Setiap tahun, entah mengapa, sebuah keajaiban terjadi di negeri ini. Tidak ada bintang jatuh, tidak pula muncul unicorn di langit Jakarta. Namun billboard demi billboard dengan tulisan “PEMUTIHAN PAJAK!” tiba-tiba menjamur di sepanjang jalan utama. Font-nya tebal, warnanya menyilaukan mata, dan entah kenapa selalu diiringi gambar senyuman pejabat atau maskot pemerintah daerah yang kelihatan terlalu bahagia untuk sebuah urusan yang sebenarnya adalah hasil dari kegagalan kolektif. Fenomena ini telah menjadi bagian dari siklus tahunan kita, seperti musim hujan yang banjirnya bisa diprediksi, atau musim pemilu yang isinya janji-janji manis rasa pemanis buatan. Bedanya, banjir kadang bisa dikendalikan. Pemutihan pajak? Sepertinya tidak.
Pemutihan pajak tahunan, terutama untuk kendaraan bermotor, pada mulanya mungkin dimaksudkan sebagai bentuk insentif. Sebuah kebijakan yang memberi kesempatan kedua bagi warga negara yang mungkin sedang kesulitan ekonomi, lupa bayar, atau hanya sekadar abai. Tapi seperti banyak hal baik di negeri ini, ia berubah fungsi. Dari solusi insidental menjadi rutinitas struktural. Dari pengecualian menjadi kebiasaan. Dari kebijakan sementara menjadi gaya hidup birokrasi.
Secara normatif, pajak adalah kewajiban warga negara untuk mendanai kebutuhan bersama. Bayar pajak bukan hanya urusan fiskal; ia adalah pernyataan iman pada negara, bahwa kita percaya institusi publik bisa mengelola dana rakyat dengan bijak (meskipun kadang hasilnya membuat kita ragu). Maka ketika pajak yang tidak dibayar selama bertahun-tahun tiba-tiba diputihkan tanpa syarat, tanpa evaluasi, bahkan kadang tanpa rasa malu, yang terjadi bukan sekadar pengampunan utang. Yang terjadi adalah amputasi semangat keadilan.
Di sinilah letak ironi paling tajam. Negara, dalam upaya “merangkul rakyat kecil”, justru menampar wajah mereka yang taat. Seseorang yang membayar pajak kendaraan tiap tahun, penuh ketelitian, dengan antre di Samsat sejak fajar, justru merasa seperti korban prank nasional ketika tetangganya yang sudah lima tahun menunggak malah dapat bebas denda dan diskon pajak. Lebih ironis lagi, sistem ini seakan dirancang agar ketidakpatuhan menjadi strategi yang rasional. Kalau setiap tahun ada pemutihan, kenapa harus repot bayar tiap tahun?
Dalam perspektif teori ekonomi perilaku, ini adalah textbook case dari moral hazard yang dibiarkan tumbuh subur oleh negara. Ketika pelanggaran diberi insentif, dan ketaatan diabaikan, maka secara alamiah masyarakat akan menyesuaikan strategi. Bukankah dalam ekonomi klasik pun manusia diasumsikan sebagai makhluk rasional yang mengejar keuntungan? Maka keputusan untuk menunggak pajak menjadi bukan sekadar bentuk penghindaran kewajiban, tapi perhitungan logis yang didasarkan pada sejarah kebijakan negara sendiri.
Yang lebih membingungkan adalah bagaimana pemerintah dengan entengnya menyebut kebijakan ini sebagai “stimulus ekonomi”. Mungkin mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa stimulus yang sesungguhnya adalah menciptakan sistem yang adil dan dapat diandalkan. Pemutihan pajak tidak mengatasi akar masalah—yaitu rendahnya kesadaran perpajakan dan lemahnya enforcement. Ia hanya menambal lubang dengan plester murah, lalu berharap ban mobil tetap utuh saat melewati jalan berlubang.
Tentu saja, akan selalu ada pembelaan. Bahwa ini bentuk kepedulian. Bahwa masyarakat sedang kesulitan ekonomi. Bahwa yang penting adalah kendaraan-kendaraan itu kembali terdata dan aktif. Namun pertanyaannya: sampai kapan narasi “kepedulian” ini menjadi tameng untuk menutupi kegagalan sistem? Bila setiap tahun rakyat diberi pengampunan pajak, bukankah itu juga berarti pemerintah tidak pernah serius membangun budaya tertib administrasi?
Sebagai analogi, bayangkan jika setiap semester seorang dosen memberikan nilai A kepada semua mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas, sementara yang belajar keras hanya mendapat nilai B karena “sudah bagus dari awal”. Lama-lama siapa yang mau belajar? Sistem kehilangan kredibilitasnya, dan nilai A pun tidak lagi berarti apapun. Dalam konteks pajak, yang hilang adalah rasa tanggung jawab kolektif, dan negara perlahan kehilangan legitimasi moral untuk menagih kewajiban dari warganya.
Lebih lanjut, dari perspektif fiskal, pemutihan tahunan ini menciptakan ketidakpastian penerimaan. Negara seperti berjudi pada harapan bahwa setelah diputihkan, masyarakat akan menjadi lebih patuh di tahun berikutnya. Namun sejarah menunjukkan harapan ini sering berujung kecewa. Seperti pacar toxic yang terus diberi kesempatan kedua, ketiga, sampai keseratus, namun tetap saja mengulangi kesalahan yang sama. Lucunya, negara tetap percaya. Entah karena naif, atau karena sudah terlalu malas untuk membuat sistem yang benar-benar bekerja.
Secara sosiologis, kebijakan ini memperkuat budaya “nanti juga diputihkan”. Ini adalah budaya abai yang dibungkus dengan narasi kearifan lokal. “Ah, tenang aja, tahun depan pasti ada pemutihan kok,” ujar seorang pemilik mobil mewah yang STNK-nya terakhir aktif saat presiden masih pidato dengan jaket bomber. Ketika abai menjadi norma, maka kepatuhan menjadi deviasi. Dan ketika yang devian justru dirayakan, maka kita sedang menyaksikan distorsi sosial dalam bentuk yang paling elegan—legal tapi absurd.
Menariknya, tidak ada mekanisme evaluasi publik yang sungguh-sungguh dilakukan atas kebijakan ini. Tidak ada laporan resmi yang menjelaskan apakah setelah pemutihan, tingkat kepatuhan meningkat. Tidak ada audit sosial yang menelusuri siapa yang paling diuntungkan. Bahkan dalam dokumen kebijakan sekalipun, pemutihan sering dijelaskan dengan bahasa yang terlalu samar untuk dipertanyakan: “untuk meringankan beban masyarakat” atau “meningkatkan akurasi data kendaraan bermotor”. Bahasa-bahasa ini indah, namun seperti puisi yang ditulis saat mabuk—penuh perasaan, tapi tidak nyambung dengan realitas.
Padahal, jika pemerintah sungguh peduli pada beban masyarakat, maka solusinya bukan dengan membebaskan pajak yang tak dibayar, tapi dengan menciptakan skema pembayaran yang lebih adil, transparan, dan terjangkau. Mengapa tidak ada sistem cicilan pajak yang mudah diakses? Mengapa tidak ada penghargaan bagi pembayar pajak yang taat? Mengapa tidak ada insentif fiskal bagi masyarakat yang aktif melaporkan pajak secara tertib? Jawabannya sederhana: karena lebih mudah menciptakan sensasi daripada membangun sistem.
Dalam konteks kebijakan publik, pemutihan pajak yang dilakukan secara rutin mencerminkan absennya keberanian untuk menegakkan aturan. Negara menjadi seperti orang tua yang terlalu takut memarahi anak nakal, dan memilih untuk terus memberi permen agar si anak diam. Tapi anak itu tidak akan menjadi dewasa. Ia hanya belajar bahwa nakal adalah strategi yang menguntungkan. Dan begitulah kira-kira posisi masyarakat dalam relasi pajak: semakin sering diberi pengampunan, semakin kecil insentif untuk berubah.
Sayangnya, kritik terhadap kebijakan ini sering dianggap sebagai ketidakpekaan. Seolah-olah mempertanyakan pemutihan pajak sama saja dengan menolak membantu rakyat kecil. Padahal justru sebaliknya: kebijakan yang tidak konsisten, yang memberi hadiah pada pelanggaran, pada akhirnya menyengsarakan masyarakat dalam jangka panjang. Ia menciptakan sistem yang tidak adil, yang tidak bisa diandalkan, dan yang pelan-pelan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Di sinilah pentingnya kajian ini. Bukan untuk sekadar mencibir, meski tentu kita tak akan melewatkan kesempatan itu. Tapi lebih penting, untuk menelisik secara kritis bagaimana sebuah kebijakan yang terlihat manis justru menyembunyikan kegagalan struktural di baliknya. Dan seperti kebanyakan hal yang menyenangkan tapi merusak—gula, rokok, dan janji kampanye—pemutihan pajak tahunan perlu dilihat bukan dari apa yang dikatakannya, tapi dari apa yang disembunyikannya.
Jika kita tarik garis sejarah, kebijakan pemutihan pajak sebenarnya bukanlah hal yang asing dalam praktik pemerintahan—baik di negara maju maupun berkembang. Namun yang membedakan adalah intensitas dan motivasinya. Di banyak negara, tax amnesty atau pengampunan pajak biasanya diberikan dalam kondisi luar biasa: krisis ekonomi, bencana nasional, atau transisi sistem perpajakan. Ia bersifat satu kali, dengan syarat ketat, dan disertai reformasi sistemik. Tapi di negeri ini, pemutihan pajak lebih mirip festival: rutin, dinanti-nanti, dan penuh promosi. Bahkan di beberapa daerah, jadwal pemutihan sudah bisa diprediksi, seakan menjadi kalender tetap yang lebih pasti daripada jadwal KRL.
Kebijakan yang seharusnya menjadi pengecualian kini berubah menjadi ekspektasi. Masyarakat tidak lagi kaget ketika mendengar kabar pemutihan; sebaliknya, mereka mulai merencanakan ketidakpatuhan. Seorang teman dengan jujur pernah berkata, “Ngapain bayar pajak tahun ini? Toh tahun depan diputihin lagi.” Kalimat ini, sederhana namun menghantam, adalah bukti paling telanjang bahwa kebijakan negara telah kehilangan efek disiplinnya.
Di ruang-ruang kantor pemerintahan, pemutihan pajak sering kali dipromosikan sebagai cara untuk “memutakhirkan data kendaraan” atau “meningkatkan partisipasi pajak masyarakat”. Bahasa-bahasa ini terdengar teknokratis, penuh niat mulia. Tapi mari kita telaah logikanya: jika data kendaraan bisa dimutakhirkan hanya dengan memberikan pengampunan, maka seharusnya yang perlu diperbaiki bukan masyarakatnya, tapi sistem pencatatan dan pendataan itu sendiri. Sebab dalam sistem perpajakan yang sehat, data diperoleh dari kepatuhan, bukan dari pengampunan massal.
Lebih jauh, penggunaan istilah “pemutihan” pun patut dikritisi. Kata ini seolah mengandung makna spiritual, seperti proses penyucian dosa yang hanya bisa dilakukan oleh otoritas tertinggi. Tapi pajak bukan soal iman; ia adalah kontrak sosial. Dan jika kontrak itu terus-menerus dihapus sepihak, maka lama-lama rakyat akan berhenti mempercayai kata-kata negara. Di titik ini, kita tak hanya berbicara soal penerimaan negara, tetapi juga krisis legitimasi.
Tak bisa dipungkiri, dalam birokrasi yang sedang mengejar target penerimaan tanpa memperbaiki sistem, pemutihan pajak menjadi jalan pintas yang menggoda. Ia menawarkan angka yang instan, tampak manis dalam laporan tahunan, dan bisa dipakai sebagai bukti keberhasilan. Tapi seperti semua hal yang instan, ia menyembunyikan bahaya jangka panjang: ketergantungan sistemik, hilangnya insentif untuk reformasi, dan tentu saja, makin suburnya kebiasaan menunda kewajiban.
Di sinilah muncul satu pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya pemutihan pajak ini dirancang? Retorikanya menyasar masyarakat kecil, namun datanya menunjukkan bahwa kendaraan yang paling banyak menunggak justru bukan milik rakyat jelata, melainkan mobil-mobil menengah ke atas yang nyaman parkir di garasi rumah-rumah bertingkat. Jadi kalau pemilik Fortuner yang STNK-nya mati 5 tahun bisa diputihkan dengan bebas denda, sementara buruh pabrik yang setia bayar pajak motor tiap tahun tidak mendapat apresiasi apapun, apakah ini bisa disebut kebijakan berkeadilan?
Sayangnya, kritik semacam ini jarang mendapat ruang dalam diskursus publik. Sebab di banyak daerah, pemutihan sudah menjadi semacam perayaan, lengkap dengan baliho, hiburan rakyat, dan kadang diskon servis kendaraan. Media lokal pun ikut larut dalam euforia: “Kabar gembira! Pemutihan pajak kembali dibuka!” begitu salah satu headline berita daerah yang entah sedang memberitakan kebijakan atau memasarkan produk baru.
Lebih ironis lagi, para pembuat kebijakan sering kali menggunakan argumentasi pseudo-ekonomi untuk membenarkan langkah ini. Mereka mengatakan bahwa pemutihan justru meningkatkan penerimaan karena menarik uang dari kendaraan mati. Tapi mereka lupa (atau sengaja lupa) bahwa yang ditarik hanyalah sebagian kecil dari potensi riil, dan lebih fatal lagi, bahwa kebijakan ini justru mendorong perilaku menunggak lebih luas di masa depan. Ibarat menggali sumur untuk memadamkan api, lalu mengklaim telah menyelamatkan rumah.
Di lapangan, aparat pelaksana kebijakan pun kerap kali dibuat bingung. Petugas Samsat, misalnya, sering menerima pertanyaan filosofis dari warga: “Pak, jadi kalau saya nunggak 4 tahun, terus diputihkan, berarti saya lebih untung daripada kalau saya bayar tepat waktu tiap tahun ya?” Dan si petugas hanya bisa tersenyum canggung, lalu menjawab dengan template birokrasi: “Itu sudah kebijakan, Pak, kami hanya menjalankan.” Dengan kata lain, sistem ini telah menciptakan absurditas rasional—sebuah kondisi di mana kebijakan publik tak lagi bisa dijelaskan secara logis, tapi harus diterima sebagai takdir administratif.
Lucunya, tak jarang pula kita mendengar pejabat berujar: “Dengan pemutihan ini, kita bisa mendata kembali kendaraan yang mati. Ini akan berguna untuk perencanaan transportasi.” Sebuah pernyataan yang tampak masuk akal… jika saja tidak dibantah oleh kenyataan bahwa sebagian besar kendaraan yang “hidup kembali” justru tidak pernah benar-benar mati, hanya STNK-nya saja yang berdebu. Mereka tetap wara-wiri di jalan raya, menyumbang polusi, dan lolos dari radar pajak karena sistem pengawasan yang lemah. Jadi, alih-alih meningkatkan akurasi data, pemutihan justru memperpanjang ilusi bahwa sistem kita bekerja.
Efek psikologis dari kebijakan ini pun tidak bisa diremehkan. Ketika pemerintah sendiri terus-menerus memberi amnesti, masyarakat akan mengalami yang disebut “policy fatigue”—kondisi di mana warga merasa aturan hanya berlaku untuk sementara, dan selalu bisa dinegosiasikan. Dalam jangka panjang, ini merusak tidak hanya kepercayaan publik, tetapi juga rasa tanggung jawab warga sebagai bagian dari negara. Rakyat menjadi oportunis karena negara sendiri mengajarkan oportunisme.
Secara tak sadar, negara telah menciptakan warga yang skeptis terhadap kewajiban, tapi lihai membaca peluang. Warga yang bukan anti-pajak, tapi paham bahwa dalam sistem yang longgar, yang taat adalah yang kalah. Dan dalam iklim ini, siapa yang bisa menyalahkan rakyat jika mereka mulai bersikap pragmatis? Kalau hukum bisa ditekuk setiap tahun, mengapa harus kaku setiap hari?
Anehnya, dalam pidato-pidato resmi, para pejabat masih senang berbicara tentang pentingnya budaya taat pajak. Mereka mengutip Pancasila, menyebut pajak sebagai gotong royong, bahkan kadang mengajak masyarakat mendoakan penerimaan negara. Tapi ketika sistem penghargaan dan hukuman tidak konsisten, semua kata-kata itu terdengar seperti pidato motivasi dari pelatih sepak bola yang timnya kalah 5-0 tapi masih mengajak senyum. Lucu, tapi menyedihkan.
Maka, wajar jika publik mulai sinis. Di media sosial, pemutihan pajak sering dijadikan bahan candaan. Meme-meme beredar: “Tahun ini belum bayar? Santuy, pemutihan sebentar lagi.” Bahkan ada yang menyarankan agar pemerintah membuat aplikasi khusus bernama Pemutihan.id, lengkap dengan countdown timer dan sistem notifikasi. Humor ini bukan sekadar hiburan, tapi bentuk resistensi pasif terhadap sistem yang dianggap tidak serius. Ketika masyarakat mulai menjadikan kebijakan publik sebagai bahan olok-olok, maka itu bukan sekadar tanda frustrasi, tapi alarm kegagalan legitimasi.
Yang lebih menyedihkan adalah bahwa sebagian besar warga tidak merasa ini aneh. Kita telah terlalu lama hidup dalam sistem yang membiasakan kekacauan terorganisir. Kita menerima pemutihan tahunan seperti menerima kemacetan saat musim mudik: merepotkan, tapi ya begitulah nasib. Lama-lama kita lupa bahwa ada cara hidup yang lebih waras, lebih adil, dan lebih masuk akal.
Kita sampai pada titik di mana pertanyaan yang lebih besar perlu diajukan: apakah pemutihan pajak tahunan ini benar-benar lahir dari nalar kebijakan yang sehat, atau justru dari kalkulasi politis dan kemalasan struktural yang sudah membatu? Karena jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini nyaris tidak memiliki landasan normatif yang kokoh, kecuali klaim-klaim kabur soal “meringankan beban rakyat.” Namun bahkan beban rakyat pun tidak akan benar-benar ringan jika beban tersebut hanya dipindahkan menjadi utang negara dalam bentuk defisit penerimaan.
Masalah utamanya bukan terletak pada niat untuk membantu, melainkan pada cara dan konsistensinya. Negara yang ingin membantu warganya tidak harus mengorbankan prinsip keadilan fiskal. Sebaliknya, negara yang sehat adalah negara yang mengajarkan kedisiplinan melalui sistem yang adil dan logis, bukan negara yang gemar menabur pengampunan karena enggan menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri. Bayangkan jika rumah sakit membebaskan semua tagihan bagi pasien yang kabur diam-diam dari ruang perawatan. Berapa banyak yang akan memilih keluar lewat jendela?
Di sisi lain, pemutihan tahunan ini juga menyisakan luka mendalam dalam relasi antara warga yang patuh dan negara yang seharusnya adil. Sebab mereka yang taat—yang setiap tahun menyisihkan uangnya untuk membayar pajak, kadang harus mengorbankan kebutuhan lain demi memenuhi kewajiban negara—justru dikhianati oleh sistem. Tidak ada apresiasi. Tidak ada insentif. Tidak ada ucapan terima kasih, apalagi potongan harga. Mereka seperti pembeli setia yang terus membayar penuh, sementara pembeli nakal justru dapat diskon 70% plus hadiah payung cantik.
Lebih menggelikan lagi, negara bahkan tidak menciptakan sistem penghargaan berbasis loyalitas, seperti yang dilakukan oleh waralaba ayam goreng atau toko serba ada. Tidak ada “poin pajak” yang bisa ditukar dengan layanan cepat, prioritas pelayanan, atau sekadar pengakuan simbolik. Padahal, membangun sistem penghargaan untuk wajib pajak patuh adalah hal yang sangat mungkin. Tapi mungkin terlalu membosankan untuk birokrasi yang lebih senang membuat gebrakan dadakan ketimbang reformasi struktural yang tidak menghasilkan headline.
Mari kita bandingkan secara hipotetik: bagaimana jika alih-alih pemutihan, pemerintah merancang skema insentif untuk pembayar pajak yang taat? Misalnya, pemberian potongan pajak untuk tiga tahun berikutnya jika wajib pajak selalu bayar tepat waktu selama lima tahun berturut-turut. Atau pemberian prioritas akses pada layanan publik, seperti pengurusan SIM, paspor, atau layanan administrasi lainnya. Bahkan, negara bisa merancang skema berbasis gamifikasi—sesuatu yang terbukti meningkatkan partisipasi publik di banyak sektor lain—agar kepatuhan tidak hanya menjadi beban, tapi juga menjadi prestasi sosial.
Namun tentu saja, kebijakan semacam itu membutuhkan kerja keras, data yang solid, dan konsistensi. Dan itulah yang mungkin membuatnya kurang menarik di mata para pengambil keputusan. Lebih mudah memang menggulirkan pemutihan massal setahun sekali, berpose di depan baliho, lalu menyebutnya “inovasi layanan publik”. Lebih gampang memaafkan daripada membina. Lebih cepat menebar diskon daripada membangun kepercayaan jangka panjang. Barangkali, negara kita telah jatuh cinta pada solusi instan—bahkan jika itu artinya menelantarkan akal sehat.
Dalam jangka panjang, pemutihan yang dijadikan kebijakan tetap akan menghasilkan efek destruktif yang lebih luas dari sekadar hilangnya pendapatan pajak. Ia akan menciptakan warga negara yang terbiasa hidup dalam penundaan. Warga yang tidak melihat pentingnya taat aturan, karena tahu akan ada pembebasan. Ini akan merembet pada sektor lain: tunggakan iuran BPJS, denda keterlambatan KIR, bahkan mungkin nanti SPP sekolah anak. Semua dianggap bisa dinegosiasikan, karena negara telah memberikan contoh nyata bahwa ketertiban adalah pilihan, bukan kewajiban.
Yang lebih tragis, kebijakan semacam ini membuat rakyat semakin skeptis terhadap niat baik pemerintah. Mereka akan bertanya, “Kalau betul negara peduli, kenapa hanya memutihkan, tapi tidak memperbaiki?” Sebab memutihkan tanpa membenahi adalah seperti mencuci mobil setiap minggu, tapi membiarkan mesin bocor dan rem blong. Tampak bersih di luar, tapi rusak di dalam. Dan inilah cerminan dari banyak kebijakan publik kita: kosmetik, bukan kuratif.
Padahal, jika niatnya memang membantu rakyat kecil, ada banyak cara yang bisa dilakukan. Misalnya, membuat skema pajak progresif berdasarkan kemampuan ekonomi. Memberi penghapusan denda bagi warga berpenghasilan rendah dengan syarat tertentu. Menciptakan sistem penjadwalan ulang pembayaran dengan bunga nol persen. Atau bahkan mendatangi langsung komunitas masyarakat untuk sosialisasi pajak yang lebih manusiawi. Sayangnya, semua itu memerlukan riset, perencanaan, dan niat baik yang konsisten. Dan seperti yang kita tahu, birokrasi kita sering mengalami alergi terhadap kata "konsisten".
Dalam konteks ini, kritik terhadap kebijakan pemutihan bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan bentuk cinta yang lebih dalam—cinta pada sistem yang seharusnya bisa lebih baik. Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling banyak memaafkan, tetapi bangsa yang mampu mendidik rakyatnya untuk bertanggung jawab. Dan tanggung jawab itu hanya akan tumbuh jika negara berani mengatakan: cukup sudah pengampunan massal, mari kita bangun sistem yang adil dan tegas.
Mungkin sudah saatnya kita menutup lembaran kebijakan pemutihan tahunan. Bukan karena tidak boleh ada pengampunan, tapi karena pengampunan tidak boleh menjadi norma. Biarlah pengampunan tetap berada di wilayah moral, bukan administratif. Negara harus kembali ke rel yang benar: membuat kebijakan berbasis data, konsisten menegakkan aturan, dan memberi penghargaan kepada yang patuh, bukan hanya toleransi pada yang bandel.
Bayangkan sebuah negara di mana membayar pajak tepat waktu adalah kebanggaan, bukan kebodohan. Di mana warga yang taat bukan hanya dihormati, tapi juga dimudahkan. Di mana slogan “bangga bayar pajak” bukan sekadar tempelan di dinding kantor Samsat, tapi menjadi bagian dari identitas publik. Tentu, semua itu tidak akan terwujud dalam semalam. Tapi seperti semua hal yang baik dalam hidup—kesetiaan, kejujuran, dan sistem pendidikan yang benar—semua butuh waktu dan komitmen.
Di penghujung tulisan ini, penulis ingin mengingatkan bahwa yang kita hadapi bukan hanya kebijakan yang salah arah, tapi juga pola pikir yang malas untuk berubah. Pemutihan pajak tahunan adalah gejala dari penyakit birokrasi yang lebih dalam: ketidakmauan untuk bertanggung jawab. Dan selama penyakit ini tidak diobati, selama logika pemutihan terus dipertahankan sebagai alat politik yang manis tapi memabukkan, maka selama itu pula rakyat akan terus disesatkan dengan kebijakan yang seolah baik, padahal hanya menunda kerusakan.
Mungkin suatu hari nanti, akan muncul generasi birokrat baru yang tidak sekadar meniru kebijakan tahun-tahun sebelumnya, tapi berani bertanya: “Kenapa ini terus diulang?” Dan mungkin dari pertanyaan itu akan lahir kebijakan yang benar-benar menjawab kebutuhan, bukan sekadar menambal lubang. Tapi sampai hari itu datang, kita akan terus menyaksikan pemutihan demi pemutihan, dengan senyuman palsu, baliho ceria, dan rakyat yang makin lihai membaca kapan negara sedang siap memberi ampun.
Maka, selamat datang di republik pemutihan. Di mana pajak adalah kewajiban yang bisa ditunda, dan ketertiban adalah kesepakatan musiman. Di mana negara berperan sebagai orang tua permisif, dan warganya sebagai anak-anak nakal yang tahu bahwa semua kesalahan, pada akhirnya, akan dimaafkan. Selama niatnya baik, tentu saja.


0 Komentar