Ketimpangan Kelahiran: Alibi Pembuat Kebijakan yang Tidak Mensejahterakan Masyarakat.

 

Jika kita menengok ke balik tirai megah peradaban, kita akan mendapati bahwa takdir manusia ternyata sering kali ditentukan oleh sehelai kain tipis bernama "status sosial". Dalam zaman ketika teknologi menjanjikan kolonisasi Mars, kita masih tersandung dalam perkara kuno: siapa yang berhak melahirkan lebih banyak manusia. Aneh memang. Di tengah seruan tentang kesetaraan dan HAM, muncul gagasan pseudo-saintifik bahwa keluarga miskin sebaiknya membatasi anak, sedangkan keluarga kaya bisa memproduksi keturunan semaunya, seolah rahim pun telah masuk dalam daftar properti pribadi yang bisa dilelang di bursa saham.


Konsep ini, jika disimak dari kacamata kosmologis, sungguh menantang logika alam semesta itu sendiri. Semesta, dengan caranya yang sangat halus namun penuh keagungan, merancang segala sesuatu dengan prinsip keseimbangan. Tak ada bintang yang terlalu rakus memakan energi sekitarnya tanpa berakhir sebagai lubang hitam. Tak ada spesies yang berkembang biak melebihi daya dukung tanpa menghadapi konsekuensi evolusioner. Namun, di planet kecil bernama Bumi ini, sebagian manusia merasa bisa menafsirkan prinsip keseimbangan itu sesuka hatinya: mereka yang punya tabungan miliaran boleh mencetak keturunan seperti pencetak uang, sedangkan yang miskin disarankan mengganti naluri biologis dengan anggaran bulanan.

Bayangkan jika prinsip ini diterapkan ke seluruh ekosistem. Harimau yang lapar harus lebih banyak beranak karena dia kuat, dan kijang yang lemah harus menahan diri demi tidak menambah beban rantai makanan. Logika ini barangkali bisa kita sebut sebagai "ekologi kapitalis" di mana kekuatan bukan hanya bertahan hidup, tetapi juga hak eksklusif untuk bereproduksi.

Tentu saja, narasi ini tak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari ketakutan lama: bahwa kemiskinan akan memperbanyak diri, seperti virus, dan menggerogoti fondasi masyarakat mapan. Maka, pembatasan kelahiran di antara keluarga miskin menjadi semacam karantina moral. Bukan karena mereka tak layak menjadi orang tua, tetapi karena mereka tak punya saldo cukup untuk menghidupi impian masyarakat industri: anak yang patuh, sehat, terdidik, dan bisa membeli rumah sebelum usia 40.

Masalahnya, anak-anak dari keluarga kaya tak lantas menjadi penyelamat peradaban. Mereka bisa saja tumbuh menjadi generasi baru yang memperparah jejak karbon, memborong sumber daya, dan menciptakan algoritma yang lebih peka terhadap belanja daripada kemanusiaan. Sementara anak dari keluarga miskin, yang dibesarkan dengan keterbatasan, sering kali justru menjadi motor perubahan karena mereka mengenal langsung makna ketabahan dan berbagi.

Jika kita berkaca dari semesta, maka jawabannya bukanlah pembatasan berdasarkan kekayaan, tetapi penyelarasan sumber daya agar semua keluarga kaya dan miskin memiliki peluang setara dalam mendidik, menyayangi, dan membesarkan anak. Alam tak memilih-milih siapa yang boleh berkembang biak, tapi ia sangat tegas dalam mengatur akibat dari ketamakan. Jika yang kaya terus menumpuk anak dan sumber daya, sementara yang miskin dicekik oleh regulasi dan stigma, maka semesta akan menyeimbangkan dengan caranya sendiri: ketimpangan, konflik sosial, dan keruntuhan ekosistem.

Jadi, sebelum kita membahas berapa anak yang boleh dimiliki seseorang, mungkin lebih baik kita tanyakan dulu: berapa banyak empati yang masih kita miliki? Karena dalam peradaban yang kian kompleks, mungkin satu-satunya kelahiran yang benar-benar mendesak adalah kelahiran kembali nurani bersama.

Namun, biarkan kita menyelami lebih jauh ke pusaran yang lebih dalam menyusuri jejak-jejak sejarah di mana ide pembatasan kelahiran berdasarkan kelas telah dicoba dan, nyatanya, berulang kali berakhir sebagai kegagalan tragis. Dari program eugenika di awal abad ke-20 di Amerika Serikat dan Jerman, hingga kampanye steriliasi paksa di India pada 1970-an, kita menyaksikan bagaimana kontrol kelahiran yang dibalut jargon kesejahteraan publik justru membuka pintu ke pelanggaran HAM berskala besar. Sejarah memberi kita pelajaran pahit: mengutak-atik hak reproduksi atas nama efisiensi populasi adalah jalan pintas menuju distopia.

Mari kita berandai, jika proposal "anak banyak hanya untuk orang kaya" benar-benar dijadikan kebijakan global. Maka kita akan hidup dalam dunia di mana kekayaan tak hanya membeli pendidikan dan akses, tetapi juga hak untuk berkembang biak. Sebuah dunia di mana genetik kelas atas dianggap lebih pantas diwariskan, sementara keberadaan kelas bawah dilihat sebagai risiko statistik. Dunia ini bukan hanya dingin, tetapi juga mengerikan seperti skenario fiksi ilmiah yang dikarang oleh penulis yang kehilangan harapan pada kemanusiaan.

Bahkan secara biologis, keberagaman genetik tidak mengenal rekening bank. Evolusi tidak pernah berpihak pada dompet. Ia berpihak pada adaptasi, pada kemampuan bertahan hidup dalam keterbatasan. Dalam konteks ini, anak-anak dari keluarga sederhana justru membawa kombinasi genetik, pengalaman, dan nilai-nilai yang kaya sebuah kekuatan tak kasat mata yang sering diabaikan oleh mereka yang percaya pada meritokrasi hampa.

Lalu bagaimana dengan alam? Alam tidak mengenal sistem ekonomi. Ia mengenal keseimbangan: predator dan mangsa, musim dan siklus, lahir dan mati. Ketika satu spesies melampaui kapasitasnya, keseimbangan akan mengatur ulang dengan cara yang kejam namun adil. Jika manusia, atau lebih tepatnya segelintir manusia kaya, memaksakan dominasi reproduksi mereka, maka dampaknya bukan hanya pada struktur sosial, tapi pada kapasitas planet untuk menopang hidup itu sendiri. Setiap anak manusia adalah tambahan jejak karbon, konsumsi energi, dan kebutuhan akan ruang. Maka jika mereka yang paling banyak menyumbang emisi justru yang paling banyak beranak, maka bencana ekologis adalah hanya soal waktu.

Namun kita belum terlambat. Kita masih bisa menciptakan sistem sosial di mana memiliki anak bukan hak eksklusif, melainkan tanggung jawab bersama. Di mana keluarga miskin tidak dihukum karena ingin membesarkan anak, dan keluarga kaya tidak diberi insentif untuk memproduksi pewaris tanpa memperhitungkan dampaknya.

Pendidikan, layanan kesehatan, dan jaminan sosial harus diperkuat agar setiap anak siapapun orang tuanya bisa tumbuh dalam dunia yang adil. Ini bukan sekadar investasi ekonomi, tapi investasi moral. Karena ketika anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung kesetaraan, maka masa depan yang inklusif dan berkelanjutan bukan lagi utopia, melainkan konsekuensi logis.

Dan akhirnya, jika kita masih bersikukuh mempertanyakan siapa yang boleh punya anak banyak, mungkin kita perlu bertanya balik: apakah kita ingin dunia yang diisi oleh manusia-manusia berhati besar dari segala latar belakang, atau dunia yang dibentuk oleh kaum elite yang mewarisi bukan saja kekayaan, tetapi juga ketidaktahuan tentang arti hidup bersama?

Karena satu hal pasti: semesta tidak pernah berpihak pada yang sombong. Ia berpihak pada yang mampu mendengarkan dengungan halus keseimbangannya dan yang tahu bahwa dalam kehidupan, bahkan kelahiran pun bukan soal siapa mampu, tapi siapa mau bertanggung jawab.

Di sinilah titik temu antara sains, filosofi, dan nilai-nilai kemanusiaan. Ketiganya menyuarakan hal yang sama dengan bahasa yang berbeda: bahwa hidup bukanlah kompetisi statistik, melainkan perjalanan kolektif menuju makna. Dalam filosofi eksistensialis, manusia menemukan identitasnya bukan dari kelimpahan, melainkan dari kebebasan dan tanggung jawab atas pilihan. Memilih untuk memiliki anak, atau tidak, adalah bagian dari hakikat eksistensi bukan hak istimewa berdasarkan status ekonomi.

Dalam kerangka utilitarianisme, kebahagiaan terbesar untuk jumlah manusia terbanyak tidak tercapai jika hanya sebagian kecil dari populasi yang boleh menentukan arah masa depan. Keputusan tentang kelahiran bukan hanya soal pribadi, melainkan jaringan dampak sosial. Maka membatasi orang miskin untuk memiliki anak bukan hanya bentuk keangkuhan moral, tapi juga perhitungan yang gagal karena ia meniadakan potensi kontribusi yang tak terduga dari mereka yang selama ini dipinggirkan.

Sedangkan dalam pandangan humanisme, setiap manusia, tanpa peduli tempat lahir atau isi kantong memiliki martabat dan nilai yang tak bisa dinegosiasikan. Ketika kita menilai siapa yang layak punya anak dari angka rekening, kita sedang menurunkan manusia ke dalam kategori aset, bukan individu. Ini bukan kemajuan. Ini kemunduran dengan pakaian teknologi.

Barangkali, sudah waktunya kita berhenti menulis kebijakan populasi dengan kalkulator dan mulai menuliskannya dengan empati. Karena semesta tidak akan runtuh karena orang miskin punya anak. Ia runtuh ketika manusia lupa cara memperlakukan satu sama lain sebagai sesama.

Kini, mari kita lengkapi gambaran ini dengan menengok bagaimana dunia nyata telah mencoba atau menolak kebijakan reproduksi berbasis kekayaan. Negara seperti Cina, dengan kebijakan satu anak selama puluhan tahun, pernah dianggap sebagai contoh sukses dalam pengendalian populasi. Namun kini, mereka menghadapi krisis demografi serius: angkatan kerja menyusut, populasi menua, dan beban sosial ekonomi bertambah. Ironi ini memperlihatkan bahwa memaksakan kontrol kelahiran tanpa memperhitungkan dinamika sosial jangka panjang bukanlah solusi, tetapi bumerang.

Sementara itu, Singapura dan Jepang justru berjuang untuk mendorong warganya memiliki lebih banyak anak. Kampanye insentif, subsidi, bahkan program kencan nasional digelar demi memperbaiki rasio kelahiran yang rendah. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tidak sesederhana menekan atau mendorong angka kelahiran, melainkan persoalan nilai, kepercayaan sosial, dan rasa aman masa depan.

Sebaliknya, di banyak negara Afrika, India, dan sebagian Asia Tenggara, di mana kemiskinan masih tinggi, angka kelahiran cenderung lebih besar. Namun, penyebabnya bukan semata karena "kemiskinan melahirkan" melainkan karena keterbatasan akses terhadap pendidikan seksual, layanan kesehatan, dan perlindungan sosial. Maka jawabannya bukan membatasi anak, tetapi memperluas hak dan pilihan.

Jika kita kembali pada prinsip keseimbangan alam semesta, maka yang harus dikejar adalah harmoni antara pertumbuhan populasi dan kapasitas planet. Ini berarti mengedepankan keberlanjutan ekologis, distribusi sumber daya yang adil, dan menghargai setiap manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan, bukan sebagai variabel statistik yang harus ditekan.

Dalam konteks ini, pertanyaan tentang siapa yang boleh memiliki banyak anak bukan hanya tidak relevan, tetapi menyesatkan. Pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana kita membangun dunia di mana setiap anak yang lahir dari siapa pun punya kesempatan yang layak untuk hidup, belajar, tumbuh, dan berkontribusi?

Itulah dunia yang sejalan dengan alam. Bukan dunia yang diatur oleh jumlah rekening bank, tetapi oleh kebijaksanaan hati. Dunia di mana kelahiran tidak dikalkulasi seperti laba rugi perusahaan, tetapi dirayakan sebagai bagian dari tarian besar kehidupan. Karena pada akhirnya, bukan siapa yang banyak anaknya yang menentukan masa depan, tapi siapa yang mampu mendidik generasi dengan cinta, tanggung jawab, dan kesadaran akan batas-batas planet tempat kita tinggal bersama.

Posting Komentar

0 Komentar