Warisan Tersembunyi, Mengapa Kaya dan Miskin di Indonesia Sama-Sama Mengambil Hak Orang Lain

Fenomena mengambil hak orang lain di Indonesia, ketika diamati secara cermat, bukanlah sekadar masalah perilaku individu yang tamak atau miskin moral. Ia adalah cerminan dari kompleksitas relasi antara individu dan struktur sosial, antara norma dan praktik, antara ajaran moral-agama dan realitas ekonomi-politik. Tindakan ini hadir di semua lapisan, baik kalangan yang secara ekonomi berada di puncak piramida sosial maupun mereka yang berada di dasar, hanya berbeda dalam skala, modus, dan pembenaran yang digunakan. Jika di lapisan bawah bentuknya lebih langsung dan kasat mata seperti mencuri barang di toko, memotong antrian, atau menipu takaran dalam perdagangan keciln maka di lapisan atas bentuknya sering lebih halus, terstruktur, dan sulit dilacak seperti pengaturan tender, mark-up anggaran, penyalahgunaan aset negara, atau penguasaan tanah negara untuk kepentingan pribadi. Perbedaan bentuk ini sering membuat publik salah mengira bahwa hanya yang miskin yang melakukan pelanggaran terang-terangan, sementara yang kaya seolah “lebih bersih” karena modus mereka terselubung di balik legalitas semu.

Dari sudut pandang sejarah, akar perilaku ini bisa ditelusuri jauh ke masa sebelum kemerdekaan. Masyarakat Nusantara sebelum kolonialisme memiliki struktur sosial hierarkis yang kuat, di mana raja atau bangsawan memegang hak atas tanah dan hasil bumi, sementara rakyat berkewajiban memberikan upeti atau kerja paksa. Dalam banyak kerajaan, hak-hak rakyat sering kali bergantung pada kemurahan hati penguasa. Ketika Belanda masuk dan membentuk sistem kolonial, mereka memanfaatkan struktur ini untuk menjalankan tanam paksa, memobilisasi tenaga kerja, dan mengumpulkan pajak. Elite lokal yang menjadi perantara kekuasaan kolonial kerap mendapatkan bagian dari hasil eksploitasi tersebut, dan dari sinilah terbentuk kebiasaan bahwa posisi sosial dapat digunakan untuk mengambil lebih dari yang seharusnya, baik secara resmi maupun tidak resmi. Kebiasaan ini kemudian melekat dalam pola birokrasi dan mentalitas pascakolonial, di mana jabatan publik sering dilihat bukan sekadar sebagai amanah pelayanan, tetapi sebagai sumber “penghasilan tambahan” yang dianggap lumrah.

Setelah kemerdekaan, meskipun secara formal bangsa ini merdeka dari kekuasaan asing, pola relasi patron-klien tersebut tidak sirna. Periode awal kemerdekaan hingga Orde Baru memperlihatkan bagaimana posisi dalam birokrasi dan politik digunakan untuk mendistribusikan sumber daya secara tidak merata. Orde Baru bahkan menginstitusionalisasi praktik ini melalui sistem rente yang melibatkan pengusaha kroni dan militer, sehingga penguasaan ekonomi terpusat pada segelintir kelompok. Dalam sistem seperti ini, mengambil hak orang lain tidak lagi sekadar perilaku individu, melainkan bagian dari mekanisme ekonomi-politik negara. Generasi berikutnya tumbuh dalam situasi di mana “kesuksesan” sering diukur dari kemampuan memanfaatkan celah sistem, bukan dari integritas.

Berdasarkan sisi struktural, ketimpangan ekonomi menjadi salah satu pendorong utama. Menurut data Badan Pusat Statistik, koefisien gini Indonesia berada di kisaran 0,38–0,40 dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan tingkat ketimpangan yang cukup tinggi. Ketimpangan ini menciptakan dua dorongan berbeda di dua kutub sosial. Di kalangan miskin, ketidakcukupan sering memaksa mereka mencari jalan pintas, termasuk mengambil hak orang lain, baik secara langsung maupun melalui penipuan kecil-kecilan. Misalnya, dalam distribusi bantuan sosial, ada penerima yang sebenarnya tidak berhak tetapi memalsukan data, atau orang yang menerima bantuan ganda dari dua program berbeda. Di sisi lain, di kalangan kaya, dorongan yang bekerja bukan lagi survival, melainkan akumulasi dan pengamanan aset. Ketika kekayaan dan kekuasaan sudah terkonsentrasi, mengambil hak orang lain menjadi sarana untuk mempertahankan dominasi, mencegah pesaing, atau memastikan kelangsungan jaringan ekonomi-politik.

Psikologi sosial membantu kita memahami mekanisme internalisasi perilaku ini. Dalam teori pembelajaran sosial Albert Bandura, perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pengamatan terhadap model atau teladan di lingkungannya. Ketika anak atau remaja tumbuh melihat orang dewasa di sekitarnya mengambil hak orang lain dan berhasil lolos, perilaku tersebut akan dianggap normal. Apalagi jika model tersebut adalah figur yang dihormati orang tua, tokoh masyarakat, atau pemimpin politik. Efek modeling ini diperkuat oleh ketiadaan sanksi atau, lebih parah lagi, ketika pelaku justru mendapatkan penghargaan atau status sosial lebih tinggi setelah melakukan pelanggaran. Di titik ini, norma hukum dan moral menjadi lemah karena kalah oleh norma praktis yang berlaku di lingkungan sosial.

Berdasarkan perspektif ekonomi politik, fenomena ini berkaitan erat dengan problem moral hazard yang terjadi ketika aturan tidak ditegakkan secara konsisten. Negara yang lemah dalam penegakan hukum menciptakan ruang besar bagi perilaku oportunistik. Korupsi di Indonesia, misalnya, sering dipicu oleh birokrasi yang rumit dan tidak transparan. Dalam banyak kasus, aturan dibuat sedemikian kompleks sehingga rakyat biasa kesulitan mengakses haknya tanpa bantuan pihak ketiga, yang kemudian memanfaatkan situasi ini untuk mengambil bagian dari hak tersebut. Misalnya, untuk mengurus sertifikat tanah, warga harus melewati prosedur panjang yang membuat mereka tergantung pada “calo”, yang biaya jasanya sering melebihi ketentuan resmi dan pada akhirnya menggerus hak warga.

Jika kita menilik dari sudut pandang agama, maka mengambil hak orang lain merupakan pelanggaran berat. Dalam Islam, prinsip amanah sangat ditekankan, dan setiap bentuk pengambilan yang bukan haknya dianggap sebagai kezaliman. Al-Qur’an dengan tegas melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, dan Nabi Muhammad menegaskan bahwa siapa pun yang merampas sejengkal tanah orang lain, di hari kiamat ia akan dipikulkan dengan tanah itu hingga tujuh lapis bumi. Dalam tradisi Kristen, prinsip keadilan dan larangan mencuri tidak hanya mencakup tindakan fisik, tetapi juga penggelapan, manipulasi, atau segala cara yang merugikan hak orang lain. Demikian pula dalam ajaran Hindu dan Buddha, prinsip ahimsa (tidak menyakiti) dan satya (kejujuran) mengharuskan individu menghormati hak milik orang lain. Akan tetapi, kesenjangan antara ajaran dan praktik menunjukkan bahwa pemahaman agama sering berhenti di level ritual, tidak masuk ke internalisasi moral yang konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

Antropologi budaya memberi kita wawasan tambahan mengenai perbedaan persepsi kepemilikan. Masyarakat tradisional agraris sering memiliki pandangan kolektif tentang sumber daya, di mana batas antara milik pribadi dan milik bersama kabur. Dalam situasi seperti ini, mengambil dari “milik bersama” tidak dipandang seketat mengambil dari milik pribadi. Pola pikir ini ketika dibawa ke masyarakat modern yang berbasis kepemilikan formal dapat menimbulkan masalah. Misalnya, mengambil kayu dari hutan negara dianggap wajar oleh sebagian warga karena mereka melihatnya sebagai warisan leluhur, padahal secara hukum hutan itu dilindungi. Perbedaan persepsi ini menciptakan ketegangan antara hukum negara dan hukum adat, yang kadang dimanfaatkan pihak tertentu untuk menguasai sumber daya publik.

Di sisi lain, lemahnya institusi penegak hukum menjadi faktor krusial. Teori sosiologi hukum menyatakan bahwa kepatuhan terhadap hukum dipengaruhi oleh tiga komponen: kesadaran hukum, kemauan untuk patuh, dan penegakan hukum. Indonesia memiliki tingkat kesadaran hukum yang relatif tinggi, banyak orang tahu mana yang benar dan salah, tetapi kemauan untuk patuh sering rendah jika ada peluang untuk lolos. Penegakan hukum yang tebang pilih, terutama yang memihak mereka yang memiliki kekuasaan atau uang, semakin mengikis rasa keadilan. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum hanya keras terhadap yang lemah dan lunak terhadap yang kuat, mereka kehilangan insentif moral untuk mematuhi aturan.

Dalam perspektif etika, fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih berada dalam proses transisi dari moralitas berbasis hubungan personal menuju moralitas berbasis prinsip universal. Dalam moralitas berbasis hubungan personal, loyalitas kepada kelompok, keluarga, atau patron sering mengalahkan kewajiban kepada hukum atau keadilan abstrak. Akibatnya, mengambil hak orang luar kelompok dianggap wajar, bahkan jika secara formal melanggar hukum. Transisi menuju moralitas universal memerlukan pembiasaan berpikir bahwa semua orang, tanpa memandang status atau kedekatan, memiliki hak yang sama yang harus dihormati.

Karena fenomena ini kompleks, solusi yang mungkin ditempuh harus bersifat multi-level. Pendidikan moral dan agama yang menekankan internalisasi nilai, bukan hanya hafalan aturan, menjadi kunci di tingkat individu. Di tingkat struktural, pembenahan birokrasi, transparansi, dan akuntabilitas mutlak diperlukan. Di tingkat kultural, perlu dibangun narasi baru bahwa mengambil hak orang lain adalah tindakan memalukan dan merugikan semua pihak, bukan sekadar urusan hukum. Dan di tingkat kepemimpinan, teladan integritas dari pemegang kekuasaan menjadi faktor penentu perubahan norma sosial.

Posting Komentar

0 Komentar