"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam (pemimpin) bagi manusia.' Ibrahim berkata: '(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.' Allah berfirman: 'Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah: 124)
Ayat ini mengandung prinsip-prinsip luhur tentang hakikat kepemimpinan, tanggung jawab spiritual, moralitas, dan kualifikasi dalam menjalankan kepemimpinan dalam pandangan ilahiah. Menelaahnya dengan mendalam membawa kita pada pemahaman bahwa kepemimpinan dalam Islam tidak hanya menyangkut urusan politik atau sosial semata, tetapi juga terkait dengan dimensi transendental antara hamba dan Tuhannya. Nabi Ibrahim a.s. dalam ayat ini tidak hanya tampil sebagai seorang manusia biasa yang mendapatkan kepercayaan, melainkan sebagai sosok yang melalui rentetan ujian berat dari Allah hingga akhirnya diangkat sebagai pemimpin umat manusia. Kepemimpinan beliau tidak terjadi begitu saja, melainkan buah dari kesabaran, konsistensi, dan ketundukan mutlak kepada Tuhan semesta alam.
Untuk memahami lebih jauh konsep kepemimpinan dalam ayat ini, kita perlu menelusuri makna "ibtila’" atau ujian, "kalimat" yang menjadi alat uji, serta makna "imamah" atau kepemimpinan, yang akhirnya dianugerahkan kepada Nabi Ibrahim. Dalam konteks ini, "ujian" bukan sekadar cobaan hidup biasa, melainkan bentuk penyaringan dan penyucian jiwa yang menghasilkan kualifikasi moral tertinggi yang layak untuk memimpin umat manusia.
Allah menyebutkan bahwa Ibrahim diuji dengan "kalimāt", yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan. Para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan makna "kalimat" tersebut. Ibnu Abbas menafsirkan bahwa kalimat itu mencakup seluruh perintah dan larangan yang Allah berikan kepada Ibrahim, baik yang terkait dengan akidah, ibadah, maupun akhlak. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa kalimat itu adalah simbol ujian besar seperti perintah menyembelih Ismail, meninggalkan Hajar dan bayinya di lembah tandus Mekkah, serta perintah mendirikan Ka’bah. Ujian-ujian itu menunjukkan betapa Nabi Ibrahim diuji pada aspek yang paling dalam dari dirinya: emosional, spiritual, sosial, bahkan rasional.
Keberhasilan beliau dalam menunaikan semua perintah Allah menunjukkan ketaatan mutlak tanpa syarat. Di sinilah pembelajaran penting dimulai: bahwa seorang pemimpin bukan hanya mereka yang memiliki kecerdasan atau keturunan mulia, melainkan mereka yang mampu taat dalam kondisi yang tidak selalu nyaman, bahkan sering kali menyakitkan. Ketaatan tanpa tawar-menawar ini mencerminkan kredibilitas moral dan integritas spiritual seorang pemimpin.
Kepemimpinan dalam Islam, menurut ayat ini, bukanlah hasil dari pemilihan populer atau keturunan, tetapi hasil dari seleksi spiritual langsung dari Allah. Ini menegaskan bahwa kualitas ruhani, keimanan, dan keadilan adalah syarat utama dalam memikul amanah kepemimpinan. Di tengah dunia modern yang sering mengabaikan dimensi spiritual dalam memilih pemimpin, ayat ini menegaskan bahwa kebajikan ruhani adalah inti dari segala bentuk otoritas yang sah.
Ketika Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia," ini bukan sekadar pengangkatan simbolik. Dalam tradisi Islam, "imam" tidak hanya berarti pemimpin formal, tetapi juga pembimbing umat, penjaga ajaran kebenaran, dan pelindung moral masyarakat. Imamah di sini mencakup makna syariah, akhlak, dan bahkan warisan profetik. Menjadi imam bagi umat manusia menempatkan Nabi Ibrahim sebagai poros penting dalam sejarah kenabian yang kemudian dijadikan panutan oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam.
Kepemimpinan Ibrahim bersifat universal dan lintas generasi. Ini berarti bahwa kepemimpinan sejati harus mengandung visi jangka panjang yang melampaui kepentingan sesaat. Seorang pemimpin tidak boleh terjebak pada popularitas atau pencitraan, tetapi harus mampu melihat ke depan dengan visi yang jelas tentang masa depan umatnya. Nabi Ibrahim menyadari hal ini dan karena itu, beliau memohon agar kepemimpinan juga diberikan kepada keturunannya.
Namun jawaban Allah atas permohonan tersebut sangat prinsipil: “Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” Ini menegaskan prinsip penting bahwa kepemimpinan tidak diwariskan begitu saja secara otomatis, bahkan kepada keturunan nabi sekalipun. Hanya mereka yang memenuhi syarat keadilan dan keimanan yang layak mendapatkan amanah itu.
Pernyataan Allah bahwa “laa yanaalu ‘ahdiyazh-zhalimīn” merupakan prinsip tegas bahwa kezaliman, dalam bentuk apapun, menggugurkan hak seseorang untuk menjadi pemimpin. Dalam Islam, keadilan adalah asas semua hukum dan sistem. Ketika seseorang berlaku zalim – baik kepada dirinya, kepada orang lain, atau kepada Tuhan – maka ia telah melanggar nilai utama yang menjadi dasar kepemimpinan.
Kezaliman di sini bisa berarti penyimpangan dari kebenaran, ketidakjujuran, penyalahgunaan kekuasaan, dan penindasan. Maka dalam kerangka ini, pemimpin yang mencuri hak rakyat, menindas kelompok lemah, atau menyebarkan kebencian berbasis agama dan etnis, jelas-jelas termasuk dalam kategori yang tidak layak memimpin. Allah tidak memberikan amanah kepada mereka yang berbuat zalim karena mereka akan menghancurkan struktur sosial dan merusak nilai-nilai kehidupan.
Keadilan yang ditunjukkan Nabi Ibrahim bersifat total: beliau berlaku adil bahkan terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya, dan tidak memaksakan kehendaknya secara otoriter. Dalam kisahnya dengan ayah dan kaumnya, beliau menyeru dengan kasih sayang, memberi waktu untuk berpikir, dan tidak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksakan kebenaran. Inilah bentuk kepemimpinan etis yang perlu diteladani oleh siapa pun yang ingin memimpin dalam konteks modern.
Lebih lanjut, konsep keimaman yang diberikan kepada Nabi Ibrahim juga mengandung dimensi tanggung jawab kolektif. Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi atas seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Nabi Ibrahim dipilih bukan semata karena kesalehannya secara individu, melainkan juga karena kemampuannya membimbing umat, menyampaikan risalah, dan membentuk masyarakat yang beriman serta berakhlak. Ini memperlihatkan bahwa dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang mencakup dimensi pendidikan, pemberdayaan, dan pembentukan karakter sosial.
Dalam kehidupan Nabi Ibrahim, kita melihat berbagai dimensi kepemimpinan yang bersifat integral. Beliau adalah seorang pemimpin spiritual yang mampu mengarahkan umat kepada Tuhan, seorang pemimpin keluarga yang mampu mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai tauhid, serta pemimpin sosial yang mampu menciptakan sistem nilai baru dalam masyarakat jahiliah. Bahkan perintah untuk membangun Ka’bah tidak sekadar membangun fisik bangunan, tetapi juga mendirikan simbol sentral spiritual umat manusia yang menjadi pusat ibadah hingga akhir zaman.
Ka’bah menjadi lambang dari pemusatan tauhid, simbol kesatuan umat, dan manifestasi konkret dari kepemimpinan Ibrahim yang transenden. Pemimpin sejati harus mampu menciptakan pusat nilai, bukan hanya sistem atau struktur. Nilai-nilai ini yang kemudian menghidupkan masyarakat dan mengarahkan langkah umat ke masa depan yang lebih beradab.
Sebagai teladan, Nabi Ibrahim juga menunjukkan bagaimana doa menjadi bagian integral dalam kepemimpinannya. Doanya bukan hanya berisi permintaan untuk dirinya, tetapi juga mencakup harapan besar untuk keturunannya dan umat manusia secara luas. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 127–129, ketika membangun Ka’bah, beliau berdoa agar Allah mengirimkan rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang misi kenabian untuk menyucikan jiwa-jiwa manusia dan membimbing mereka menuju kebenaran.
Dalam konteks modern, nilai-nilai kepemimpinan yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim menjadi sangat relevan. Dunia saat ini menghadapi krisis kepemimpinan yang ditandai oleh ketidakadilan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan hilangnya arah spiritual. Kepemimpinan Ibrahim menawarkan paradigma baru: bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu membawa umat kepada Tuhan, memegang teguh keadilan, bersikap bijak dalam menyikapi perbedaan, dan visioner dalam membangun peradaban.
Dengan demikian, memahami Al-Baqarah ayat 124 tidak hanya menambah wawasan keagamaan, tetapi juga membuka cakrawala pemikiran tentang bagaimana membangun kepemimpinan yang adil, kuat, dan penuh kasih sayang. Nilai-nilai yang diajarkan melalui kepemimpinan Nabi Ibrahim a.s. perlu dijadikan rujukan oleh para pemimpin umat masa kini agar bisa menciptakan masyarakat yang berlandaskan tauhid, keadilan, dan cinta kasih.
Kepemimpinan seperti inilah yang dirindukan dunia: kepemimpinan yang membebaskan, bukan menindas; yang menyatukan, bukan memecah belah; yang membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya, bukan menjauhkan mereka dari cahaya kebenaran.
Dalam rangka menutup kajian ini, penting ditekankan bahwa setiap individu dalam kapasitasnya adalah pemimpin, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." Maka, meneladani Nabi Ibrahim a.s. dalam ketaatannya, kesabarannya, integritas moralnya, dan visinya dalam membangun peradaban adalah kewajiban setiap Muslim yang menginginkan kemajuan umat dan keberkahan dunia akhirat.
Kajian terhadap Al-Baqarah ayat 124 menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan hanya amanah, tetapi juga karunia dan ujian. Hanya mereka yang mampu menjaga keadilan, istiqamah dalam kebenaran, dan senantiasa menyucikan niatnya kepada Allah-lah yang layak mengemban tugas mulia ini. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kisah Ibrahim dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, baik sebagai pemimpin keluarga, masyarakat, maupun bangsa.


0 Komentar