Dalam lanskap sosial Indonesia yang kaya akan warisan budaya dan nilai-nilai keagamaan, terdapat satu nilai yang menjelma menjadi pusat moral kehidupan sehari-hari: rasa syukur. Dalam ungkapan, tindakan, hingga pengambilan keputusan, syukur hadir sebagai kekuatan pengikat dan penenang. Namun, di balik kedamaian yang ia tawarkan, tersimpan ironi yang jarang disingkap: rasa syukur kerap kali berperan dalam meredam kesadaran kritis, membius semangat perubahan, dan melanggengkan ketimpangan struktural. Ini bukanlah kritik terhadap syukur itu sendiri sebagai nilai spiritual, melainkan ajakan untuk memahami bagaimana praktik sosial terhadap rasa syukur dalam konteks Indonesia bisa menjadi paradoksal dan bahkan kontraproduktif dalam kehidupan publik.
Untuk memahami hal ini, pertama-tama kita perlu menengok bagaimana rasa syukur dibentuk oleh konstruksi budaya dan agama yang saling berkelindan. Indonesia, sebagai bangsa yang religius dan kolektif, memposisikan syukur bukan hanya sebagai ekspresi spiritual personal, melainkan juga sebagai norma sosial. Dalam Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama lain yang dianut masyarakat Indonesia, syukur diajarkan sebagai puncak kesalehan. Namun, dalam praktik keseharian, ajaran tersebut sering kali mengalami reduksi. Ia menjadi dogma pasrah yang mengabaikan konteks dan menumpulkan sensitivitas terhadap keadilan.
Fenomena ini terlihat jelas dalam cara masyarakat merespons situasi-situasi yang tidak adil. Seorang pekerja dengan gaji di bawah upah layak, alih-alih bersuara, sering kali berkata, "Yang penting masih bisa makan." Seorang korban birokrasi korup memilih diam karena "sudah syukur masih bisa diurus." Dalam diskusi publik, kritik terhadap sistem kerap diredam dengan retorika ketuhanan: "Itu sudah jalan Tuhan," atau "Jangan terlalu menuntut, nanti lupa bersyukur." Akibatnya, ruang bagi perlawanan terhadap ketimpangan menjadi sempit. Ketika syukur dijadikan mekanisme utama dalam menghadapi penderitaan sosial, maka kritik berubah menjadi dosa, dan diam menjadi kebajikan.
Dalam perspektif ilmu sosial, gejala ini dapat dibaca melalui lensa teori hegemoni Gramsci, yang menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui paksaan, tetapi juga melalui konsensus dan internalisasi nilai. Rasa syukur, dalam konteks ini, menjadi instrumen hegemonik. Ia ditanamkan melalui pendidikan, media, dan lembaga keagamaan sebagai satu-satunya respon moral terhadap penderitaan. Maka tidak heran jika banyak orang yang merasa bersalah hanya karena ingin memperjuangkan haknya. Kesadaran kritis terhadap struktur sosial yang timpang dibungkam oleh rasa takut untuk dianggap kurang bersyukur. Dalam masyarakat seperti ini, ketimpangan tidak hanya dilanggengkan oleh para elit, tetapi juga dijaga oleh rasa syukur yang telah menjadi bagian dari etika kolektif.
Namun, tentu kita tidak bisa membicarakan rasa syukur dalam kekosongan sejarah. Praktik menerima nasib dan mensyukuri keterbatasan memiliki akar panjang dalam sejarah kolonial dan otoritarianisme. Selama berabad-abad, rakyat Indonesia dibentuk untuk patuh dan menerima. Dalam era kolonial, pemerintah Hindia Belanda mendorong sikap tunduk melalui pendidikan moral dan agama. Dalam masa Orde Baru, narasi pembangunan yang menekankan stabilitas dan harmoni menekan ekspresi kritik dengan mengasosiasikannya sebagai tindakan subversif. Dalam semua fase ini, rasa syukur menjadi semacam etika nasional, alat kontrol sosial yang halus namun efektif.
Yang ironis, ketika demokrasi mulai tumbuh dan ruang publik terbuka, budaya syukur pasif ini tetap bertahan. Ia seperti warisan psikologis yang sukar digugat. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana masyarakat menyikapi kebijakan pemerintah yang merugikan, seperti kenaikan harga, korupsi pejabat, atau penundaan hak. Dalam banyak kasus, reaksi yang muncul bukanlah protes atau desakan akuntabilitas, tetapi penerimaan yang nyaris fatalistik. Ini adalah bentuk lain dari apa yang disebut Paulo Freire sebagai "kesadaran magis" yakni suatu cara berpikir yang menganggap bahwa segala penderitaan adalah takdir, bukan hasil dari relasi kuasa yang timpang.
Lebih jauh, fenomena ini juga mencerminkan adanya krisis dalam kapasitas berpikir kritis. Ketika masyarakat terlalu dibiasakan untuk menerima tanpa bertanya, maka kemampuan untuk menilai, mengevaluasi, dan menggugat realitas sosial pun menurun. Pendidikan yang terlalu menekankan pada hafalan dan kepatuhan, serta budaya yang menghargai senioritas tanpa memperhatikan rasionalitas, turut memperkuat situasi ini. Dalam ruang seperti itu, mereka yang mencoba mengajukan pertanyaan kritis sering dianggap arogan, tidak tahu diri, atau bahkan tidak beragama.
Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam banyak kasus di Indonesia, rasa syukur telah mengalami "komodifikasi moral." Ia dijadikan alat retoris oleh mereka yang berkuasa untuk mempertahankan status quo. Seorang pengusaha yang memberikan gaji rendah dapat berkata, "Kita semua harus bersyukur di masa sulit ini," sambil mengabaikan keuntungan besar yang ia raup. Pemerintah yang gagal menyediakan layanan dasar bisa berlindung di balik narasi syukur, sambil mempromosikan program-program simbolik yang tidak menyentuh akar persoalan. Dalam kerangka ini, syukur bukan lagi ekspresi keimanan yang tulus, tetapi instrumen ideologis yang memperlemah tuntutan akan keadilan.
Namun, tentu kita tidak bisa menyerah pada sinisme. Sebab yang dibutuhkan bukanlah penghapusan rasa syukur, melainkan transformasinya. Kita harus membedakan antara rasa syukur yang mematikan kesadaran dan rasa syukur yang membangkitkan kekuatan. Rasa syukur yang sehat adalah yang lahir dari kesadaran penuh atas ketidaksempurnaan dunia, namun tidak berhenti pada penerimaan. Ia adalah syukur yang menyadari bahwa masih banyak yang harus diperjuangkan, dan justru karena itu kita harus bergerak. Dalam pengertian ini, rasa syukur menjadi kekuatan revolusioner: ia menumbuhkan harapan, bukan ketundukan.
Tugas kita sebagai intelektual, pendidik, dan warga negara adalah membangun ruang-ruang wacana di mana rasa syukur dikaitkan dengan keberdayaan, bukan kepasrahan. Kita perlu mendidik generasi muda untuk memahami bahwa mensyukuri apa yang ada tidak bertentangan dengan memperjuangkan yang seharusnya. Justru, hanya mereka yang benar-benar bersyukur atas hidup dan martabat manusia yang akan berani melawan ketidakadilan.
Dalam dunia kerja, budaya syukur harus dikembalikan ke tempat yang proporsional. Tidak ada yang salah dengan bersyukur atas pekerjaan, namun itu tidak berarti menerima perlakuan tidak adil atau melupakan hak-hak dasar. Pemimpin yang baik tidak menuntut syukur dari bawahannya, tetapi memastikan bahwa mereka diperlakukan dengan adil sehingga syukur itu muncul dengan sendirinya. Dalam politik, pemilih yang bersyukur bukanlah mereka yang diam ketika pemimpinnya korup, melainkan mereka yang terus menuntut kinerja dan transparansi karena mereka menghargai hak pilihnya.
Pada akhirnya, kita perlu membangun ekologi sosial baru di mana syukur menjadi bagian dari kesadaran kritis. Ini berarti menciptakan budaya diskusi yang sehat, pendidikan yang membebaskan, dan ruang publik yang tidak alergi terhadap perbedaan pendapat. Sebab hanya dalam masyarakat yang kritis, rasa syukur bisa menjadi energi moral yang mencerahkan, bukan candu sosial yang membius.
Dengan demikian, pertanyaannya bukanlah apakah kita harus bersyukur atau tidak. Pertanyaannya adalah: syukur macam apa yang ingin kita bangun? Syukur yang membebaskan atau yang mengekang? Syukur yang menghidupkan semangat perubahan, atau syukur yang dijadikan alasan untuk tetap diam dalam ketimpangan? Jika kita ingin membangun Indonesia yang adil dan bermartabat, maka jawabannya harus jelas: syukur yang berani, syukur yang kritis, dan syukur yang memperjuangkan kebenaran.


0 Komentar