Similarity Adalah Segalanya: Kitab Suci Baru Dunia Akademik

Pada era digital kini, khususnya dalam dunia pendidikan tinggi, muncul fenomena menarik namun sekaligus menyedihkan: kepercayaan yang hampir mutlak terhadap teknologi seperti Turnitin untuk mendeteksi plagiarisme, bahkan ketika banyak dosen sendiri tidak memahami secara mendetail cara kerja alat tersebut. Kepercayaan tersebut sering kali diterima begitu saja, hasil similarity index “ditelan mentah‑mentah” tanpa analisis kritis yang memadai, sehingga muncul risiko besar mencabut narasi ilmiah yang sebenarnya memerlukan pertimbangan manusia dan konteks akademik.

Turnitin sejatinya bukan detektor plagiarisme sejati melainkan alat pencocokan teks (text‑matching tool) yang membandingkan naskah terhadap internet, database jurnal, dan arsip sebelumnya. Laporan similarity index yang dihasilkan tidak serta merta berarti plagiat, tetapi hanya menunjukkan kemiripan teks apakah perpotongan kata per kata muncul di sumber eksternal. Namun, dalam praktik lazim di berbagai institusi pendidikan, similarity index sering dijadikan tolok ukur tunggal: angka 20 % dianggap ambang aman, 25 % dianggap melanggar, tanpa memperhatikan apakah teks yang sama merupakan kutipan sah, jargon umum, kalimat generik yang sulit dihindari, atau bagian daftar pustaka.

Di kalangan mahasiswa, praktik meminta mereka mengunggah hasil similarity dan menyerahkan kepada dosen untuk penilaian juga menimbulkan konflik kepentingan: mahasiswa bisa mengedit atau meng‑exclude bagian yang tinggi kemiripannya sebelum menghasilkan skor akhir. Ini menimbulkan risiko manipulasi, alih‑alih memperjuangkan integritas akademik, mereka mencari cara untuk menurunkan angka similarity tanpa memperbaiki esensi tulisan.

Sementara itu, dosen sering kali tidak diberi pelatihan memadai untuk menginterpretasikan laporan Turnitin. Banyak dosen kurang memahami konteks indeks similarity: mengapa skor bisa tiba‑tiba tinggi padahal mahasiswa mengutip peraturan, undang‑undang, atau terjemahan Al‑Qur’an yang memang harus identik. Contohnya di UIN, terjemahan Al‑Qur’an sering memicu skor tinggi padahal tidak berarti plagiat. Dosen tanpa panduan yang jelas bisa keliru menolak karya sah atau menerima dokumen yang hanya dimanipulasi sedemikian rupa untuk melewati batas angka.

Tak hanya soal plagiarisme manual, muncul pula tantangan baru dari deteksi tulisan buatan AI. Turnitin menambahkan detektor AI writing indicator untuk menangkal karya yang disusun oleh ChatGPT atau generator teks lain. Namun alat ini menyangkal bahwa hasilnya absolut: false positive tetap mungkin, meski perusahaan mengklaim di bawah 1 % untuk dokumen penuh; studi independen menunjukkan alat‑alat sejenis memiliki akurasi di bawah 80 % dan dan bias terhadap penulis non‑penutur asli Bahasa Inggris. Di Australia saja diperkirakan hingga puluhan ribu mahasiswa bisa salah tuduh setiap semester jika dosen mengandalkan sepenuhnya AI detector tanpa bukti tambahan.

Konsekuensi sosialnya serius: kebijakan perkuliahan berubah menjadi budaya penghindaran dosen menuntut skor similarity rendah dan mahasiswa mencari trik agar tidak terdeteksi. Rasa saling tidak percaya tumbuh antara mahasiswa dan dosen, menciptakan atmosfer panoptikon akademik yang disebut beberapa kritikus sebagai “budaya pengawasan berlebihan. Mahasiswa merasa moralnya dipertanyakan bahkan sebelum dosen melihat isi karya, karena persyaratan submit ke Turnitin yang dianggap mencadlakan prasangka bersalah.

Lebih lanjut, aspek privasi dan hak cipta juga dipersoalkan. Turnitin menyimpan semua dokumen yang pernah di‑upload dalam repositori komersial, dan beberapa pihak menyatakan bahwa itu melanggar hak intelektual penulis serta data mereka bisa diakses oleh otoritas luar sesuai legislasi seperti Patriot Act di Amerika. Di berbagai universitas Kanada bahkan sempat melarang penggunaan Turnitin karena alasan privasi mahasiswa. Banyak mahasiswa tidak diberi pilihan untuk menolak submit, dianggap semacam eksploitasi akademik.

Di sisi lain, penggunaan Turnitin sebagai bagian dari strategi pencegahan plagiarisme tetap memiliki relevansi: Turnitin mampu menangkap kemiripan teks bahkan yang tampaknya tidak disengaja—kata per kata dari sumber lain yang mungkin tanpa disadari digunakan oleh penulis. Dalam konteks editorial jurnal, Turnitin umum digunakan oleh reviewer untuk memeriksa manuskrip sebelum penerbitan, dan oleh banyak fakultas untuk skripsi atau disertasi.

Namun masalah muncul ketika interpretasi dianggap otomatis. Perlu penguatan literasi akademik bagi dosen dan mahasiswa: agar mereka memahami batasan similarity index, membedakan plagiarisme murni dengan kesamaan terjemahan, kutipan, istilah ilmiah, atau kalimat umum. Dengan demikian, laporan Turnitin bukan akhir cerita, melainkan titik awal diskusi antara dosen dan mahasiswa. Studi mengusulkan agar dosen membandingkan gaya penulisan tugas tersebut dengan hasil tulisan sebelumnya dari mahasiswa yang sama, membicarakan perubahan nada, kompleksitas kalimat, cara sumber dikutip, dan sejenisnya sebelum mengambil kesimpulan plagiarisme.

Kepercayaan buta terhadap Turnitin meningkatkan tekanan budaya akademis yang tidak sehat. Banyak mahasiswa mengeluh bahwa skor di atas batas—misalnya 20 %—langsung dianggap gagal, padahal sebagian besar berasal dari kutipan sah atau frasa teknis yang umum. Pengalaman di forum Reddit menunjukkan mahasiswa frustrasi karena skor tinggi padahal referensi dan format APA yang seharusnya identik ikut terbaca, sehingga angkanya melambung tanpa makna plagiasi.

Perilaku ini juga mengesampingkan pengembangan keterampilan menulis, riset, dan etik publikasi. Fokus bergeser dari membentuk pemikir kritis dan kreatif menjadi sekadar “menghindari deteksi mesin”. Mahasiswa lebih banyak belajar trik menurunkan prosentase similarity dibanding memahami konteks plagiarisme dan mengembangkan argumen orisinal. Ini pada akhirnya merusak tujuan pendidikan tinggi itu sendiri sebagai pembentuk integritas intelektual.

Secara keseluruhan, fenomena kepercayaan berlebihan terhadap teknologi seperti Turnitin tanpa pemahaman yang mendasari membuka berbagai risiko: nilai akademik bisa dipengaruhi oleh angka semu; tuduhan palsu bisa dijatuhkan pada mahasiswa yang tulisannya sah; budaya akademik bergeser menjadi paranoid; hak privasi dan intelektual mahasiswa terancam; serta kualitas penulisan ilmiah menjadi korban situasi yang menekankan kepatuhan terhadap angka daripada kualitas analisis.

Untuk merespons hal ini, harus ada reformasi budaya akademik. Pertama, kurikulum pengembangan profesional dosen perlu memasukkan pelatihan interpretasi laporan similarity dan AI indicator. Dosen perlu diberi panduan context‑aware: misalnya cara mengabaikan frasa umum, istilah teknis, daftar pustaka, atau terjemahan yang diperbolehkan. Kedua, kebijakan institusi harus mengatur transparansi: mahasiswa berhak memahami metrik similarity dan AI flag, serta punya kesempatan mengajukan klarifikasi sebelum penilaian final. Ketiga, budaya diskusi terbuka antara dosen dan mahasiswa perlu diperkuat agar laporan Turnitin dipakai sebagai alat dialog bukan alat hukuman otomatis. Keempat, institusi harus mengevaluasi berbeda kategori bahasa dan latar mahasiswa; alat AI flag cenderung bias terhadap penulis non‑native speaker Bahasa Inggris dan perlu dieliminasi potensi ketidakadilan tersebut.

Lebih jauh, literasi akademik kepada mahasiswa harus mencakup pemahaman plagiarisme yang sesungguhnya: apa arti etika menulis, bagaimana cara sitasi benar, bagaimana membentuk argumen orisinal, serta memahami perbedaan similarity index dengan plagiarisme substansial. Dengan begitu, mahasiswa bukan hanya menghindari deteksi, melainkan benar-benar menjadi penulis yang integritasnya terjaga.

Kesimpulannya, ketergantungan tanpa kritik terhadap Turnitin dan teknologi sejenis menciptakan distorsi nilai akademik. Interaksi manusia sebagai pengajar dan pembimbing harus tetap menjadi inti penilaian, sedangkan laporan teknologi hanya sebagai pemicu analisis, bukan penentu mutlak. Tanpa reformasi pemahaman, kebijakan, dan literasi, sistem ini bukan melindungi integritas, tetapi malah mencederainya.

Posting Komentar

0 Komentar