Tertutupnya Qalb: Mengapa Kita Sulit Menerima Saran dan Refleksi?

Dalam khazanah Islam, hati (qalb) adalah pusat kehidupan ruhani, tempat bertemunya ilmu, iman, dan akhlak. Qalb bukan sekadar organ biologis, melainkan wadah spiritual yang menentukan kepekaan terhadap kebenaran dan kebatilan. Maka dari itu, ketika hati sulit menerima nasihat atau refleksi, sesungguhnya yang bermasalah bukan sekadar akal atau argumen yang disampaikan, melainkan kondisi batin yang sedang tertutup, keruh, atau lelah secara ruhani.

 

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 2 bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Dengan kata lain, hidayah dan kebenaran itu sudah jelas, tetapi tidak semua orang siap menerimanya karena hati mereka belum dalam keadaan bersih. Di dalam Surah Al-Mutaffifin ayat 14, Allah menjelaskan: “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” Inilah yang dalam istilah ulama disebut dengan "raan" karat hati. Ketika karat ini sudah mengeras, maka setiap kebenaran yang masuk akan terpental. Maka, ketika kita merasa sulit menerima nasihat, kita harus bertanya: apakah hati kita sedang berkarat oleh dosa, keangkuhan, atau sikap merasa cukup dengan apa yang sudah kita miliki?

Nabi Muhammad ﷺ, yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia, memberikan perhatian besar terhadap sikap menerima nasihat. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan bahwa agama adalah nasihat (ad-dīn an-naṣīḥah), yang mencakup nasihat untuk Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin umat, dan seluruh kaum muslimin. Ini bukan sekadar kewajiban memberi, tetapi juga menunjukkan keutamaan menerima nasihat. Maka siapa pun yang mengabaikan nasihat, sejatinya ia sedang menolak sebagian dari agama itu sendiri. Namun mengapa manusia seringkali tidak bisa menerima nasihat, padahal ia mengaku beriman dan menginginkan kebaikan?

Salah satu jawabannya terletak pada penyakit hati yang disebut oleh para ulama sebagai kibr (kesombongan). Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Lalu seorang sahabat bertanya: “Bagaimana kalau seseorang senang memakai pakaian atau sandal yang bagus?” Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” Maka jelas bahwa inti dari kesombongan adalah dua hal: menolak kebenaran dan memandang rendah siapa pun yang menyampaikannya.

Di sinilah letak masalah terbesar dalam menerima nasihat. Kadang seseorang bukan menolak isinya, melainkan enggan menerima karena yang menyampaikan dianggap tidak layak, bukan guru, bukan orang yang kita hormati, atau bahkan orang yang kita anggap lebih rendah dari kita. Ini adalah kibr yang tersembunyi. Banyak manusia shalat dan puasa, tetapi tetap sulit menerima nasihat karena dalam dirinya tersembunyi keengganan untuk ditunjukkan kekurangan. Hatinya ingin tetap tampak mulia, suci, dan sempurna, padahal Islam adalah agama perbaikan dan penyucian diri secara terus-menerus.

Kesombongan ini sering bersumber dari perasaan cukup (ghinā’ nafs). Orang yang merasa dirinya sudah tahu, sudah paham, sudah baik, akan enggan dibimbing. Bahkan Allah menyindir dalam Surah Al-‘Alaq ayat 6–7: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” Maka dalam logika spiritual Islam, merasa cukup adalah awal dari keruntuhan batin. Merasa butuh kepada Allah, kepada ilmu, kepada bimbingan, itulah tanda hati yang hidup.

Sikap menolak nasihat juga bisa disebabkan oleh cinta dunia. Imam Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menyebut bahwa hati yang dipenuhi syahwat dan cinta terhadap kenikmatan dunia akan cenderung menolak sesuatu yang mengganggu kesenangannya. Saran atau refleksi seringkali menjadi ancaman terhadap zona nyaman duniawi—meninggalkan kebiasaan buruk, memperbaiki kesombongan tersembunyi, atau mengubah orientasi hidup. Maka hati yang sudah dilumuri dunia, meskipun mendengar nasihat dari orang alim, tidak akan bergeming, karena nafsunya lebih dominan dari imannya.

Demikian pula, dalam konteks relasi sosial, manusia sering merasa bahwa menerima nasihat sama dengan mengakui kekurangan. Padahal, dalam Islam, mengakui kekurangan adalah tanda tawadhu dan jalan menuju kebaikan. Umar bin Khattab, seorang khalifah yang dijamin surga, justru mengatakan, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aib-aibku.” Ia menjadikan nasihat sebagai bentuk cinta dan pertolongan, bukan celaan. Maka siapa pun yang tidak bisa menerima saran, sesungguhnya ia tidak mengenali hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang penuh kelemahan.

Allah berfirman dalam Surah Az-Zumar ayat 9: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Maka, orang yang mau menerima nasihat adalah orang yang menggunakan ilmunya untuk mendekat kepada kebenaran. Namun ilmu tanpa tazkiyah (penyucian diri) bisa membuat seseorang menjadi arogan. Ia bisa menggunakan dalil untuk menolak kritik, merasa paling benar karena memiliki referensi. Maka dalam tradisi Islam, ilmu harus disertai dengan adab dan kesadaran akan keterbatasan diri.

Sebagian ulama membagi manusia menjadi empat golongan dalam menyikapi nasihat. Pertama, orang yang tahu dan sadar bahwa ia tahu; ia bijak. Kedua, orang yang tahu tapi tidak sadar bahwa ia tahu; ia butuh diingatkan. Ketiga, orang yang tidak tahu dan sadar bahwa ia tidak tahu; ia mudah diajari. Dan keempat, orang yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa ia tidak tahu; ia angkuh, keras kepala. Golongan keempat inilah yang paling sulit menerima nasihat, karena penyakit hati telah menghalangi sinar ilmu dan cahaya iman.

Dalam tataran spiritual, Al-Qur’an menyebut bahwa hanya orang yang memiliki hati yang hidup yang bisa menerima peringatan. Allah berfirman dalam Surah Qāf ayat 37: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” Maka penerimaan terhadap nasihat sangat terkait dengan kesadaran batin dan kehadiran hati yang aktif. Jika hati mati, maka nasihat sekuat apapun akan sia-sia.

Sementara itu, para sufi menekankan pentingnya mujāhadah—berjuang melawan diri sendiri. Menolak nasihat adalah bagian dari nafs al-ammārah, yaitu jiwa yang selalu menyuruh kepada kejahatan. Jiwa ini hanya bisa dilemahkan dengan riyadhah (latihan) yang terus-menerus: introspeksi, tafakur, menyendiri, membaca, menghafal ayat, menangis dalam doa. Jiwa yang senang nasihat adalah jiwa yang sudah berhasil menaklukkan hawa nafsu dan membuka dirinya untuk dibimbing oleh kebenaran, siapapun sumbernya.

Dalam relasi antara pemberi dan penerima nasihat, Islam juga memberi tuntunan adab yang sangat dalam. Nasihat harus disampaikan dengan lembut, bijak, dalam suasana kasih sayang, sebagaimana Allah memerintahkan Musa dan Harun agar menyampaikan kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lembut (qawlan layyinan) agar ia bisa sadar dan takut. Maka jika seorang Muslim ingin nasihatnya diterima, ia pun harus menyampaikan dengan penuh rahmat, bukan dengan kemarahan atau penghakiman.

Akhirnya, kita harus menyadari bahwa menerima nasihat adalah bentuk ketaatan kepada Allah. Ketika kita membuka hati untuk refleksi, maka sesungguhnya kita sedang menundukkan ego di hadapan Allah, menunjukkan bahwa kita masih ingin berubah, ingin lebih baik, dan tidak puas dengan kondisi diri saat ini. Ini adalah puncak keimanan: mengakui bahwa kita selalu butuh pertolongan, arahan, dan bimbingan dari Allah dan dari sesama hamba-Nya.

Kesulitan menerima nasihat bukanlah tanda kita kafir, tetapi tanda bahwa hati kita sedang lelah, tertutup, atau belum terlatih. Dalam Islam, tidak ada kata terlambat untuk membuka hati. Taubat, refleksi, dan perubahan adalah proses yang dimuliakan. Bahkan orang yang berubah karena nasihat bisa lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang merasa selalu benar tetapi terus membeku dalam dirinya sendiri. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang selalu lembut hatinya, lapang dadanya, dan teguh dalam menerima setiap nasihat yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.

Posting Komentar

0 Komentar