Melanjutkan obrolan kita tentang kebodohan sebagai ancaman sosial pada postingan (disini), banyak orang kemudian bertanya: kalau kebodohan itu menyusahkan dan membahayakan orang lain, apakah “sifat inklusif” berarti membuka pintu selebar-lebarnya hingga semua pendapat, betapapun rapuhnya diterima begitu saja? Di sinilah sering terjadi simpang-siur makna. Inklusif disalahpahami sebagai sikap permisif tanpa nalar, sementara kebodohan kerap menyamar sebagai keramahan yang ramah kepada segala hal, padahal diam-diam menutup akal. Agar jalan kita tidak kabur, kita perlu memisahkan dua arus besar ini: kebodohan dan sifat inklusif. Keduanya sama-sama tampak “hangat” pada pandangan pertama, tetapi satu berasal dari lampu senja yang meredupkan jarak pandang, sedangkan yang lain memantulkan cahaya matahari melalui jendela yang bersih. Yang satu mengajak orang berjalan di jalan tanpa rambu, yang lain mengundang banyak pejalan untuk melalui rute yang aman dengan aturan yang jelas.
Kebodohan, kita sepakati, bukan sekadar kurang informasi. Ia terutama adalah kemauan menutup pintu pendengaran, penglihatan, dan hati ketika kebenaran mampir. Dalam wujud sosial, kebodohan gampang menjelma menjadi keyakinan buta yang keras, atau justru menjadi kebaikan palsu yang cair tanpa bentuk. Dalam kedua wajahnya, korban yang jatuh selalu sama: akal sehat bersama. Sifat inklusif, sebaliknya, bukanlah pengingkaran terhadap kebenaran atau relativisme yang membiarkan setiap klaim berdiri tanpa koreksi; melainkan cara membuka ruang perjumpaan antarmanusia agar cahaya kebenaran bisa bekerja tanpa hambatan. Inklusif berarti menyiapkan kursi untuk yang berbeda agar boleh duduk dalam majelis pencarian, sembari menjaga agar pintu tidak berubah menjadi jurang. Ia menghormati martabat semua, tetapi tidak memuliakan semua gagasan dengan derajat yang sama. Ia ramah kepada orang, namun tegas terhadap bukti. Jika kebodohan mematikan GPS dan menyalahkan kabut, inklusif menyalakan lampu jarak jauh, memperlambat laju ketika pandangan terhalang, dan mengajak semua orang di kendaraan untuk saling menjaga kewaspadaan.
Metafora yang bisa menolong adalah ruang kelas yang baik. Di ruang kelas, semua murid disambut, bahkan murid yang tertinggal diberi perhatian. Tetapi ruang kelas yang inklusif tidak membuang kurikulum. Guru yang inklusif tidak mengubah matematika menjadi opini; ia justru menjelaskan konsep dengan cara-cara yang bisa dipahami oleh beragam tingkat kemampuan. Ada murid visual, ada murid auditorial, ada yang belajar lewat praktik. Inklusif memberi cara masuk yang beragam, bukan menurunkan standar kebenaran. Kebodohan, sebaliknya, adalah ketika kelas menjadi kerumunan tanpa ujian, tanpa tugas, tanpa umpan balik, hanya tepuk tangan dan slogan “semua benar menurut versimu”. Murid pulang penuh percaya diri, tetapi kosong dari alat untuk menghitung, menalar, dan mengambil keputusan. Masyarakat yang membiarkan inklusif berubah menjadi kebodohan akan kehilangan kompas dan jam sekaligus: tidak tahu arah, tidak tahu waktu, akhirnya tersesat dengan santun.
Dalam horizon Islam, sifat inklusif bertumpu pada tiga tonggak: kemuliaan manusia, keluasan rahmat, dan tanggung jawab akal. Kemuliaan manusia mengandaikan bahwa setiap pribadi, terlepas dari latar belakangnya, memiliki kehormatan yang tidak boleh diinjak. Ini menjadikan diskusi dan perjumpaan sebagai kebun yang dirawat, bukan medan tempur untuk mempermalukan. Keluasan rahmat mendorong kita untuk mengundang seluas mungkin orang agar merasakan teduhnya pohon kebenaran, juga mengerti bahwa proses mendekati cahaya sering bertahap. Tanggung jawab akal memastikan bahwa undangan itu tidak kehilangan arah: yang dikembangkan bukan sekadar rasa nyaman, melainkan keterhubungan yang dituntun oleh dalil yang benar, nalar yang lurus, dan adab yang menuntun. Ketika tiga tonggak ini bekerja bersama, inklusif menjadi jembatan yang kokoh: banyak orang bisa lewat, beban berat bisa ditopang, dan air deras di bawah tidak mampu menggerus kaki-kaki pendukungnya. Tanpa salah satu tonggak, jembatan akan retak: jika kemuliaan manusia hilang, inklusif berubah menjadi elitisme; jika keluasan rahmat hilang, inklusif menjadi pagar besi yang mencegat; jika tanggung jawab akal hilang, inklusif berubah menjadi kebodohan yang bersolek ramah.
Perbedaan paling tajam antara kebodohan dan inklusif tampak pada cara mereka memperlakukan “batas”. Kebodohan sering merasa alergi terhadap batas. Ia menganggap semua pagar sebagai ancaman, semua aturan sebagai belenggu, semua penilaian sebagai diskriminasi. Ia lupa bahwa batas bisa menjadi pagar pengaman di tepi jurang. Inklusif, justru karena ingin menyelamatkan sebanyak mungkin orang, bernegosiasi cermat dengan batas. Ia menata jalur antrian, menulis rambu, memasang lampu, dan menempatkan relawan di sudut-sudut rawan. Ia tidak memukul orang yang melanggar, tetapi juga tidak membiarkan pelanggaran menjadi normal. Kebodohan menukar rambu dengan balon warna-warni; inklusif mengganti pagar kawat berduri dengan pagar setinggi pinggang yang indah, disertai penjelasan mengapa pagar itu perlu. Perbedaan ini terdengar kecil, tetapi dampaknya besar: satu sisi memproduksi euforia yang cepat redup, sisi lain memelihara ketertiban yang tahan lama.
Inklusif yang benar adalah seni menyeimbangkan ketegasan prinsip dengan kelembutan pendekatan. Ia menolak dua ekstrem: eksklusivisme yang menutup pintu dialog, dan relativisme yang membuang kebenaran bersama-sama dengan pintunya. Di dalam seni ini, adab menjadi maestro. Adab mengajari kapan harus berbicara, kapan harus mendengar, bagaimana memilih kata agar sampai ke hati, dan bagaimana menahan diri ketika emosi menuntut kemenangan cepat. Kebodohan tidak sabar dengan ritme ini. Ia menyukai jawaban satu kalimat untuk masalah seribu halaman. Ia memuja ketegasan tanpa beban argumentasi, atau memuja keramahan yang membatalkan konsekuensi. Padahal kehidupan bersama selalu menuntut keputusan: siapa yang dilindungi ketika dua hak bertabrakan, bagaimana memprioritaskan ketika sumber daya terbatas, bagaimana mengelola perbedaan tanpa menggadaikan kebenaran. Inklusif bekerja di wilayah-wilayah rumit ini dengan napas panjang, kebodohan mengamuk sebentar lalu pergi meninggalkan reruntuhan.
Mari kita bayangkan taman kota. Taman yang inklusif memiliki jalur kursi roda, permainan anak yang aman, tempat duduk bagi lansia, dan papan informasi yang ramah. Tidak semua jenis permainan dimasukkan; ada pilihan yang dilakukan berdasarkan keselamatan, usia, dan manfaat. Inklusif berarti lebih banyak orang bisa menikmati taman tanpa saling mengganggu. Kebodohan mungkin mencaci pembuat kebijakan karena tidak mengizinkan permainan ekstrem di tengah kerumunan, atas nama kebebasan yang tak berbatas. Tetapi ketika kecelakaan terjadi, kebodohan berlindung di balik kalimat “kan semua ikut senang”. Inklusif bertanya lebih jauh: apakah “senang” itu adil, berkelanjutan, dan tidak membahayakan pihak yang paling rentan? Perbedaan fokus ini menentukan arah: kebodohan terpukau pada momen; inklusif setia pada keselamatan jangka panjang.
Di ruang wacana, inklusif memelihara perbedaan tanpa menetralkan kebenaran. Ia mengundang kritik dan menyediakan mekanisme koreksi. Ketika argumen dilontarkan, inklusif tidak terburu-buru melabeli lawan, tetapi juga tidak menyerahkan panggung kepada klaim tanpa evidensi. Ia mengajukan pertanyaan yang memeriksa cara sampai pada kesimpulan: dari mana datanya, bagaimana metodenya, sejauh mana validitasnya. Jika muncul pandangan yang berkebalikan, inklusif memberi kesempatan tampil, bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu yang sensasional, melainkan untuk menolong publik menilai kekuatan alasan. Ini persis kebalikan kebodohan yang mudah tersihir oleh retorika. Kebodohan menilai argumen dari volume suara, panjang gelar, atau jumlah pengikut. Inklusif menilai dari keterujian premis, konsistensi logika, dan kesiapan menerima koreksi. Bila kebodohan jatuh cinta pada “tokoh”, inklusif jatuh cinta pada “proses”.
Dalam tradisi keilmuan Islam, inklusif yang matang dapat kita lihat pada cara para ulama berdebat. Mereka mengutip lawan dengan adil, menyebutkan argumentasi yang sebenarnya, lalu menanggapinya dengan dalil yang setara. Mereka membuka celah: “seandainya Anda maksud begini, maka jawabannya begini; jika maksudnya begitu, maka jawabannya begitu.” Ini bukan basa-basi, tetapi adab ilmiah agar kebenaran tidak dimenangkan dengan cara yang merusak kebenaran itu sendiri. Kebodohan, sebaliknya, suka membuat patung jerami dari lawannya: menyederhanakan pendapat berbeda menjadi karikatur yang mudah dipukul. Perdebatan memang terlihat singkat dan “menang telak”, tetapi kemenangan itu semu. Publik pulang dengan kesan bahwa menang adalah soal lihai memelintir, bukan soal setia pada bukti. Inklusif menganggap kalah berargumen sebagai kesempatan belajar, kebodohan menganggapnya sebagai aib yang harus ditutup dengan cemooh.
Membedakan kebodohan dan inklusif juga menuntut kita memahami relasi antara cinta dan batas. Cinta tanpa batas bisa berubah menjadi bencana ketika menyentuh wilayah kezaliman. Bayangkan seseorang yang mengaku “cinta damai” lalu membiarkan perundungan terjadi demi “tidak bikin ribut”. Itu bukan damai, itu pembiaran. Inklusif yang sejati mencintai damai, tetapi tahu kapan harus berkata “cukup” kepada perilaku yang mencederai. Ia membela yang lemah bukan dengan teriakan kosong, melainkan dengan aturan yang melindungi. Ia mengupayakan rekonsiliasi, tetapi tidak memaksa korban memaafkan tanpa pemulihan. Kebodohan merasa bahwa setiap ketegasan adalah permusuhan, padahal ketegasan kadang-kadang adalah bentuk tertinggi dari cinta: menegakkan batas agar semua orang tetap punya ruang aman. Di sini, akal menerima mandatnya: menimbang konsekuensi, menyusun prioritas, membedakan antaran “orangnya” yang dimuliakan dan “perbuatannya” yang bisa salah.
Ada anggapan bahwa inklusif adalah soal “perasaan baik”. Padahal inklusif membutuhkan keterampilan kognitif dan emosional yang rumit. Ia memerlukan kemampuan mendengar aktif, membaca konteks, dan menunda vonis. Ia mengajak kita untuk menyelami alasan di balik sebuah sikap, memahami latar yang membentuk seseorang, lalu menilai tindakannya dengan kacamata adil. Adil memang mahal, tetapi tanpa adil, inklusif hanyalah slogan lembut yang akhirnya menjerumuskan. Kebodohan sering memilih jalan pintas: menggeneralisasi dari satu contoh, menolak nuansa, menukar penelitian panjang dengan kutipan tunggal yang mendukung posisi pribadi. Inklusif, karena bekerja di bawah cahaya kebenaran, tidak tergoda oleh kecepatan. Ia tahu bahwa menenun persaudaraan butuh waktu, sebagaimana menanam pohon butuh musim. Ia mengerti bahwa perubahan yang tahan lama terjadi ketika orang merasa dihargai sekaligus dibimbing, bukan ketika mereka dipermalukan atau dibiarkan.
Di tingkat komunitas, inklusif adalah arsitektur. Ia merancang forum-forum di mana warga dapat berbicara tanpa takut, tetapi juga harus mendengar. Ia menata mekanisme pemilihan, pembagian tugas, dan evaluasi kerja agar suara minoritas tidak ditelan, sembari memastikan keputusan tetap diambil berdasarkan pengetahuan terbaik yang tersedia. Kebodohan, di sisi lain, beroperasi seperti pasar malam: ramai, terang, penuh hiburan, tetapi esok pagi menimbulkan sampah di mana-mana. Ia senang pada pawai, poster, dan yel-yel, tetapi gagap ketika diminta menyusun program yang terukur. Inklusif tidak anti perayaan, tetapi ia selalu bertanya: apa yang akan tersisa setelah lampu dimatikan? Di mana data yang harus dikumpulkan, apa indikator keberhasilan yang disepakati, bagaimana kita memperbaiki bila hasilnya tidak sesuai harapan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah vaksin terhadap kebodohan; ia mendorong masyarakat bergerak dari retorika ke realita.
Pada level pribadi, membedakan kebodohan dan inklusif dimulai dari kebiasaan kecil sehari-hari. Ketika mendengar kabar, apakah kita menyebarkan terlebih dahulu atau memeriksa terlebih dahulu? Ketika berbeda pendapat, apakah kita mencari kalimat paling tajam untuk menusuk lawan, atau mencari jalan masuk agar argumen kita bisa didengar? Ketika menemukan kekeliruan pada sahabat, apakah kita memarahinya di depan umum, atau mengajaknya bicara empat mata? Inklusif mengatur langkah-langkah kecil ini dengan kesabaran. Ia tahu bahwa kejujuran tanpa empati bisa melukai, tetapi empati tanpa kejujuran bisa menipu. Kebodohan, sebaliknya, memihak emosi yang paling keras: marah diubah menjadi prinsip, takut dijahit menjadi alasan. Ketika akal diajak kembali ke kursi sopir, hati tidak diletakkan di bagasi; ia duduk di samping, menunjukkan jalan-jalan kecil yang mungkin luput. Kombinasi ini yang menjaga kemudi tetap stabil di jalan panjang.
Salah satu jebakan zaman ini adalah menyamakan “keragaman” dengan “ketiadaan kebenaran”. Di sini kebodohan bertepuk tangan, karena ia tidak perlu lagi memikirkan kekokohan argumen; semua cukup disebut “versi”. Inklusif menolak jebakan ini dengan elegan. Ia merayakan keragaman sebagai fakta ciptaan sekaligus kesempatan belajar, namun tetap mengakui adanya hirarki klaim berdasarkan kedekatan pada realitas dan kemaslahatan. Dalam perkara teknis, klaim berbasis metode yang kuat lebih diutamakan daripada dugaan. Dalam perkara moral publik, tindakan yang melindungi yang lemah didahulukan daripada yang hanya menyenangkan yang kuat. Di sini, inklusif dan keadilan bertaut; keduanya ibarat dua sisi mata uang yang sama. Kebodohan sering mengibarkan bendera “keragaman” untuk menyelundupkan ketidakseriusan; inklusif mengibarkan bendera “keadilan” agar keragaman menemukan tempat yang aman untuk tumbuh.
Kita juga harus menyinggung soal bahasa yang digunakan kedua sikap ini. Kebodohan sering meminjam diksi besar: kebebasan, kemanusiaan, cinta, damai, namun menggantungkannya di udara tanpa kait. Kata-kata itu menjadi balon yang terasa indah selama terbang, tetapi tidak punya fungsi ketika badai datang. Inklusif mengambil kata-kata yang sama, lalu memasang kait pada dinding-dinding nyata: prosedur, kebijakan, kurikulum, mekanisme koreksi, rambu keselamatan. Di tangan inklusif, “kebebasan” diterjemahkan sebagai kebijakan melindungi ekspresi sekaligus membatasi ujaran yang menghasut kekerasan. “Kemanusiaan” diurai menjadi program bantuan yang bisa diaudit. “Cinta” diubah menjadi budaya kerja yang peduli pada ritme manusia, bukan hanya target angka. “Damai” diwujudkan sebagai proses penyelesaian konflik yang memulihkan, bukan sekadar menutup kasus. Kata yang dikaitkan ke dinding nyata membuat ruangan aman ditempati bersama; kata yang dibiarkan mengambang mengubah ruangan menjadi tempat yang rawan.
Sebagian orang takut bahwa inklusif akan melemahkan identitas. Ketakutan ini lahir dari pengalaman melihat relativisme menelan kompas. Tetapi inklusif yang benar justru memperkuat identitas dengan dua cara yang tampak berlawanan namun sesungguhnya saling mengokohkan. Pertama, ia membersihkan identitas dari kerak-kerak kesombongan dan prasangka. Identitas yang bersih tidak mudah rapuh ketika berjumpa yang lain; ia tahu siapa dirinya tanpa perlu merendahkan orang lain. Kedua, ia memperkaya identitas dengan kemampuan bercakap. Identitas yang sanggup bercakap akan menemukan bahasa-bahasa baru untuk menyatakan kebenaran lama, menemukan jembatan untuk menyampaikan hikmah tanpa kehilangan ruhnya. Kebodohan membuat identitas tegang seperti kaca tipis yang mudah retak, atau cair seperti agar-agar yang mudah berubah bentuk demi tepuk tangan. Inklusif melatih identitas menjadi bambu: kukuh pada akar, lentur terhadap angin.
Dalam disiplin pengambilan keputusan, perbedaan kebodohan dan inklusif terlihat pada sikap terhadap risiko. Kebodohan menolak mengakui risiko karena itu melelahkan. Ia langsung menyerah kepada perasaan mayoritas atau opini yang paling bising. Inklusif mengakui risiko sejak awal, lalu mengajak sebanyak mungkin pihak untuk melihat peta konsekuensi. Ia bertanya: siapa yang akan terdampak? Bagaimana dampak jangka pendek dan panjang? Apa mitigasi yang memungkinkan? Apakah ada alternatif yang meminimalkan kerugian? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat proses terasa lambat, tetapi justru di situlah kasih bekerja. Kasih yang bertanggung jawab tidak menutup mata pada biaya tersembunyi; ia menanggungnya bersama-sama dan menyampaikan apa adanya. Kebodohan menjanjikan hasil instan; inklusif mengundang kesabaran yang terukur. Sering kali, publik tergoda pada janji instan, tetapi sejarah menunjukkan bahwa rumah yang dibangun tergesa akan menjadi beban berkepanjangan.
Pada muara semua uraian ini, kita bisa menyusun pembedaan yang halus tetapi penting. Kebodohan adalah sikap batin yang menolak proses mengetahui, menutup diri dari koreksi, dan mengabaikan dampak bagi orang lain. Ia menyusahkan karena memaksakan keputusan tanpa alat, dan membahayakan karena mengabaikan yang paling rentan. Sifat inklusif adalah sikap batin yang membuka pintu perjumpaan, memuliakan martabat, dan menuntut tanggung jawab akal. Ia memudahkan karena menyediakan cara masuk yang beragam, dan menyelamatkan karena menegakkan rambu-rambu. Kebodohan mengira keramahan cukup untuk menggantikan kebenaran; inklusif tahu bahwa kebenaranlah yang memungkinkan keramahan berlangsung lama. Kebodohan mengira kritik adalah permusuhan; inklusif mengerti kritik sebagai cinta yang menyelamatkan. Kebodohan mengira batas adalah ancaman; inklusif tahu batas adalah pagar di tepi jurang agar semua bisa menikmati pemandangan.
Kalau begitu, bagaimana kita merawat sifat inklusif agar tidak menyusut menjadi kebodohan yang ramah? Jawabannya tidak satu langkah, melainkan kebiasaan yang teguh. Ia dimulai dari niat untuk mencari kebenaran bersama, bukan kemenangan pribadi. Ia tumbuh melalui pendidikan yang menata akal sekaligus hati, melatih keterampilan dialog sekaligus disiplin berpikir. Ia membutuhkan komunitas yang menghargai proses: merayakan keberhasilan tanpa lupa melakukan audit, menerima koreksi tanpa merasa malu, dan memberi ruang untuk yang lambat tanpa mengorbankan ketepatan. Ia juga membutuhkan kepemimpinan yang hadir bukan sebagai hakim yang cepat menghukum atau komedian yang cepat menghibur, melainkan sebagai pemandu yang menyiapkan peta, menata rute, dan menanggung kelelahan perjalanan.
Di penghujung pembahasan, bayangkan kembali mercusuar di tepi laut yang kita jadikan metafora pada kajian sebelumnya. Kebodohan mematikan mercusuar, lalu membiarkan kapal-kapal saling bertabrakan di gelap. Sifat inklusif menyalakan mercusuar lebih terang, lalu membuka pelabuhan bagi kapal-kapal dari banyak arah untuk singgah, mengisi perbekalan, memperbaiki layar, dan mendapat kabar angin. Pelabuhan yang inklusif bukan laut bebas tanpa aturan; ia justru tempat yang paling penuh aturan karena ia ingin semua kapal pulang dengan utuh. Ia menulis jam sandar, menata jalur keluar masuk, menjaga jarak antar-kapal, menetapkan prioritas untuk kapal yang rusak, dan menyiapkan tim penolong ketika badai datang. Itulah gambaran masyarakat yang memilih inklusif dengan akal yang bertanggung jawab: hangat pada orang, keras pada kebohongan; lapang pada perbedaan, tegas pada kezaliman; terbuka pada percakapan, disiplin pada prosedur.
Membedakan kebodohan dari sifat inklusif akhirnya bukan soal teori semata; ia tercermin pada cara kita berjalan di hari-hari biasa. Apakah kita menyambut orang asing dengan senyum, lalu mengarahkannya ke meja informasi agar ia mendapat data yang benar? Apakah kita mendengarkan kisah yang berbeda, lalu menawarkan jembatan berupa argumen yang tertata? Apakah kita berani menolak ajakan yang merugikan pihak lain, meskipun ajakan itu dibungkus slogan damai? Pertanyaan-pertanyaan ini menurunkan tema besar ke dalam telapak tangan. Dan jawabannya, bila kita jujur, akan menjadi cermin yang menampakkan siapa sebenarnya yang kita pelihara: kebodohan yang ramah, atau inklusif yang bertanggung jawab. Semoga yang kita rawat adalah yang kedua, karena dari situlah lahir masyarakat yang selamat—masyarakat yang menjaga akal dalam cahaya, membuka hati tanpa kehilangan arah, dan berjalan bersama tanpa saling menjerumuskan.


0 Komentar