Satir tentang Gelar, Guru, dan Kemalasan Berpikir di Negeri Seribu Seminar
Sebuah bangsa bisa hidup tanpa teknologi tinggi. Bisa hidup tanpa kekuatan militer. Bahkan bisa hidup tanpa jalan tol. Tapi tidak akan pernah bisa hidup tanpa guru yang waras. Maka dari itu, ketika suatu bangsa mulai mempercayai guru yang S2-nya M.M. – bukan karena dia pandai mengelola manusia, tapi karena dia pandai mengelola lembar presensi seminar – maka sebenarnya bangsa itu sedang menggali liang lahatnya sendiri, dengan ekskavator bersubsidi dari kementerian.
Tak ada yang salah dengan Magister Manajemen, kecuali ketika gelar itu dipakai untuk memanajemeni anak-anak sekolah dasar dengan dalih “kami punya pendekatan holistik berbasis hasil riset lokal.” Hasil riset lokal di sini sering kali merujuk pada Google Scholar yang dicetak tanpa dibaca, atau hasil Focus Group Discussion yang hanya fokus pada snack dan group photo. Maka, tidak heran bila kelas berubah menjadi ruang rapat BUMN kecil-kecilan, di mana anak-anak disuruh membuat presentasi tentang pentingnya personal branding sejak usia tujuh tahun. Belum sempat gigi susu mereka luruh, sudah disuruh membuat pitch deck tentang visi hidup lima tahun ke depan.
Guru dengan gelar M.M. bukan tidak boleh mengajar. Tapi izinkan kita bertanya, apa yang sebenarnya sedang dia ajarkan? Apakah dia sedang mengajarkan cara mengelola organisasi sekolah, atau sedang menjual ilusi bahwa semua murid adalah calon CEO dalam balutan kemeja putih dan mimpi korporat? Pendidikan yang semestinya membebaskan kini menjelma menjadi pelatihan kerja massal, di mana nilai-nilai diajarkan dalam format KPI dan hati nurani dikonversi ke dalam grafik SWOT.
Dan para orang tua pun bersorak. “Luar biasa, sekolah kita punya guru S2!” Mereka tidak pernah bertanya S2 apa. Tidak pernah mengecek apakah ilmu itu datang dari keinginan belajar, atau sekadar untuk naik golongan. Bagi mereka, selama seseorang bisa menambahkan satu gelar di belakang nama, maka dia otomatis menjadi manusia yang lebih pantas dipercayai. Lalu mereka akan bilang, “Bagaimana mungkin kamu meragukan dia? Dia itu M.M.!”
Sebentar. Apakah M.M. itu semacam mistik modern yang otomatis membuat seseorang lebih bisa dipercaya daripada orang biasa yang tidak punya gelar? Kalau begitu, mungkin kita perlu bikin alat pendeteksi kualitas moral berbasis gelar: semakin banyak gelar, semakin suci. Akan ada sistem gamifikasi kejujuran nasional, di mana orang dengan tiga gelar bisa masuk jalur cepat pelayanan publik, dan mereka yang hanya lulusan SMA harus diuji keimanannya lewat antrean di kantor pajak. Jangan-jangan, di masa depan, akan muncul produk pembersih hati yang hanya boleh digunakan oleh mereka yang S2, minimal terakreditasi B.
Yang lebih ironis, guru-guru bergelar M.M. ini seringkali tidak bisa mengelola satu hal yang paling penting: dirinya sendiri. Dalam rapat, mereka bicaranya tentang pentingnya kolaborasi tim, tapi di lapangan masih rebutan jadwal piket. Di kelas, mereka ceramah tentang leadership, tapi tidak bisa memimpin murid-murid yang sedang ribut di belakang. Di seminar, mereka tampil gagah dengan template PowerPoint pinjaman, tapi isi pembicaraan hanya daur ulang materi dari kuliah daring yang ditonton separuh sambil rebahan.
Dan ketika kita tanya, “Kenapa Anda mengambil S2 Manajemen?” Jawabannya sangat jujur tapi menyedihkan: “Biar naik pangkat, Mas.” Maka pendidikan tinggi bukan lagi jalan menuju pencerahan, melainkan jalan pintas menuju tunjangan. Keilmuan menjadi alat negosiasi dengan birokrasi, bukan sebagai sarana untuk memahami dunia. Tidak heran jika skripsi dan tesis hanya menjadi proyek sekali pakai: diketik dalam seminggu, dilupakan seumur hidup.
Kini, sekolah bukan lagi ruang belajar, melainkan panggung branding personal. Guru-guru berlomba membuat konten Instagram bertema “guru kekinian,” memakai filter estetik sambil memberi caption pseudo-inspiratif: “Mengajar bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tapi juga soal menanamkan nilai kehidupan.” Padahal, dalam praktiknya, yang ditanam hanya rasa kantuk dan yang dipanen adalah ketidakhadiran. Mereka lebih sibuk membuat konten TikTok edukatif (yang isinya joget dengan teks motivasi) daripada memeriksa PR murid yang menumpuk.
Dan ketika murid bertanya, “Pak, kenapa kita harus belajar ini?” Si guru menjawab dengan wajah penuh kebijaksanaan, “Ini penting untuk masa depan kalian.” Tapi jika ditanya lebih lanjut, “Bagaimana ini akan berguna di dunia nyata?” maka muncullah senyum khas guru yang lupa isi bukunya sendiri: senyum ambigu antara tidak tahu dan tidak peduli. Karena sebenarnya, si guru juga tidak yakin. Yang penting kelas selesai, laporan lengkap, dan ada foto kegiatan untuk dilaporkan ke dinas.
Maka, kita berada dalam situasi absurd: guru S2 yang tidak mengajar dari isi kepala, melainkan dari slide seminar orang lain. Murid yang tidak belajar dari pengalaman, tapi dari lembar kerja yang tidak relevan. Dan sistem pendidikan yang lebih percaya pada jumlah gelar daripada kualitas karakter. Kita hidup di era di mana guru yang baik adalah yang portofolionya padat, bukan pikirannya. Dan murid yang baik adalah yang aktif di ekstrakurikuler, bukan yang aktif berpikir kritis.
Guru S2 M.M. itu adalah lambang zaman. Zaman di mana institusi pendidikan lebih percaya pada format administrasi daripada substansi pengajaran. Di mana rubrik penilaian lebih penting daripada percakapan manusiawi di ruang kelas. Di mana semuanya harus bisa diukur, diberi skor, dan dijadikan grafik. Maka murid-murid pun tumbuh bukan sebagai manusia merdeka, melainkan sebagai data statistik yang bisa dijadikan bahan laporan akreditasi.
Tapi jangan salahkan guru sepenuhnya. Sistemlah yang menciptakan mereka. Sistem yang lebih menghargai guru dengan gelar tinggi daripada guru yang sabar dan tulus. Sistem yang membuat kompetensi diukur dengan jumlah workshop, bukan kualitas dialog. Sistem yang percaya bahwa belajar itu hanya terjadi di ruang kelas, bukan dalam kehidupan nyata. Maka tidak heran jika guru-guru yang sesungguhnya berjuang dari hati malah tersingkir dari sorotan, kalah oleh mereka yang tampil rapi dengan PPT penuh jargon manajerial.
Dan jangan pernah percaya bahwa sistem akan berubah dengan sendirinya. Sistem akan tetap begitu selama kita percaya pada mitos gelar. Selama kita masih bertepuk tangan untuk guru S2 tanpa bertanya “apa isi kepalanya?”, selama kita masih lebih bangga pada sekolah yang banyak banner seminar daripada sekolah yang menumbuhkan keberanian berpikir – selama itu pula kita akan terus mengulang tragedi pendidikan yang menjelma menjadi komedi birokrasi.
Jika kamu bertanya apa ciri khas guru S2 M.M., maka jawabannya bukan pada cara mengajar, melainkan pada cara menyusun proposal kegiatan. Di situlah gelar itu menemukan rumah spiritualnya. Sebab, kemampuan inti dari seorang Magister Manajemen bukan pada manajemen manusia, apalagi manajemen pengetahuan, melainkan manajemen dokumen. Mulai dari proposal kegiatan, laporan pertanggungjawaban, hingga anggaran fiktif untuk lomba futsal yang tak pernah terjadi.
Guru S2 M.M. adalah makhluk yang sangat fasih dalam hal-hal yang tidak penting bagi pembentukan karakter murid, tapi sangat penting bagi keberlangsungan ekosistem anggaran sekolah. Mereka tahu persis cara menyusun kegiatan "Peningkatan Kapasitas Kepemimpinan Siswa Berbasis Kearifan Lokal" yang diadakan di hotel bintang tiga dengan menu buffet dan satu sesi motivasi yang isinya "kalau kamu mau, kamu bisa." Semua peserta pulang dengan sertifikat dan foto bersama, tapi tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan apa itu kearifan lokal atau kenapa mereka harus menjadi pemimpin sejak usia 14 tahun.
Sementara itu, murid-murid yang tidak ikut kegiatan tersebut tetap harus mendengarkan guru yang sama, di kelas yang sama, mengulang materi yang sama yang tidak pernah diperbaharui sejak kurikulum KTSP. Bedanya, sekarang guru itu menyebut dirinya sebagai "fasilitator" karena katanya pendidikan modern tidak boleh otoritatif. Tapi jangan tertipu oleh istilah. Fasilitator ini tetap saja berbicara satu arah selama 40 menit penuh, hanya sekarang dia memulai setiap sesi dengan kata-kata seperti "kita coba eksplor bareng-bareng, ya," lalu langsung membacakan isi buku paket dengan gaya milenial.
Dan ketika evaluasi datang, sekolah-sekolah berlomba memoles angka. Guru-guru S2 itu memimpin rapat tim penjamin mutu, membahas cara menaikkan nilai rata-rata, bukan cara menaikkan kualitas berpikir. Mereka menciptakan sistem remedial yang sangat efisien: jika nilai di bawah KKM, cukup kerjakan satu soal tambahan, langsung lulus. Tidak perlu memahami, apalagi mempertanyakan. Karena dalam sistem ini, angka lebih penting daripada isi, grafik lebih penting daripada pertumbuhan, dan administrasi lebih penting daripada makna.
Lalu, muncullah istilah "sekolah unggulan." Gelarnya boleh macam-macam: Sekolah Adiwiyata, Sekolah Berkarakter, Sekolah Inklusif, Sekolah Ramah Anak, Sekolah Sejuta Visi. Semuanya terdengar seperti taman surga yang dikelola oleh malaikat manajemen. Tapi coba masuk ke dalam kelasnya, dan kamu akan menemukan realitas yang menyakitkan: guru yang mengajar dengan template lama, murid yang mencatat tanpa paham, dan jam pelajaran yang dipenuhi dengan agenda simulasi UN. Bahkan anak kelas satu SD sudah dicekoki latihan soal karena katanya “kita harus siapkan mental kompetitif sejak dini.”
Guru-guru M.M. itu akan berbicara panjang lebar tentang visi pendidikan holistik. Mereka akan menyebutkan istilah seperti “multiple intelligences,” “student-centered learning,” dan “digital literacy.” Tapi pada akhirnya, mereka tetap mengajar dengan metode drill dan worksheet karena katanya “anak-anak kita belum siap kalau dikasih metode diskusi.” Lucunya, guru-guru ini selalu berasumsi bahwa anak-anak bodoh, dan mereka pintar. Tidak pernah sebaliknya. Mereka percaya bahwa anak-anak perlu dibentuk, bukan dibebaskan. Dan dalam proses pembentukan itu, mereka memakai alat cetak yang sudah karatan sejak Orde Baru.
Coba kau duduk diam di satu ruang guru dan dengarkan percakapan mereka. Isinya akan membuatmu berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, Tuhan sedang bercanda ketika menyerahkan masa depan bangsa pada para manusia ini. Mereka akan membicarakan cara mempercepat input nilai ke e-rapor, bukan cara membuat pembelajaran yang bermakna. Mereka akan membahas pelatihan daring dari kementerian, bukan isi pelatihan itu sendiri. Dan ketika waktu istirahat datang, mereka akan menyindir satu sama lain dengan gaya pasif-agresif khas dunia pendidikan: lembut di permukaan, penuh dendam di balik senyuman.
Satu hal yang menggelikan adalah betapa sistem ini sangat mencintai kata "akreditasi." Kata keramat ini mampu mengubah seluruh dinamika sekolah dalam semalam. Ketika tim asesor datang, semua berubah. Taman sekolah dibersihkan, dinding dicat ulang, banner visi-misi diganti dengan versi yang lebih estetik, dan guru-guru mendadak memakai batik dengan ekspresi khusyuk. Di hari-hari biasa mereka datang telat dan mengajar sambil membuka grup WhatsApp, tapi di hari akreditasi mereka berubah menjadi duta besar pendidikan nasional yang siap menjawab segala pertanyaan dengan penuh semangat kebangsaan.
Dan di balik semua kegilaan itu, murid-murid tetap menjadi objek eksperimen. Mereka diajari untuk menghafal, bukan untuk berpikir. Mereka dilatih untuk mengikuti perintah, bukan untuk bertanya. Mereka dicetak untuk menjadi produk yang bisa dipamerkan dalam presentasi kepala sekolah, bukan untuk menjadi manusia utuh yang bisa bertanya, meragukan, dan menolak ketika sistem mulai menindas. Mereka dilatih untuk menjadi alumni yang membanggakan, bukan warga negara yang berani menggugat.
Tapi siapa yang peduli? Selama gelar S2 itu masih bersinar di belakang nama, selama guru itu masih bisa membuat proposal kegiatan tahunan, selama laporan ke dinas bisa disusun dengan rapi – maka semua akan baik-baik saja. Kita akan terus menepuk punggung satu sama lain, saling memberi apresiasi palsu, sambil membiarkan satu generasi tumbuh tanpa daya nalar, tanpa kemampuan bertanya, dan tanpa keberanian bermimpi di luar silabus.
Yang menyedihkan, guru-guru seperti ini tidak merasa bersalah. Mereka merasa telah melakukan tugasnya dengan baik. Mereka percaya bahwa mengajar adalah soal menyelesaikan silabus, bukan membuka cakrawala. Mereka yakin bahwa anak-anak akan sukses jika mengikuti sistem, bukan jika menantangnya. Dan yang paling tragis, mereka percaya bahwa gelar S2 membuat mereka lebih pantas untuk didengar, meski isi ucapannya tidak lebih tajam dari brosur pelatihan motivasi.
Sementara itu, ada guru-guru lain, yang tidak bergelar tinggi, tapi sabar menjelaskan satu konsep matematika sampai muridnya paham. Yang datang lebih pagi daripada kepala sekolah, dan pulang lebih sore dari jadwal. Yang tidak punya Instagram edukatif, tapi punya telinga yang mau mendengar kegelisahan murid. Mereka ini tak pernah diundang ke seminar nasional, tak pernah mendapat piagam apresiasi, dan tentu saja, tak masuk berita. Karena dalam dunia pendidikan kita, yang bersinar bukan yang tulus, tapi yang terdata.
Maka, jangan pernah percaya dengan guru yang S2-nya M.M., jika gelar itu hanya dipakai untuk menambah portofolio, bukan menambah pemahaman. Jangan pernah percaya pada guru yang lebih sibuk menyusun proposal kegiatan daripada menyusun dialog dengan murid. Jangan percaya pada mereka yang fasih bicara tentang visi sekolah, tapi gagap ketika ditanya “apa mimpi muridmu?”
Kita sedang hidup di zaman di mana pendidikan lebih banyak didekorasi daripada dipikirkan. Dan guru-guru bergelar S2 tanpa isi menjadi pelukis dekorasi itu. Mereka menjual citra sekolah unggulan dalam bentuk template PowerPoint dan presentasi penuh animasi, tapi tidak tahu bahwa di dalam kelas, anak-anak hanya menunggu bel berbunyi agar bisa hidup kembali di luar sistem yang membosankan ini.
Jika ingin tahu kenapa guru-guru kita bisa bergelar M.M. tanpa benar-benar menguasai apa-apa, maka kita harus menelusuri jejaknya ke hulu: universitas-universitas yang menjual gelar seperti menjual gorengan di pinggir jalan. Bedanya, gorengan masih bisa mengenyangkan. Sementara gelar M.M. dari universitas instan hanya mengenyangkan ego, sambil melaparkan intelektualitas.
Indonesia adalah surga bagi kampus-kampus yang menawarkan program pascasarjana "ramah ASN," "fleksibel untuk guru," dan "bisa sambil kerja." Kalimat-kalimat manis ini terdengar seperti peluang kedua bagi mereka yang dulu malas belajar, tapi sekarang merasa perlu gelar tambahan demi angka kredit. Maka berbondong-bondonglah para guru ini mendaftar, bukan karena haus ilmu, tapi karena haus angka. Bukan karena ingin memahami manajemen, tapi karena ingin dimanajemeni oleh sistem yang memberi tunjangan berdasarkan ijazah.
Dan kampus-kampus itu pun tak keberatan. Mereka menyambut dengan tangan terbuka, kurikulum longgar, dan dosen tamu yang kadang datang, kadang tidak, tergantung jadwal rapat di tempat lain. Kelas diadakan pada malam hari atau akhir pekan, dengan materi yang bisa ditebak: teori manajemen umum, studi kasus fiktif, dan presentasi kelompok tentang “transformasi organisasi.” Dalam waktu kurang dari dua tahun, lahirlah lulusan-lulusan yang percaya diri membawa gelar M.M., lengkap dengan toga dan foto wisuda yang estetik di Instagram.
Tapi mari kita jujur: sebagian besar dari mereka tidak akan bisa menjelaskan perbedaan antara manajemen strategis dan manajemen operasional tanpa membaca ulang slide dosen. Mereka tidak bisa mendefinisikan ROI tanpa mengernyitkan dahi. Bahkan, jika disodori pertanyaan sederhana seperti “apa peran manajer dalam konteks pendidikan?”, kemungkinan jawabannya akan berupa rangkaian kata-kata manis tanpa makna yang terdengar seperti hasil translasi Google dari TED Talk.
Sialnya, masyarakat kita tidak peduli. Bagi mereka, gelar adalah bukti. Bukan isi, bukan kapasitas, bukan integritas. Cukup tunjukkan M.M. di kartu nama, maka kamu berhak bicara di depan forum, bahkan jika isi omonganmu tidak lebih bergizi dari quote motivasi di belakang bungkus permen. Gelar dijadikan pelindung dari kritik, penjamin kredibilitas, dan kadang juga paspor masuk ke jabatan struktural. Kita hidup di negeri di mana diploma lebih kuat dari logika, dan transkrip nilai lebih suci dari akal sehat.
Dan jangan kira hal ini hanya terjadi pada guru-guru biasa. Banyak kepala sekolah, pengawas, bahkan pejabat dinas pendidikan yang juga memegang gelar M.M. dari kampus yang sama, dengan metode yang sama: beli satu, dapat dua. Mereka membentuk ekosistem gelarisme, saling mengundang ke seminar, saling memberi testimoni, saling menulis kata pengantar buku hasil kompilasi tugas akhir. Mereka hidup dalam simfoni saling puji, saling sanjung, dan saling abaikan isi.
Sesekali mereka akan menyusun konferensi pendidikan, dengan tema besar seperti “Membangun Ekosistem Pembelajaran Abad 21 Berbasis Transformasi Digital dan Nilai Kearifan Lokal.” Lalu hadirlah para pembicara, mayoritas alumni S2 manajemen juga, membawa materi usang dalam template PowerPoint yang sama, hanya dengan transisi yang berbeda. Peserta mendengarkan dengan sopan, mencatat kutipan-kutipan keren yang tidak mereka pahami, dan menunggu sesi dokumentasi untuk bisa update LinkedIn: “Bersyukur bisa belajar langsung dari para praktisi hebat.”
Beginilah wajah pendidikan kita: penuh simbol, miskin substansi. Dipoles, dirias, didekorasi. Sekolah menjadi etalase program, guru menjadi etalase gelar, dan anak-anak menjadi latar belakang foto kegiatan. Tidak ada yang benar-benar ingin belajar. Yang ada hanyalah keinginan untuk terlihat sedang belajar. Sebab di negeri ini, pencitraan adalah kompetensi inti.
Dan jika ada satu dua orang yang berusaha jujur, mempertanyakan sistem, menolak ikut seminar tidak penting, menolak upgrade gelar demi tunjangan – mereka akan dianggap aneh. Mereka akan dikucilkan dari lingkaran proyek. Mereka akan dicap “tidak kooperatif.” Sebab dalam sistem ini, integritas adalah gangguan. Kejujuran adalah ancaman. Berpikir kritis adalah dosa besar yang bisa membuatmu kehilangan kesempatan “berkembang.”
Lucunya, semua ini terjadi dalam sistem pendidikan yang katanya berbasis nilai. Di setiap spanduk sekolah, kamu akan melihat kalimat seperti “Membentuk insan cerdas, berakhlak mulia, dan cinta tanah air.” Tapi di balik kalimat itu, para guru sibuk mengejar angka kredit, para kepala sekolah sibuk mengatur laporan kegiatan, dan para pejabat sibuk menyusun roadmap pendidikan nasional yang isinya sama setiap tahun, hanya beda sampul dan jargon.
Kita telah menciptakan sistem di mana guru bukan lagi pencari kebenaran, tapi pengejar tunjangan. Di mana gelar bukan lagi bukti kedalaman berpikir, tapi sekadar stempel administratif. Dan di mana pendidikan tinggi bukan lagi ruang diskusi kritis, melainkan pabrik ijazah dengan strategi pemasaran agresif: kuliah tanpa skripsi, lulus tepat waktu, gratis seminar internasional (asal mau ikut Zoom dan tidak tanya apa-apa).
Dan jangan salah: mereka yang paling sukses dalam sistem ini akan naik pangkat. Mereka akan jadi pengelola sekolah, lalu dosen luar biasa, lalu pembicara pendidikan di forum nasional. Mereka akan terus mengulang narasi tentang pentingnya inovasi dalam pendidikan, sambil menggunakan materi yang sama selama tujuh tahun. Mereka akan mengutip Paulo Freire, tapi tidak pernah membaca bukunya. Mereka akan mengutip Ki Hajar Dewantara, tapi tidak tahu bahwa sang tokoh pernah menulis dengan amarah tentang sekolah-sekolah yang memproduksi jongos intelektual.
Jadi jika kamu bertanya, mengapa kita tidak pernah benar-benar maju dalam pendidikan, inilah jawabannya: karena kita mempercayai gelar, bukan gagasan. Karena kita mengira bahwa S2 adalah tanda kebijaksanaan, bukan tanda bahwa seseorang punya waktu dan uang lebih. Karena kita menyangka bahwa pendidikan adalah soal sertifikat, bukan soal keberanian untuk berpikir dan bertanya.
Dan di tengah semua itu, murid-murid tetap tumbuh. Mereka tumbuh dalam kebingungan. Diajarkan untuk menghormati guru, tapi melihat guru yang sibuk rapat dan seminar. Diajarkan untuk mencintai ilmu, tapi melihat pelajaran sebagai hukuman. Diajarkan untuk berpikir kritis, tapi setiap pertanyaan dianggap pembangkangan. Mereka belajar sejak kecil bahwa pendidikan bukanlah tentang pembebasan, tapi tentang kepatuhan.
Kita menanam ilusi, memanen kebingungan. Dan kita tepuk tangan atas panen itu.


0 Komentar