Mengapa Kebohongan Lebih Cepat Menyebar dari Kebenaran?

Kehadiran media sosial pada zaman milenial ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Jika kita menelusuri kembali ke belakang, pada masa-masa awal penyebaran informasi di zaman dulu, arus informasi tidak dapat mengalir dengan cepat. Informasi yang beredar sangat terbatas oleh berbagai faktor seperti kurangnya saluran komunikasi, keterbatasan teknologi penyiaran, dan minimnya infrastruktur penunjang. Hal ini menyebabkan informasi penting atau berita yang sedang hangat pada masa itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai kepada masyarakat secara luas. Bahkan, terkadang informasi yang beredar telah kehilangan momentum karena keterlambatan distribusinya.


 

Di masa lalu, media yang tersedia cenderung menggunakan metode konvensional seperti surat kabar, radio, dan televisi. Ketiga saluran ini tentu memiliki jangkauan yang terbatas dan tidak mampu memenuhi keingintahuan publik yang semakin kompleks. Seiring berjalannya waktu, manusia semakin terdorong untuk menciptakan sarana komunikasi yang mampu menembus batas-batas geografis dan waktu. Keinginan inilah yang akhirnya melahirkan teknologi digital dan media sosial sebagai jawaban atas keterbatasan informasi yang selama ini dialami.

Kini, pada era digital yang serba cepat dan canggih, informasi datang bagaikan hujan yang mengguyur deras. Hampir tidak ada satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak disentuh oleh informasi. Dengan hanya bermodalkan smartphone dan koneksi internet, siapa pun dapat mengakses informasi apa pun, kapan pun, dan di mana pun. Dalam hitungan detik, informasi yang terjadi di belahan dunia lain bisa kita ketahui secara langsung. Tidak hanya sebagai konsumen informasi, masyarakat juga dapat berperan sebagai produsen dan penyebar informasi.

Fenomena ini menjadikan smartphone sebagai wadah penyimpanan segala informasi. Cukup dengan gerakan jemari, seseorang bisa membuka, membaca, bahkan membagikan informasi ke seluruh dunia. Akses yang demikian mudah tentu memberi banyak manfaat, mulai dari peningkatan wawasan, kemudahan komunikasi, hingga peluang ekonomi dan pendidikan. Namun di balik kemudahan itu, terselip bahaya laten yang tidak boleh diabaikan, yaitu penyebaran informasi palsu atau hoaks.

Hoaks atau berita bohong adalah jenis informasi yang disengaja dibuat untuk menyesatkan atau menipu. Hoaks dapat memicu kebingungan, kepanikan, bahkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Dalam masyarakat yang majemuk dan heterogen seperti Indonesia, penyebaran hoaks dapat menjadi benih perpecahan dan disintegrasi. Terlepas dari motif di balik pembuatannya, baik itu politik, ekonomi, ataupun sosial, hoaks tetap merupakan bentuk manipulasi yang membahayakan kehidupan bersama.

Mengapa hoaks begitu mudah menyebar dan seringkali dipercaya sebagai kebenaran? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab demi menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan sadar informasi. Salah satu alasannya adalah karena hoaks sering dikemas secara apik dan disampaikan berulang-ulang. Dalam strategi komunikasi, pengulangan merupakan teknik yang cukup efektif untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Kebohongan yang dikemas dengan narasi menarik, menggunakan gaya bahasa persuasif, dan didukung dengan data-data palsu yang seolah sahih, lambat laun akan diterima sebagai kebenaran oleh sebagian besar orang.

Bukan hanya itu, rendahnya kesadaran membaca juga menjadi faktor penyumbang utama suburnya hoaks di tengah masyarakat. Menurut data dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sebagian besar penduduk Indonesia lebih menyukai menonton televisi ketimbang membaca buku. Bahkan, laporan UNESCO menyebutkan bahwa hanya satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca tinggi. Ini merupakan tantangan besar dalam membangun budaya literasi yang kuat. Ketika masyarakat enggan membaca dan membandingkan informasi dari berbagai sumber, mereka menjadi mudah terpengaruh dan tersesat oleh berita-berita palsu.

Untuk bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang keliru, seseorang perlu membaca dari banyak referensi dan melakukan verifikasi silang. Dalam dunia jurnalistik, prinsip ini dikenal dengan istilah cover both sides, yaitu menyajikan informasi dari berbagai sudut pandang agar publik dapat melihat masalah secara utuh. Tanpa adanya sikap kritis dan semangat untuk mencari kebenaran, masyarakat akan mudah terjebak dalam jebakan hoaks yang disusun rapi dan tampak seperti fakta.

Faktor lain yang memperparah penyebaran hoaks adalah adanya fanatisme buta. Dalam kondisi ideal, seseorang seharusnya menilai sebuah informasi berdasarkan isi dan validitasnya, bukan berdasarkan siapa yang menyampaikan. Namun kenyataannya, banyak orang yang hanya percaya pada satu sumber informasi dan menolak informasi lain yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Fanatisme semacam ini mematikan objektivitas dan menjadikan seseorang mudah dimanipulasi. Ketika satu media dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak, sementara media lain dicap sebagai musuh, maka ruang dialog dan pertukaran informasi yang sehat menjadi hilang.

Krisis kepercayaan juga memainkan peran penting dalam suburnya hoaks. Sejak pemilu 2014 dan 2019, Indonesia mengalami polarisasi sosial-politik yang cukup tajam. Perpecahan ini menyebabkan sebagian kelompok merasa terasing dan tidak mempercayai institusi formal atau media arus utama. Dalam situasi seperti ini, hoaks menemukan ladang subur untuk tumbuh. Kelompok yang kecewa atau kehilangan kepercayaan mudah terprovokasi dan mengadopsi informasi yang sejalan dengan kemarahannya, tanpa peduli apakah informasi itu benar atau tidak.

Sayangnya, penyebaran hoaks tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi juga masalah kolektif. Ketika sebuah komunitas atau kelompok telah terjebak dalam pusaran hoaks, maka akan sulit untuk menarik mereka keluar tanpa adanya pendekatan yang bijak dan edukatif. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan media massa, untuk terus mengedukasi publik tentang pentingnya literasi digital dan informasi.

Masyarakat perlu dilatih untuk menyaring sebelum membagikan informasi, karena dalam dunia maya yang sangat cepat ini, satu klik saja bisa berdampak besar. Kalimat "saring sebelum sharing" bukan sekadar slogan, tetapi menjadi prinsip etis yang wajib dijunjung tinggi oleh siapa pun yang ingin menciptakan ruang digital yang sehat dan produktif.

Selain itu, penting bagi masyarakat untuk mulai membangun semangat kebersamaan di atas perbedaan. Kita harus menyadari bahwa keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan kekayaan luar biasa yang tidak dimiliki oleh banyak negara lain. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, kita memiliki ribuan suku, bahasa, budaya, dan keyakinan. Namun dengan semangat persatuan, Indonesia berhasil menyatukan perbedaan itu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini adalah salah satu keajaiban yang harus terus dijaga dan dilestarikan.

Media sosial seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemecah belah. Di tangan yang bijak, media sosial bisa menjadi sarana untuk menyebarkan semangat positif, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Namun jika digunakan secara sembrono, media sosial justru bisa menjadi senjata yang melukai banyak pihak. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama mengubah pola pikir kita. Mari gunakan media sosial untuk hal-hal yang bermanfaat, membangun, dan membawa kebaikan bagi sesama.

Sebagai penutup, mari kita renungkan sebuah pepatah bijak yang mengatakan, "Jangan terlalu cepat mempercayai apa yang kamu dengar, karena kebohongan selalu lebih cepat dari kebenaran." Dunia digital memang memberi kita kecepatan, tetapi bukan berarti semua yang cepat itu benar. Butuh ketenangan, kehati-hatian, dan kebijaksanaan untuk memilah informasi yang layak dipercaya. Jika kita semua memiliki komitmen untuk menjadi pengguna media sosial yang cerdas, maka kita telah turut andil dalam menjaga keutuhan bangsa dan membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.

Posting Komentar

0 Komentar