Orang Baik Terlalu Sibuk Berdoa, Sampai Lupa Bertindak

Dalam setiap peradaban, dalam setiap zaman, dan dalam setiap bentuk sistem pemerintahan yang pernah ada, selalu muncul pertanyaan mendasar: siapa yang seharusnya memimpin? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat menentukan arah sejarah dan nasib suatu bangsa. Ketika sebuah sistem menyerahkan kekuasaan kepada tangan-tangan yang salah, maka bencana sering kali tak terelakkan. Salah satu kesalahan terbesar yang terus diulang oleh umat manusia, terutama dalam sistem demokrasi, adalah membiarkan kekuasaan jatuh ke tangan mereka yang berambisi, sementara mereka yang memiliki integritas, kebijaksanaan, dan empati memilih untuk menjauh dari arena kekuasaan. Fenomena ini menjadi salah satu paradoks paling menyakitkan dari demokrasi modern. Demokrasi membuka pintu bagi siapa saja untuk memimpin, namun sering kali hanya mereka yang memiliki keberanian untuk tampil, tak peduli niat dan kemampuannya, yang akan menguasai panggung.


Orang-orang baik yakni mereka yang memiliki hati nurani, kesadaran moral, dan komitmen terhadap kebenaran, sering kali merasa enggan atau bahkan jijik terhadap politik dan kekuasaan. Mereka menganggap bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang kotor, penuh intrik, tipu daya, dan kepentingan. Dalam benak mereka, masuk ke dunia kekuasaan berarti menggadaikan nilai-nilai luhur yang mereka pegang teguh. Politik, dalam pandangan mereka, adalah arena perebutan kekuasaan yang rakus dan manipulatif, bukan tempat untuk membangun kebaikan bersama. Maka dari itu, mereka memilih untuk tetap menjadi pengamat, pengkritik, atau paling jauh menjadi pendukung pasif perubahan. Mereka tidak bersedia terjun langsung, tidak mau berkotor-kotor dengan lumpur kekuasaan, dan enggan menanggung beban tanggung jawab yang besar.

Namun, keengganan mereka itu justru menjadi sumber dari masalah yang jauh lebih besar. Sebab kekuasaan yang ditinggalkan oleh orang-orang baik tidak serta merta hilang begitu saja. Kekuasaan adalah ruang yang tidak pernah kosong. Ia selalu akan diisi, dan jika bukan oleh mereka yang berniat baik, maka akan diisi oleh mereka yang berniat sebaliknya. Ketika orang-orang baik mundur, maka orang-orang licik, tamak, dan manipulatif melihat peluang. Mereka mengambil alih ruang-ruang strategis, membuat kebijakan sesuai kepentingan mereka, mengendalikan sistem untuk memperkuat posisi mereka, dan menyingkirkan segala bentuk ancaman terhadap kekuasaannya. Dalam jangka panjang, negara akan dikuasai oleh mereka yang tidak pernah berniat melayani, tetapi hanya ingin menghisap, menguras, dan menguasai.

Demokrasi menjanjikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi sistem ini hanya bisa bekerja dengan baik jika rakyat yang dimaksud benar-benar terlibat aktif. Demokrasi bukan sekadar tentang memilih, tetapi juga tentang siapa yang bersedia mencalonkan diri, siapa yang bersedia memimpin, dan siapa yang bersedia menjaga sistem agar tetap adil dan seimbang. Ketika rakyat, khususnya mereka yang bijak dan berhati mulia, memilih untuk tidak terlibat, maka demokrasi berubah menjadi arena manipulasi. Dalam kondisi seperti ini, rakyat menjadi objek yang dipermainkan, bukan subjek yang berdaulat. Kekuasaan menjadi alat untuk mempertahankan kepentingan kelompok tertentu, bukan sarana untuk membangun kesejahteraan bersama.

Ada ironi besar dalam masyarakat yang mengeluhkan korupsi, ketidakadilan, dan rusaknya sistem, namun pada saat yang sama membiarkan orang-orang terbaik mereka tetap diam di pinggir lapangan. Mereka mengharapkan perubahan dari luar sistem, sementara sistem itu sendiri dibiarkan dikuasai oleh mereka yang merusaknya. Padahal perubahan yang sejati hanya bisa terjadi ketika mereka yang memiliki integritas dan visi yang lurus bersedia mengambil peran, mengambil risiko, dan berada dalam posisi pengaruh. Orang baik yang hanya mengeluh tanpa bertindak sebenarnya sedang memperpanjang umur kezaliman. Mereka menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.

Banyak tokoh sejarah yang mengingatkan bahaya dari sikap pasif orang baik. Plato, filsuf Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa hukuman terbesar bagi orang bijak yang enggan memerintah adalah diperintah oleh orang yang lebih bodoh darinya. Kalimat ini bukan sekadar retorika, tetapi cerminan dari kenyataan pahit yang telah berkali-kali terjadi dalam sejarah umat manusia. Ketika orang bijak tidak bersedia memimpin, maka yang akan memimpin adalah orang-orang yang tidak bijak—dan akibatnya bisa sangat fatal. Kita telah melihat dalam sejarah bagaimana negara-negara besar runtuh karena dipimpin oleh orang-orang yang tidak layak. Kita telah menyaksikan bagaimana demokrasi berubah menjadi tirani, bagaimana sistem hukum dijadikan alat kekuasaan, dan bagaimana rakyat menderita karena pemimpinnya tidak memiliki moralitas yang benar.

Dalam konteks ini, keengganan orang baik untuk berkuasa bukanlah kebajikan, tetapi kesalahan yang mendasar. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Mereka ingin keadilan, tapi tidak bersedia memperjuangkannya dari posisi yang strategis. Mereka menginginkan kebenaran, tapi tidak mau menyuarakannya dari tempat yang bisa mengubah keadaan. Mereka mendambakan perubahan, tapi tidak mau menjadi bagian dari proses perubahan itu sendiri. Mereka ingin dunia menjadi lebih baik, tapi tidak bersedia mengotori tangan mereka untuk membersihkan kotoran yang ada.

Tentu saja, memilih untuk berkuasa bukan berarti harus kehilangan prinsip. Justru di sinilah letak tantangannya: bagaimana tetap menjaga integritas dalam sistem yang korup, bagaimana tetap jujur di tengah kebohongan, dan bagaimana tetap melayani ketika kekuasaan begitu menggoda untuk disalahgunakan. Ini bukan tugas yang mudah, tapi justru karena sulit itulah maka orang baik harus melakukannya. Dunia tidak akan berubah jika hanya diisi oleh orang yang mengejar kenyamanan pribadi. Dunia hanya bisa berubah ketika ada orang-orang yang bersedia menanggung penderitaan demi memperjuangkan sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.

Tanggung jawab untuk memimpin bukanlah beban yang harus dihindari, melainkan panggilan moral. Kekuasaan itu pada dasarnya adalah amanah, dan amanah hanya bisa dijaga oleh mereka yang memiliki rasa takut kepada Tuhan, cinta kepada sesama, dan kesadaran bahwa setiap keputusan akan dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Kekuasaan bukan hanya tentang membuat keputusan, tetapi tentang menjadi teladan, menjadi pelayan, dan menjadi penjaga bagi nilai-nilai yang luhur.

Orang baik yang memilih menjauh dari kekuasaan harus mulai mempertanyakan ulang keputusannya. Apakah diam adalah pilihan yang bijak ketika ketidakadilan merajalela? Apakah menjauh adalah tindakan mulia ketika kezaliman merusak kehidupan banyak orang? Apakah menyerah adalah bentuk kebijaksanaan, atau justru bentuk kepengecutan yang dibungkus dengan alasan-alasan moral? Mungkin selama ini kita terlalu nyaman dengan identitas “orang baik” yang hanya mengamati dari jauh, tanpa merasa perlu untuk terlibat langsung. Padahal kebaikan yang sejati bukanlah kebaikan yang pasif, melainkan kebaikan yang aktif yang bersedia turun tangan, berkorban, dan bertindak ketika keadaan menuntut.

Bayangkan jika para nabi, para pejuang, dan para pemikir besar dalam sejarah memilih untuk tetap diam. Bayangkan jika mereka merasa terlalu suci untuk masuk ke dunia yang kotor. Dunia tidak akan pernah berubah. Peradaban tidak akan pernah tumbuh. Kezaliman akan terus berkuasa tanpa perlawanan. Maka tidak heran jika banyak tokoh bijak di masa lalu memilih untuk memimpin meski itu bukan keinginan pribadi mereka. Mereka sadar bahwa kepemimpinan bukanlah hak istimewa, tetapi kewajiban moral. Mereka tahu bahwa jika mereka tidak melakukannya, maka yang akan melakukannya adalah orang yang tidak layak. Dan jika itu terjadi, maka mereka tidak hanya bersalah karena diam, tetapi juga karena membiarkan kehancuran terjadi di depan mata.

Sudah saatnya orang baik mengubah cara pandang terhadap kekuasaan. Kita tidak bisa terus menerus memisahkan antara moralitas dan kepemimpinan. Kita tidak bisa terus menganggap bahwa kebaikan hanya bisa dijalankan di luar sistem. Jika sistem itu rusak, maka tugas kita adalah memperbaikinya dari dalam. Jika kekuasaan itu kotor, maka tugas kita adalah membersihkannya dengan tangan kita sendiri. Jika negara ini sedang menuju kehancuran, maka tidak cukup hanya dengan doa dan kritik. Diperlukan aksi nyata, keterlibatan langsung, dan keberanian untuk mengambil posisi yang menentukan.

Kita sering mendambakan pemimpin ideal: jujur, adil, cerdas, dan peduli. Tapi ironisnya, ketika ada orang baik yang memenuhi syarat itu, justru mereka sendiri yang menolak untuk tampil. Mereka menolak karena takut gagal, takut diserang, atau karena merasa tidak cukup layak. Tapi dunia tidak butuh orang yang sempurna. Dunia hanya butuh orang yang cukup berani untuk mencoba, cukup tulus untuk melayani, dan cukup teguh untuk tidak tergoda oleh kekuasaan itu sendiri.

Kesadaran ini harus ditanamkan sejak dini. Pendidikan politik bukan hanya tentang mengenal sistem pemerintahan, tetapi juga tentang membangun semangat tanggung jawab sosial. Anak-anak muda harus diajarkan bahwa memimpin bukanlah ambisi, tetapi pengabdian. Bahwa masuk ke dunia politik bukan berarti menjadi korup, tetapi bisa menjadi sarana untuk menegakkan kebenaran jika dilakukan dengan hati yang bersih. Bahwa menjadi pemimpin bukan berarti menjadi paling hebat, tetapi menjadi yang paling siap memikul beban demi orang banyak.

Jika kita ingin melihat masa depan yang lebih baik, maka orang-orang baik tidak boleh lagi hanya menjadi penonton. Mereka harus masuk ke gelanggang, ikut bertarung, dan memastikan bahwa kebaikan tidak hanya menjadi ide, tetapi juga menjadi kenyataan. Demokrasi akan terus menjadi ilusi jika hanya diisi oleh mereka yang tidak layak. Sebaliknya, demokrasi bisa menjadi kekuatan luar biasa jika diisi oleh mereka yang punya hati.

Akhirnya, kehancuran sebuah bangsa bukan hanya karena banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang baik. Diam itu bukan netral. Diam adalah pembiaran. Dan pembiaran adalah bentuk kejahatan yang paling halus, namun paling mematikan. Maka jika kita benar-benar ingin membela kebenaran, kita harus berani mengambil peran, meski itu berat, meski itu penuh risiko. Karena jika bukan kita, siapa lagi?

Posting Komentar

0 Komentar