Surah Al-Baqarah ayat 286 adalah ayat penutup dari surah terpanjang dalam Al-Qur’an. Ia menjadi salah satu ayat yang paling sering dikutip dalam konteks menghadapi musibah atau ujian hidup. Ayat ini berbunyi:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Terjemahannya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Ayat ini sangat menyentuh sisi kemanusiaan dalam ajaran Islam. Ia merupakan penghiburan dan jaminan bahwa Allah tidak zalim. Allah menegaskan bahwa setiap ujian, kewajiban, ataupun beban hidup yang diberikan kepada manusia telah diperhitungkan dengan penuh keadilan. Namun, dalam praktik spiritual maupun sosial, ayat ini sering kali ditarik ke dalam makna yang pasif, bahkan disalahgunakan untuk membenarkan sikap diam, penerimaan buta, atau ketidakberdayaan terhadap kezaliman dan penderitaan. Salah satu bentuk penyimpangan tafsir terhadap ayat ini adalah menjadikannya dalih untuk kesabaran yang diam, kesabaran yang tanpa suara, tanpa ikhtiar, dan tanpa kritik terhadap kondisi yang merusak.
Untuk memahami kedalaman dan cakupan ayat ini secara benar, perlu ditinjau dari dimensi tafsir, historis, psikologis, serta sosiologis, termasuk bagaimana Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabat memahami serta mengamalkan prinsip ini dalam kehidupan nyata.
Kesabaran dalam Konteks Al-Baqarah 286
Salah satu inti utama dalam ayat ini adalah pengakuan bahwa Allah tidak membebani jiwa di luar kapasitasnya. Frasa ini bukanlah pernyataan fatalistik, melainkan ungkapan keadilan dan kasih sayang Allah. Namun, sebagian orang menyimpulkannya sebagai “apa pun yang terjadi adalah sudah diatur, maka tugas kita hanya sabar dan menerima”. Di sinilah muncul distorsi tafsir. Ayat ini tidak mengajarkan kepasifan, tetapi mengajarkan bahwa ujian, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan itu masih dalam batas kemampuan kita dengan asumsi bahwa manusia akan berikhtiar semaksimal mungkin.
“Kesabaran” (ṣabr) dalam Islam bukan berarti diam. Ṣabr adalah daya tahan, keteguhan, perjuangan untuk bertahan dalam kebenaran dan tidak menyerah pada kemungkaran. Sabar bukan hanya ketika tertimpa musibah, tapi juga ketika harus terus taat dalam kondisi sulit, dan ketika harus menjauhi dosa dalam godaan besar. Tiga aspek ini selalu disertai oleh usaha. Seorang yang hanya diam, tidak memperjuangkan perubahan, tidak berdoa secara aktif, tidak mengkritik ketidakadilan, tidak termasuk dalam kategori sabar yang diajarkan oleh Qur’an.
Dalam konteks sosial-politik misalnya, ketika suatu umat tertindas, lalu mereka hanya berkata “Allah tidak membebani kami melebihi kemampuan kami” dan berhenti di situ, tanpa memperjuangkan keadilan, maka itu adalah pemahaman yang keliru. Nabi Muhammad SAW sendiri, dalam menghadapi penindasan di Makkah, tidak pasrah begitu saja. Ia menyusun strategi hijrah, berdoa, berdakwah secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, hingga akhirnya melakukan perlawanan secara politis dan militer di Madinah. Semua itu adalah bukti bahwa kesabaran bukanlah keheningan.
Ayat Ini dalam Tafsir Para Ulama
Jika kita melihat tafsir klasik maupun kontemporer, makna kesabaran dan ketahanan dalam ayat ini tidak pernah dilepaskan dari perjuangan dan usaha. Tafsir al-Tabari menegaskan bahwa ayat ini menjelaskan keadilan Allah dalam pemberian beban, tetapi manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk menyikapi beban tersebut dengan cara yang aktif dan bertanggung jawab.
Ibn Kathir menyatakan bahwa bagian awal ayat menunjukkan prinsip agung dalam syari’ah: bahwa beban hukum atau ujian kehidupan berada dalam lingkup kemampuan manusia. Tetapi manusia tetap diperintahkan untuk berdoa agar tidak diberi beban yang berat, dan memohon pertolongan Allah. Doa tersebut bukan berarti keinginan untuk lari dari tanggung jawab, tetapi kesadaran akan keterbatasan dan harapan terhadap rahmat.
Tafsir modern seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an lebih tegas menekankan bahwa ayat ini adalah panggilan bagi manusia untuk memperjuangkan kemerdekaan jiwa, dan menolak segala bentuk penghambaan selain kepada Allah. Jika kesabaran dijadikan dalih untuk membenarkan penjajahan, kemiskinan struktural, atau ketidakadilan sosial, maka itu adalah penghinaan terhadap maksud ayat ini.
Kesabaran Tanpa Suara: Sikap yang Disalahgunakan
Kesabaran sering dijadikan alat legitimasi untuk menindas, terutama dalam konteks kekuasaan yang tidak adil. Dalam relasi antara penguasa dan rakyat, antara pemuka agama dan jamaahnya, antara pelaku kekerasan dan korbannya, istilah sabar kerap digunakan untuk menenangkan atau lebih tepatnya membungkam, mereka yang sedang menderita.
Misalnya, ketika seseorang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, lalu ia dinasihati untuk “bersabar saja”, “diam saja, karena Allah bersama orang sabar”, maka sebenarnya itu adalah bentuk manipulasi terhadap agama. Kesabaran bukan berarti bertahan dalam situasi yang merusak jiwa dan raga tanpa ikhtiar untuk keluar darinya. Bahkan Nabi Muhammad SAW menyuruh seorang wanita yang terus dipukul suaminya untuk berpisah, bukan bersabar tanpa suara.
Dalam dunia sosial, kita melihat banyak kelompok tertindas yang terus dibungkam dengan retorika sabar. Rakyat miskin diminta bersabar ketika harga naik. Buruh diminta bersabar ketika upah tidak dibayar. Mahasiswa diminta bersabar ketika pendidikan semakin mahal. Semua disuruh sabar, tetapi penguasa tidak pernah diminta untuk adil. Ini adalah bentuk pembalikan makna yang sangat jauh dari nilai-nilai Qur’ani.
Dimensi Doa dalam Ayat Ini
Perhatikan pula bahwa bagian akhir dari ayat ini adalah rangkaian doa. Bukan sekadar pasrah, tetapi permintaan yang jelas, aktif, dan penuh makna:
1. “Ya Allah, jangan hukum kami jika kami lupa atau salah.” Ini menunjukkan bahwa manusia harus mengakui kesalahan, bukan berpura-pura suci atau pasrah begitu saja.
2. “Jangan Engkau bebankan kami beban seperti yang ditanggung umat sebelum kami.” Ini adalah permohonan untuk tidak mengulang sejarah penderitaan. Artinya, umat Islam harus belajar dari sejarah, bukan hanya bersabar menghadapi sejarah yang berulang.
3. “Jangan Engkau pikulkan kepada kami apa yang kami tak sanggup memikulnya.” Artinya manusia boleh meminta batas ujian, bukan wajib menanggung semuanya dalam diam.
4. “Maafkan kami, ampunilah kami, rahmatilah kami.” Ini adalah bentuk kesadaran bahwa perjuangan dan kesabaran harus disertai spiritualitas.
5. “Engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.” Ini adalah pernyataan perlawanan, bukan kepasrahan. Ini adalah seruan jihad (dalam makna spiritual maupun sosial), bukan penyerahan nasib.
Kesimpulan: Kesabaran yang Aktif, Bukan Pasif
Kesabaran dalam Islam bukanlah pembenaran untuk stagnasi atau ketidakberdayaan. Al-Baqarah 286 mengajarkan kesabaran yang penuh kesadaran, perjuangan yang disertai doa, dan tawakal yang tidak lepas dari ikhtiar. Sabar bukan berarti tidak bicara. Sabar bukan berarti diam di hadapan kezaliman. Sabar adalah tetap berjuang dalam kebaikan meski dunia menghina. Sabar adalah tetap menyuarakan kebenaran meski kekuatan membungkam.
Mereka yang menjadikan ayat ini sebagai pembungkam perjuangan telah menyelewengkan maknanya. Sabar bukan tentang menjadi korban terus-menerus. Sabar adalah tentang bertahan sambil tetap memperjuangkan keadilan. Maka dari itu, siapa pun yang menggunakan ayat ini untuk mematikan kritik, membungkam suara, dan membenarkan penindasan, sesungguhnya telah menghina makna Qur’an itu sendiri.
Wallahu a’lam.

0 Komentar