Pemimpin Hebat di Layar, Hilang di Sistem (Menggarisbawahi ilusi kepemimpinan yang hanya kuat di media sosial)

Dalam dua dekade terakhir, dunia menyaksikan pergeseran yang amat besar dalam gaya kepemimpinan, komunikasi politik, dan cara masyarakat membangun persepsi terhadap pemimpinnya. Jika pada abad ke-20 legitimasi pemimpin banyak ditopang oleh performa kelembagaan dan capaian pembangunan struktural, maka pada abad ke-21 ini citra dan kehadiran digital semakin menjadi pusat gravitasi dari persepsi publik. Media sosial, sebagai salah satu instrumen teknologi komunikasi paling dominan di era ini, telah mengubah bukan hanya bagaimana pemimpin berbicara, tetapi juga bagaimana pemimpin memerintah, membangun otoritas, dan meninggalkan warisan.


Fenomena ini melahirkan apa yang dapat disebut sebagai “kepemimpinan dari layar”: pemimpin yang lebih sering tampil di gawai masyarakat ketimbang dalam bentuk kebijakan konkret di lapangan. Gaya kepemimpinan ini kerap diwarnai oleh popularitas, daya tarik retoris, visualisasi narasi kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan keterlibatan (engagement) digital. Para pemimpin ini sangat responsif terhadap opini publik atau lebih tepatnya, opini netizen dan sering memanfaatkan tren media sosial sebagai landasan tindakan. Namun dalam banyak kasus, keaktifan digital ini tidak selalu diikuti oleh pembangunan kerangka kelembagaan yang kuat atau kebijakan jangka panjang yang berkelanjutan.

Sebaliknya, terdapat pula tipe pemimpin yang minim eksistensi di media sosial atau bahkan nyaris tidak hadir sama sekali, tetapi memiliki reputasi kuat sebagai pembangun daerah, negara, atau sistem birokrasi yang kokoh. Kepemimpinan mereka lebih bersandar pada ketekunan manajerial, desain kebijakan, serta kemampuan membangun sistem yang bekerja secara otonom di luar figur sang pemimpin. Pemimpin semacam ini tidak selalu dikenal secara luas, tidak viral, dan tidak menjadi bagian dari diskursus media massa setiap hari, tetapi capaian pembangunan mereka tetap dikenang dan dilanjutkan karena sistem yang mereka bangun memiliki legitimasi struktural.

Pertarungan antara dua tipe pemimpin ini tidak hanya terjadi dalam ruang publik, tetapi juga dalam kerangka teoritis dan akademik. Banyak kalangan mulai mempertanyakan: apakah popularitas digital adalah bentuk baru dari legitimasi politik? Apakah kehadiran di media sosial bisa menggantikan kerja kelembagaan? Dan yang paling penting: apakah pemimpin semacam itu meninggalkan warisan yang bisa diteruskan, atau hanya sekadar meninggalkan jejak digital yang akan tenggelam bersama perubahan algoritma dan tren?

Kajian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam perbedaan antara kedua pendekatan kepemimpinan tersebut. Penelitian ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga analitis dan kritis. Kita akan menggunakan pendekatan multidisipliner dari teori kepemimpinan klasik Max Weber hingga refleksi postmodern tentang performativitas kekuasaan. Kita juga akan membedah studi kasus nyata dari dalam dan luar negeri, serta melakukan komparasi institusional dan efek jangka panjang dari kebijakan yang dibuat.

Dengan latar ini, penulis mengajak pembaca untuk mempertimbangkan ulang makna dari kata “pemimpin” di abad ke-21. Apakah pemimpin adalah mereka yang mampu berbicara dan tampil di layar masyarakat? Ataukah pemimpin adalah mereka yang mampu membangun sistem yang terus berjalan bahkan setelah dirinya tidak lagi menjabat?

Kajian ini penting bukan hanya karena ia menyentuh dinamika aktual, tetapi karena ia menyangkut nasib masa depan pemerintahan, pembangunan, dan demokrasi. Di tengah keterjebakan publik pada persepsi visual dan narasi viral, diperlukan upaya sistematis untuk menilai kembali bagaimana pemimpin seharusnya bekerja: bukan hanya tampil, tetapi membentuk struktur. Bukan hanya populer, tetapi membangun arah. Dan bukan hanya menjawab opini publik, tetapi merancang masa depan bersama melalui kebijakan yang hidup melampaui masa jabatan.

Pemimpin Digital antara Citra, Koneksi, dan Kerapuhan Institusi 

Fenomena pemimpin digital bukanlah sekadar pergeseran gaya komunikasi, melainkan transformasi mendalam dalam cara kuasa dikonstruksikan dan disebarluaskan. Di era internet, citra dapat lebih cepat menyalip kerja nyata. Media sosial, khususnya platform seperti Twitter, Instagram, TikTok, dan YouTube, telah menjadi panggung utama di mana para pemimpin memproyeksikan persona mereka, menanamkan pesan politik, dan mengonsolidasikan basis dukungan. Namun, apakah popularitas digital identik dengan efektivitas pemerintahan? Apakah kehadiran virtual berbanding lurus dengan keberlanjutan kebijakan?

Di sinilah kita menemukan dilema: pemimpin yang dominan secara digital, yakni mereka yang pandai memanfaatkan algoritma, trending topic, dan viralitas, tidak selalu membangun struktur pemerintahan yang kuat dan tahan waktu. Ada perbedaan fundamental antara membangun narasi dan membangun sistem. Narasi mengandalkan simbol, momen, dan persepsi. Sistem bergantung pada institusi, regulasi, sumber daya manusia, dan keberlanjutan kelembagaan. Pemimpin yang hanya fokus pada narasi cenderung melupakan bahwa pemerintahan bukan hanya tentang bagaimana terlihat, tetapi bagaimana bekerja secara konsisten.

Dalam banyak kasus, pemimpin digital memiliki kemampuan luar biasa dalam menciptakan koneksi emosional dengan publik. Mereka memahami bahasa netizen, merespons isu dengan kecepatan tinggi, dan menunjukkan sisi personal yang selama ini tertutup dalam gaya kepemimpinan formal. Contoh paling menonjol adalah Volodymyr Zelenskyy, Presiden Ukraina, yang berhasil mengubah Twitter menjadi medium diplomasi, solidaritas global, dan narasi perlawanan terhadap agresi Rusia. Namun, keberhasilan ini menjadi efektif karena didukung oleh kerangka kebijakan, dukungan internasional, dan sistem militer-birokrasi yang relatif solid.

Masalah muncul ketika pemimpin digital tidak mengiringi performa media sosial mereka dengan penguatan institusi pemerintahan. Banyak dari mereka tampil heroik dalam krisis, tetapi gagal mentransformasikan simpati menjadi strategi. Retorika menjadi penyangga utama pemerintahan. Dalam konteks ini, media sosial menjadi seperti ruang teater, di mana kepemimpinan lebih menyerupai pertunjukan daripada pengelolaan negara.

Salah satu penyebab kerapuhan institusional ini adalah kebergantungan berlebihan pada figur sentral. Ketika figur tersebut hilang, lengser, atau tidak lagi aktif secara politik, maka seluruh sistem runtuh karena tidak ada struktur kelembagaan yang menopang keberlanjutan program. Contoh konkret dapat ditemukan dalam beberapa kepala daerah di Indonesia yang terkenal di media sosial karena gaya bicara, video viral, atau slogan populis. Namun ketika mereka tidak lagi menjabat, program-program tersebut mandek karena tidak diinstitusikan secara birokratik. Proyek yang semula tampak “hidup” ternyata bergantung pada kehendak personal, bukan sistem. Akibatnya, reformasi yang semula diagung-agungkan hanya menjadi “proyek pemimpin,” bukan “kebijakan negara.”

Jika kita tarik ke dalam teori sosiologi kekuasaan, Max Weber membedakan tiga sumber legitimasi kekuasaan: tradisional, legal-rasional, dan kharismatik. Pemimpin digital cenderung memanfaatkan kharisma: daya tarik personal yang mampu menggerakkan massa. Namun Weber sendiri mengingatkan bahwa kharisma adalah bentuk kekuasaan paling tidak stabil karena sangat tergantung pada persepsi subjektif publik. Tanpa institusionalisasi, kharisma akan pudar bersama waktu. Kekuasaan yang berakar pada media sosial justru mempercepat siklus ini karena algoritma sendiri mengedepankan kebaruan dan kejutan, dua hal yang sulit dipertahankan dalam jangka panjang.

Di sisi lain, era digital juga menciptakan paradoks. Masyarakat mendambakan pemimpin yang “dekat,” “manusiawi,” dan “merakyat.” Media sosial memberikan kesan bahwa pemimpin dapat dijangkau kapan saja. Mereka bisa “mention,” “DM,” atau bahkan “tag” pejabat publik. Namun kesan ini bersifat ilusif. Kedekatan virtual tidak selalu berarti akses terhadap kebijakan. Banyak warga merasa puas ketika komentar mereka dibalas oleh akun resmi, padahal tidak ada perubahan nyata dalam kehidupan mereka. Relasi antara pemimpin dan rakyat direduksi menjadi interaksi simbolik semata.

Ada pula kecenderungan bahwa pemimpin digital terjebak pada “politik responsif,” yakni hanya bergerak ketika isu sedang viral. Akibatnya, kebijakan cenderung reaktif, bukan strategis. Misalnya, ketika ada kasus kekerasan atau korupsi yang ramai dibicarakan di media sosial, pemimpin segera bereaksi dengan pidato, kunjungan mendadak, atau pernyataan keras. Tetapi setelah isu reda, tidak ada tindak lanjut struktural. Dalam jangka panjang, model ini melemahkan kepercayaan publik karena tidak memberikan solusi sistemik.

Lebih jauh lagi, dominasi pemimpin digital dapat menciptakan “kultus digital,” di mana segala pujian, kritik, dan analisis menjadi personalistik. Institusi tidak berkembang karena perhatian hanya tertuju pada satu figur. Inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai “demokrasi yang terpersonalisasi,” di mana keberhasilan negara tergantung pada branding individu, bukan sistem. Ini sangat berbahaya, sebab pada saat pemimpin itu keluar dari panggung, tidak ada yang bisa melanjutkan, karena semua kebijakan hanya hidup di dalam tubuh pemimpinnya.

Dalam perspektif kebijakan publik, keberlanjutan (policy sustainability) merupakan indikator penting dari kualitas kepemimpinan. Pemimpin yang baik seharusnya mampu membangun kebijakan yang tetap berjalan bahkan saat ia tidak lagi menjabat. Ini hanya mungkin terjadi jika ia memperkuat lembaga, mendesain prosedur yang tahan guncangan, dan membangun partisipasi masyarakat yang substantif. Kepemimpinan semacam ini tidak bisa dibangun hanya lewat cuitan, video pendek, atau gimmick populis. Ia membutuhkan kerja tak terlihat: perencanaan, konsensus politik, pelatihan SDM, penganggaran jangka panjang, dan evaluasi periodik.

Dengan demikian, pemimpin digital bukanlah sebuah kesalahan mutlak. Media sosial dapat menjadi alat yang sangat berguna dalam memperluas partisipasi publik, meningkatkan transparansi, dan mendekatkan warga dengan proses kebijakan. Namun ia harus menjadi pelengkap, bukan pengganti, dari kerja-kerja institusional. Pemimpin yang hanya membangun citra, tetapi tidak membangun sistem, pada akhirnya sedang menyiapkan panggung bagi kehancuran kebijakan. Seperti menulis di pasir, kebijakan semacam itu akan hilang saat ombak politik datang menggulung.

Pemimpin Institusional yang Baik yaitu, Membangun Tanpa Citra

Dalam sejarah pemerintahan modern, terdapat figur-figur yang mungkin tidak pernah viral, tidak memiliki akun media sosial, dan tidak memoles citra diri secara konstan, tetapi dikenang karena capaian sistemiknya. Mereka tidak menguasai algoritma, tetapi memahami struktur. Tidak memburu popularitas, tetapi mewariskan kebijakan yang tetap hidup puluhan tahun setelah mereka tak lagi menjabat. Pemimpin-pemimpin inilah yang dapat kita sebut sebagai pemimpin institusional, yakni mereka yang menempatkan pembangunan kelembagaan di atas ketenaran pribadi.

Pemimpin institusional memiliki pendekatan yang berbanding terbalik dengan pemimpin digital. Mereka cenderung tidak terlalu responsif terhadap isu-isu harian, namun gigih membangun fondasi jangka panjang. Tindakan mereka mungkin tidak langsung disambut tepuk tangan publik, namun dalam retrospeksi, dampaknya terasa mendalam dan meluas. Ciri utama mereka adalah orientasi pada sistem, bukan figur. Alih-alih tampil menyolok, mereka merancang mekanisme birokrasi yang dapat bekerja otomatis, independen, dan adaptif.

Salah satu contoh paling nyata dapat ditemukan dalam kepemimpinan teknokrat di negara-negara Skandinavia. Di Finlandia, Norwegia, atau Denmark, banyak kepala pemerintahan yang hanya tampil di publik saat dibutuhkan, tidak membentuk kultus individu, namun terus menghasilkan indeks pembangunan manusia, pendidikan, dan kebijakan lingkungan yang menjadi acuan dunia. Kepemimpinan mereka tidak dilihat sebagai “drama politik” sehari-hari, tetapi sebagai kerja sistemik yang dilandasi prinsip tata kelola baik (good governance).

Di Indonesia, kita mengenal figur seperti Boediono, wakil presiden era 2009–2014, yang sangat minim tampil di publik tetapi sangat dihormati oleh para ekonom dan birokrat karena komitmennya pada stabilitas makroekonomi dan reformasi fiskal. Contoh lain adalah Gubernur DIY Sri Sultan HB X, yang secara kultural memiliki otoritas simbolik tetapi dalam praktik pemerintahan dikenal sebagai pemimpin yang menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan berbasis tata ruang dan kebudayaan. Tidak banyak muncul di media sosial, tetapi keberhasilan menjaga keharmonisan DIY sebagai daerah istimewa yang stabil merupakan hasil dari desain tata pemerintahan yang sistematis.

Dalam teori kelembagaan, pendekatan ini berkaitan erat dengan apa yang disebut oleh Douglass North sebagai institutional path dependency, yakni kecenderungan sistem untuk mengikuti jalur yang ditentukan oleh pilihan-pilihan kelembagaan masa lalu. Pemimpin institusional memahami bahwa keberhasilan bukanlah hasil dari satu gebrakan besar, tetapi akumulasi dari desain kebijakan yang berlapis, konsisten, dan saling menguatkan. Oleh karena itu, mereka tidak mengejar kebijakan yang hanya populer dalam jangka pendek, tetapi fokus pada reformasi struktural, seperti sistem penganggaran, rekrutmen ASN, integrasi data, serta manajemen risiko kebijakan.

Pendekatan ini juga sangat bergantung pada kemampuan membangun konsensus, bukan dominasi. Pemimpin institusional sadar bahwa sistem tidak akan bekerja jika hanya mengandalkan instruksi dari atas. Oleh karena itu, mereka banyak berinvestasi dalam pelatihan sumber daya manusia, membangun budaya organisasi, serta menciptakan sistem evaluasi dan pembelajaran kebijakan. Tidak heran jika warisan kebijakan mereka cenderung lebih tahan lama, karena dijalankan oleh organisasi yang merasa memiliki, bukan sekadar mengerjakan perintah.

Namun demikian, pemimpin institusional juga menghadapi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah invisibilitas politik. Karena mereka jarang tampil di ruang publik, sering kali masyarakat tidak menyadari peran strategis yang mereka mainkan. Di era di mana pengakuan publik sering menjadi syarat legitimasi, mereka mudah ditinggalkan oleh ingatan kolektif. Bahkan, ada banyak contoh di mana reformasi kelembagaan yang mereka bangun dihancurkan begitu saja oleh pengganti mereka yang lebih populis. Ini menunjukkan bahwa kekuatan institusi juga rentan jika tidak dibarengi dengan perlindungan politik dan dukungan publik yang kuat.

Selain itu, pemimpin institusional juga seringkali kalah dalam hal narasi. Mereka tidak pandai menjual hasil kerja dalam bentuk slogan atau visualisasi menarik. Akibatnya, banyak dari capaian mereka tidak mendapatkan tempat dalam media massa atau diskursus populer. Padahal, dalam dunia demokrasi, pengakuan publik adalah elemen penting agar kebijakan tetap memiliki ruang bertahan. Di sinilah kita melihat pentingnya sinergi antara kerja substantif dan komunikasi publik yang strategis, bukan manipulatif, tetapi cukup efektif untuk menjelaskan capaian kepada rakyat.

Kelebihan terbesar dari pemimpin institusional adalah keberlanjutan. Karena mereka membangun sistem yang tidak bergantung pada dirinya, maka transisi kekuasaan tidak berarti disrupsi kebijakan. Bahkan dalam kondisi perubahan rezim, struktur yang telah dibangun tetap bisa berjalan dengan baik. Ini sangat kontras dengan model pemimpin digital, di mana begitu sang figur pergi, sistem runtuh karena semua kebijakan melekat padanya secara personal.

Kita dapat mengambil pelajaran penting dari Singapura pasca-Lee Kuan Yew. Meskipun Lee dikenal sebagai figur sentral, ia sadar pentingnya membangun sistem yang hidup setelah dirinya. Ia menciptakan Civil Service College, memperkuat meritokrasi, dan menciptakan tradisi politik transisi kepemimpinan yang ketat. Hasilnya, Singapura tetap stabil dan berkembang bahkan setelah Lee lengser. Kepemimpinan bukanlah tentang figur, tetapi tentang sistem yang dirancang untuk bekerja dalam berbagai konteks.

Dalam pendekatan ini, kita juga menemukan dimensi etis. Pemimpin institusional tidak menggunakan jabatan untuk membesarkan nama pribadi, melainkan untuk memperkuat institusi yang lebih besar dari dirinya. Ini mencerminkan etos kepemimpinan pelayan (servant leadership), di mana pemimpin bertindak bukan sebagai bintang, tetapi sebagai arsitek struktur sosial. Mereka tidak memerintah dengan retorika, melainkan merancang sistem yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dan berkembang.

Oleh karena itu, di tengah gempuran kepemimpinan digital yang penuh efek visual dan suara gaduh, pemimpin institusional adalah oasis yang jarang, sunyi tapi produktif, tidak viral tapi fundamental. Mereka mungkin tidak akan memenangkan popularitas, tetapi sejarah akan mencatat mereka sebagai pendiri sistem yang bekerja. Warisan mereka bukan sekadar nama jalan atau monumen, melainkan tata kelola yang adil, birokrasi yang efektif, dan masyarakat yang terlindungi hak-haknya oleh struktur yang mereka bangun.

Perbandingan Konseptual dan Praktis

Dalam kerangka kajian kepemimpinan kontemporer, memahami perbedaan antara pemimpin digital dan pemimpin institusional bukan sekadar mengamati gaya pribadi atau metode komunikasi, melainkan menelusuri akar dari pendekatan politik yang mereka anut dan dampaknya terhadap keberlangsungan negara. Keduanya beroperasi dalam medan yang sama, yakni ruang publik dan tata pemerintahan, namun memiliki orientasi, strategi, serta warisan yang sangat berbeda.

Secara konseptual, perbedaan utama keduanya terletak pada basis legitimasi yang mereka bangun. Pemimpin digital menekankan legitimasi emosional: ia mendapat kepercayaan rakyat karena dinilai dekat, tanggap, dan mewakili aspirasi langsung melalui media yang dapat diakses secara instan. Sementara pemimpin institusional mengandalkan legitimasi prosedural dan struktural: ia membuktikan kinerjanya melalui sistem yang berjalan, prosedur yang konsisten, dan capaian kebijakan jangka panjang, meskipun tanpa sorotan langsung publik.

Kedua model ini dapat dikaitkan dengan dua kutub teori politik klasik. Pemimpin digital cenderung lebih dekat dengan filsafat Rousseau tentang “kehendak umum” (volonté générale), di mana rakyat menjadi pusat kekuasaan, dan pemimpin menjadi kanal ekspresi spontan kehendak mayoritas. Di sisi lain, pemimpin institusional lebih mendekati warisan pemikiran Montesquieu dan Madison, yang melihat kekuasaan harus dibatasi melalui struktur dan sistem checks and balances yang ketat, demi menghindari tirani mayoritas dan instabilitas populisme.

Perbedaan itu tampak pula dalam cara mereka menghadapi krisis. Pemimpin digital seringkali mengambil pendekatan responsif dan simbolik. Misalnya, dalam situasi bencana, ia akan segera hadir di lokasi, membuat pernyataan yang menggugah, dan mengunggah dokumentasi aktivitasnya untuk menunjukkan empati dan kecepatan tanggap. Langkah ini sering disambut positif oleh publik, tetapi bisa jadi dangkal jika tidak diikuti dengan sistem penanganan jangka panjang. Sebaliknya, pemimpin institusional akan lebih fokus membangun protokol, memperkuat koordinasi antar lembaga, dan memastikan kesiapsiagaan jangka panjang—meskipun tanpa eksposur publik yang luas.

Dalam praktik kebijakan publik, pendekatan keduanya memiliki implikasi besar terhadap kesinambungan program. Pemimpin digital sering kali meluncurkan inisiatif dengan branding personal—misalnya “Kartu X”, “Program Y”, atau “Gerakan Z” yang sangat melekat pada figur pemimpinnya. Ketika masa jabatan berakhir, tidak jarang program tersebut ikut menghilang karena tidak tertanam dalam sistem perencanaan dan pembiayaan negara. Di sisi lain, pemimpin institusional cenderung menempatkan program dalam kerangka perencanaan nasional atau daerah, melibatkan proses legislasi atau regulasi, serta memastikan adanya struktur pelaksana yang tetap, sehingga tidak bergantung pada figur tertentu.

Jika kita lihat dari sisi ketahanan kelembagaan, pemimpin institusional memiliki keunggulan dalam membangun resilience—yakni kemampuan sistem untuk bertahan dalam berbagai tekanan politik. Mereka menciptakan sistem meritokrasi, sistem audit internal, tata kelola digital yang stabil, hingga sistem pengaduan publik yang terintegrasi. Sebaliknya, pemimpin digital, jika tidak memperkuat aspek kelembagaan, cenderung memusatkan segalanya pada otoritas pribadi. Dalam situasi seperti itu, loyalitas ASN bergeser dari institusi ke figur, dan birokrasi menjadi rapuh ketika terjadi pergantian kepemimpinan.

Kita juga dapat menelaah dari aspek demokrasi. Pemimpin digital memang memperluas akses komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat. Namun, hubungan itu sering kali bersifat semu. Netizen yang aktif di media sosial hanyalah sebagian kecil dari warga negara. Ada kecenderungan bahwa opini publik digital dijadikan rujukan tunggal, sehingga mengabaikan kelompok rentan yang tidak memiliki akses atau keterampilan digital. Pemimpin institusional, sebaliknya, berupaya memastikan representasi yang lebih seimbang melalui mekanisme formal seperti musyawarah perencanaan pembangunan, forum warga, atau konsultasi publik. Meskipun kurang atraktif, metode ini lebih partisipatif secara substantif.

Namun, penting untuk dicatat bahwa perbandingan ini tidak dimaksudkan sebagai dikotomi hitam-putih. Kedua model memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Pemimpin digital dapat sangat efektif dalam menggerakkan perubahan sosial, membangun partisipasi spontan, dan memecahkan kebuntuan politik dalam situasi darurat. Asalkan ia tidak berhenti pada citra semata, dan mampu mendorong perubahan menuju sistem yang terstruktur, maka ia bisa menjadi jembatan menuju reformasi kelembagaan.

Sebaliknya, pemimpin institusional, jika terlalu tenggelam dalam teknokrasi dan tidak mengembangkan komunikasi publik yang memadai, bisa kehilangan dukungan rakyat. Dalam sistem demokrasi, legitimasi tidak cukup dibangun melalui struktur formal; ia juga memerlukan narasi yang hidup, yang mampu mengartikulasikan visi kebangsaan dan menggerakkan harapan kolektif. Maka, pemimpin institusional juga perlu belajar dari pemimpin digital: bahwa komunikasi bukanlah sekadar pencitraan, tetapi bagian dari edukasi publik.

Yang ideal adalah sintesis: pemimpin yang memahami pentingnya media sosial, namun tidak tunduk padanya; yang membangun narasi, tetapi juga membangun sistem; yang bisa tampil di depan kamera, tetapi juga bekerja di balik layar; yang mampu membuat rakyat tergerak secara emosional, namun juga terlindungi secara struktural. Kepemimpinan semacam ini sangat langka, tetapi bukannya mustahil. Ia menuntut pemimpin yang reflektif, strategis, serta memiliki komitmen moral terhadap kesejahteraan jangka panjang, bukan hanya kemenangan elektoral jangka pendek.

Akhirnya, perbandingan ini menyisakan satu pertanyaan fundamental: kepemimpinan macam apa yang dibutuhkan oleh masyarakat kontemporer? Di tengah kompleksitas global, ketidakpastian ekonomi, krisis iklim, dan kemerosotan demokrasi, bangsa-bangsa memerlukan pemimpin yang mampu menyeimbangkan antara daya tarik populis dan kekuatan institusional. Dunia tidak membutuhkan lagi pemimpin-pemimpin yang membakar semangat rakyat hanya untuk meninggalkan mereka dalam kekacauan sistem. Dunia menanti pemimpin yang membangun fondasi diam-diam, tetapi mengangkat harkat banyak orang.

Refleksi Kultural dan Konteks Indonesia

Indonesia, dengan keberagaman geografis, etnis, dan sosialnya, adalah ruang yang unik dalam memahami dinamika kepemimpinan. Di negeri ini, budaya politik tidak sepenuhnya rasional-institusional, tetapi bercampur dengan elemen emosional, spiritual, paternalistik, dan feodalistik yang sudah berakar sejak masa pra-kemerdekaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pemimpin digital yang tampil dekat, karismatik, dan seolah berbicara langsung kepada rakyat, lebih mudah mendapat tempat di hati masyarakat, dibandingkan pemimpin institusional yang cenderung sunyi dan teknokratis.

Dalam konteks budaya politik Indonesia, figur pemimpin sering kali bukan hanya dilihat sebagai administrator, tetapi juga sebagai "bapak" atau "penjaga moral". Relasi antara rakyat dan pemimpin lebih bersifat patron-klien daripada relasi warga-negara modern. Maka, ketika seorang pemimpin aktif membagikan aktivitasnya melalui media sosial, menjawab komentar netizen, atau hadir langsung dalam kegiatan informal, ia dianggap bukan hanya kompeten secara administratif, tetapi juga ‘hadir’ secara emosional dan ini sangat penting dalam imajinasi kepemimpinan Indonesia.

Media sosial memperkuat kecenderungan ini. Di negara dengan tingkat literasi media yang masih bertumbuh, kecepatan informasi sering mengalahkan kedalaman. Konten visual dan narasi pendek lebih mudah menyentuh perasaan ketimbang dokumen kebijakan yang kering. Pemimpin digital dengan mudah menciptakan momen-momen yang viral, membangun persepsi keberhasilan, bahkan sebelum hasil kebijakan benar-benar terjadi. Sayangnya, hal ini menciptakan situasi di mana persepsi lebih menentukan daripada substansi. Rakyat merasa puas dengan narasi, bukan dengan capaian nyata.

Pola ini diperparah oleh lemahnya sistem pendidikan politik. Di banyak daerah, masyarakat masih menilai kinerja pemimpin dari intensitas kehadirannya dalam acara seremonial, bukan dari keberhasilannya menciptakan sistem transportasi yang efisien, tata kelola anggaran yang bersih, atau indeks pembangunan manusia yang meningkat. Maka, pemimpin yang bekerja diam-diam, di balik meja rapat, menyusun kerangka regulasi dan memperkuat birokrasi, sering kali tidak dianggap bekerja, hanya karena tidak terlihat. Dalam konteks ini, pemimpin institusional mengalami hambatan struktural dalam membangun dukungan.

Selain itu, sistem politik Indonesia yang sangat berbiaya tinggi dan berbasis elektoral langsung turut mendorong lahirnya pemimpin digital. Untuk memenangkan pemilu, seorang calon harus membangun popularitas dan media sosial menjadi sarana yang murah dan efektif untuk itu. Dalam banyak kasus, narasi di media sosial bahkan mengalahkan pertimbangan kapasitas teknis atau rekam jejak. Fenomena ini menciptakan insentif yang salah dalam politik: siapa yang paling viral, bukan siapa yang paling kapabel.

Namun, kita juga harus melihat bahwa tidak semua pemimpin digital gagal membangun sistem. Beberapa di antaranya berhasil memanfaatkan media sosial untuk mengkomunikasikan kebijakan yang kompleks dalam bahasa yang bisa diterima rakyat. Mereka menggunakan teknologi bukan hanya untuk tampil, tetapi juga untuk membuka data, membangun partisipasi publik, dan mempercepat pelayanan publik. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin digital tidak harus berlawanan dengan institusionalitas, asal ia sadar bahwa tujuan utama adalah keberlanjutan kebijakan, bukan sekadar pengakuan sesaat.

Sayangnya, dalam banyak kasus di Indonesia, pemimpin digital justru terlalu terjebak dalam siklus harian media sosial. Setiap hari, ia harus menciptakan konten baru, membalas kritik, mengatur framing, hingga membangun narasi personal. Energi dan waktu habis untuk “memerintah layar”, bukan memerintah sistem. Ketika masa jabatan selesai, apa yang tersisa hanyalah akun media sosial yang tidak aktif dan jejak digital yang membaur, sementara sistem pemerintahan yang ditinggalkan tetap rapuh, penuh tumpang tindih, dan minim inovasi struktural.

Sementara itu, pemimpin institusional di Indonesia, meskipun minim eksposur, kerap menjadi figur kunci dalam reformasi jangka panjang. Mereka bisa jadi bukan kepala daerah atau pejabat publik yang populer, tetapi berada di balik suksesnya perencanaan berbasis data, terobosan e-government, atau transformasi pendidikan. Namun, karena tidak membentuk narasi publik, kontribusi mereka kerap diabaikan dalam sejarah. Ini adalah kerugian kolektif, karena masyarakat kehilangan kesempatan untuk belajar dari praktik baik yang sesungguhnya efektif.

Untuk memperbaiki situasi ini, Indonesia membutuhkan dua hal: pertama, literasi politik yang meningkat, sehingga masyarakat mampu membedakan antara gaya dan isi, antara komunikasi dan kebijakan. Kedua, rekonstruksi institusi politik dan media, agar narasi kebijakan tidak sepenuhnya ditentukan oleh algoritma, tetapi oleh analisis yang sehat dan partisipasi warga yang berpengetahuan. Peran media massa, lembaga akademik, serta organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam menyuarakan dan merawat praktik-praktik pemerintahan yang baik, termasuk yang dikerjakan secara diam-diam oleh pemimpin institusional.

Yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana generasi muda Indonesia memaknai kepemimpinan. Di tengah dominasi budaya digital, banyak anak muda yang melihat pemimpin sebagai “influencer” yang harus lucu, humanis, aktif, dan menarik. Ini bukan hal buruk dalam dirinya sendiri, tetapi akan menjadi masalah bila kita gagal menanamkan kesadaran bahwa menjadi pemimpin juga berarti membangun sistem yang kompleks, memecahkan masalah struktural, dan mengambil keputusan yang tidak selalu populer. Dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan dan literasi digital perlu bertransformasi menjadi pendidikan etika kepemimpinan.

Maka, di akhir refleksi ini, kita kembali pada pertanyaan mendasar: siapa yang akan dikenang sejarah? Mereka yang menjadi viral karena “story” harian di TikTok? Atau mereka yang membangun sistem keuangan daerah yang transparan, memperbaiki rantai distribusi logistik, dan menciptakan regulasi pendidikan yang mengubah nasib generasi mendatang? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya tergantung pada pemimpin, tetapi pada rakyat itu sendiri, apakah mereka memilih dengan nalar atau sekadar dengan rasa?


Penutup, Mau Mewariskan Sistem, Bukan Sekadar Nama

Dalam perjalanan sejarah umat manusia, para pemimpin datang dan pergi. Nama-nama mereka tercatat dalam buku sejarah, diabadikan dalam monumen, atau bahkan dilupakan dalam diam. Namun, yang benar-benar bertahan bukanlah popularitas atau gaya kepemimpinan mereka, melainkan sistem yang mereka wariskan. Inilah ukuran sejati dari seorang pemimpin: apakah kehadirannya menyisakan jejak yang hidup di dalam mekanisme institusi, atau hanya memudar bersama gema suaranya di ruang maya.

Di era digital, ketika kecepatan informasi mengalahkan kedalaman pemikiran, godaan untuk menjadi pemimpin yang viral begitu besar. Pemimpin merasa harus hadir setiap hari di ruang digital, memberi reaksi terhadap isu-isu terbaru, membangun citra yang terus diperbarui, dan bersaing dalam algoritma popularitas. Ini bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan telah menjadi orientasi politik: keberhasilan diukur dari jumlah pengikut, bukan dari kualitas kebijakan.

Namun, sejarah tak pernah tunduk pada algoritma. Sejarah mengenang mereka yang membangun tatanan, bukan sekadar membangun sorotan. Kita belajar dari tokoh-tokoh yang dengan sabar memperbaiki sistem hukum, merancang konstitusi, membangun pendidikan publik, dan meletakkan pondasi ekonomi jangka panjang, meskipun semasa hidup mereka sering tidak dimengerti, bahkan dicaci.

Pemimpin digital yang bijak mestinya tidak berhenti pada pencitraan. Ia sadar bahwa media sosial adalah alat, bukan tujuan. Ia menggunakan komunikasi digital untuk memperluas partisipasi, mendidik publik, dan menjelaskan arah kebijakan dengan bahasa yang mudah dipahami. Ia tidak terjebak dalam perang narasi, tetapi tetap teguh menjaga substansi. Ia tidak memaksakan keabadiannya dalam bentuk simbol-simbol personal, tetapi membangun institusi yang bisa bertahan setelah ia tiada.

Di sisi lain, pemimpin institusional pun harus belajar untuk tidak larut dalam keheningan teknokrasi. Rakyat membutuhkan narasi, arah, dan suara. Pemimpin yang hanya bekerja di balik meja tanpa membangun komunikasi akan ditinggalkan oleh zaman. Maka, keterampilan berkomunikasi, meskipun bukan dengan gaya flamboyan, tetap menjadi bagian dari etos kepemimpinan modern. Ia harus mampu menjelaskan kebijakan dengan transparan, jujur, dan membangun kepercayaan yang rasional.

Keseimbangan antara dua model inilah yang mendesak untuk diwujudkan. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang hanya tampil di layar tanpa cetak biru pembangunan, dan juga tidak cukup hanya dengan pemimpin sistemik yang tak mampu menjangkau suara rakyat. Kita butuh pemimpin yang hadir di dunia nyata dan dunia digital dengan visi yang selaras: bahwa apa pun bentuknya, kepemimpinan adalah soal tanggung jawab moral terhadap kehidupan banyak orang, jauh melampaui masa jabatan.

Dalam kebudayaan Timur, khususnya dalam tradisi kepemimpinan Jawa, dikenal konsep “sangkan paraning dumadi” asal-usul dan tujuan segala sesuatu. Seorang pemimpin yang memahami filosofi ini tidak akan terseret dalam ego personal atau pencitraan. Ia akan bertanya terus-menerus: dari mana kekuasaan ini berasal? Untuk apa ia digunakan? Dan apa yang akan ditinggalkan setelahnya? Jawaban atas pertanyaan ini akan membedakan antara pemimpin sejati dan pelakon politik.

Pada akhirnya, rakyat pun harus bertanggung jawab. Karena pemimpin lahir dari masyarakat yang memilihnya. Jika rakyat hanya mencari pemimpin yang menyenangkan hati, maka mereka akan terus dipimpin oleh retorika, bukan kebijakan. Tetapi jika rakyat mulai menghargai ketegasan sistem, kerja senyap birokrasi, dan kesabaran membangun dari bawah, maka akan lahir pemimpin yang tidak hanya memimpin, tetapi juga menciptakan masa depan.

Mewariskan sistem berarti menciptakan struktur yang adil, tahan uji, dan bisa berkembang tanpa tergantung pada satu orang. Mewariskan sistem berarti memperkuat hukum, memperbaiki birokrasi, mendidik rakyat, dan menciptakan mekanisme yang mencegah kesewenang-wenangan. Pemimpin yang berpikir seperti ini akan terlupakan secara visual, tetapi akan dikenang dalam setiap pelayanan publik yang lancar, setiap anak miskin yang bisa sekolah, dan setiap daerah terpencil yang bisa berkembang karena kebijakan yang tepat.

Inilah bentuk kepemimpinan yang layak kita cita-citakan: bukan sekadar pemimpin yang dikenal rakyat, tetapi pemimpin yang membentuk rakyat. Bukan hanya pemimpin yang membangun pengikut, tetapi pemimpin yang membangun sistem. Karena pada akhirnya, nama bisa hilang, tetapi sistem yang baik akan terus hidup, melayani, dan menjaga masa depan bangsa.

Posting Komentar

0 Komentar