Disiplin ASN ala Pemerintah INDONESIA: Guru Harus Tepat Waktu, Gaji Boleh di Rapel

Di republik ini, guru menjadi salah satu simbol penting: mereka adalah penjaga gerbang masa depan, pembentuk karakter, pemberi impian, dan sekaligus penggerak moral. Saat kita memanggil guru dengan sebutan “profesi mulia”, ada harapan besar bahwa profesi ini berjalan mulus sebagaimana idealnya: hukum, administrasi, gaji, dan segala mekanisme pendukungnya seharusnya berjalan otomatis, rapi, dan membangkitkan kepercayaan. Namun, dalam realitas, guru sering menghadapi satu paradoks besar: mereka dituntut hadir tepat waktu, disiplin sampai menit, rapi sampai helai absen digital satu pun tak boleh salah, sementara gaji mereka, terutama di daerah, kerap “diterbangkan” entah ke mana, hingga akhirnya dicairkan lewat mekanisme yang disebut rapel, entah itu Tunjangan Profesi Guru (TPG), Sertifikasi, atau gaji pokok.


 

Kita tahu, bahwa menjadi ASN, apalagi guru, berarti hidup dalam sistem. Sistem yang katanya transformasi digital, katanya era e-government. Tapi jika dipilah, sistem ini lebih cepet menjelajah dunia absensi online dan e-kinerja, dibandingkan sistem yang memastikan gaji masuk ke rekening guru di setiap tanggal yang tertera. Ribuan guru bangun subuh, sampai sekolah yang syaratnya jauh dari perkotaan, menghadapi murid dengan tuntas, menyusun bahan ajar, membenahi nilai di e-rapor, mengisi daftar hadir digital, mendokumentasikan kinerja harian, semua terekam rapi; sementara di sisi lain, mereka menunggu kepastian kapan dana untuk kerja keras itu benar-benar cair.

Bayangkan: seorang guru di KOTA D, setiap hari berangkat pukul 06.15, lalu menuntaskan tugas sampai pukul 15.30, terkadang lebih karena mengajar tambahan. Ia tetap patuh saat sistem menagihiket data kehadiran digital real time. Ia juga menyerahkan tugas tambahan: format RPP di e-kurikulum, upload foto inovasi pembelajaran di e-kinerja, upload absensi saat merapat, plus laporan bulanan. Semua dilaksanakan penuh disiplin, bahkan di tengah tantangan akses internet buruk, jaringan seluler tidak stabil, dan infrastruktur minim.

Namun gaji, meski ada di anggaran, belum tentu muncul saat tanggal gajian, yaitu tanggal 25 setiap bulannya sebagaimana yang selama ini diberitahukan. Terkadang muncul di akhir bulan, lebih parah lagi kadang di awal bulan berikutnya, bahkan ada yang baru cair awal bulan kedua setelah pelayanan maksimal selama sebulan penuh. Sistem digital dilengkapi alarm keterlambatan absensi guru, tapi rapelan gaji tidak mendapat alarm apapun. Terkadang penjelasan terdengar seperti tidak para pelaku birokrasi yang melakukan kesalahan, tapi sistemnya yang katanya butuh update, butuh migrasi data, butuh integrasi antar aplikasi, but perlu persetujuan dari pusat, kementerian, bendahara, operator daerah, dan pejabat yang katanya sedang sibuk rapat.

Di sinilah letak ironi terbesar: guru dituntut menjadi teladan disiplin, apalagi di mata murid. Datang tepat waktu, berpakaian rapi, patuh aturan, tidak selewat pun. Namun sebagai pihak yang seharusnya memegang kepercayaan, negara justru sering "bolos" di hari gaji. Ia berkata, "Tenang, gaji akan dirapel setelah sistem selesai migrasi. Mohon bersabar. Tunggu pemberitahuan lewat pesan singkat. Masih proses penandatanganan SK." Ini bukan sekadar kata-kata kosong ini adalah kenyataan kompleks yang dikelabui mantera birokrasi.

Di kampus-kampus guru dan sekolah-sekolah pendidikan guru, kita diajarkan menjadi guru unggul, siap berdiri di depan kelas, teleskop ke masa depan murid, dan juga siap jadi agen perubahan. Tetapi perubahan yang mana? Transformasi digital, integrasi sistem, cashless society, but where is the system that ensures cash (uang gaji) flows smooth when guru sudah disiplin? Rupanya, sistem digital belum dibarengi dengan proses birokrasi real-time dan anggaran yang mengalir dengan tepat. Bahkan untuk tunjangan sertifikasi yang sudah melekat di perhitungan gaji guru, rapel bisa berlangsung berbulan-bulan yang akibatnya cukup fatal: guru harus mengedukasi murid tanpa keluhan, tapi mereka sendiri kesulitan beli bahan pokok, bayar listrik, internet, dan lain-lain.

Narasi ini bukan fadah semata, melainkan narasi struktural: betapa kepatuhan guru dipandang sebagai kewajiban mutlak, sedangkan sistem menunaikan hak guru sendiri seperti menghadapi tantangan teknologi, proses penganggaran, batas waktu pelaporan OPSDA, audit, kolusi antarlevel birokrasi, dan anggaran Fiktif 0 Rupiah. Guru, misalnya, menunggu rapel Tunjangan Profesi yang biasanya cair di bulan Juli, entah bagaimana bisa baru cair November, malah Desember. Kalian bisa bayangkan guru harus tetap tersenyum di kelas sepanjang tahun ajaran, mengajarkan matematika, IPA, bahasa Inggris, TIK semuanya dikerjakan walaupun penghasilan tereleminasi dari rekening bank beberapa bulan; tapi telat absen, sistem e-kinerja mencatat akibatnya potong poin, potong tunjangan, diskorsing sementara, peringatan lisan, atau bahkan SP (Surat Peringatan).

Jika kita gunakan analogi, guru sudah seperti atlet yang diminta menjuarai lomba maraton setiap hari dengan jarak puluhan kilometer, namun disuruh bayar masuk lomba ke panitia, dan hadiah baru cair setelah runner-up lapor ke dewan hakim di luar negeri, lalu dicek, di cek lagi, baru tiba 6 bulan setelah lomba. Bukankah itu bukan hanya absurd, tapi keterlaluan?

Bahkan ada yang bertanya: kenapa tidak dijadikan sistem otomatis? Bukankah big data sekarang bisa menghitung, bisa mencairkan via sistem sawan? Katanya sudah e-Sap (sistem perencanaan anggaran dan pengadaan), SPAN (sistem perbendaharaan nasional), e-Bupot, bahkan e-BUD. Tapi e-Gaji? Entahlah, mungkin menjadi proyek e-sentimen birokrasi, yang hanya menjadi jargon. Guru tetap menafsirkan sendiri bahwa ketika mereka disiplin: masuk tepati jam absen, absensi online tepat waktu, upload bukti kinerja sesuai jadwal, mereka berharap reward-nya adalah kesejahteraan. Tapi yang datang malah... form offline cuti sakit 3 lembar rangkap 5 ditandatangani pimpinan, distempel, distempel lagi setiap lembar, lalu discan, diupload ulang ke aplikasi baru diharapkan cairkan gaji; jika tidak, aturan potongan cuti tanpa surat izin.

Dampaknya bukan hanya soal materi. Tetapi psikologis guru: kepercayaan terhadap sistem tergoyah. Bagaimana mungkin yang mengajarkan kejujuran, kedisiplinan, dan keadilan pada murid, meragukan sistem ketika sistem itu sendiri tidak adil atau setidaknya tidak pasti? Slogan-slogan big data, e-government, tidak tampak bila gaji terlambat. Bukankah guru berhak menetapkan standar moral dan transparansi? Mengapa dalam skala yang lebih kecil (yaitu skema pembayaran gaji), standar ini bisa lenyap?

Di sini hadir dilema: guru harus berperan sebagai agen perubahan birokrasi yang mendemonstrasikan kecepatan digitalisasi, keketatan administrasi, dan keandalan sistem. Namun menjadi agen perubahan tidak mudah dari posisi yang dilemahkan. Guru menanamkan semangat disiplin pada generasi, memberi teladan etos kerja tinggi, menuntut ketertiban, sementara mereka sendiri diperlakukan seolah berada di luar sistem: datang terlambat bukan permasalahan, makan siang batal karena gaji belum datang, pungutan pangan darurat terjadi setiap rapelan tertunda.

Masyarakat terutama wali murid, pada umumnya tidak tahu semua ini, karena rumah tangga guru dijalani tertutup. Yang terlihat hanya anak-anak diajar dengan konsentrasi; dari luar, guru tampak "baik-baik saja". Namun manusia, sebagaimana kata Alam, punya batas kesabaran. Lama-lama, rasa sakit batin bisa menjelma rasa lelah, bahkan frustasi. Guru yang idealis bisa terseok akibat beban gaji terlambat triwulanan. Sebagai konsekuensi, dalam banyak diskusi informal, para guru menceritakan keadaan dengan nada lelucon pahit: “Besok kita bikin kangguru online, gaji tinggal klik, jangan ada rapel!” atau “Kelas kita hari ini karena gaji sudah cair, ayo murid senyum aja.” Sindiran mereka menjadi konsumsi internal, semakin sensitif mendeteksi tanda-tanda sistem diganti salam santai tanpa realisasi.

Kita bisa tarik garis yang lebih panjang lagi: di kebijakan nasional, guru tidak hanya menyangkut urusan gaji. Ada agenda Merdeka Belajar, Kurikulum Merdeka, Penilaian Asesmen, Manfaat BOS Afirmasi. Semua itu dijalankan dengan instruksi serentak, training, panduan, bahkan modul simulasi pembelajaran 4.0. Guru dikedepankan dalam ekspresi demokrasi dan pencerahan siswa, dituntut kreatif, problem-solving, inovatif, mengadopsi gaya fungsional modul daring, daring hiperbolik, augmented reality, dsb.

Namun di saat pengesahan anggaran untuk TPG atau Sertifikasi, kita melihat gambaran berbeda: rapelan gaji beralih ke rapelan pelayanan, rapelan tanggung jawab, rapelan sistem. Regulasi menyebut gaji hanya boleh cair lewat sistem dari pusat hingga daerah, tapi rentang waktu yang digunakan dengan teknologi yang disebut modern, tetap bertagar excel manual, manipulasi dokumen hard copy, tunda tanda tangan elektronik. Kadang katanya menunggu tanggal 20, tapi muncul di tanggal 28, dan itu pun hanya sebagian. Sisanya masuk batch kedua rapelan di awal bulan berikutnya. Cerita serupa terdengar di Bimtek (bimbingan teknis), guru datang membayar akomodasi, tapi akhirnya Bimtek batal, ibu guru harus pulang dengan pungutan pribadi, itupun data absensinya dicatat kalau perlu, karena kalau tidak, Bimtek tidak akan dianggap sah.

Hari gaji terlambat pun menjadi bahan lelucon di grup WhatsApp guru. Situasi menjadi: sementara pemerintah bilang “digitalisasi birokrasi penting”, realitasnya digitalisasi hanya terlihat di asal: e-sistem pencatatan absensi. Tapi di tujuan: penerimaan uang gaji, yang masih bergantung pada prosedur manual, rekayasa tanda tangan manual, dan kesempatan SPJ (Surat Pertanggungjawaban) yang belum diverifikasi. Kemudian, guru harus pergi bank/ATM/pos bertemu antrean, termasuk yang tak petugasnya di daerah. Itu pun kalau ada dana di rekening, bukan rekening kosong.

Pendek kata, guru bekerja keras membangun fondasi moral di depan kelas, disiplin sampai ke urusan administrasi absen digital, tapi sistem memperlakukan mereka bagai magang tak bergaji: kerja dulu, gaji nanti. Paling parah jika guru yang sudah pensiun pun masih harus menunggu rapel pensiun, baru bisa santai. Istilah rapel menjadi kata sakral; rapel jadi simbol kesabaran guru, kesabaran yang kenyataannya tidak boleh sudut pandang heroik, karena bukan soal mukjizat. Guru hanya berharap sistemnya konsisten, bahwa jika peraturan menyatakan tiap tanggal 25 gaji, maka gaji harus masuk tanggal 25.

Sebenarnya kita punya aturan: PP, Permen, Peraturan Menteri, dan PMK yang menyebut tata cara pembayaran gaji ASN. Tapi kenyataannya, ketika proses ini tidak berjalan, tidak ada sanksi pada pejabat sebagai pribadi, seakan pelanggaran sistem dibebankan ke guru; padahal guru hanya pelaksana harian. Tidak ada bagian dalam aturan internal sekolah atau daerah yang bisa dipanggil pulang kantor di tengah malam untuk memastikan dana cair, atau dipaksa hadir sampai jam 10 malam untuk menyerahkan kontramemo dana Bimtek. Semuanya lancar bagi mereka yang membuat aturan. Tapi bagi mereka yang dituntut melaksanakannya guru yang disiplin banyak yang mengalami kesenjangan antara regulasi dan realisasi.

Mereka yang masih menyuarakan kejujuran, semangat pelayanan publik, terus berusaha mendobrak sikap bossy birokrasi. Tetapi kekuatan politis guru relatif kecil dibanding pemegang anggaran dan pengendali prosedur. Akhirnya, guru menjadi simbol wacana: mereka dipuji di atas podium, ditunjuk sebagai kunci perubahan, tapi disisakan celah kenyataan, bahwa gaji mereka tak tepat waktu.

Salah satu guru pernah bercerita dalam forum informal: "Waktu e-kinerja dihitung, sistem kasih notifikasi 100% performance. Tapi gaji bulanan tetap diantri 3 lembar excel cut tiap Kamis, tanda tangan setiap staf keuangan, tiga kantor tandatangan, lalu Bank permata eh, permatajson bisa diproses." Efek psikologisnya? Guru merasa tidak dihargai dalam monetisasi system, perannya diibaratkan "abdi negara tetapi gaji bukan abdi".

Kalau ini terus dibiarkan, potensi bahaya moral muncul: guru jenuh, mulai malas meningkatkan kualitas, hanya sekadar menjalankan kewajiban minimal agar absensi tercatat, mengajar kelas 1 sampai 3, lalu pulang; tak meluangkan waktu lagi untuk perbaikan. Karena setiap update sistem, modul pengajaran baru, rencana pengayaan, pendekatan inovatif semuanya memakan energi, yang sayangnya tidak diimbangi aliran dana yang tepat dan tepat waktu. Guru jadi semakin pragmatis: kalau TPG belum cair, mereka pikir, ya sudah, selesai semester ini. Lepas TPG, nanti mikir izin cuti aja soal itu.

Bukan berarti guru menuntut hidup hedon atau kontrak korporat, tapi ada kebutuhan fundamental: agar pekerjaannya dihargai secara nyata. Tanpa ini, wacana "guru-agent-of-change" tetap tinggal wacana tidak berubah jadi kenyataan. Taruh podcast merdeka belajar di kafe, guru akan mendiskusikan state of art kurikulum dengan antusias. Begitu pulang ke desa, curhat soal gaji rapel, digitalisasi birokrasi, dan cuti sakit yang masih dipotong. Ironis? Ya, ironis sekali.

Kita semua tahu guru punya andil besar dalam meningkatkan kualitas SDM dan daya saing bangsa. Kini saatnya mengembalikannya: bukan hanya lewat pelatihan, modul, bantuan literasi digital, tapi juga lewat cara system membayar mereka, merawat reputasi sekolah dan daerah sebagai institusi yang konsisten. Ketika sistem gagal dalam hal sederhana seperti pembayaran gaji, kepercayaan terhadap sistem tumbuh rapuh. Dan ketika sistem rapuh, tentu semua transformasi digital, pembaruan kurikulum, reformasi assessment akan kehilangan pilar kepercayaan.

Di LinkedIn, tulisan ini boleh jadi satir, tapi sebenarnya kritis. Ia mencerminkan relasi antara ayat displin dan realita kebutuhan keadilan operasional birokrasi: satu pihak menuntut disiplin tanpa henti, satu pihak lainnya terus menunda hak yang seharusnya menjadi bukti penghargaan atas disiplin itu. Apakah sistem eabsen bisa dikombinasikan dengan sistem egaji? Kenapa platform digital insyaallah bisa membaca kode QR saat absen tetapi tidak bisa membaca kode pembayaran saat transfer gaji? Apakah guru harus merekam video absensi karena ketakutan gaji tidak cair? Aku rasa tidak.

Jikalau anda pemimpin di Kemenkeu, Kemendikbud, atau kepala daerah, mohon sekali baca ini: disiplin digital harus dibarengi dengan disiplin monetisasi. Jika e-Kinerja memunculkan laporan per triwulan, distribusi dana harus menyusul. Pengontrolan berbasis sistem jangan diskriminatif: hanya kehadiran yang dipantau, gaji tak perlu dimonitor?

Tulisan ini juga untuk publik: mari lebih empati terhadap guru. Mereka tidak menuntut banyak: hanya ketepatan saat menerima apa yang sudah mereka kerjakan. Itu saja sudah substansial. Tuntutan ini juga demi moral pendidikan nasional: bahwa setiap tindakan mengajar dan membimbing siswa benar-benar diperlakukan sebagai kerja serius, bukan obyek biaya.

Kita dapat bermimpi: suatu hari, ada sistem satu pintu yakni e-Gaji, automasi, validasi, dan tari pembayaran keluar masuk lewat aplikasi yang sama saat guru tap absen. Hari ini guru tap PPK, mereka langsung mendapat notifikasi bahwa gaji sedang proses. Kemudian tanggal 25 aplikasi memberi tahu bahwa dana sudah transfer. Akhirnya absen dan gaji menjadi satu ritme, satu kesatuan yang harmonis antara kewajiban dan hak.

Sampai hari itu tiba, tulisan ini menjadi suara untuk mendorong harmonisasi sistem digital dan monetisasi birokrasi. Semoga teman-teman guru, kepala sekolah, pemimpin daerah, dan pemerintah pusat terinspirasi untuk menuntaskan pasal digitalisasi humanis yang tidak hanya disiplin mengatur guru, tetapi juga disiplin membayar guru (tepat waktu). Gaji adalah harga kerja. Dan menghormati guru berarti menghormati masa depan.

Posting Komentar

0 Komentar