Ketika Kompetensi Hanya Sekadar Kata Keren
Kompetensi. Sebuah kata yang terasa keren ketika diucapkan dalam seminar, menjadi sangat serius dalam rapat, dan terasa sangat asing ketika disebutkan dalam warung kopi. Di negeri +62 ini, kompetensi sering kali jadi jargon yang dilemparkan dengan gaya dramatis, seolah-olah semua orang mengerti dan menyepakatinya. Padahal, kalau diminta menjelaskan apa itu kompetensi, tidak sedikit yang hanya bisa menjawab, “ya… semacam skill gitu, lah.”
Bukan salah mereka, memang. Karena sejak bangku sekolah, kita diajarkan bagaimana caranya menjawab soal pilihan ganda dengan cepat, bukan bagaimana caranya berpikir kritis tentang kemampuan diri. Kita jago menjawab soal UN, tapi bingung ketika disuruh menjawab pertanyaan seperti, “apa kekuatanmu?” dalam wawancara kerja.
Lalu mengapa SDM Indonesia tampak kurang sadar akan pentingnya kompetensi? Kenapa yang lebih sering jadi ukuran adalah ijazah, jabatan, atau—yang paling epik—“saya sudah lama kerja di sini,” padahal kompetensi bisa jadi stagnan atau bahkan menyusut karena tidak pernah diasah?
Mari kita kaji fenomena ini, dengan serius tapi santai. Karena di zaman sekarang, berpikir mendalam saja tidak cukup—harus ada sedikit tawa agar tidak stres memikirkan kenyataan.
Kompetensi, Sang Korban Kata-Kata Mutiara
Kompetensi, dalam definisi teoritisnya, adalah kombinasi dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitude) yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan secara efektif dan efisien. Namun dalam praktiknya di Indonesia, kompetensi seringkali menjadi makhluk mitologis yang eksistensinya diyakini, tapi keberadaannya jarang dibuktikan.
Banyak yang percaya bahwa mereka kompeten hanya karena sudah “berpengalaman.” Tapi pengalaman tanpa pembelajaran adalah nostalgia, bukan peningkatan. Kita sering memuja pengalaman seperti jimat sakti, padahal tidak semua pengalaman itu mendidik. Ada pengalaman yang hanya bikin lelah dan tidak menambah apa-apa, selain jam kerja.
Kompetensi sering juga dikaitkan dengan pelatihan. “Oh, saya sudah ikut pelatihan ini-itu.” Tapi, apakah ilmunya dipakai? Atau hanya untuk menambah sertifikat dan mempercantik CV? Di sinilah sering terjadi gap antara pelatihan dan penerapan. Seperti orang yang rajin ikut seminar tentang diet, tapi tetap memesan nasi padang dengan tambahan rendang dan sambal ijo dua porsi.
Bahkan dalam banyak instansi, pelatihan kompetensi dilakukan tidak berdasarkan kebutuhan aktual, tapi berdasarkan anggaran yang tersedia. Kalau ada dana, ya buat pelatihan. Kalau tidak, ya sudah, anggap saja semua pegawai sudah kompeten. Lucu, ya? Tapi nyata.
Dan jangan lupakan budaya kerja kita yang penuh dengan “gengsi.” Ada banyak orang merasa tidak perlu belajar hal baru karena merasa posisi mereka sudah cukup tinggi. Mereka lupa bahwa dunia terus berubah, teknologi bergerak cepat, dan kompetensi hari ini bisa jadi usang besok pagi. Tapi ego membuat orang merasa ilmunya cukup, padahal hanya karena mereka belum tahu apa yang tidak mereka ketahui.
Di sinilah kompetensi menjadi korban. Ia dijadikan jargon, hiasan laporan, bahkan alasan penilaian, tapi jarang benar-benar dipahami. Apalagi disadari sebagai sesuatu yang harus terus dikembangkan.
Dari Meja Kerja ke Meja Cuan – Ketika Kompetensi Ditinggalkan Demi Kenyamanan
Indonesia adalah negeri yang kaya akan potensi. Tapi, seperti kata pepatah lama yang tidak pernah ada, “Potensi tanpa kompetensi hanyalah semangat yang salah jurusan.” Kita punya banyak SDM yang rajin, sopan, datang tepat waktu, bahkan bisa membuat kopi terbaik di kantor. Tapi apakah itu cukup untuk menyebut seseorang kompeten?
Mari kita bicara tentang kenyamanan. Banyak SDM di Indonesia yang terjebak dalam zona nyaman. Ini bukan hanya soal malas belajar hal baru, tapi lebih dari itu—rasa puas yang datang terlalu cepat. Seorang pegawai merasa hebat karena sudah mengerjakan hal yang sama selama 10 tahun, padahal teknologi dan kebutuhan industri sudah berubah lima kali dalam periode itu.
“Lho, saya sudah 10 tahun di sini,” kata seorang pegawai sambil menunjuk meja kerjanya yang penuh tumpukan kertas dan kenangan.
Iya, tapi kalau selama 10 tahun itu yang kamu lakukan hanya copy-paste kerjaan dari tahun lalu, itu bukan kompetensi—itu dĂ©jĂ vu kerjaan. Kompetensi bukan tentang lamanya bekerja, tapi sejauh mana seseorang mampu beradaptasi, menyelesaikan masalah, dan menciptakan solusi yang relevan.
Lalu, bagaimana dengan pelatihan? Kita tidak kekurangan pelatihan. Bahkan dalam beberapa instansi, pelatihan diadakan begitu sering hingga para pegawainya merasa lebih seperti peserta seminar dibanding profesional. Tapi pelatihan tanpa tindak lanjut itu seperti makan nasi tanpa lauk—bikin kenyang sesaat, tapi tidak memberi gizi.
Dalam beberapa kasus, pelatihan bahkan hanya jadi acara jalan-jalan berkedok pembelajaran. “Pelatihan manajemen SDM di Bali selama tiga hari.” Hari pertama: perkenalan. Hari kedua: seminar pagi lalu ke pantai. Hari ketiga: pulang dengan sertifikat dan kulit agak gelap.
Ini bukan dongeng. Ini kenyataan. Dan kompetensi pun kembali jadi korban, dipaksa berpose untuk foto dokumentasi lalu ditinggalkan di folder Google Drive yang tak pernah dibuka lagi.
Lalu datanglah zaman digital. Kata “transformasi digital” terdengar di mana-mana. Tapi jangan salah. Banyak yang mengira transformasi digital itu cukup dengan membuat grup WhatsApp kantor dan membeli projector baru. Mereka tidak sadar bahwa digitalisasi sejati butuh kompetensi baru: literasi digital, kemampuan mengolah data, memahami etika dunia maya, bahkan berpikir sistematis dalam desain proses kerja.
Tapi banyak SDM kita justru memilih bertahan dengan cara lama, sembari menyalahkan teknologi. “Susah, Pak. Saya gaptek.” Padahal setiap hari dia bisa membuat story Instagram dengan filter wajah kucing dan lagu galau. Artinya bukan tidak bisa, hanya tidak mau mengembangkan kompetensi di ranah yang relevan.
Ironis? Pasti. Tapi juga lucu, kalau kita lihat dari sudut yang agak miring.
Kompetensi itu seperti otot. Harus terus dilatih agar tidak kendor. Tapi banyak dari kita lebih memilih melatih jari untuk scroll TikTok daripada melatih otak untuk belajar hal baru. Bukan karena malas, tapi karena sistem kita tidak pernah benar-benar menanamkan pentingnya belajar sepanjang hayat. Kita hidup dalam budaya “asal kerja beres” bukan “kerja dengan berkembang.”
Masalah makin rumit ketika banyak organisasi pun tidak membuat sistem pengembangan kompetensi yang berkelanjutan. Tidak ada peta kompetensi, tidak ada evaluasi berbasis indikator, dan tidak ada penghargaan bagi yang benar-benar berkembang. Yang ada hanya penghargaan untuk siapa yang paling rajin ikut apel pagi dan tidak pernah ambil cuti.
Akibatnya, SDM yang sadar akan kompetensi justru sering dianggap “ribet.” Dia dianggap “banyak maunya,” padahal hanya sedang mencoba relevan dengan zamannya. Yang kompeten dianggap nyeleneh, yang stagnan dianggap loyal.
Dan akhirnya, kompetensi pun kembali tertidur di lemari arsip, diapit oleh laporan evaluasi dan daftar absen.
Ketika Presiden Salah Hitung dan Kita Ikut Tepuk Tangan
Kompetensi itu ibarat otak kiri dan kanan bekerja sama: logika jalan, estetika hidup. Tapi apa jadinya kalau yang memimpin justru tersandung di soal yang seharusnya bisa dijawab siswa kelas tiga SD?
Mari kita kembali ke suatu momen yang viral. Seorang presiden (yang tidak perlu kita sebut namanya, biar tidak diciduk) berdiri di atas podium, dengan gaya penuh wibawa. Ia hendak menunjukkan kekuatan data dan logika dalam pengambilan keputusan. Namun, ketika ia mulai menghitung:
“Dari 700 triliun, kalau kita ambil 20 persen, maka… ya kira-kira… ya... 1,4 triliun, ya?”
Para hadirin tepuk tangan. Wartawan mengangguk-angguk. Netizen tertawa sambil menulis tweet: "Waduh Pak, 20% dari 700 triliun itu 140 triliun, bukan 1,4 triliun. Jangan-jangan Pak Presiden kalkulatornya pakai mode hemat baterai."
Dan di sinilah kita terhenyak: bukan karena presiden kita salah hitung (karena semua orang bisa salah), tapi karena tidak ada satu pun yang berani mengoreksi, apalagi secara langsung. Salah hitung dianggap sah karena diucapkan dengan percaya diri dan mikrofon. Seakan-akan kepercayaan diri bisa menggantikan kompetensi.
Fenomena ini adalah puncak gunung es dari kebudayaan kita yang kurang sadar akan kompetensi. Kita terlalu fokus pada simbol: jabatan, gelar, pangkat, bahkan baju safari warna cokelat. Padahal otak tidak bisa disetrika seperti kemeja. Kalau salah, ya tetap salah.
Ini berbahaya. Sebab ketika pemimpin salah berhitung, maka kebijakan bisa meleset triliunan. Ketika guru salah mengajar, murid bisa ikut salah paham seumur hidup. Ketika pekerja salah paham prosedur, bisa-bisa proyek gagal, tapi tetap dinyatakan “berhasil secara administratif.”
Lucunya, masyarakat justru cenderung memaafkan kesalahan kompetensi dengan kalimat sakti: “Yang penting niatnya baik.” Wah, kalau begitu, mari kita angkat tukang bakso jadi menteri—niatnya jualan juga baik, kan? Tapi kompetensi, sobat, bukan soal niat. Ia soal kemampuan nyata yang diukur, dilatih, dan terus diperbarui.
Mari kita akui: di negeri ini, kita lebih takut terlihat bodoh daripada benar-benar bodoh. Lebih penting terlihat tahu segalanya daripada mengakui bahwa kita perlu belajar. Budaya ini menjadikan “kesalahan” sebagai aib, bukan sebagai pintu pembelajaran. Jadi, ketika pejabat salah hitung, kita pura-pura tidak dengar. Ketika guru salah konsep, siswa disuruh diam.
Inilah mengapa kompetensi tidak berkembang: karena kita tidak punya budaya koreksi yang sehat.
Coba bayangkan, bagaimana kalau kita hidup di dunia yang sebaliknya. Seorang pemimpin berkata, “Saya tidak yakin dengan jawabannya, mari kita hitung bersama.” Seorang guru berkata, “Saya perlu waktu belajar dulu sebelum mengajar materi ini.” Seorang pejabat berkata, “Saya belum punya cukup pengalaman di bidang ini, tapi saya akan bekerja keras untuk memahaminya.”
Itu baru namanya revolusi mental yang hakiki. Tapi sementara itu belum jadi kenyataan, kita harus puas dengan dunia di mana salah hitung di podium nasional bisa dianggap 'kekhilafan manusiawi', sementara seorang siswa salah satu soal matematika langsung dapat nilai 40.
Ketimpangan standar inilah yang bikin kompetensi jadi barang langka. Kita menuntut akurasi dari yang kecil, tapi membiarkan kekeliruan dari yang besar. Kita memarahi siswa yang lupa titik koma, tapi memuji pejabat yang lupa jumlah nol dalam triliun.
Sungguh, kompetensi di negeri ini kadang bukan soal apa yang kamu tahu, tapi siapa yang berani pura-pura tahu lebih keras.
Pendidikan Tinggi, Kompetensi Rendah – Antara Ijazah dan Ijtihad yang Hilang
Pendidikan adalah jalan suci menuju peradaban. Tapi di Indonesia, jalan itu kadang rusak ringan, sedang, berat, bahkan amblas. Banyak orang bangga menyandang gelar, tetapi gagap ketika diminta demonstrasi keahlian. Gelar jadi semacam aksesori spiritual, bukan simbol kompetensi.
Di negeri ini, kita punya orang-orang dengan gelar yang sangat panjang. Dr. H. Ir. M.T. S.Kom. MM. MBA. Ph.D. M.Si. M.Ag. Tapi ketika ditanya: “Pak, tolong ajarkan saya cara analisis data pakai Excel,” jawabannya adalah: “Itu urusan staf saya.” Hebat. Bukan cuma tidak bisa, bahkan tidak mau coba.
Lalu muncul istilah sakti: “yang penting soft skill.” Wah, ini kalimat penuh harapan sekaligus ketakutan. Karena sering kali, itu berarti: “Saya tidak bisa mengerjakan teknis, tapi saya pandai bicara dan menghindari tanggung jawab.” Soft skill memang penting, tapi bukan alasan untuk menghindari hard skill. Dunia kerja butuh keseimbangan, bukan kehalusan sikap yang menyamarkan kekosongan isi.
Kampus pun sering terjebak dalam budaya administratif. Mahasiswa dituntut untuk lulus tepat waktu, bukan kompeten tepat guna. Penelitian skripsi banyak yang hanya berfungsi sebagai syarat wisuda, bukan sebagai sumbangan ilmu. Yang penting: dapat toga, foto dengan orang tua, dan update status Instagram: "Finally, S.T. (Sarjana Tersenyum)."
Sementara itu, dunia industri bingung. Mereka membuka lowongan kerja dengan harapan menemukan SDM andal. Tapi yang datang adalah lulusan yang fasih teori tapi panik ketika disuruh mengatur file. Bahkan ada yang sudah lulus manajemen, tapi menyusun folder di laptop pun masih sembarangan: file penting dicampur dengan meme kucing.
Celakanya, perusahaan akhirnya pasrah. Mereka menyusun program training ulang untuk karyawan baru agar “disesuaikan dengan kebutuhan industri.” Jadi, empat tahun kuliah habis hanya untuk kembali dilatih dari nol. Bukankah lebih murah kalau sejak awal semua kuliah di Dufan saja? Paling tidak, mereka belajar manajemen antrian dan strategi bertahan dalam tekanan.
Hal ini berakar dari kurikulum yang lamban. Dunia berubah cepat—AI, blockchain, sustainability, green jobs—tapi kurikulum masih setia dengan teori-teori dari buku tahun 90-an. Dosen-dosen pun banyak yang enggan upgrade ilmu karena takut kehilangan posisi sakral sebagai "sumber segala jawaban."
Ketika mahasiswa bertanya tentang hal-hal baru seperti analitik data, desain UI/UX, atau cloud computing, dosen menjawab, “Itu tidak ada di silabus.” Seakan-akan silabus adalah kitab suci, dan segala hal di luar itu adalah bid’ah akademik.
Kita harus jujur mengakui bahwa pendidikan kita masih lebih fokus pada hafalan daripada pemahaman, lebih cinta pada nilai angka daripada nilai fungsi. Padahal dunia kerja tidak peduli kamu dapat IPK 3,9 kalau kamu tidak bisa kerja tim, tidak bisa menganalisis masalah, dan tidak bisa berpikir kritis tanpa contekan Google.
Lucunya, budaya belajar juga terbentuk dari tekanan sosial. Banyak mahasiswa memilih jurusan bukan karena minat atau bakat, tapi karena disuruh orang tua atau ikut teman. Hasilnya? Seseorang yang takut darah masuk jurusan keperawatan. Seseorang yang benci angka malah kuliah di akuntansi. Dan tentu saja, seseorang yang kuliah hanya agar bisa menulis “Lagi nugas skripsi nih” di story setiap malam.
Bukan salah mahasiswa sepenuhnya. Sistem pendidikan kita belum memfasilitasi eksplorasi minat secara sehat. Guru BK kadang lebih sibuk ngurus jadwal piket ketimbang memfasilitasi penemuan potensi siswa.
Dan akhirnya, kita jadi bangsa yang jago kuliah, tapi gugup ketika disuruh kerja. Bangsa yang bangga dengan seremonial pendidikan, tapi kurang investasi pada pengalaman dan praktik.
Kompetensi itu seperti tanaman. Harus disiram dengan pengalaman, dipupuk dengan latihan, dan dipangkas dengan kritik. Tapi kalau yang kita tanam cuma ijazah, maka yang tumbuh hanyalah kesombongan akademik yang tidak bisa digunakan untuk menghadapi masalah nyata.
Kompetensi ala Kadarnya, Asal Bapak Senang
Di Indonesia, banyak pekerjaan dijalankan bukan karena tahu caranya, tapi karena "memang begitulah prosedurnya." Mau seefisien apa pun ide Anda, akan selalu dikalahkan oleh kalimat sakti: "Dari dulu juga begitu." Kalau ada yang menyarankan perubahan, langsung dituduh sok tahu atau kurang sopan terhadap senior.
Mari kita masuk ke dunia ASN, alias Aparatur Sipil Negara—sebuah tempat di mana jam kerja adalah jam hadir, dan output kadang hanya terlihat dari jumlah surat masuk dan keluar, bukan dari perubahan nyata dalam pelayanan. Di sini, kompetensi sering dikalahkan oleh kepatuhan hierarkis. Selama bisa hormat kepada atasan dan tidak menyalahi protokol, maka Anda dianggap karyawan teladan.
Misalnya, ada ASN yang kerja di Dinas Pendidikan. Ia tahu cara menyusun Rencana Kerja Tahunan, tapi tidak tahu bahwa angka-angka yang ia ketik itu sebenarnya salah. Tapi karena format Excel-nya sudah benar dan tandatangan sudah dibubuhkan, maka dokumen itu dianggap “sudah beres.” Di negeri ini, form melebihi fungsi.
Pegawai-pegawai seperti ini sering kali pandai menghadiri rapat. Bahkan bisa dibilang, sebagian besar dari mereka memang ahli menghadiri rapat—bukan menyelesaikan pekerjaan. Mereka punya portofolio hadir dalam berbagai pertemuan yang hasilnya selalu ditutup dengan kalimat, "Akan ditindaklanjuti." Tapi tindak lanjut itu sendiri justru menjadi teka-teki abadi. Bahkan ilmuwan NASA pun tak bisa menjelaskan ke mana tindak lanjut itu pergi.
Dalam dunia swasta pun tak kalah lucu. Banyak perusahaan lokal yang sok-sokan menggunakan istilah global: teamwork, brainstorming, agile working, performance review. Tapi kenyataannya? Brainstorming-nya berlangsung lima jam hanya untuk memutuskan tema ulang tahun perusahaan. Tim kreatif menghabiskan lebih banyak waktu menentukan warna balon daripada membaca tren pasar.
Atasan? Sering kali lebih menghargai bawahan yang tahu cara menyeduh kopi sesuai selera daripada yang berani menyuarakan ide baru. Kalau kamu jago membuat laporan keuangan dan presentasi, tapi tidak bisa membawakan oleh-oleh dari luar kota, siap-siap jadi “kurang bergaul”.
Fenomena ini kita sebut dengan istilah klasik: ABS – Asal Bapak Senang. Sebuah strategi bertahan hidup yang menempatkan persepsi di atas realitas, laporan di atas hasil, dan senyum di atas substansi.
Dan jangan lupakan satu hal penting: kompetensi tidak akan menyelamatkanmu dari atasan yang insecure. Di banyak kantor, jika kamu terlalu kompeten, kamu akan dianggap mengancam. Maka muncullah adagium kantor: “Kerjalah cukup baik agar tidak dipecat, tapi jangan terlalu baik agar tidak dimusuhi.”
Makanya jangan heran kalau banyak anak muda yang kompeten malah keluar dari sistem. Mereka membangun usaha sendiri, jadi freelancer, atau kerja remote dari Bali sambil ngetik kode di warung kopi. Karena ketika mereka mencoba masuk sistem formal, mereka malah dianggap "kurang sopan" hanya karena bertanya, “Kenapa kita tidak ubah cara kerjanya?”
Ini ironi besar bangsa kita. Kita punya banyak orang cerdas, tapi sistemnya kadang seperti antivirus yang mendeteksi kompetensi sebagai malware. Maka budaya mediokritas dipertahankan demi stabilitas. Dalam hal ini, stabilitas berarti: tidak ada yang lebih pintar dari bos.
Bayangkan, di sebuah negara dengan ribuan profesor dan doktor, kita masih bingung mengurus perizinan usaha kecil. Masih pakai fotokopi KTP 3 lembar, pas foto 4x6 latar merah, dan materai tempel yang harus dibeli di warung sebelah kantor kecamatan. Ini tahun 2025, bukan 1995!
Kita seperti negara yang memiliki perangkat canggih, tapi masih memilih menyalakan kompor pakai korek batang karena takut inovasi merusak suasana.
Dan ini bukan soal kurangnya orang pintar. Ini soal sistem yang belum siap menerima orang yang benar-benar bisa kerja. Ketika sistem lebih menyukai yang manut daripada yang kompeten, maka bangsa akan terus berputar-putar di tempat yang sama sambil merasa sudah maju hanya karena presentasi pakai template Canva.
Kompetensi Bukan Warisan, Tapi Kebiasaan
Setelah berkelana menelusuri fenomena menyedihkan namun menggelikan tentang minimnya kesadaran kompetensi di negeri ini, sekarang mari kita berhenti sejenak. Tarik napas. Lihat ke cermin. Dan katakan: “Ya Tuhan, kenapa aku baru sadar sekarang?”
Kesadaran adalah langkah awal. Tapi sayangnya, kesadaran tidak bisa diwariskan. Anak orang kaya bisa mewarisi tanah, mobil, bahkan franchise ayam goreng. Tapi kompetensi? Tidak bisa. Kamu tetap harus belajar, latihan, dan jatuh bangun sendiri. Kalau bisa diwariskan, mungkin para konglomerat akan mewariskan kompetensi Excel, public speaking, dan skill manajemen konflik kepada anak-anaknya, bukan hanya saham dan pabrik.
Kabar baiknya: kompetensi bisa dibentuk, dan itu tidak harus selalu lewat jalan formal. Di era digital ini, kompetensi bisa dibangun dari YouTube, kursus daring, atau bahkan dari ikut komunitas yang rajin diskusi di Discord (asal bukan komunitas gibah online).
Tapi untuk membentuknya, kita perlu kebiasaan. Dan di sinilah masalah kita.
Banyak orang di Indonesia masih berpikir bahwa keahlian itu seperti kopi sachet: tinggal diseduh, langsung jadi. Padahal kompetensi itu seperti otot. Kalau tidak dilatih, ia mengempis. Bahkan lulusan terbaik pun akan kehilangan taringnya kalau terlalu lama hanya duduk di meja kantor, ngurus absen dan surat undangan.
Di titik ini, instrospeksi nasional perlu dilakukan. Dimulai dari individu: jangan bangga hanya karena “pernah belajar ini dan itu.” Banggalah kalau kamu masih rutin melatihnya. Pernah ikut pelatihan coding lima tahun lalu tidak membuatmu jadi programmer—itu hanya membuatmu pernah minum kopi bareng orang IT.
Jangan juga terjebak pada “pamer sertifikat.” Di negeri ini, banyak orang menganggap bahwa punya banyak e-sertifikat artinya sudah ahli. Padahal isinya cuma Zoom lima belas menit, lalu tinggal screenshot dan upload ke Instagram dengan caption: “Upgrade diri adalah bentuk syukur.”
Sistem juga harus berubah. Pendidikan harus kembali ke fungsi utamanya: membentuk manusia yang bisa berpikir, bukan hanya yang bisa menghafal. Guru dan dosen harus diberi ruang untuk berkembang—dan bukan hanya mengejar akreditasi atau beban administrasi yang tak kunjung habis. Mereka butuh insentif kompetensi, bukan hanya tunjangan sertifikasi.
Di sisi lain, dunia kerja juga harus memberi peluang kepada mereka yang benar-benar bisa, bukan hanya kepada yang punya “kedekatan emosional” dengan manajer HR. Jangan lagi menulis di lowongan kerja: “IPK minimal 3.5, pengalaman kerja 5 tahun, usia maksimal 22 tahun.” Itu bukan lowongan kerja. Itu dongeng fiksi fantasi.
Dan tentu saja, negara harus berani mengoreksi diri. Pemerintah tidak boleh hanya bangga membuat program pelatihan digital yang isinya template PowerPoint dari 2008. Kita perlu pendekatan baru: berbasis praktik, proyek nyata, dan evaluasi yang manusiawi. Bukan hanya “cek list kehadiran” dan “sertifikat diklat”.
Lalu, masyarakat pun perlu ikut bergerak. Keluarga jangan hanya tanya, “Kapan kamu lulus?” tapi juga, “Kamu bisa apa?” Jangan hanya bangga anaknya jadi PNS atau kerja di BUMN, tapi tidak tahu sebenarnya mereka mengerjakan apa. Karena kerja bukan cuma soal gaji masuk tiap tanggal 25, tapi soal kontribusi dan aktualisasi diri.
Kita harus menciptakan budaya baru: budaya kompeten. Sebuah atmosfer sosial di mana orang dihargai karena keahliannya, bukan karena koneksi, status, atau jumlah followers. Di mana orang yang kerja diam-diam tapi hasilnya nyata lebih diapresiasi daripada mereka yang kerja keras bikin konten TikTok ngedit laporan palsu.
Dan kalau kamu saat ini merasa belum kompeten? Tidak masalah. Yang penting kamu sadar. Karena masalah utama bangsa ini bukan karena orang bodoh. Tapi karena orang yang tidak sadar bahwa dirinya belum tahu apa-apa, tapi merasa tahu segalanya.
Bangkitlah, Kompetensia!
Bayangkan kita hidup di sebuah negeri bernama Kompetensia, di mana semua orang tahu apa yang mereka kerjakan, tahu kenapa mereka mengerjakannya, dan tahu bagaimana mengerjakannya dengan baik. Tidak ada ASN yang gelagapan buka Excel, tidak ada manajer yang takut dengar kata “inovasi,” dan tidak ada influencer dadakan yang ngaku pakar hanya karena pernah bikin konten motivasi pakai backsound Coldplay.
Sayangnya, kita belum hidup di negeri itu. Kita masih di Indonesia. Negeri yang luar biasa indah, kreatif, penuh potensi—tapi juga negeri di mana terlalu banyak yang bingung cara pakai alat pemadam api, padahal jadi petugas keamanan gedung.
Dan puncak dari semua ini? Tentu saja kalau kita akhirnya dipimpin oleh pemimpin yang tidak bisa penjumlahan sederhana. Ya, bukan hiperbola. Di satu momen tragis sekaligus komedik, kita pernah menyaksikan seorang pemimpin yang saat diminta menjumlahkan angka di depan publik, malah melongo sejenak, lalu tertawa… dan mengganti topik. Sebuah bukti bahwa kadang, matematika bukan hanya tentang angka—tapi tentang keberanian menghadapi logika.
Dalam dunia yang semakin cepat dan kompleks, pemimpin yang tak mampu berpikir sistematis seperti itu bukan hanya memalukan—tapi membahayakan. Karena keputusan besar seperti kebijakan ekonomi, pendidikan, kesehatan, semuanya berpijak pada kemampuan memahami realitas dan mengolah informasi. Kalau penjumlahan dua digit saja gagal, bagaimana mau memimpin negeri dengan ribuan pulau dan jutaan masalah?
Namun kita tak bisa terus-menerus menyalahkan sistem, menyindir pemerintah, atau menertawakan birokrat. Kita semua bagian dari ekosistem besar ini. Dan satu hal yang pasti: bangsa besar tidak dibangun dari sindiran, tapi dari kesadaran dan ketekunan memperbaiki diri.
Membangun bangsa yang kompeten bukan tentang mencetak jutaan gelar sarjana. Tapi menciptakan jutaan manusia pembelajar. Manusia yang merasa tidak pernah selesai belajar. Yang tidak hanya bangga pada apa yang pernah dicapai, tapi semangat mengejar apa yang belum bisa.
Kita butuh manusia Indonesia baru—yang tidak hanya bisa menjawab soal, tapi juga bisa bertanya dengan kritis. Yang tidak hanya bisa bikin PowerPoint, tapi juga bisa berpikir sistem. Yang tidak hanya ikut pelatihan, tapi juga berani mengubah pola.
Dan ya, manusia seperti itu tidak tercipta dari sistem yang nyaman dan birokrasi yang membius. Tapi dari budaya yang mendorong kerja nyata, apresiasi keahlian, dan keberanian mengakui kekurangan. Karena hanya bangsa yang mau mengakui kelemahannya yang bisa membangun kekuatannya.
Akhir kata, mari kita hentikan kebiasaan pura-pura bisa. Mari kita hentikan tradisi “asal kelihatan sibuk.” Mari kita bangun generasi yang tidak hanya pintar ngomong, tapi bisa kerja. Karena di dunia nyata, yang dibutuhkan bukan hanya yang bisa tampil di forum, tapi juga yang bisa memperbaiki printer saat rusak tanpa harus manggil tukang dari luar kota.
Dan kalau suatu hari nanti, ada presiden yang bisa menjumlah dengan cepat, memahami statistik dengan luwes, dan membuat kebijakan berdasarkan data—maka mari kita doakan dia panjang umur, dan semoga dia tidak cepat digantikan hanya karena tidak bisa tampil lucu di panggung.
Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati kompetensi lebih dari pencitraan.
“Ilmu itu bukan jubah kehormatan, tapi alat kerja. Jangan bangga kamu pernah belajar. Banggalah kalau kamu masih terus belajar.”
— Kajian Intelektual dan Jenaka, 2025


0 Komentar