Dalam sejarah Islam, sahabat Nabi Muhammad ï·º adalah generasi terbaik yang pernah hidup di muka bumi. Mereka adalah manusia biasa yang menjadi luar biasa karena keimanan, pengorbanan, dan ketulusan mereka dalam mengikuti ajaran Rasulullah. Namun sayangnya, banyak di antara mereka yang tidak dikenal oleh umat Islam secara umum. Nama-nama besar seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib tentu saja telah mengakar dalam hati kaum Muslimin, tetapi bagaimana dengan sahabat-sahabat lain yang kontribusinya tidak kalah besar namun nyaris terlupakan? Apakah kita masih mengenang mereka, belajar dari kisah hidup mereka, dan meneladani akhlak mereka?
Kita hidup dalam zaman di mana manusia lebih mudah mengingat selebritas yang viral, politisi yang kontroversial, atau tokoh-tokoh dunia yang sering muncul di media. Namun, apakah kita pernah merenung bahwa sejarah peradaban Islam dibangun di atas pundak orang-orang yang namanya mungkin tidak tercetak dalam buku pelajaran umum, namun amalan mereka dicatat dengan tinta emas di sisi Allah? Di antara mereka ada Mus’ab bin Umair, yang meninggalkan kemewahan hidupnya demi memperjuangkan Islam, atau Khabbab bin Al-Aratt, yang rela disiksa hingga kulitnya terkelupas demi mempertahankan keimanannya. Ada pula Ummu ‘Ammar, Sumayyah binti Khayyat, perempuan pertama yang syahid di jalan Allah, yang hingga hari ini sedikit sekali disebut dalam khutbah-khutbah kita.
Jika kita renungkan lebih dalam, melupakan orang-orang baik bukan hanya sekedar kelalaian sejarah, tetapi juga cerminan dari kondisi hati kita yang mudah teralihkan oleh hal-hal yang fana. Bagaimana mungkin kita menghargai jasa orang lain dalam kehidupan sehari-hari, jika terhadap generasi terbaik umat ini saja kita lalai? Sejarah sahabat memberi pelajaran bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, pantas untuk dihargai. Rasulullah ï·º adalah manusia yang paling pandai berterima kasih, beliau tidak pernah melupakan kebaikan siapa pun, bahkan kepada orang-orang non-Muslim yang pernah membantunya. Misalnya, beliau menghargai kebaikan Abdullah bin Uraiqith, seorang musyrik yang menjadi penunjuk jalan dalam hijrah beliau ke Madinah. Ini menunjukkan kepada kita bahwa etika mengenang kebaikan tidak hanya berlaku kepada orang beriman saja, tetapi universal sifatnya.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan individualistik, kita sering kali melupakan jasa-jasa kecil yang dilakukan orang lain. Kita lupa dengan guru-guru kita yang mengajari huruf pertama, dengan teman-teman yang pernah membantu kita saat kesulitan, atau bahkan dengan tetangga yang pernah memberi kita segelas air di tengah kehausan. Kita bahkan kadang bersikap angkuh, merasa bahwa keberhasilan kita murni hasil usaha sendiri, padahal di balik setiap pencapaian kita, ada doa orang tua, ada motivasi teman, ada pertolongan kecil yang mungkin sudah kita lupakan. Inilah bentuk keangkuhan yang paling halus, merasa bahwa diri ini bisa hidup tanpa orang lain, merasa mampu tanpa pertolongan siapa pun.
Islam mengajarkan kita untuk memiliki hati yang bersyukur dan penuh penghargaan terhadap kebaikan orang lain. Nabi ï·º bersabda, "Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah." Hadis ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara syukur kepada manusia dengan syukur kepada Tuhan. Artinya, ketulusan hati kita dalam menghargai orang lain adalah cerminan ketulusan kita kepada Allah. Menghargai orang yang telah berjasa kepada kita adalah bagian dari ibadah, karena dengan begitu kita meneladani akhlak Rasulullah ï·º.
Sayangnya, banyak dari kita yang hanya menghargai orang lain ketika mereka masih berguna bagi kita. Setelah kita merasa tidak membutuhkannya lagi, kita pun melupakan jasa-jasanya, atau lebih buruk lagi, kita bersikap sombong seolah-olah kita tidak pernah membutuhkan bantuannya. Ini adalah penyakit hati yang berbahaya, karena akan menumbuhkan benih kesombongan, padahal Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Kesombongan itulah yang membuat iblis terkutuk, padahal sebelumnya ia adalah makhluk yang paling taat.
Melihat kembali kepada sahabat-sahabat Nabi yang terlupakan, kita bisa belajar tentang ketulusan yang tidak mencari popularitas. Mereka berbuat baik bukan untuk dikenang manusia, tetapi karena mencari ridha Allah. Zaid bin Haritsah, misalnya, adalah salah satu sahabat yang sangat dekat dengan Nabi, namun namanya jarang disebut dalam ceramah-ceramah umum. Padahal beliau adalah satu-satunya sahabat yang namanya disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an (Surah Al-Ahzab ayat 37). Ada pula sahabat-sahabat seperti Sa’ad bin Mu’adz, yang kematiannya membuat Arsy Allah bergetar, namun hanya sedikit umat Islam yang mengenal kisah hidupnya secara mendalam. Mereka semua mengajarkan bahwa kebaikan sejati tidak membutuhkan panggung, tidak membutuhkan pengakuan, cukup Allah yang mengetahuinya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan kita? Apakah kita masih mengingat orang-orang yang telah berjasa dalam hidup kita? Ataukah kita hanya sibuk mengejar pencapaian-pencapaian pribadi tanpa pernah menoleh ke belakang? Apakah kita masih memiliki kerendahan hati untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu kita, meskipun mereka tidak lagi dekat atau relevan dalam hidup kita hari ini?
Kesombongan kerap kali membuat kita merasa tinggi, padahal sejatinya kita hanya manusia yang lemah. Tanpa pertolongan orang lain, kita tidak mungkin bisa berdiri seperti hari ini. Seorang bayi pun tidak mungkin bertahan hidup tanpa kasih sayang orang tua dan perhatian orang-orang di sekitarnya. Maka, bagaimana mungkin kita merasa tidak membutuhkan orang lain dalam hidup ini?
Islam memerintahkan kita untuk menjaga silaturahmi, menghargai sesama manusia, dan tidak melupakan jasa orang lain. Nabi Muhammad ï·º dikenal sebagai pribadi yang selalu mengenang jasa orang lain, bahkan kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha, beliau selalu menyebut-nyebut kebaikan istrinya itu hingga membuat Aisyah cemburu. Ini menunjukkan bahwa mengenang kebaikan orang lain adalah bagian dari akhlak mulia seorang Muslim.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mulai dari hal-hal kecil. Menyapa sopan kepada satpam yang menjaga keamanan kita, berterima kasih kepada tukang parkir yang membantu kendaraan kita, atau sekedar tersenyum kepada pelayan restoran yang menghidangkan makanan. Semua itu adalah bentuk penghargaan atas jasa orang lain. Jangan sampai kita menjadi pribadi yang hanya tahu menerima jasa, tetapi lupa membalas dengan rasa terima kasih.
Sayangnya, budaya materialisme dan individualisme zaman ini membuat kita lebih menghargai hasil daripada proses, lebih menghormati orang kaya daripada orang baik. Kita lebih mudah mengingat orang yang sukses secara duniawi, tapi melupakan orang-orang yang mungkin secara materi biasa saja, namun memiliki jasa besar dalam hidup kita. Padahal ukuran kebaikan dalam Islam bukanlah kekayaan, ketenaran, atau jabatan, tetapi ketulusan hati dan amal shalih.
Kalau kita tidak bisa menghargai orang baik yang nyata-nyata telah berbuat baik kepada kita, bagaimana mungkin kita bisa menghargai orang-orang yang kita tidak pernah temui, seperti sahabat-sahabat Nabi? Mengingat jasa mereka bukan sekadar nostalgia sejarah, tetapi juga wujud syukur kita atas nikmat Islam yang sampai kepada kita melalui pengorbanan mereka. Tanpa perjuangan sahabat, kita mungkin tidak akan mengenal kalimat syahadat, tidak akan merasakan indahnya salat, atau tidak bisa membaca Al-Qur’an hari ini.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merenungkan sejauh mana hati kita masih peka terhadap kebaikan orang lain. Apakah kita masih mampu berterima kasih? Ataukah hati kita sudah tertutup oleh kesombongan yang halus? Menghargai jasa orang lain bukan hanya untuk kebaikan mereka, tetapi juga untuk kebaikan diri kita sendiri. Sebab hati yang bersyukur adalah hati yang damai, sedangkan hati yang sombong adalah hati yang gelisah.
Mari kita belajar dari para sahabat yang terlupakan itu. Belajar bagaimana mereka rela berkorban tanpa mengharap pujian. Belajar bagaimana mereka tetap setia dalam kesulitan, bukan hanya saat senang. Belajar bagaimana mereka bersikap rendah hati meskipun memiliki keutamaan. Belajar bagaimana mereka tetap bersyukur walau diuji dengan penderitaan. Semangat inilah yang seharusnya kita warisi sebagai generasi penerus mereka.
Pada akhirnya, manusia terbaik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain. Rasulullah ï·º bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." Maka jadilah pribadi yang menghargai jasa orang lain, yang mengenang kebaikan orang yang telah membantu kita, dan jangan pernah merasa tinggi karena semua yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan dari Allah. Sehebat apa pun kita hari ini, tetap ada orang-orang yang telah membantu kita sampai ke titik ini. Jangan lupakan mereka, dan jangan sombong terhadap mereka.
Demikianlah refleksi intelektual yang berlandaskan ajaran agama. Semoga menjadi bahan renungan bersama, agar kita senantiasa rendah hati, penuh syukur, dan tidak melupakan jasa orang-orang baik di sekitar kita, baik yang kita temui setiap hari maupun yang sudah meninggalkan kita sejak berabad-abad lamanya, seperti para sahabat Nabi yang mulia. Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap bersih dari kesombongan, dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang tahu berterima kasih.


0 Komentar