Ekonomi Naik, Siapa Menikmati? Sebuah Kajian tentang Oligarki dan Pengangguran di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang secara statistik menunjukkan angka positif dalam beberapa dekade terakhir menimbulkan pertanyaan kritis dalam benak banyak orang, terutama ketika data tersebut tidak serta merta berbanding lurus dengan realitas sosial ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat. Salah satu fenomena paradoksal yang mencolok adalah meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi yang justru disertai oleh tingginya tingkat pengangguran dan ketimpangan sosial yang kian menganga. Dalam banyak diskursus ekonomi-politik, kondisi ini sering disebut sebagai pertumbuhan tanpa pemerataan atau bahkan lebih tajam disebut sebagai pertumbuhan yang dikendalikan oleh oligarki. Kajian ini mencoba membedah fenomena tersebut secara mendalam, dengan menyusuri dinamika historis, struktur ekonomi-politik nasional, serta pengaruh neoliberalisme global dalam arsitektur kebijakan ekonomi Indonesia.

 

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi adalah indikator kuantitatif yang mengukur kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam periode tertentu. Ia tidak secara langsung mengukur kesejahteraan masyarakat, distribusi kekayaan, maupun akses terhadap kesempatan kerja. Dalam kasus Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang terus terjadi, bahkan di tengah krisis global, sering kali dimaknai sebagai keberhasilan kebijakan makroekonomi. Namun, indikator ini cenderung menutupi realitas bahwa sebagian besar manfaat dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir elit ekonomi dan politik yang menguasai sebagian besar sumber daya dan akses terhadap pasar.

Salah satu penyebab utama dari kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat adalah struktur ekonomi Indonesia yang oligarkis. Oligarki di sini merujuk pada sistem kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir kelompok elit yang memiliki kendali atas sektor-sektor strategis ekonomi, baik melalui kepemilikan langsung terhadap aset-aset produktif maupun pengaruh politik dalam pembentukan kebijakan publik. Dalam konteks Indonesia, praktik oligarki ini tampak dalam dominasi kelompok konglomerat terhadap sektor-sektor seperti pertambangan, perkebunan, energi, telekomunikasi, dan infrastruktur. Mereka bukan hanya menjadi pemain utama dalam pasar, tetapi juga memiliki kapasitas untuk membentuk regulasi yang menguntungkan posisi mereka.

Akibat dari struktur ekonomi yang oligarkis adalah terciptanya ekonomi yang tidak inklusif. Investasi yang masuk ke dalam negeri cenderung terpusat pada proyek-proyek besar yang padat modal namun minim penyerapan tenaga kerja. Dengan kata lain, sektor-sektor yang tumbuh pesat bukanlah sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, seperti manufaktur kecil dan menengah atau pertanian, melainkan sektor ekstraktif dan finansial yang keuntungannya lebih mudah diekstraksi oleh pemilik modal besar. Inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis menurunkan angka pengangguran atau meningkatkan pendapatan masyarakat luas.

Kondisi ini diperburuk oleh kebijakan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang tidak sinkron dengan kebutuhan dunia kerja. Lulusan-lulusan baru dari lembaga pendidikan tinggi banyak yang tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar, sementara sektor informal justru menjadi tumpuan utama bagi sebagian besar angkatan kerja. Sektor informal ini, meskipun menyerap banyak tenaga kerja, sering kali tidak memberikan kepastian kerja, upah yang layak, maupun perlindungan sosial. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang seolah-olah tinggi itu tidak mampu mengentaskan masyarakat dari kondisi kerentanan ekonomi.

Di sisi lain, kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan pemerintah sering kali justru memperkuat struktur oligarkis tersebut. Misalnya, insentif pajak dan kemudahan perizinan investasi banyak diberikan kepada korporasi besar, sementara usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kesulitan mengakses pembiayaan, pasar, dan infrastruktur pendukung. Ketika anggaran negara lebih banyak digunakan untuk membangun infrastruktur besar yang dinikmati oleh korporasi, dan bukan untuk pembangunan berbasis komunitas, maka kesenjangan ekonomi semakin melebar. Proses ini diperkuat oleh sistem politik yang pragmatis dan transaksional, di mana kekuatan ekonomi oligarki mampu mempengaruhi kebijakan publik melalui pendanaan politik dan lobby-lobby di parlemen maupun birokrasi.

Neoliberalisme juga memainkan peran penting dalam membentuk struktur ekonomi Indonesia yang saat ini sangat berorientasi pasar dan pro-korporasi. Sejak era Orde Baru, dan semakin intensif sejak reformasi, Indonesia mengikuti resep-resep ekonomi yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Privatisasi BUMN, liberalisasi perdagangan, dan deregulasi sektor keuangan adalah bagian dari strategi ekonomi neoliberal yang tujuannya adalah menciptakan efisiensi dan daya saing. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini membuka celah bagi konsolidasi kekuasaan ekonomi oleh segelintir elit yang memiliki modal besar dan koneksi politik. Proses ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga melibatkan aktor-aktor global yang memiliki kepentingan dalam penguasaan sumber daya alam Indonesia.

Transformasi struktural yang dituntut oleh model pembangunan neoliberal menyebabkan negara semakin menarik diri dari peran sebagai pelindung masyarakat miskin dan pekerja. Fungsi negara yang semestinya menjadi penyeimbang dalam distribusi kekayaan dan kesempatan, justru berubah menjadi fasilitator bagi kepentingan modal besar. Di tengah situasi ini, rakyat miskin diposisikan hanya sebagai sumber tenaga kerja murah, konsumen produk-produk industri besar, atau dalam banyak kasus, menjadi korban dari ekspansi proyek-proyek infrastruktur dan ekstraksi sumber daya alam yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani lokal.

Implikasi sosial dari semua ini sangat luas. Ketika peluang ekonomi dan mobilitas sosial hanya tersedia bagi segelintir orang yang sudah memiliki modal dan akses, maka masyarakat luas terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus. Kekecewaan terhadap sistem yang tidak adil ini kemudian bisa bermuara pada krisis kepercayaan terhadap institusi-institusi negara, serta meningkatnya potensi konflik sosial. Pengangguran, khususnya di kalangan pemuda, menciptakan frustrasi yang dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, mulai dari apatisme politik hingga radikalisasi.

Untuk mengatasi kondisi ini, diperlukan transformasi struktural dalam model pembangunan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif harus menjadi tujuan utama, bukan sekadar pertumbuhan dalam angka. Ini berarti kebijakan ekonomi harus secara sadar diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja yang layak, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memperkuat UMKM, serta membangun infrastruktur sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Perlu juga dilakukan reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berpihak pada masyarakat lokal, bukan hanya pada korporasi besar.

Selain itu, demokratisasi ekonomi perlu dijalankan secara serius. Ini mencakup pembatasan terhadap dominasi oligarki dalam sektor ekonomi maupun politik. Transparansi dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan publik, penguatan lembaga anti-korupsi, serta keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan adalah langkah-langkah penting untuk mengembalikan ekonomi pada prinsip-prinsip keadilan sosial.

Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi namun disertai oleh tingginya angka pengangguran dan kesenjangan sosial merupakan cerminan dari model pembangunan yang eksklusif dan dikuasai oleh oligarki. Tanpa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi-politik serta orientasi kebijakan publik, maka pertumbuhan tersebut akan terus menjadi ilusi yang tidak menyentuh kehidupan mayoritas rakyat. Kajian ini menegaskan bahwa yang diperlukan bukan sekadar pertumbuhan, tetapi pertumbuhan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat banyak.



Posting Komentar

0 Komentar