Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) adalah sebuah konsep yang dalam beberapa dekade terakhir menjadi bagian penting dari kebijakan pendidikan tinggi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ia muncul sebagai bentuk pengakuan terhadap proses belajar yang tidak selalu berlangsung secara formal, tetapi tetap menghasilkan kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan yang relevan. RPL pada dasarnya adalah upaya sistematis untuk memberi tempat kepada pengalaman belajar sebelumnya baik yang diperoleh melalui pekerjaan, pelatihan informal, atau kehidupan sehari-hari untuk dikonversi menjadi kredit akademik dalam jenjang pendidikan formal. Namun, konsep ini memunculkan pertanyaan filosofis yang mendalam ketika diterapkan dalam pendidikan tinggi, khususnya pada level S2, di mana kedalaman berpikir dan keaslian ilmiah menjadi standar utama. Apakah RPL justru menjadi cerminan dari kegagalan sistem pendidikan dalam membentuk manusia pembelajar seutuhnya? Apakah ia sekadar menjadi jalan pintas untuk melewati waktu yang seharusnya digunakan untuk refleksi intelektual dan pendalaman ilmu?
Secara historis, ide tentang pengakuan terhadap pembelajaran non-formal atau informal telah lama berkembang, khususnya di negara-negara Barat yang lebih dahulu menghadapi tuntutan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang cepat. Dalam konteks Eropa, sistem RPL (Recognition of Prior Learning) menjadi bagian dari kerangka kerja Bologna Process dan European Qualifications Framework, di mana mobilitas akademik dan pengakuan lintas negara terhadap kualifikasi pendidikan menjadi sangat penting. Sementara itu, di Amerika Serikat, konsep serupa berkembang di bawah nama Prior Learning Assessment (PLA), yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa dewasa yang telah lama bekerja untuk memperoleh gelar tanpa harus mengulang semua proses pembelajaran. Di negara-negara Skandinavia, RPL bahkan menjadi landasan untuk inklusivitas sosial dan pengakuan terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari sistem pendidikan formal. RPL dalam konteks ini lahir dari semangat demokratisasi pendidikan dan penghapusan hierarki antara pengetahuan akademik dan pengetahuan praktis.
Di Indonesia, RPL secara resmi masuk dalam regulasi pendidikan tinggi melalui Permenristekdikti Nomor 26 Tahun 2016 tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau. Kebijakan ini menjadi titik tolak untuk memperluas akses pendidikan tinggi, khususnya bagi kalangan profesional dan pekerja berpengalaman yang ingin melanjutkan studi formal tanpa harus melewati proses pendidikan dari awal. Dalam praktiknya, RPL diklasifikasikan dalam tiga jenis: RPL Tipe A (untuk melanjutkan studi formal dari pendidikan nonformal atau informal), RPL Tipe B (untuk penyetaraan gelar), dan RPL Tipe C (untuk pengakuan terhadap pengalaman kerja atau profesi). Konteks sosial-politik Indonesia yang penuh tantangan, seperti rendahnya tingkat partisipasi pendidikan tinggi, ketimpangan akses pendidikan, serta kebutuhan percepatan pembangunan sumber daya manusia, menjadikan RPL sebagai salah satu solusi pragmatis. Namun, solusi ini tidak luput dari dilema etis, epistemologis, dan pedagogis, terutama jika diterapkan pada jenjang pascasarjana.
Salah satu kritik paling fundamental terhadap RPL adalah pertanyaannya terhadap makna “belajar” itu sendiri. Jika pembelajaran dipahami semata-mata sebagai proses akumulasi pengetahuan yang dapat diverifikasi melalui hasil akhir atau produk kompetensi, maka RPL tampaknya relevan. Namun, jika pembelajaran adalah sebuah perjalanan transformasional, yang melibatkan refleksi diri, keraguan epistemik, pengujian argumen, dan dialog intersubjektif, sebagaimana yang diidealkan dalam pendidikan tinggi, maka RPL menghadirkan persoalan yang lebih rumit. Ia dapat dimaknai sebagai bentuk simplifikasi terhadap proses pembelajaran yang sesungguhnya. Ia adalah pengakuan terhadap hasil, tetapi belum tentu terhadap proses. Inilah yang melahirkan pandangan bahwa RPL bukanlah pembebasan manusia dari ketertinggalan, melainkan justru cermin dari kegagalan masa lalu untuk membangun budaya belajar sejati.
Dalam tinjauan filosofis, pembelajaran sejatinya tidak hanya dipandang sebagai proses transaksional antara guru dan murid, atau antara teks dan pembaca, tetapi lebih dari itu: ia adalah sebuah transformasi batiniah dan eksistensial yang melibatkan kesadaran akan keterbatasan pengetahuan, keberanian untuk mempertanyakan, dan kerendahan hati untuk belajar ulang dari awal. Filsafat pendidikan dari Paulo Freire, misalnya, sangat menekankan bahwa belajar bukanlah proses menyimpan pengetahuan dalam kepala seperti bank (banking model of education), melainkan dialog pembebasan, di mana manusia menyadari dunia, menafsirkan ulang pengalaman hidup, dan bertindak secara reflektif. Dalam kerangka ini, pembelajaran tidak bisa direduksi hanya menjadi penilaian atas apa yang telah diketahui. Justru nilai paling luhur dari pembelajaran terletak pada perjuangan dalam ketidaktahuan, dalam kegagalan memahami, dan dalam pencarian makna yang terus-menerus. Oleh karena itu, ketika RPL memindahkan fokus dari proses menuju hasil akhir (output-based recognition), ia sebetulnya telah menyederhanakan dimensi terdalam dari makna belajar itu sendiri.
Lebih jauh, perspektif epistemologis juga mengundang kita untuk meninjau kembali landasan ontologis dari pengetahuan yang diakui dalam RPL. Dalam banyak pendekatan RPL, pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman kerja dianggap sah dan layak untuk dikonversi menjadi kredit akademik. Namun hal ini menimbulkan ketegangan epistemik. Dalam konteks pendidikan pascasarjana, terutama pada jenjang S2, pengetahuan tidak hanya dilihat sebagai akumulasi informasi atau keterampilan, melainkan sebagai hasil dari dialektika antara teori dan praktik, antara kritik dan konstruksi, antara pembacaan teks dan produksi makna baru. Mahasiswa magister dituntut tidak hanya menguasai pengetahuan yang ada, tetapi juga menginterogasi pengetahuan tersebut, menemukan celahnya, serta membangun kerangka berpikir baru. Ketika RPL digunakan untuk “melewati” proses itu, maka sejatinya kita tidak sedang mempercepat transformasi intelektual, tetapi justru menangguhkan atau bahkan membatalkannya. Dalam bahasa Pierre Bourdieu, ini adalah semacam “reproduksi simbolik” di mana status akademik dikukuhkan tanpa perjuangan kognitif yang semestinya.
Kritik terhadap RPL sebagai kegagalan membentuk manusia pembelajar muncul dari refleksi atas esensi dari pendidikan tinggi itu sendiri. Pendidikan pascasarjana bukan sekadar tentang mendapatkan gelar, tetapi tentang membentuk watak ilmiah dan kemampuan berpikir mendalam. Jika mahasiswa S2 memperoleh pengakuan kredit melalui RPL atas dasar pengalaman kerja yang pernah dijalani, maka pertanyaannya bukan sekadar apakah pengalaman itu relevan secara substantif, melainkan apakah pengalaman itu telah dialami dengan kesadaran reflektif yang cukup untuk membentuk kapabilitas berpikir ilmiah. Tidak semua pekerjaan memunculkan refleksi. Tidak semua pengalaman kerja mengajarkan ketajaman analisis atau kesadaran teoretis. Justru sering kali, pengalaman kerja berlangsung dalam kerangka rutinitas, efisiensi, dan hasil akhir, berlawanan dengan semangat intelektual yang bersifat kritis, kontemplatif, dan terbuka terhadap kompleksitas.
Dalam konteks ini, RPL dapat dilihat sebagai mekanisme administratif yang mengelabui kedalaman pembelajaran. Ia mengasumsikan bahwa hasil kerja di masa lalu adalah bukti sah dari penguasaan pengetahuan yang layak dikonversi menjadi kredit akademik. Namun, bagaimana kita memastikan bahwa pengetahuan itu benar-benar dipahami, diuji secara teoritis, dan dikontekstualisasikan dalam pemahaman ilmiah yang lebih luas? Bagaimana kita menilai bahwa orang yang bekerja sebagai manajer proyek selama 10 tahun telah memahami metodologi penelitian, kerangka epistemologi sosial, atau paradigma kritis dalam sosiologi organisasi? Tidak semua pengalaman bisa diartikulasikan menjadi pengetahuan konseptual, apalagi dalam bentuk skripsi atau tesis. Maka dari itu, RPL menjadi sejenis bypass dari proses epistemik yang mestinya menjadi inti dari pendidikan S2.
Kritik ini juga tidak bisa dilepaskan dari aspek ontologi pendidikan. Jika kita memahami pendidikan sebagai proses “menjadi” bukan sekadar “memiliki”, maka RPL dapat dianggap bertentangan dengan cita-cita humanisme pendidikan. Orang yang belajar bukan hanya orang yang mengumpulkan kredit, tetapi seseorang yang tengah menjalani perjalanan eksistensial untuk memahami dirinya dan dunia secara lebih mendalam. Pendidikan tinggi, apalagi pada tingkat magister, tidak hanya membentuk keterampilan kerja, tetapi juga membangun horizon pemahaman yang lebih luas, kesadaran akan kompleksitas, serta komitmen terhadap kebenaran dan tanggung jawab sosial. Ketika RPL diterapkan tanpa kehati-hatian filosofis, ia bisa menjadi jebakan teknokratisme, di mana pendidikan direduksi menjadi prosedur administratif belaka, tanpa daya transformasional, tanpa roh intelektual, dan tanpa pertumbuhan batiniah.
Penerapan RPL dalam jenjang pendidikan magister atau S2 membawa konsekuensi yang tidak sederhana, baik dalam dimensi kelembagaan maupun dalam proses pembelajaran individual. Secara administratif, RPL memang memberikan jalan bagi banyak profesional untuk mengakses pendidikan tinggi lanjutan. Hal ini dianggap sebagai bagian dari inklusivitas pendidikan dan demokratisasi akses, di mana pengalaman kerja yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun diberikan validasi formal dan dikonversi menjadi kredit akademik. Namun dalam praktiknya, proses ini sering kali dihadapkan pada tantangan substansial. Misalnya, bagaimana menilai pengalaman kerja seseorang yang bekerja di sektor manajemen, teknik, atau keperawatan sebagai setara dengan 12 SKS dalam sebuah kurikulum magister? Bagaimana memastikan bahwa pengalaman itu tidak hanya relevan secara praktikal, tetapi juga memenuhi bobot ilmiah yang menjadi fondasi kurikulum pascasarjana?
Lembaga pendidikan tinggi menghadapi tekanan untuk merancang mekanisme asesmen RPL yang sahih dan akuntabel. Namun, tidak semua institusi memiliki kapasitas sumber daya manusia atau kerangka asesmen yang kokoh untuk melakukan validasi secara mendalam terhadap dokumen, portofolio, atau narasi reflektif yang diajukan peserta RPL. Di sinilah letak persoalan: proses RPL cenderung menjadi formalitas administratif, sekadar proses peninjauan dokumen, bukan asesmen kognitif atau epistemologis yang sungguh-sungguh. Dosen atau asesor dituntut untuk memverifikasi dokumen dalam waktu singkat, kadang tanpa cukup dialog atau eksplorasi mendalam terhadap proses pembelajaran yang dialami calon mahasiswa. Akibatnya, ada risiko bahwa RPL lebih menyerupai proses legalisasi pengalaman kerja menjadi kredit akademik, bukan validasi terhadap kapasitas ilmiah yang substansial.
Di beberapa perguruan tinggi, terdapat kasus di mana mahasiswa magister yang masuk melalui skema RPL mengalami kesulitan luar biasa dalam mengikuti kuliah, berdiskusi ilmiah, dan memahami literatur teoretis. Mereka terbiasa bekerja secara teknikal dan operasional, namun kurang terbiasa dengan cara berpikir reflektif, sintetik, dan argumentatif yang menjadi ciri khas pendidikan magister. Dalam konteks ini, RPL tidak membantu mereka sebagai fondasi pembelajaran, tetapi justru menjadi ilusi kesiapan. Alih-alih menjadi jembatan untuk belajar lebih dalam, RPL menjadi mekanisme yang menempatkan seseorang dalam situasi akademik yang belum tentu siap ia hadapi secara intelektual maupun emosional. Inilah salah satu bentuk kegagalan dari penerapan RPL yang terlalu pragmatis: ia tidak hanya gagal dalam mempersiapkan mahasiswa, tetapi juga bisa merusak ekosistem pembelajaran dalam kelas pascasarjana.
Masalah lainnya muncul dari sisi desain kurikulum. Ketika RPL diterapkan secara masif, program studi dituntut untuk fleksibel dalam struktur pembelajarannya. Sering kali dosen diminta menyesuaikan materi, mengurangi kedalaman bahasan, atau bahkan mengubah pendekatan evaluasi demi mengakomodasi mahasiswa yang masuk melalui jalur RPL dan memiliki latar belakang yang sangat bervariasi. Hal ini berpotensi menggerus standar akademik program magister itu sendiri. Apabila lembaga pendidikan terlalu banyak memberi “pengecualian”, maka pendidikan tinggi kehilangan pijakan epistemiknya. Di sinilah letak kekhawatiran yang lebih besar: bahwa RPL, alih-alih menjadi sarana penguatan kualitas sumber daya manusia, justru dapat menjadi saluran dekadensi akademik jika tidak diatur dengan prinsip kehati-hatian dan integritas ilmiah yang kuat.
Sebagai ilustrasi, mari kita tengok sebuah studi kasus di sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia yang menerapkan RPL untuk program magister manajemen. Dari 100 peserta yang diterima melalui RPL, hampir 60% di antaranya mengalami hambatan signifikan dalam memahami metodologi penelitian dan menyusun proposal tesis. Banyak dari mereka yang terbiasa dengan gaya berpikir eksekutif yang ringkas dan praktikal, sehingga ketika dihadapkan pada literatur akademik yang abstrak dan kompleks, mereka kesulitan melakukan sintesis dan konstruksi argumen. Tidak sedikit yang harus mengulang mata kuliah karena tidak memenuhi standar evaluasi. Ironisnya, pengalaman kerja selama 10 atau 15 tahun yang diklaim sebagai fondasi keilmuan ternyata tidak cukup untuk menjembatani kebutuhan akademik di level magister. Temuan ini menegaskan bahwa pengalaman kerja, tanpa disertai refleksi kritis dan pemahaman teoritis, tidak bisa secara otomatis dikonversi menjadi pengetahuan akademik yang setara.
Kasus ini bukan satu-satunya. Dalam berbagai laporan asesmen institusi yang menerapkan RPL, ditemukan bahwa mahasiswa RPL cenderung memiliki tingkat partisipasi diskusi yang lebih rendah, kemampuan menulis akademik yang lemah, dan resistensi terhadap teori-teori yang tidak sejalan dengan praktik kerja yang mereka kenal. Beberapa dosen merasa kesulitan menjaga dinamika kelas karena gap epistemik antara mahasiswa reguler dan mahasiswa RPL terlalu lebar. Akibatnya, suasana pembelajaran menjadi terpecah: yang satu ingin menjelajah secara teoritis, sementara yang lain menghendaki kesimpulan praktis. Dalam kondisi semacam ini, kualitas pendidikan pascasarjana dipertaruhkan. Ketika ruang akademik yang seharusnya menjadi arena kontestasi ide dan refleksi kritis diubah menjadi ruang pembenaran atas pengalaman praktis semata, maka pendidikan tinggi kehilangan salah satu fungsinya yang paling esensial: membentuk daya berpikir.
Untuk menjawab problematika epistemologis dan pedagogis dari implementasi RPL, kita tidak bisa semata-mata menolaknya mentah-mentah. Sebaliknya, kita perlu meninjau ulang prinsip dasar dari RPL dan menyusun kembali kerangka penerapannya secara lebih bijak dan kontekstual. Sebab, ide pengakuan terhadap pengalaman belajar di luar pendidikan formal bukanlah hal yang sepenuhnya keliru. Ia lahir dari semangat inklusif dan pengakuan terhadap realitas sosial yang kompleks, di mana tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap pendidikan formal. Tetapi agar RPL tidak menjadi instrumen pelemahan kualitas akademik, maka pendekatannya harus berubah dari orientasi administratif menuju pendekatan epistemik. RPL tidak boleh hanya berfokus pada “apa yang telah dilakukan,” tetapi lebih penting lagi adalah “bagaimana pengalaman itu dipahami, direfleksikan, dan dikonstruksi secara ilmiah.”
Salah satu alternatif yang dapat diambil adalah membangun mekanisme asesmen berbasis refleksi kritis. Artinya, pengalaman kerja atau pelatihan tidak cukup ditunjukkan melalui sertifikat, laporan tugas, atau portofolio proyek, tetapi harus dikemas dalam bentuk refleksi akademik tertulis yang menunjukkan bahwa peserta mampu merekonstruksi pengalamannya dengan kerangka konseptual dan teoritis. Misalnya, seorang manajer proyek yang mengklaim telah berpengalaman 10 tahun dapat diminta untuk menulis esai reflektif dengan referensi teoretis yang memadai, membandingkan antara praktik manajerial yang ia lakukan dengan teori-teori organisasi, teori sistem, atau perspektif kritis dalam manajemen kontemporer. Esai semacam ini akan menunjukkan apakah individu tersebut benar-benar telah mengalami pembelajaran bermakna, atau sekadar melakukan pekerjaan tanpa pemahaman konseptual.
Langkah kedua yang perlu diperkuat adalah peningkatan kapasitas asesor atau dosen yang terlibat dalam proses asesmen RPL. Dosen bukan hanya harus memahami prosedur administratif, tetapi juga perlu dibekali kemampuan untuk membaca refleksi epistemik dari pengalaman seseorang. Asesmen terhadap RPL semestinya mendekati metode kualitatif dalam penelitian sosial: tidak hanya mencari bukti empiris, tetapi juga menggali narasi subjektif, proses pemaknaan, dan validasi kritis atas apa yang diklaim sebagai “pengetahuan.” Dalam hal ini, proses asesmen tidak bisa bersifat cepat atau dangkal. Ia perlu waktu, diskusi, dan kadang-kadang bahkan pertemuan tatap muka untuk mendalami konteks pengalaman peserta. Ini memang menambah beban kerja institusi, tetapi jauh lebih baik daripada membiarkan pendidikan magister kehilangan integritas ilmiahnya.
Alternatif ketiga yang juga layak dipertimbangkan adalah transformasi model RPL menjadi RLL – Recognition of Lifelong Learning yang tidak hanya menekankan pada rekognisi atas pengalaman masa lalu, tetapi juga mengintegrasikan pengalaman itu ke dalam kurikulum pembelajaran yang sedang berlangsung. Dalam model ini, pengalaman kerja tetap diakui, tetapi bukan sebagai pengganti pembelajaran melainkan sebagai bahan dasar untuk membangun pembelajaran yang lebih mendalam. Mahasiswa diminta membawa pengalamannya ke dalam ruang kelas, mendialogkannya dengan teori, mengujinya dengan data, dan mendekonstruksi cara berpikir yang selama ini melekat pada dunia praktis. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih relevan, namun tetap transformatif. Model ini juga memungkinkan pendidikan tinggi untuk tidak terjebak dalam dikotomi teori dan praktik, melainkan menjembatani keduanya dalam proses dialektis yang memperkaya.
Lebih lanjut, pendidikan tinggi perlu kembali kepada akar filosofisnya: membentuk manusia yang tidak hanya bisa bekerja, tetapi bisa berpikir secara mendalam, mengambil keputusan secara etis, dan merespons realitas secara reflektif. Jika RPL hanya menjadi cara untuk mempercepat kelulusan atau memperoleh gelar tanpa proses intelektual yang cukup, maka sejatinya kita sedang menciptakan ilusi pendidikan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak takut dengan waktu. Ia tidak menjanjikan hasil instan, karena ia tahu bahwa pembentukan intelektual, moral, dan eksistensial adalah sebuah perjalanan panjang yang tidak bisa disingkat. Dalam kerangka ini, kita perlu menolak ide bahwa waktu belajar adalah “kegagalan masa lalu” yang harus ditebus. Sebaliknya, waktu belajar adalah anugerah yang membentuk watak. Tidak semua yang terjadi di masa lalu layak diakui sebagai pembelajaran; dan tidak semua pembelajaran harus dimampatkan menjadi angka kredit.
Penutup dari kajian ini adalah pengingat akan pertanyaan esensial: untuk apa kita belajar? Jika jawaban kita adalah “untuk bekerja,” maka RPL memang tampak masuk akal. Tetapi jika kita percaya bahwa belajar adalah jalan untuk menjadi manusia yang lebih utuh, maka RPL, terutama pada jenjang S2, harus ditempatkan secara hati-hati dan tidak boleh dipahami sebagai jalan pintas. Pendidikan tinggi bukan tentang koleksi kredit, tetapi tentang pengolahan diri. Ia bukan tentang validasi birokratik, tetapi tentang transformasi intelektual. Maka, daripada mempercepat orang untuk sampai di ujung, lebih baik kita menyiapkan jalan agar mereka dapat berjalan dengan mendalam.
RPL, jika tidak dikaji ulang secara filosofis dan didesain ulang secara epistemologis, bukan hanya cermin dari gagalnya manusia menjadi pembelajar, melainkan juga refleksi dari sistem pendidikan yang telah kehilangan orientasinya terhadap makna belajar. Maka tugas kita ke depan adalah bukan sekadar menyempurnakan mekanisme RPL, tetapi juga menghidupkan kembali semangat pembelajaran yang sejati, di mana waktu, proses, dan permenungan dianggap sebagai bagian paling bernilai dari perjalanan menjadi manusia.
0 Komentar