Bersabar Saat Belajar sama dengan Dewasa Mengambil Sikap

Gua baru sadar sesuatu yang dulu gua anggap remeh. Selama ini gua sering dengar kutipan tentang sabar ketika belajar, konon katanya sabar itu kuncinya ilmu, kuncinya kemajuan, kuncinya berbagai pintu yang pengin kita buka. Tapi di kepala gua, sabar itu ya sekadar bertahan, duduk, nahan ngantuk, dan berharap waktu cepat lewat. Baru belakangan gua ngeh, nasihat itu sebenarnya lebih dalam dari sekadar tahan banting di depan buku. Sabar ketika belajar ternyata membangun tulang punggung mental: ngebentuk cara kita mengelola emosi, menata pikiran, dan akhirnya mendewasakan cara kita mengambil sikap. Bukan cuma bikin nilai naik atau skill nambah, tapi pelan-pelan ngubah cara kita berdiri di depan hidup.



Coba lo perhatiin beda antara reaksi dan respon. Reaksi itu meledak spontan, lahir dari rasa nggak nyaman yang pengin cepat-cepat hilang. Respon itu hasil jeda sejenak menahan diri, lalu memilih tindakan yang lebih berguna. Di dalam belajar, jeda ini kelihatan sepele. Lo lagi ngerjain soal, buntu, jantung mulai kesal, tangan ingin lempar pulpen, kepala bilang “udah, capek, nanti aja lagi.” Kalau lo ikutin reaksi, lo kabur. Kalau lo kasih diri lo sedikit jeda, lo tarik napas, lo tunda keputusan lima belas detik, tiba-tiba ada ruang kecil buat mikir lebih jernih: “kalau bab ini berat, mungkin gua pecah jadi sub-bab,” atau “gua cari contoh yang lebih sederhana,” atau “gua coba satu cara lagi sebelum pindah.” Di ruang kecil itulah sabar bekerja. Bukan menahan diri tanpa arah, tetapi menunda kepuasan sesaat demi keputusan yang lebih baik. Kecil, tapi berulang, dan persis di pengulangan itu jiwa lo dibentuk.

Sabar yang bener-bener bekerja dalam belajar punya rasa yang khas. Bukan pasif, bukan mematung, bukan memaksakan diri sampai hancur. Sabar rasanya hadir. Lo ada di situ, sepenuhnya. Lo nggak memaksa otak jadi superman yang mampu paham semuanya dalam sehari, tapi lo juga nggak menyerah pada rasa malas. Lo nyetel ritme yang bisa lo jalani, dan ketika ritme itu terganggu, lo nggak panik, lo menyesuaikan. Lama-lama, sabar kayak gini jadi mirip latihan kebugaran mental. Ototnya adalah perhatian, napasnya adalah konsistensi, dan jantungnya adalah tujuan kecil yang jelas. Setiap sesi belajar jadi arena kecil tempat lo melatih tiga hal “dewasa”: mengatur emosi, menahan frustrasi, dan disiplin dalam mengambil keputusan. Dan menariknya, tiga hal ini kebawa ke luar meja belajar, ke cara lo ngobrol, bekerja sama, memilih langkah saat ada masalah di rumah, di kampus, atau di kantor.

Gua ingat masa-masa ketika tiap kali ketemu bab susah, gua langsung nyari alasan untuk berhenti. “Kayaknya waktunya bikin kopi dulu,” “Ah, gua belum mood,” “Kayaknya gua tipe belajar malam deh, bukan sekarang.” Semua alasan itu berakar dari dorongan yang sama: pengin cepat kabur dari rasa nggak nyaman. Di hari-hari itu, gua anggap sabar adalah ngotot bertahan di kursi selama mungkin. Hasilnya? Capek tanpa arah, dan besoknya gua benci lagi sama materi yang sama. Sampai suatu sore yang biasa, gua coba hal yang beda: bukan memaksa diri duduk dua jam tanpa henti, tetapi hadir beneran selama beberapa puluh menit, lalu memberi diri gua istirahat sebentar, lalu balik lagi. Di istirahat itu gua berdiri, minum, tarik napas, dan yang paling penting, gua nggak memaki diri sendiri. Pola kecil ini mengubah rasa belajar gua. Tiba-tiba materi yang tadinya seperti tembok beton jadi serangkaian batu bata, masih berat, tapi bisa diangkat satu-satu.

Dari situ gua belajar bahwa sabar itu bukan soal panjangnya durasi, tetapi kualitasnya kehadiran. Lo bisa duduk dua jam sambil pikiran kemana-mana; itu bukan sabar, itu menunda tatap muka dengan realita. Lo bisa duduk tiga puluh menit penuh perhatian; itu sabar yang menumbuhkan. Ketika perhatian ini dilatih tiap hari, payahnya otak menghadapi hal susah pelan-pelan bergeser jadi kebiasaan baru: begitu kita buntu, kita nggak panik, kita penasaran. Pertanyaan yang dulu bernada menghakimi “kenapa gua bego banget?” mengalir lebih lembut “bagian mana yang belum gua mengerti?” Dari situ muncul langkah-langkah kecil yang realistis, bukan karena kita tahu semua jawabannya, tapi karena kita nggak membiarkan emosi sesaat jadi sopir yang ugal-ugalan.

Sabar juga ngebangun toleransi terhadap frustrasi. Orang sering mikir toleransi berarti nggak ngerasa apa-apa. Padahal justru kebalikannya: toleransi itu sanggup merasakan kekecewaan tanpa tenggelam di dalamnya. Di setiap proses belajar, frustrasi adalah tamu rutin. Rumus yang melompat-lompat, kode yang tak mau jalan, kalimat yang nggak ketemu-ketemu ujungnya, lidah yang belepotan waktu latihan bahasa… semua itu bikin dada sempit. Sabar mengajarkan kita duduk bareng rasa sempit itu sebentar, sambil tetap bertindak kecil yang masuk akal: menulis ulang satu baris, mencoba dua variasi, membaca satu paragraf lagi. Ketika tindakan kecil ini dilakukan berulang, pikiran belajar bahwa rasa sempit ternyata bisa ditanggung. Dari situ lahir keberanian baru. Nggak ada lagi drama “semuanya gagal,” yang ada “bagian ini belum beres.” Tanpa kita sadari, kita jadi orang yang lebih tenang waktu ada masalah di luar belajar. Ada komplain klien, ada kabar mendadak, ada rencana yang harus berubah, kita kaget, iya, tapi kita tidak runtuh. Karena tiap hari, di meja belajar, kita sudah latihan untuk kaget tanpa ambruk.

Gua pengin cerita sedikit tentang Dita. Dia teman gua yang waktu itu lagi belajar statistik. Setiap kali ketemu simbol-simbol Yunani, dia langsung pingin menyerah. Gua melihat wajah dia kerap berkabut: mata yang cemas, tangan yang gelisah, nada suara yang rendah. Dia bukan malas; dia takut ketemu perasaan “nggak bisa.” Suatu malam, kami duduk bareng di perpustakaan. Gua bilang, yuk kita coba cara yang sabar, bukan keras kepala. Dita mengangguk. Kami mulai dengan niat yang sangat kecil: memahami satu konsep, bukan satu bab. Ketika rasa cemas naik, dia pejam mata lima detik, tarik napas panjang, lalu membuka mata lagi. Daripada mendesak diri paham semua, dia bertanya satu hal paling sederhana: “Simbol ini maknanya apa sih?” Dari sana, dia tulis ulang contoh paling dasar. Dia bukan sedang “mengalahkan” statistik; dia sedang berteman dengan ketidaktahuan, selangkah demi selangkah. Seminggu berlalu, bukan cuma nilainya membaik. Aku melihat sesuatu yang jauh lebih berharga: ketenangan yang baru. Ketika dosen mengumumkan perubahan format ujian di detik-detik terakhir, Dita tidak ikut riuh panik. Dia ambil kertas, menulis yang sudah dia kuasai, dan menandai yang harus dia kejar malam itu. Bukan berarti dia tidak takut; dia hanya tidak membiarkan takut menulis ulang rencananya. Itu kedewasaan yang tumbuh dari jam-jam sunyi bersama buku.

Cerita lain datang dari Raka, yang belajar ngoding. Dia dulu tipe yang gampang defensif. Begitu ada bug, dia menyalahkan alat, laptop, bahkan cuaca. Lalu dia belajar sabar model baru: setiap kali bug muncul, dia tidak buru-buru menilai. Dia catat gejala, mengamati pola, dan berani mengulang langkah dari nol. Buku catatan kecilnya penuh dengan percobaan yang gagal, tapi di situ juga ada jejak logika yang rapi. Ketika timnya berdebat soal arah solusi, Raka tidak lagi marah atau ngotot. Dia menaruh catatannya di meja, menunjukkan apa yang sudah dicoba, apa yang belum, dan apa yang menurutnya paling mungkin berhasil berdasarkan data kecil yang dia kumpulkan. Debat yang tadinya suara besar dan panas jadi lebih sejuk, karena ada pijakan. Sabar mengubah cara Raka melihat masalah. Dia tidak lagi mencari kambing hitam; dia mencari pembelajaran. Kedengarannya sederhana, tetapi dampaknya luas. Di kantor, orang lain mulai percaya suara Raka, karena suaranya datang dari proses yang bisa diikuti, bukan dari ego yang haus menang.

Kalau sabar sekadar tahan, kenapa hasilnya bisa sedalam itu? Karena sabar yang benar menumbuhkan disiplin membuat keputusan. Setiap sesi belajar selalu menyuguhkan cabang-cabang pilihan: lanjut atau berhenti sebentar, pindah bab atau mendalami ulang, tanya teman atau coba satu percobaan lagi, tidur atau memaksa mata yang sudah pedih. Sabar mengajari kita melihat pilihan itu dengan mata yang tidak keruh duka atau bangga. Ada hari ketika pilihan terbaik adalah rehat, dan sabar berkata, “ya, berhentilah sebentar, biar otakmu memulihkan diri.” Ada hari ketika pilihan terbaik adalah menambah sepuluh menit lagi, dan sabar berkata, “tahan dikit, momentummu bagus, lanjutkan.” Kebiasaan memilih dengan tenang ini sedikit demi sedikit membangun kepercayaan pada diri sendiri. Kita jadi orang yang tahu kapan harus menekan gas, kapan harus injak rem. Dan orang yang pandai membaca gas-rem di meja belajar biasanya juga pandai melakukannya di kehidupan. Saat teman mengajak proyek yang menggiurkan tapi mengacaukan prioritas, dia bisa bilang tidak tanpa merasa bersalah. Saat ada kesempatan kecil namun konsisten, dia bisa bilang ya walau tidak terlihat heroik. Matang rasanya seperti itu: keputusan tidak lagi lahir dari ketakutan untuk terlihat kurang, tetapi dari kesadaran terhadap arah yang mau dituju.

Tetapi penting juga untuk membedakan sabar dengan penundaan. Banyak dari kita menyamakan “gua menunggu waktu yang tepat” dengan “gua sabar.” Padahal sering kali itu cuma rasa takut yang disamarkan. Sabar mau kotor tangannya. Sabar mau duduk, membuka halaman pertama, menulis kalimat yang jelek, melakukan percobaan yang mungkin gagal. Penundaan menunda memulai dengan seribu alasan. Sabar memulai sekarang, membiarkan hasilnya masih mentah, lalu merawatnya pelan-pelan. Ada orang yang bilang, “gua punya standar tinggi, makanya gua tunggu mood terbaik.” Tetapi kalau kita jujur, standar tinggi tanpa latihan adalah mimpi yang manis. Sabar mengajak kita jatuh cinta pada versi setengah matang dari diri sendiri, karena hanya dengan begitu kita memberi kesempatan pada proses untuk memasak kita sampai matang. Di situ, kritik terhadap diri berubah wajah. Bukan lagi pecut yang melukai, tapi kompas yang mengingatkan arah. Kita bisa bilang pada diri sendiri, “tulisan ini belum rapi,” tanpa melanjutkannya dengan kalimat, “berarti gua payah.” Kita bisa lanjut berkata, “kalau begitu besok gua rapikan satu paragraf pertama,” dan esoknya kalimat ini menjadi tindakan nyata, bukan janji kosong.

Sabar dalam belajar juga termasuk merawat tubuh. Gua pernah terjebak pola bangga palsu—bangga karena begadang, bangga karena mata panda, bangga karena ngopi tiga gelas, seolah kesengsaraan adalah validasi bahwa gua serius. Padahal otak yang rapuh tidak bisa menyerap apa-apa. Sabar berbisik pelan, “tidurlah.” Dia tahu kapan harus mundur. Dia paham kalau mundur hari ini bisa berarti melesat besok. Banyak yang meremehkan kualitas istirahat, padahal di sanalah ingatan menempel, di sanalah emosi ditata ulang. Sabar tidak memuja bendera perang bernama “kerja tanpa henti.” Sabar memuja ritme. Ada ketukan yang harus diikuti: bekerja, bernapas, bekerja lagi, memejam, bangun dengan kepala yang lebih bersih. Ketika ritme ini dijaga, energi tidak lagi muncul dalam ledakan-ledakan yang cepat padam, melainkan dalam bara yang panjang nan hangat, stabil, dan cukup untuk mengantar kita pulang.

Gua tahu beberapa dari lo bertanya, “jadi sabar itu semata-mata soal diri sendiri?” Nggak juga. Sabar juga memengaruhi cara kita berhubungan dengan orang lain. Saat kita belajar sabar di meja, kita sedang belajar mendengarkan. Dalam setiap sesi, kita mendengar sinyal halus dari pikiran: sekarang buntu, sekarang lelah, sekarang penasaran. Latihan mendengar ini memperkuat telinga batin, dan pelan-pelan telinga itu juga lebih peka pada orang lain. Di ruang rapat, misalnya, ketika ada rekan yang berbeda pendapat, kebiasaan sabar membuat kita menahan diri untuk memotong, memilih bertanya, “bisa jelasin lagi?” Kita tidak langsung menghardik ide yang tampaknya “salah.” Kita mau memahami asalnya. Mengambil sikap setelah mendengar utuh adalah buah sabar. Dan buah itu manis: iklim percakapan yang aman, rasa percaya yang tumbuh, keputusan tim yang lebih kokoh. Gua pernah lihat sendiri bagaimana satu orang yang menjaga sabar mampu menurunkan suhu satu ruangan. Dia tidak bicara paling keras, tapi dia paling hadir. Orang seperti itu jarang menang dengan sorak-sorai, tetapi langkahnya jauh.

Ada yang mungkin bertanya juga soal keadilan. “Kalau sabar, apakah berarti kita pasrah saat diperlakukan tidak adil?” Justru karena sabar, kita bisa protes dengan kepala dingin. Sabar bukan diam saat dilukai. Sabar adalah cara memegang kendali diri sehingga protes kita tepat sasaran. Orang yang tidak sabar mudah diadu, suaranya keras tapi sering meleset. Orang yang sabar mengumpulkan bukti, memilih kata, memilih waktu, lalu bicara dengan tegas. Di dunia belajar, ini bisa berarti menghubungi pengajar saat soal betul-betul menyesatkan, atau mengajak teman diskusi untuk memecahkan pola tugas yang tidak masuk akal. Di dunia kerja, ini berarti berani menolak beban yang mustahil dengan argumen yang tertata. Sabar tidak membungkam, sabar menajamkan.

Untuk lo yang pengin gambaran yang lebih membumi, bayangkan satu minggu mengikuti jalan sabar. Bayangkan hari pertama ketika lo membuka buku dengan berat hati. Lo menulis satu kalimat tujuan kecil di kertas bekas. Lo duduk, menaruh ponsel agak jauh agar jarak fisik membantu jarak batin dari notifikasi. Ketika bosan datang, lo berdiri, menggulung bahu, minum air, lalu kembali. Di malamnya lo menulis tiga baris catatan tentang yang sempat lo pelajari dan yang belum. Hari kedua, lo mengulang pola yang sama. Beda dengan kemarin, ada bagian yang lebih lekas dipahami karena kepala lo tidak lagi kaget. Hari ketiga, lo menambahkan tantangan sedikit lebih tinggi, bukan demi pamer, tapi demi menjaga bara tetap hidup. Lo mulai mengerti kapan jam otak paling jernih, mungkin pagi sebelum keramaian, mungkin sore saat matahari melemah. Hari keempat, ada gangguan yang tak bisa dihindari. Lo tidak menghukum diri karena gagal memenuhi rencana; lo menyusun ulang jam malam ini. Hari kelima, lo meninjau catatan beberapa hari terakhir. Lo melihat pola: jenis latihan yang membantu, sumber belajar yang ternyata kurang ramah. Lo mengganti sumber, dan peralihan itu mempermudah langkah. Hari keenam, lo bertemu satu materi batu besar. Lo tidak pamer keberanian kosong; lo meminta bantuan. Lo kirim pesan ke teman atau mentor, lo sertakan pertanyaan yang jelas karena catatanmu rapi, sehingga bantuan yang datang juga tajam. Hari ketujuh, lo refleksi jujur. Lo melihat perubahan bukan hanya pada halaman yang terisi, tapi pada detak hati saat menghadapi sulit. Ada tenang yang baru. Di seminggu yang tampak biasa itu, sesuatu di dalam dirimu bergerak: lo memperlakukan diri dengan hormat. Dan rasa hormat itu menyebar ke cara lo memperlakukan orang lain.

Kalau lo perhatiin, sabar perlahan mengajari kita satu hal penting: mencintai proses. Kata “mencintai proses” sering kedengarannya klise, tapi ternyata ia punya bobot yang nyata. Mencintai proses berarti tidak menukar seluruh kebahagiaan pada momen hasil. Lo masih boleh merayakan hasil, tentu saja, tetapi lo tidak menggantung diri pada satu tiang. Lo punya puluhan tiang kecil yang menopang: hari ketika lo berhasil hadir penuh, momen saat lo paham satu konsep yang tadinya gaib, sore sewaktu lo berhasil tidak membuka ponsel selama belajar, detik ketika lo tidak mencaci diri saat salah. Tiang-tiang kecil itu membuat lo berdiri lebih stabil. Ketika hasil akhir meleset dari harap, lo tidak roboh. Ketika hasil di atas rata-rata, lo senang, tetapi lo juga tahu besok akan kembali duduk dan bekerja. Mencintai proses seperti ini adalah bentuk kematangan yang jarang riuh, tetapi jejaknya panjang.

Gua juga mau menyentuh satu hal yang banyak dilupakan: bahasa yang kita gunakan ke diri sendiri. Sabar memulai dari kata-kata. Coba dengar cara lo bicara ke diri ketika salah. Apakah lo menghina, “memang dasar payah,” atau lo berkata, “bagian ini belum jadi, kita bereskan pelan-pelan”? Kata-kata kita adalah cuaca batin. Kalau setiap hari cuacanya badai, tanaman tidak tumbuh. Kalau setiap hari ada hujan kecil yang menyiram, akan ada hijau yang pelan-pelan merebak. Sabar mengubah kata-kata kita, bukan untuk memanjakan diri, melainkan untuk menciptakan ruang tumbuh. Di ruang itu kesalahan tidak tabu, kegagalan tidak akhir, keberhasilan tidak mabuk. Lo boleh bangga, tetapi bangga yang tidak menutup mata; lo boleh sedih, tetapi sedih yang tidak menenggelamkan. Orang yang sabar tidak kebal luka, tapi dia tahu cara membalut luka tanpa meracuni diri.

Di sisi lain, sabar butuh lingkungan yang mendukung. Kita manusia, bukan robot. Meja belajar yang rapi membantu hati yang rapi, cahaya yang cukup menjaga mata yang bertahan lebih lama, kursi yang nyaman menjaga punggung yang tidak berteriak. Ini hal-hal kecil yang jarang masuk daftar “motivasi,” tapi dampaknya nyata. Bahkan hal sesederhana menaruh ponsel dua meter dari kursi bisa jadi pembeda kualitas hadir. Kita tidak menuhankan alat, tetapi kita juga tidak menafikan pengaruhnya. Sabar itu keputusan, tetapi keputusan itu sering dipermudah atau dipersulit oleh keadaan sekitar. Menyadari ini membuat kita berhenti menyalahkan diri secara berlebihan, dan mulai mengubah hal-hal yang memang berada dalam jangkauan.

Ada satu titik, ketika lo sudah berjalan cukup jauh di jalan sabar, lo akan menyadari betapa sunyinya jalan ini. Sabar jarang dipuji di awal. Orang-orang lebih sering memuja yang cepat, yang meledak, yang viral. Sabar itu seperti akar. Ia bekerja di bawah tanah, tidak kelihatan, tidak difoto, tidak jadi headline. Tapi tanpa akar, pohon tumbang saat angin pertama datang. Suatu hari, saat angin itu benar-benar bertiup—tugas mendadak, krisis kecil, perubahan rencana—lo akan merasakan makna sabar. Bukan karena lo mendadak jadi superhero, melainkan karena lo tidak goyah semudah itu. Lo mungkin bergoyang, tapi lo kembali tegak. Ada ketenangan berat yang terasa seperti batu di saku, ia membuat langkahmu mantap.

Dan pada titik ini, mengambil sikap berubah dari tindakan yang panik jadi tindakan yang sadar. Lo tidak lagi melompat ke kesimpulan hanya karena “rasanya” begitu. Lo menimbang sebentar, melihat apa yang lo tahu dan belum lo tahu, menanyakan sudut pandang lain jika perlu, lalu memilih. Lo juga siap menanggung konsekuensi dari pilihan itu, karena sedari awal lo membuatnya dalam keadaan terjaga. Ini dewasa: bukan tanpa salah, tapi bertanggung jawab. Sabar melatih itu tiap hari, diam-diam, tanpa gembar-gembor. Gua percaya, orang yang sabar di meja belajar, pelan-pelan jadi orang yang bisa dipercaya di hidup. Ketika dia berkata akan menyelesaikan sesuatu, dia tahu riuh rendah prosesnya dan tidak menjual janji kosong. Ketika dia harus menolak, dia menolak dengan jelas dan tidak kabur. Ketika dia diminta memimpin, dia tidak memimpin dengan teriakan, melainkan dengan teladan.

Kalau sekarang lo lagi duduk di depan bahan yang bikin kepala pusing, gua pengin ngajak lo melakukan satu percakapan kecil dengan diri sendiri. Tanyakan, “apa satu langkah kecil yang bisa gua lakukan sekarang?” Bukan besok, bukan setelah semua sempurna, bukan setelah mood datang. Sekarang. Mungkin itu berarti membaca ulang satu halaman. Mungkin berarti menulis ulang satu definisi dengan bahasa lo sendiri. Mungkin berarti membuka editor dan mengetik tiga baris kode yang sederhana. Mungkin berarti merekam suara sendiri melafalkan satu paragraf dalam bahasa asing. Satu langkah kecil ini, bila lo rawat tiap hari, akan menumbuhkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengetahuan. Ia menumbuhkan rasa percaya: bahwa lo mampu hadir untuk diri lo sendiri. Begitu rasa percaya itu tumbuh, lo akan heran betapa banyak hal lain yang ikut menjadi mungkin.

Terakhir, gua mau bilang bahwa sabar bukan obat yang menyembuhkan semuanya seketika. Ada hari ketika sabar terasa mulus; ada hari ketika sabar terasa mustahil. Wajar. Kita bukan mesin yang berjalan sempurna. Di hari-hari yang terasa berat, jangan tambahkan beban dengan menyalahkan diri. Sering kali yang perlu kita lakukan hanya mengurangi target, memperlambat langkah, lalu tetap bergerak. Ada pepatah yang gua suka: air yang menetes pelan bisa melubangi batu, bukan karena kuat sekali tetesnya, tetapi karena tidak berhenti. Sabar membuat kita seperti air itu. Kita tidak menabrak dengan emosi besar, kita terus menetes. Dalam jangka panjang, tetesan itulah yang mengubah bentuk.

Dan kalau ada yang bertanya, “buat apa semua kerepotan ini?” jawaban gua sederhana. Karena di ujung semua ini, lo akan bertemu versi diri yang lebih tenang dan lebih jernih. Versi yang ketika ditanya “kenapa memilih ini,” dia bisa menjawab dengan tulus, bukan mengada-ada. Versi yang ketika gagal, dia tidak menyusun alasan, tapi menyusun ulang langkah. Versi yang ketika berhasil, dia tidak lupa daratan, karena dia ingat betapa banyak sore sepi yang membawanya sampai di sini. Versi yang ketika menghadapi orang lain, dia membawa kehangatan, bukan karena dia selalu setuju, tapi karena dia paham setiap orang sedang bergulat dengan versi sulitnya sendiri. Itulah kedewasaan sikap yang gua rasa dimaksud oleh nasihat lama tentang sabar dalam belajar. Ia tidak glamor, tetapi ia nyata. Ia tidak memukau secepat kembang api, tetapi ia menyala lama seperti lentera.

Kalau lo pingin membawa pembicaraan ini ke kehidupan sehari-hari, mulailah dari malam ini. Rapikan meja secukupnya, pilih satu materi yang paling masuk akal untuk lo sentuh, dan beri diri lo kesempatan untuk hadir. Matikan notifikasi sepuluh menit, lalu dua puluh, lalu tiga puluh. Ketika bosan datang, ajak dia jalan sebentar, bukan disuruh duduk membatu, lalu kembali. Tutup sesi dengan menulis tiga kalimat bening: apa yang lo kerjain, apa yang lo pelajari, dan apa yang mau lo coba besok. Jangan tulis panjang-panjang. Cukup jujur. Lalu tidur dengan rasa sayang pada diri yang sudah mencoba. Besok pagi, ulangi. Di sanalah sabar dilatih, dan di sanalah kedewasaan bertunas.

Gua tau, sebagian orang mungkin menunggu kalimat pamungkas yang keras kepala: “jangan menyerah apa pun yang terjadi.” Tapi jujur, gua lebih percaya pada kalimat yang lebih lembut: “hadirlah, dan bila jatuh, hadir lagi.” Karena pada akhirnya, bukan kehebatan sekali waktu yang menumbuhkan kita, melainkan kesediaan untuk datang kembali. Dan sabar adalah nama lain dari kesediaan itu. Jadi ketika lo mendengar lagi nasihat tentang sabar dalam belajar, jangan bayangkan kursi yang menahan tubuh dan jam yang bergerak lambat. Bayangkan diri lo yang hadir denngan mata melihat, telinga mendengar, tangan bekerja, hati menghormati proses dan dari situ, bayangkan sikap yang tumbuh: tenang, jernih, bertanggung jawab. Itu hadiah yang jauh lebih besar daripada apa pun yang kita pikirkan di awal. Dan kalau lo merasa tulisan ini menyentuh sesuatu di dalam diri, bawa pulang satu kalimat saja: sabar bukan menunda, sabar adalah memulai dengan lembut dan kembali dengan setia. Dari sana, pelan-pelan, hidup akan menyesuaikan.

Posting Komentar

0 Komentar