupun etika Islam, merupakan bentuk pelanggaran yang berat karena menyasar pihak yang paling tidak berdaya di transaksi pemegang polis, pekerja, pemasok kecil.

Karena modus ini sering tersembunyi di balik terminologi “profesional”, upaya pencegahannya harus menyentuh desain insentif dan arsitektur transparansi. Pertama, disiplin pembayaran sebagai norma publik, baik melalui kode etik industri maupun aturan tegas, perlu mengikat pemain besar agar tidak memindahkan beban modal kerja ke pemasok kecil. Pengalaman Inggris dengan Prompt Payment Code dan pemeriksaan parlemen atas Carillion memberi pelajaran bahwa sertifikasi etis tanpa pengawasan substantif mudah dibajak sebagai kosmetik reputasi. Kedua, pengungkapan yang memadai terkait penggunaan supply chain finance perlu dipaksakan agar utang dagang yang “disulap” menjadi fasilitas pembiayaan tidak menyembunyikan risiko. Ketiga, untuk entitas pengelola dana titipan, segregasi yang ketat dan pelaporan real-time atas posisi kas-kewajiban perlu menjadi standar. Tanpa ini, godaan “meminjam paksa” hak orang lain menjadi terlalu besar, sebuah pelajaran pahit dari MF Global dan dari perusahaan-perusahaan jasa keuangan yang tergoda mempercantik kinerja lewat “float” nasabah.

Khusus di lingkungan yang mengaku berlandaskan prinsip syariah, komitmen keadilan pembayaran harus tampil bukan sekadar sebagai kepatuhan formal, tetapi sebagai ethos. Spirit “awfū bil ‘uqūd” menuntut akuntabilitas lebih kuat karena akad-akad syariah, mudarabah, musyarakah, wakalah, ijarah dibangun di atas amanah dan pembagian risiko yang jujur. Menahan bagi hasil atau upah dengan dalih “manajemen kas” padahal kas ada dan manfaatnya diputar untuk pihak penahan itu inkonsisten dengan maqāshid, sekalipun di atas kertas mengikuti struktur kontrak syariah. Lembaga syariah perlu membangun kebijakan “anti-float sepihak”: setiap penundaan pembayaran harus terbuka alasannya, batas waktunya, dan kompensasi keadilannya, bila dana diputar di luar hak, pemilik dana berhak atas pro-rata keuntungan dan/atau ta’wīdh (ganti rugi) yang adil.

Dari kacamata ekonomi politik, “korupsi halus” melalui penahanan pembayaran memanfaatkan keunggulan akses dan informasi. Ia subur ketika ada krisis kepercayaan yang mendorong “survival finance” berbasis dana orang lain, ketika pengawasan internal terkooptasi, dan ketika regulator atau pemilik modal menilai kinerja dengan metrik jangka pendek yang bisa dimanipulasi melalui kosmetika modal kerja. Skandal-skandal besar Jiwasraya dan ASABRI di Indonesia, Carillion di Inggris, MF Global di AS mengajarkan bahwa setiap kali kita melihat perusahaan “sehat” yang ditopang oleh perpanjangan masif utang dagang atau penundaan kewajiban kepada pihak yang lemah, alarm etis dan kebijakan harus berbunyi. Bukan karena semua penundaan adalah korupsi, tetapi karena di situlah korupsi paling sering bersembunyi, bukan dalam amplop, melainkan dalam hari-hari yang ditambahkan secara sepihak ke kalender pembayaran.

Contoh-contoh kasus tadi juga menyingkap dimensi kemanusiaan yang kerap hilang dalam diskusi akuntansi. Penundaan klaim Jiwasraya pada Oktober 2018 bukan sekadar angka Rp802 miliar di baliknya ada rumah tangga yang mengandalkan jatuh tempo polis untuk biaya sekolah atau perawatan kesehatan. Kegagalan good governance di ASABRI bukan sekadar kerugian Rp22,78 triliun di baliknya ada masa depan ribuan prajurit dan keluarganya. Ketika Carillion memaksa pemasok kecil menerima 120 hari, di baliknya ada bengkel-bengkel kecil yang menggaji tukang demi proyek yang menunggu dibayar. Ketika MF Global mengacak-acak segregasi dana nasabah, di baliknya ada petani atau pelaku usaha kecil yang hedging melalui bursa komoditas untuk menstabilkan pendapatan. Etika Islam mengajarkan bahwa ukuran keberhasilan ekonomi bukan sekadar laba, melainkan tegaknya keadilan transaksi dan keadilan itu dimulai dari ketepatan waktu menunaikan hak.

Pada akhirnya, menahan pembayaran untuk memutar keuntungan sepihak adalah praktik yang melanggar tiga panduan agung: akal sehat ekonomi, hukum positif, dan etika wahyu. Akal sehat menolak karena praktik itu mengalihkan risiko kepada pihak paling lemah dan menciptakan insentif buruk bagi manajemen. Hukum positif menolak karena praktik itu mencederai kontrak dan, pada banyak konteks, melanggar aturan pidana, terutama bila menyangkut dana publik. Etika wahyu menolak karena ia merusak amanah, kontrak, dan hak milik yang suci. Jika ada “cara paling halus” untuk korupsi, maka kehati-hatian kita harus lebih tajam daripada kelihaian modusnya: kita membaca neraca, tetapi jangan lupa membaca waktu; karena di antara angka dan saldo, jam-jam yang dicuri dari pihak lemah itulah yang diam-diam mengalir menjadi laba. Di situlah korupsi berdenyut dan di situlah pula kita wajib mematikannya, dengan disiplin pembayaran, transparansi yang tak bisa dirias, dan penegakan hukum yang mengerti betul bahwa kadang-kadang, kejahatan terbesar bersembunyi di balik kalimat yang paling teknis.

Jika ingin mencari kalibrasi ringkasnya, kembali saja ke dua kalimat kenabian itu. Penundaan oleh yang mampu adalah kezaliman. Upah harus dibayar sebelum kering keringatnya. Dua kalimat ini dibaca di rapat keuangan, dituangkan di SOP, dan ditegakkan oleh auditor, cukup untuk menutup pintu bagi “korupsi halus” yang menukar keadilan dengan menit-menit bunga

Posting Komentar

0 Komentar