Rapat Orang Tua? Maaf, Lagi Sibuk Scroll Media Sosial

Dalam konteks pendidikan modern, terdapat pemahaman mendalam bahwa keberhasilan anak dalam meraih kualitas pembelajaran tidak hanya bergantung pada sistem sekolah, kurikulum, maupun guru, melainkan juga keterlibatan orang tua dalam setiap dinamika perkembangan akademik dan non-akademik anak. Fenomena ketika orang tua tidak ikut serta dalam kegiatan sekolah merupakan cermin adanya jarak emosional, sosial, bahkan intelektual antara keluarga dengan dunia pendidikan anak. Kajian ini mencoba menelaah secara mendalam bagaimana sikap ketidakpedulian itu dapat dimaknai sebagai bentuk kegagalan orang tua dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan, sekaligus mengurai konsekuensi panjang yang lahir dari situasi tersebut.

Keterlibatan orang tua dalam kegiatan sekolah sebenarnya tidak sekadar soal menghadiri rapat wali murid, mengikuti seminar pendidikan, atau hadir dalam pentas seni anak, melainkan lebih luas dari itu. Kehadiran orang tua menjadi simbol dukungan moral, pengakuan terhadap usaha anak, serta penguatan identitas diri anak bahwa ia tidak sedang berjalan sendirian. Ketika orang tua memilih untuk tidak mengikuti kegiatan sekolah, pesan yang ditangkap anak cenderung negatif. Mereka dapat merasa tidak dihargai, tidak didukung, atau bahkan diabaikan. Perasaan itu, meskipun tidak selalu tampak di permukaan, dapat menumbuhkan luka batin yang halus dan jangka panjang, yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan kepribadian dan intelektualitas mereka.

Pendidikan di sekolah pada dasarnya merupakan ruang kolaborasi. Guru tidak pernah berdiri sendiri dalam mengarahkan anak, melainkan membutuhkan ekosistem yang menyeluruh di mana rumah, sekolah, dan masyarakat saling mendukung. Orang tua yang tidak mengikuti kegiatan sekolah justru melemahkan ekosistem itu. Mereka meletakkan beban pendidikan hanya pada guru, seolah-olah pendidikan adalah tanggung jawab eksternal semata. Padahal, dalam sejarah panjang filsafat pendidikan, tokoh-tokoh seperti John Dewey atau Paulo Freire menekankan pentingnya keterlibatan sosial dan komunikasi dalam membentuk individu. Sekolah hanya satu institusi, sedangkan keluarga adalah pondasi pertama yang akan selalu melekat dalam diri anak. Apabila pondasi ini retak, maka seluruh bangunan pendidikan anak pun goyah.

Jika ditinjau dari sudut pandang psikologi perkembangan, keterlibatan orang tua memberikan rasa aman yang esensial. Erik Erikson dalam teorinya mengenai tahapan psikososial menjelaskan bahwa anak membutuhkan dukungan di setiap fase kehidupannya untuk mengembangkan rasa percaya diri dan identitas. Saat orang tua tidak menghadiri kegiatan sekolah, anak merasa tidak memiliki figur pendukung yang bisa merayakan keberhasilannya atau menopang kegagalannya. Rasa percaya diri yang seharusnya terbentuk sejak dini bisa terganggu, bahkan berubah menjadi perasaan rendah diri, cemas, atau tidak mampu menunjukkan potensinya secara maksimal. Lebih jauh, kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah hubungan sosial dengan teman sebaya karena anak merasa tidak punya kebanggaan yang bisa diceritakan atau ditunjukkan kepada lingkungannya.

Dari sisi sosiologis, sekolah adalah miniatur masyarakat. Kegiatan sekolah tidak hanya berisi pembelajaran akademik, tetapi juga ruang interaksi sosial antara murid, guru, dan orang tua. Dalam kegiatan-kegiatan seperti pertemuan wali murid, gotong royong sekolah, lomba, maupun acara kebudayaan, orang tua berperan aktif memperlihatkan kepada anak bahwa kehidupan adalah soal kebersamaan, partisipasi, dan tanggung jawab kolektif. Orang tua yang absen dari seluruh kegiatan sekolah, tanpa disadari, sedang menanamkan nilai individualisme pasif kepada anak, yakni sikap masa bodoh terhadap urusan bersama. Hal ini dapat memupuk generasi yang kurang memiliki empati sosial dan kurang menghargai nilai kebersamaan.

Secara intelektual, ketidakikutsertaan orang tua dalam kegiatan sekolah juga menunjukkan lemahnya kesadaran kritis akan pentingnya pendidikan sebagai proyek peradaban. Pendidikan tidak hanya membentuk anak untuk sekadar bisa membaca, menulis, atau berhitung, tetapi juga mengajarkannya nilai, karakter, dan orientasi hidup. Orang tua yang tidak peduli pada kegiatan sekolah seakan-akan menganggap pendidikan hanyalah urusan formalitas yang cukup dituntaskan dengan membayar biaya sekolah. Sikap demikian mengkerdilkan makna pendidikan sebagai proses panjang pembentukan manusia seutuhnya. Apabila ini menjadi pola umum dalam masyarakat, kita menghadapi ancaman lahirnya generasi yang tidak memiliki kekuatan karakter, rapuh dalam menghadapi tantangan, serta tidak siap berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di dalam tradisi keilmuan Islam, pendidikan dikenal dengan istilah tarbiyah yang bermakna membesarkan, merawat, dan menumbuhkan. Orang tua memegang peran sentral sebagai murabbi atau pendidik pertama. Dalam pandangan ini, orang tua yang tidak mengikuti kegiatan sekolah sama halnya dengan tidak menjalankan fungsinya sebagai murabbi. Anak dibiarkan berkembang dalam lingkungan pendidikan formal tanpa arahan, pengawasan, dan partisipasi dari keluarga. Padahal, Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa setiap orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya, bukan hanya dari sisi material, tetapi juga dari sisi akhlak, pengetahuan, dan orientasi hidup. Maka, ketidakikutsertaan orang tua dalam kegiatan sekolah dapat dikatakan sebagai kelalaian spiritual dan moral, yang bukan hanya berdampak pada anak secara pribadi, melainkan juga pada tanggung jawab keagamaan orang tua itu sendiri.

Dalam perkembangan ilmu pendidikan modern, keterlibatan orang tua terbukti memberikan pengaruh nyata pada prestasi akademik anak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang orang tuanya aktif mengikuti kegiatan sekolah cenderung memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi, nilai akademik yang lebih baik, serta tingkat kehadiran yang lebih stabil. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga yang pasif cenderung menunjukkan performa belajar yang menurun, mudah kehilangan arah, dan kurang memiliki motivasi internal. Penelitian ini memperlihatkan betapa pentingnya sinergi antara sekolah dan keluarga, dan betapa fatalnya konsekuensi jika sinergi itu diabaikan.

Namun, alasan orang tua tidak mengikuti kegiatan sekolah sering kali kompleks. Ada orang tua yang sibuk bekerja, ada yang merasa tidak percaya diri karena keterbatasan pendidikan, bahkan ada pula yang merasa bahwa kegiatan sekolah tidak relevan dengan kebutuhan hidup mereka. Walau demikian, apapun alasannya, konsekuensi dari ketidakhadiran orang tua tetap sama, yakni anak kehilangan dukungan yang esensial. Di sinilah letak perlunya kesadaran baru dalam masyarakat bahwa pendidikan anak adalah investasi terbesar yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Kehadiran dalam kegiatan sekolah tidak selalu memerlukan materi, tetapi lebih kepada kesediaan waktu, perhatian, dan empati.

Jika kita menelisik lebih dalam, ada pula dimensi politik pendidikan yang terlibat dalam fenomena ini. Ketidakikutsertaan orang tua dalam kegiatan sekolah bisa dibaca sebagai bentuk keterputusan antara keluarga dan institusi negara. Sekolah sebagai representasi negara yang hadir untuk mencerdaskan bangsa memerlukan partisipasi keluarga agar visi pendidikan nasional tercapai. Jika orang tua memilih untuk tidak terlibat, maka negara kehilangan mitra strategisnya dalam mencetak generasi yang berdaya saing. Lebih jauh, kondisi ini berpotensi memperlebar jurang kesenjangan pendidikan, karena anak-anak yang orang tuanya aktif cenderung memiliki kesempatan lebih besar untuk berkembang, sementara anak-anak dari keluarga pasif semakin tertinggal.

Fenomena orang tua yang tidak mengikuti seluruh kegiatan sekolah pada akhirnya memperlihatkan dua hal penting. Pertama, adanya krisis kesadaran akan makna pendidikan sebagai proses kebersamaan antara keluarga dan sekolah. Kedua, adanya bahaya laten yang dapat merusak fondasi pembentukan karakter dan intelektualitas anak. Oleh karena itu, sangat penting membangun kembali kesadaran kolektif bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Orang tua perlu menyadari bahwa keterlibatan mereka bukan sekadar formalitas, melainkan bagian integral dari pembentukan manusia yang berdaya.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa orang tua yang tidak mengikuti kegiatan sekolah sesungguhnya sedang melepaskan tanggung jawab mendidik anaknya. Sikap ini bukan hanya berdampak pada performa akademik anak, melainkan juga merusak dimensi psikologis, sosial, intelektual, bahkan spiritualnya. Dalam jangka panjang, masyarakat yang membiarkan pola semacam ini berkembang akan menghadapi krisis generasi, yaitu generasi yang kurang percaya diri, kurang berempati, lemah dalam berkolaborasi, dan rapuh dalam menghadapi tantangan zaman. Oleh sebab itu, pendidikan tidak boleh hanya dipandang sebagai urusan sekolah, melainkan harus dipahami sebagai kerja sama kolektif di mana orang tua memainkan peran vital yang tak tergantikan.

Posting Komentar

0 Komentar