Di dalam tradisi intelektual Islam, kebodohan bukan sekadar kekosongan informasi. Ia adalah kegelapan yang menolak cahaya ketika pintunya diketuk. Ia adalah mesin kapal yang sengaja dimatikan saat ombak tinggi, lalu seluruh penumpang dipaksa menanggung resiko karam. Karena itu Al-Qur’an menghubungkan kebodohan dengan bahaya sosial: ketika akal tidak dipakai, pendengaran ditutup, dan hati diabaikan, manusia berada “lebih sesat dari ternak” (parafrasa dari Al-Furqān 25:44); dan “makhluk terburuk” adalah mereka yang tuli dan bisu terhadap kebenaran (parafrasa dari Al-Anfāl 8:22). Dua ayat ini bukan sekadar teguran teologis; ini peta bahaya. Islam mengingatkan bahwa kebodohan, terutama yang dipelihara, dapat menyusahkan dan membahayakan orang lain.
Bayangkan sebuah kota di malam hari. Lampu-lampu jalan adalah ilmu; rambu lalu lintas adalah adab; polisi tidur adalah peringatan agar melambat; dan peta kota adalah wahyu. Kebodohan adalah ketika seseorang menolak menyalakan lampu, menabrak rambu, melewati polisi tidur dengan sombong, dan menyobek peta, lalu bertanya mengapa orang-orang celaka. Kita semua tinggal di kota yang sama: keluarga, tempat kerja, masyarakat. Kecelakaan yang disebabkan oleh satu pengemudi lalai bisa menyeret banyak nyawa. Demikian pula satu keputusan bodoh terlebih bila diambil oleh orang yang punya pengaruh, bisa memantik gelombang mudarat.
Kebodohan, dalam kaca mata ulumuddin, punya lapisan. Ada jahl basīth, ketidaktahuan sederhana: seseorang tidak tahu, lalu ia bertanya. Ini tidak tercela, bahkan mulia ketika disertai kerendahan hati. Lalu ada jahl murakkab, ketidaktahuan majemuk: seseorang tidak tahu tetapi merasa tahu, bahkan mengolok-olok penjelasan. Di sinilah kebodohan mulai berbahaya, sebab ia mengunci pintu hidayah dari dalam. Seperti kapal yang bukan hanya mematikan mesin, tetapi juga menutup kompas, menolak sinyal radio, dan menyuruh penumpang percaya pada ombak. Ketika kebodohan berubah menjadi sikap keras kepala yang menyusahkan, ia tidak lagi menjadi persoalan privat; ia menumpahkan resikonya ke ruang publik.
Mengapa Islam begitu menekankan penggunaan akal? Karena akal adalah amanah. Dengan akal, manusia diminta membaca tanda-tanda (āyāt) di langit dan bumi, menimbang alasan, menilai konsekuensi. Wahyu tidak datang untuk mematikan akal, tetapi menjadi matahari yang menolong akal melihat lebih jauh. Tanpa matahari, mata tidak berfungsi; tanpa akal, wahyu dipelintir. Maka kebodohan bukan semata ketidakmampuan intelektual, melainkan pengkhianatan etis terhadap amanah berfikir. Ketika kebodohan bersekutu dengan nafsu, lahirlah keputusan yang melukai orang lain, dari yang sederhana, seperti menyebar kabar tanpa tabayyun hingga yang rumit, seperti kebijakan publik yang gegabah, atau fatwa instan yang tak berbasis ilmu.
Salah satu metafora yang menolong kita memahami bahaya kebodohan adalah “jembatan”. Bayangkan sebuah jembatan yang menghubungkan dua pulau: satu pulau adalah niat baik, pulau lainnya adalah manfaat nyata. Ilmu rekayasa dan adab adalah pilar-pilar jembatan. Kebodohan adalah ketika pilar-pilar itu dihemat, diganti kayu rapuh, atau bahkan tak dibuat sama sekali karena “yang penting cepat.” Orang pertama yang melintas mungkin selamat, tetapi rombongan di belakang akan jatuh ke sungai. Sebuah kebaikan tanpa ilmu acap berubah menjadi bencana, bukan karena niatnya buruk, tetapi karena perangkatnya rapuh. Di sini kita menangkap hikmah kalimat para ulama: niat ikhlas itu perlu, tetapi tidak cukup; ia mesti ditemani ilmu yang benar dan cara yang baik.
Kebodohan juga sering menyamar sebagai keberanian. Ia berdiri di tebing, menepuk dada, lalu melompat tanpa parasut, sembari berteriak kepada orang banyak agar ikut melompat. Di era media sosial, ini semakin mudah. Satu kalimat “yakin” yang bodoh bisa berlari lebih cepat daripada seribu argumen cermat. Seperti api kecil yang bertemu angin kencang, kebodohan menyebar sebagai sensasi. Orang menyukainya karena tampak heroik, sederhana, dan tegas; padahal sebuah ketegasan bodoh sering kali lebih mematikan daripada keraguan yang beradab. Islam tidak anti ketegasan, tetapi menuntut bahwa ketegasan harus lahir dari pengetahuan dan tanggung jawab. Ketika Nabi mendorong tabayyun (Al-Ḥujurāt 49:6, diparafrasa), itu bukan sekadar etika komunikasi; itu sistem pemadam kebakaran sosial. Tabayyun adalah menjinakkan api sebelum ia melalap rumah orang lain.
Sekarang mari kita lihat bagaimana kebodohan menyusahkan orang lain dalam lingkup-lingkup kehidupan. Dalam keluarga, kebodohan bisa tampil sebagai otoritarianisme tanpa ilmu. Orang tua menolak belajar perkembangan anak, lalu marah ketika anak tumbuh dengan luka batin. Suami istri menolak memahami fiqh keluarga, lalu menuntut dengan dalil setengah hafal yang diambil keluar konteks. Di sini kebodohan menjadi palu yang memukul kaca hati. Dalam pekerjaan, kebodohan tampil sebagai ketergesaan. Keputusan diambil tanpa data, tanpa mendengar ahli, tanpa mengukur resiko lalu satu divisi menanggung kegagalan, jam lembur, bahkan nama baik perusahaan runtuh. Dalam masyarakat, kebodohan tampil sebagai penghakiman massal, teori konspirasi, dan penghakiman moral yang tak kenal proses. Seorang yang dituduh, walau tidak bersalah, telah kehilangan martabatnya di ruang publik. Kebodohan memproduksi korban, sementara pelakunya merasa pahlawan.
Ada pula kebodohan yang mewah: kebodohan yang percaya diri. Ia menyangka semua masalah punya jawaban satu kalimat. Padahal syariat punya kaidah “ahkām berubah dengan perubahan waktu, tempat, keadaan, dan adat” di bawah pengawasan dalil dan maqāṣid. Tanpa ilmu, orang melompat dari dalil ke putusan seperti menyeberang sungai tanpa batu pijakan, akhirnya ia hanyut bersama arus simplifikasi. Kaum cendekia di sepanjang sejarah Islam dari fuqahā’ hingga mutakallimīn, dari ahli hadis hingga sufi yang waras, menekankan kompleksitas yang beradab: ada hirarki dalil, ada prioritas maslahat, ada kehati-hatian metodologis. Kebodohan menolak semuanya, sebab kebodohan tidak suka proses. Ia lebih menyukai jalan pintas dan kata-kata besar.
Di titik ini, kita memahami mengapa kebodohan dibenci Allah. Bukan karena Allah alergi terhadap orang awam atau orang yang sedang belajar; justru Al-Qur’an memuliakan penuntut ilmu dan memerintahkan bertanya kepada ahli (An-Naḥl 16:43, diparafrasa). Yang dibenci adalah sikap mematikan alat pencarian: telinga tidak lagi mendengar argumen, mata tidak lagi membaca tanda, hati tidak lagi menimbang. Orang seperti ini bukan sedang berjalan di jalan yang gelap; ia menolak menyalakan lampu, lalu memaksa orang lain berjalan di belakangnya. Di sinilah kebodohan menjadi ancaman publik: ia menafsirkan dunia semaunya, menghalalkan “kebaikan” tanpa cek resiko, dan menyebar dengan cepat karena retorikanya mudah—seperti makanan cepat saji bagi pikiran yang lapar.
Bayangkan kembali metafora GPS dan kabut. Hidup adalah perjalanan di jalanan yang kadang berkabut. Wahyu adalah peta paling akurat; akal adalah perangkat navigasi yang menafsirkan peta sesuai medan; ilmu manusia adalah pembaruan peta-peta kecil yang membantu perjalanan lebih presisi; adab adalah aturan lalu lintasnya. Kebodohan, ketika ia sengaja, mematikan semuanya, lalu menyalahkan kabut. Ia tidak menyadari bahwa kabut bukan musuh; kabut adalah pengingat agar kita menyalakan lampu, melambat, dan menjaga jarak. Kebodohan tidak tahan pada ritme pelan tetapi selamat; ia mencintai ngebut yang mengundang celaka. Karena itu, kebodohan secara struktural membuat orang lain ikut beresiko: anak-anak yang tidak punya kuasa, rekan kerja yang bergantung pada keputusan atasan, masyarakat yang menerima dampak kebijakan, bahkan generasi mendatang yang mewarisi sistem rapuh.
Dalam bahasa etika, kebodohan yang menyusahkan orang lain adalah buah dari keangkuhan epistimologis, kesombongan dalam cara mengetahui. Ia percaya bahwa sumber pengetahuannya cukup, padahal keranjangnya bocor. Untuk mengobati ini, Islam meletakkan kombinasi terapi: tazkiyah (penyucian hati dari sombong), ta’līm (pengajaran yang berjenjang), dan mujāhadah (ketekunan melawan hawa nafsu). Tazkiyah menurunkan ego, agar telinga mau mendengar. Ta’līm mengisi akal dengan peta yang sahih, dari kaidah dasar hingga perincian. Mujāhadah melatih konsistensi, sebab ilmu tanpa istiqāmah hanya menjadi koleksi kutipan. Tanpa tiga ini, kebodohan akan kembali memegang tongkat komando; ia mungkin kalah sehari oleh semangat, tetapi menang seminggu karena kebiasaan.
Kita juga perlu membedakan antara kesalahan yang jujur dan kebodohan yang sengaja. Kesalahan jujur adalah ketika seseorang, setelah memeriksa sebaik mungkin, masih juga keliru. Ia terbuka terhadap koreksi, berterima kasih ketika dibenarkan, lalu memperbaiki dampak yang muncul. Kebodohan sengaja adalah ketika seseorang tidak mau memeriksa, dan ketika terbukti salah, ia memelintir fakta agar terlihat benar. Yang pertama akan melahirkan pembelajaran dan kepercayaan sosial; yang kedua melahirkan luka dan sinisme. Kejujuran intelektual bukan sekadar sikap personal; itu modal sosial untuk bekerja sama. Masyarakat yang tidak bisa mengakui kesalahan akan hidup dengan tumpukan bom waktu: kebijakan yang tidak dievaluasi, narasi yang terus dipaksakan, dan generasi yang belajar bahwa menipu lebih aman daripada mengaku salah.
Al-Qur’an mengajarkan prinsip tabayyun, memeriksa kabar sebelum bertindak sebagai pagar pengaman. Dalam praktiknya, tabayyun adalah seperangkat kebiasaan: bertanya “dari mana sumbernya?”, “bagaimana metodenya?”, “apa dampaknya?”, “adakah pendapat ahli yang berbeda?” Ini bukan relativisme; ini keseriusan dalam menimbang. Ulama menetapkan kaidah “al-jarḥ wa at-ta’dīl” dalam ilmu hadis untuk menilai kredibilitas perawi; masyarakat modern mengembangkan peer review untuk karya ilmiah. Intinya sama: mencegah kebodohan menyamar sebagai kebenaran. Ketika pagar ini roboh, orang baik pun bisa berubah menjadi perpanjangan tangan kebodohan, membawa pesan tanpa verifikasi, memberi “nasihat” yang menyakiti, atau meneriakkan “amar ma’ruf” tanpa fiqh prioritas. Maka benar kata bijak para guru: orang bodoh yang semangat bisa lebih berbahaya daripada orang pintar yang malas, sebab energi tanpa arah menabrak terlalu banyak hal.
Salah satu cara kebodohan merusak adalah melalui bahasa. Ia mengubah kata menjadi senjata, bukan jembatan. Ia menebar label dan stigma agar kompleksitas runtuh, lalu manusia dilihat sebagai kartun dua dimensi: “baik” atau “jahat”, “beriman” atau “sesat.” Padahal manusia adalah medan belajar, bukan target tembak. Nabi mengajarkan kelembutan bahkan kepada orang yang kasar, karena kelembutan adalah teknologi perubahan hati. Ketika kebodohan menguasai bahasa, diskusi menjadi adu pukul. Tidak ada argumen, hanya suara keras. Banyak orang tidak menyadari bahwa volume bukan validitas. Debat yang gaduh tapi bodoh seperti petir tanpa hujan: berisik, tetapi ladang tetap kering. Islam mengajarkan qaulan balīghā kata yang sampai bukan sekadar kata yang keras. Kata yang sampai adalah kata yang mendapat izin dari akal dan hati lawan bicara; ia melewati pintu logika dan adab.
Di wilayah kebijakan, kebodohan kolektif lebih menakutkan. Bayangkan bendungan yang retak. Retaknya kecil, tetapi air yang ditahan begitu besar. Kebijakan yang bodoh ibarat tukang yang menutup retak dengan cat, bukan dengan perbaikan struktur. Sebentar terlihat bagus, tetapi tekanan air bekerja diam-diam. Ketika bendungan jebol, desa-desa di hilir tenggelam. Demikianlah kebijakan yang sembarang, apalagi bila berbalut klaim religius tanpa ilmu. Ia mungkin memuaskan sebagian orang hari ini, tetapi esok merobohkan keadilan. Di sinilah pentingnya musyawarah dan mendengar ahli. Al-Qur’an memuji orang yang urusannya diputuskan dengan musyawarah—bukan karena demokrasi sebagai slogan, tetapi karena musyawarah meminimalkan kebodohan personal dengan menambah sudut pandang. Seperti kapal yang menambah mata di geladak, menambah sonar di lambung, menambah peta cuaca di anjungan.
Ada keberatan yang sering muncul: “Tetapi bukankah Allah Mahapengampun? Mengapa keras terhadap kebodohan?” Jawabnya: benar Allah Maha Pengampun kepada hamba yang kembali. Namun ampunan ilahi tidak menghapus hukum akibat di dunia. Api akan tetap membakar, meskipun kita menyesal menyalakannya. Karena itu Islam mengajarkan ihtiyāṭ kehati-hatian agar tidak membakar. Allah mengasihi hamba-Nya, maka Dia menurunkan panduan. Teguran keras Al-Qur’an terhadap kebodohan adalah bentuk kasih sayang: agar kita menepi sebelum jurang. Ketika seorang ayah berteriak keras saat anaknya hampir tertabrak, itu bukan kebencian; itu cinta yang tahu resiko.
Lebih halus lagi, kebodohan sering bersekutu dengan kemalasan. Keduanya seperti dua saudara. Malas membaca lalu bodoh. Malas bertanya lalu menebak. Malas berdialog lalu memaki. Sementara ilmu menuntut kesabaran. Para ulama tidak lahir dari gulungan karpet merah; mereka tumbuh dari malam-malam panjang, dari catatan yang kusut, dari perjalanan jauh untuk satu hadis. Tradisi ini mengajar kita bahwa harga keselamatan sosial adalah kesungguhan intelektual. Tidak semua orang harus menjadi ulama, tetapi semua orang harus beradab kepada ilmu. Ketika masyarakat menghormati ilmu, kebodohan kehilangan panggung. Ketika masyarakat memuliakan sensasi, ilmu menyingkir, dan panggung diserahkan kepada aktor-aktor kebodohan yang pandai berperan, bukan pakar yang memahami.
Mari tengok metafora terakhir: mercusuar. Di tepi samudra berdiri menara yang memancarkan cahaya agar kapal-kapal tidak menabrak karang. Mercusuar tidak memaksa kapal; ia sekadar memberi arah. Ilmu dan adab adalah mercusuar masyarakat. Ketika kebodohan mengejek mercusuar menuduhnya kuno, membosankan, atau “tidak relevan” kapal-kapal tergoda menantang gelap. Mereka tidak tahu bahwa karang tidak peduli pada keberanian; karang hanya melakukan tugasnya: menghancurkan badan kapal yang sombong. Dalam sejarah, banyak komunitas hancur bukan karena musuh di luar, tetapi karena sikap anti-mercusuar di dalam: meremehkan peringatan, mengabaikan prosedur, memperolok orang yang mengingatkan. Islam mengajarkan kita untuk menjadi penjaga cahaya itu, setia menyalakan lampu meski gelombang kritik memukul dinding menara.
Jadi bagaimana mencegah kebodohan yang menyusahkan orang lain? Jawaban pendeknya: hidupkan akal dalam cahaya wahyu. Jawaban panjangnya adalah perjalanan. Mulailah dari niat: menuntut ilmu sebagai ibadah, bukan senjata untuk menang debat. Lalu tertibkan metodologi: baca yang mendasar sebelum yang rumit; kenali otoritas ilmu; pahami maqāṣid agar tidak tergelincir pada huruf-huruf yang melukai konteks. Latih telinga untuk mendengar pendapat yang berbeda tanpa segera menyalakan alarm marah. Latih lidah untuk berkata “saya belum tahu” sebagai kalimat yang bermartabat, bukan aib. Bangun komunitas yang saling mengingatkan dengan cara yang lembut: kritik yang meneduhkan, bukan mempermalukan. Di ruang publik, prajurit kebenaran bukan yang paling lantang, tetapi yang paling setia pada proses kebenaran pelan, pasti, dan berani mengakui kekeliruan.
Kita juga perlu menata hubungan antara ilmu dan kasih. Pengetahuan tanpa kasih ibarat pisau bedah di tangan orang asing tajam, tetapi dingin. Kasih tanpa pengetahuan seperti pelukan kepada anak yang demam tanpa memberinya obat, seakan hangat, tetapi abai. Islam menginginkan keduanya: pengetahuan yang berkasih, kasih yang berpengetahuan. Dengan itu, nasihat menjadi pengobatan, bukan vonis; kebijakan menjadi perlindungan, bukan jebakan; dakwah menjadi ajakan yang memanusiakan, bukan pawai yang menakutkan. Ketika hati luluh oleh kasih, akal cenderung lebih jernih; ketika akal jernih, kasih menemukan cara yang tepat. Kebodohan pecah di antara dua arus ini, karena kebodohan hidup dari keangkuhan tanpa empati atau dari empati tanpa arah.
Pada akhirnya, kebodohan yang menyusahkan dan membahayakan orang lain adalah bentuk kezhaliman. Ia merampas hak orang untuk hidup dalam ketertiban dan keselamatan. Zhalim kadang hadir dalam wujud gemerlap: jargon, slogan, “gerakan”, atau “pembenaran agama” yang tidak dicukupkan oleh ilmu. Namun Al-Qur’an mengajari kita cara melihat di balik gemerlap: apakah akal dipakai? Apakah telinga mendengar? Apakah hati menimbang? Apakah cahaya wahyu dijadikan peta, atau hanya bendera? Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana, tetapi menyelamatkan. Seperti nelayan tua yang tahu membaca bintang: ia tidak membutuhkan banyak drama; ia butuh arah yang benar.
Maka, jika kita bertanya mengapa Allah tidak menyukai kebodohan, terutama kebodohan yang menyusahkan dan membahayakan orang lain, jawabannya terang: karena kebodohan mengkhianati amanah akal, menutup pintu hidayah, dan merusak kemaslahatan. Ia merampas keselamatan banyak orang demi kenyamanan segelintir ego. Dua ayat tadi Al-Furqān 25:44 dan Al-Anfāl 8:22 adalah sirine moral. Mereka memanggil kita untuk bangun, menyalakan lampu, meniti jembatan yang benar, dan menjadikan ilmu bukan aksesori, melainkan perangkat keselamatan.
Barangkali kita tidak bisa menghentikan seluruh kebodohan di dunia, tetapi kita bisa memutus rantai kebodohan pada diri sendiri. Hari ini, pilih satu perkara yang selama ini kita “yakin”, lalu telusuri dasarnya. Jika ternyata rapuh, benahi. Jika ternyata kuat, perkuat adabnya. Minta ampun ketika salah; ucapkan terima kasih kepada yang mengoreksi; kembalikan hak orang yang terlanjur kita rugikan. Bukan karena kita ingin terlihat suci, melainkan karena keselamatan bersama bergantung pada kejujuran kita. Seperti mercusuar yang tidak punya tepuk tangan, tugas kita hanya satu: terus menyalakan cahaya, agar kapal-kapal yang kita cintai tidak menabrak karang.
Dan pada ujung tulisan ini, kita mohonkan doa yang pelan namun pasti dikabulkan-Nya: Ya Allah, hidupkan akal kami dalam cahaya wahyu-Mu; bersihkan hati kami dari sombong yang menolak kebenaran; ajari lisan kami untuk berkata “aku tidak tahu” ketika tidak tahu; dan jadikan ilmu kami selimut bagi sesama, bukan pedang yang melukai. Bila kami tergelincir karena kebodohan, kembalikan kami sebelum orang lain tersakiti oleh langkah kami. Karena Engkaulah sebaik-baik Penuntun, dan kami hanyalah musafir yang membutuhkan lampu di tepi malam.


0 Komentar