Dalam sistem pemerintahan demokratis, kepala daerah seperti gubernur memiliki peran sentral dalam menentukan arah kebijakan di wilayah kekuasaannya, termasuk dalam sektor pendidikan yang merupakan pilar utama pembangunan jangka panjang. Namun demikian, dalam praktiknya, tidak sedikit pemimpin daerah yang lebih memilih pendekatan populis dibandingkan pendekatan berbasis data, kajian, dan regulasi. Pendekatan populis ini, meskipun tampak merakyat dan mendapat dukungan publik jangka pendek, kerap kali menciptakan kebijakan yang dangkal secara substansi, inkonsisten dengan kebijakan nasional, serta berisiko merusak sistem tata kelola pendidikan yang sudah dibangun secara bertahap dan terstruktur.
Fenomena populisme dalam kebijakan pendidikan menjadi semakin mengkhawatirkan ketika keputusan-keputusan strategis dibuat tanpa melibatkan para ahli pendidikan, akademisi, serta pemangku kepentingan terkait. Seringkali, kebijakan muncul sebagai respons instan terhadap tekanan publik atau sebagai langkah pencitraan politik menjelang momentum elektoral. Dalam konteks ini, pemimpin populis berperan layaknya figur karismatik yang lebih menekankan pendekatan emosional dan retorika politik ketimbang rasionalitas kebijakan. Mereka menciptakan kebijakan bukan karena kebutuhan sistemik, tetapi karena dorongan untuk memperoleh simpati publik, walau hal itu berpotensi menimbulkan disrupsi terhadap tatanan pendidikan yang telah dibangun.
Kebijakan yang tidak didasarkan pada kajian akademik dan analisis data cenderung bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Dalam konteks pendidikan, dampaknya dapat sangat serius, karena sektor ini berkaitan langsung dengan pembentukan kualitas manusia, pembangunan karakter, serta penyediaan sumber daya manusia yang unggul bagi masa depan bangsa. Kebijakan yang lahir dari keputusan personal atau pandangan sempit seorang pemimpin, tanpa proses konsultatif yang memadai, dapat menciptakan kebingungan di lapangan, memberatkan guru dan kepala sekolah, serta menimbulkan ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Bukan hal yang langka ditemukan bahwa kebijakan pendidikan yang dirancang oleh pemimpin populis kerap kali bertentangan dengan regulasi nasional. Beberapa di antaranya bahkan bertabrakan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, peraturan dari Kementerian Pendidikan, serta standar minimal mutu pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ketika seorang gubernur atau kepala daerah mengambil keputusan yang tidak selaras dengan kerangka hukum yang berlaku, hal ini bukan hanya menunjukkan kelalaian dalam memahami sistem birokrasi, tetapi juga membuka ruang bagi terjadinya konflik horizontal antarlembaga, serta berpotensi melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Fenomena ini semakin kompleks apabila dikaitkan dengan karakteristik kepemimpinan yang merasa “sok tahu” atau merasa paling memahami masalah tanpa membuka ruang dialog dengan pakar dan pihak terkait. Dalam banyak kasus, keputusan semacam ini dibalut dengan narasi yang memikat publik, seperti “demi anak-anak,” “pendidikan gratis,” atau “revolusi pendidikan daerah”, namun tidak disertai dengan kerangka operasional yang jelas, indikator keberhasilan yang terukur, serta mekanisme evaluasi yang transparan. Akibatnya, ketika program gagal mencapai tujuan, tidak ada mekanisme akuntabilitas yang dapat menilai dan memperbaikinya secara sistematis. Yang lebih ironis, kegagalan tersebut justru kerap ditutup-tutupi atau disalahkan kepada pelaksana teknis di lapangan.
Kritik terhadap gaya kepemimpinan semacam ini bukan berarti menafikan pentingnya sensitivitas sosial dan keberpihakan terhadap rakyat kecil, yang sering menjadi narasi utama dalam pendekatan populis. Justru sebaliknya, keberpihakan yang sejati harus diwujudkan melalui kebijakan yang kokoh secara akademis, berkelanjutan secara sistemik, dan berdampak secara nyata dalam jangka panjang. Pendidikan tidak dapat diperlakukan sebagai panggung untuk pencitraan politik, karena kualitasnya tidak bisa diukur dalam satu atau dua tahun masa jabatan, tetapi dalam puluhan tahun perkembangan peserta didik yang mengalami kebijakan tersebut.
Selain itu, dalam sistem desentralisasi seperti Indonesia, meskipun daerah memiliki otonomi untuk mengelola sebagian sektor pendidikan, prinsip koordinasi vertikal dan horizontal tetap menjadi kunci. Ketika seorang kepala daerah bertindak seolah-olah berada di luar sistem nasional, hal ini akan merusak prinsip kebijakan satu sistem pendidikan nasional yang telah dibangun sejak era reformasi. Otonomi tidak berarti otonomi absolut. Ia tetap harus berdiri di atas pijakan hukum, kaidah tata kelola, serta prinsip partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Maka dari itu, populisme dalam kebijakan pendidikan harus dikritisi secara serius, bukan hanya oleh akademisi, tetapi juga oleh masyarakat sipil, organisasi guru, dan lembaga pengawas kebijakan publik.
Dengan memahami konteks tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkritik kecenderungan populisme dalam kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemimpin daerah, khususnya gubernur, yang bertindak tanpa landasan kajian dan tanpa konsultasi dengan pihak terkait. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana kebijakan yang demikian muncul, apa motif politik di baliknya, apa dampak riilnya terhadap ekosistem pendidikan, serta bagaimana seharusnya kebijakan pendidikan dirumuskan dengan prinsip tata kelola yang akuntabel, partisipatif, dan berorientasi jangka panjang. Dengan menggunakan pendekatan normatif dan analisis studi kasus, diharapkan tulisan ini dapat menjadi kontribusi bagi perbaikan praktik pembuatan kebijakan publik di sektor pendidikan, serta menjadi pengingat bahwa pendidikan bukanlah alat kekuasaan, tetapi tanggung jawab kolektif bangsa.
Populisme merupakan sebuah pendekatan politik yang menempatkan “kehendak rakyat” sebagai pusat dari semua tindakan dan keputusan pemimpin. Dalam konteks tertentu, populisme dapat menjadi kekuatan positif yang mendorong inklusivitas dan keberpihakan terhadap kelompok marjinal. Namun, dalam konteks kebijakan publik, khususnya di bidang pendidikan, populisme yang dilepaskan dari fondasi rasionalitas, data, dan peraturan yang berlaku dapat bertransformasi menjadi ancaman serius terhadap stabilitas dan kualitas sistem. Hal ini menjadi sangat relevan dalam pemerintahan daerah, terutama ketika seorang gubernur memiliki legitimasi politik yang besar dan menggunakan posisi tersebut untuk membentuk kebijakan dengan orientasi citra, bukan substansi.
Dalam lanskap demokrasi Indonesia pasca-reformasi, fenomena populisme politik mengalami pertumbuhan signifikan. Terbukanya ruang demokrasi dan pilkada langsung menciptakan insentif bagi politisi untuk membangun daya tarik publik melalui program-program yang dianggap “pro rakyat.” Sayangnya, keberpihakan ini sering kali bersifat artifisial. Pemimpin populis cenderung menghindari proses teknokratis yang kompleks karena dianggap tidak efektif secara politik. Sebagai gantinya, mereka lebih memilih langkah-langkah cepat yang dapat diklaim sebagai prestasi, meskipun sebenarnya lemah dari sisi perencanaan, legalitas, dan implementasi.
Karakteristik utama dari kepemimpinan populis di tingkat daerah dapat dikenali melalui beberapa kecenderungan. Pertama, adanya upaya untuk menjadikan isu publik sebagai alat politik tanpa menyertakan proses konsultasi atau partisipasi yang memadai. Dalam kasus kebijakan pendidikan, ini bisa muncul dalam bentuk program seragam gratis, pembebasan biaya pendidikan, atau penghapusan ujian tertentu tanpa terlebih dahulu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem yang berlaku. Kedua, pemimpin populis kerap menunjukkan sikap anti-elit atau anti-teknokrat, sehingga mengabaikan masukan dari akademisi, birokrat berpengalaman, serta komunitas pendidikan yang memahami kompleksitas permasalahan. Ketiga, keputusan kebijakan sering diambil secara cepat, dengan narasi moral yang kuat namun miskin desain teknis dan indikator keberhasilan.
Kepemimpinan populis seperti ini menciptakan atmosfer “kultus personalitas,” di mana seluruh kebijakan diasosiasikan dengan figur gubernur. Hal ini menyebabkan birokrasi kehilangan fungsi kritisnya sebagai penyeimbang dan pelaksana kebijakan berbasis sistem. Dalam banyak kasus, pejabat pendidikan di daerah terpaksa mengikuti kebijakan yang sebenarnya mereka tahu bermasalah secara substansi, karena khawatir dianggap tidak loyal terhadap pimpinan. Ketika kebijakan gagal atau menghadapi resistensi, tanggung jawab biasanya dilemparkan ke tingkat bawah seperti sekolah atau dinas, tanpa adanya evaluasi menyeluruh terhadap proses pengambilan keputusan di tingkat strategis.
Konsekuensi dari kebijakan populis di sektor pendidikan sangat kompleks. Dalam jangka pendek, mungkin terlihat ada peningkatan kepuasan publik karena kebijakan tersebut memberikan “manfaat instan”, misalnya penghapusan iuran sekolah atau penyediaan bantuan alat tulis. Namun dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat merusak ekosistem pendidikan karena tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas institusi, pelatihan tenaga pendidik, peningkatan kualitas kurikulum, atau pemerataan infrastruktur pendidikan. Bahkan dalam beberapa kasus, kebijakan populis justru menimbulkan beban administratif baru bagi sekolah dan guru, yang harus mengisi laporan tambahan, menyesuaikan aturan baru, atau menyelenggarakan program tanpa anggaran yang cukup.
Selain itu, kebijakan populis juga berpotensi menciptakan ketimpangan antarwilayah. Ketika satu daerah memaksakan kebijakan yang menyimpang dari regulasi nasional, seperti mengganti kurikulum, menambah hari libur sekolah, atau mengatur ulang kalender akademik tanpa koordinasi, maka akan muncul inkonsistensi dalam proses belajar-mengajar secara nasional. Ini tentu merugikan peserta didik, karena mereka menjadi korban eksperimen kebijakan yang tidak terstandar. Apalagi, ketika peserta didik tersebut harus berpindah wilayah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka akan menghadapi kesenjangan kurikulum dan perbedaan sistem yang membingungkan.
Fenomena ini diperparah oleh minimnya mekanisme kontrol publik yang efektif. Dewan pendidikan daerah, lembaga legislatif, dan organisasi profesi guru sering kali tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menantang kebijakan populis yang didukung oleh popularitas gubernur. Di sisi lain, media lokal pun kadang terjebak dalam pusaran dukungan terhadap kebijakan tersebut karena adanya tekanan politik atau konflik kepentingan. Maka, wacana publik yang seharusnya kritis justru terseret dalam euforia pencitraan politik, sehingga ruang refleksi dan evaluasi terhadap kebijakan menjadi tertutup.
Penting pula untuk dicatat bahwa kecenderungan populis ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh subur dalam sistem politik yang permisif terhadap gaya kepemimpinan karismatik, serta dalam masyarakat yang memiliki ekspektasi tinggi namun minim pemahaman terhadap proses kebijakan publik. Dalam situasi seperti ini, pemimpin yang menyederhanakan masalah dan menawarkan solusi instan akan lebih mudah mendapatkan dukungan, walaupun solusi tersebut tidak menyentuh akar persoalan. Pendidikan yang seharusnya menjadi proses jangka panjang dan berjenjang, tidak seharusnya diperlakukan sebagai objek eksperimentasi politis yang berubah-ubah sesuai selera pemimpin yang sedang menjabat.
Oleh karena itu, memahami karakteristik dan konsekuensi dari populisme dalam kebijakan pendidikan sangat penting sebagai langkah awal dalam mengembangkan kritik yang konstruktif. Dalam bab-bab selanjutnya, tulisan ini akan membahas studi kasus kebijakan populis tertentu yang dilakukan oleh kepala daerah di Indonesia, menganalisis dampaknya terhadap sistem pendidikan, serta menawarkan rekomendasi perbaikan yang berbasis pada prinsip good governance dan partisipasi publik.
Untuk memahami bagaimana kebijakan populis bekerja secara konkret dalam bidang pendidikan, penting untuk menelaah beberapa studi kasus dari praktik pemerintahan di tingkat daerah. Melalui analisis terhadap kebijakan yang telah diluncurkan oleh kepala daerah tertentu, kita dapat melihat lebih jelas bagaimana proses pembuatan keputusan yang tidak berbasis kajian akademik dapat menciptakan distorsi dalam sistem pendidikan. Bab ini akan menganalisis beberapa kebijakan populis yang muncul di beberapa provinsi di Indonesia, khususnya yang dikeluarkan oleh gubernur atau kepala daerah lain yang memiliki kecenderungan populistik dalam pendekatannya terhadap kebijakan pendidikan.
Salah satu contoh nyata adalah program penghapusan Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) di tingkat sekolah dasar dan menengah, yang pernah diberlakukan secara sepihak oleh seorang gubernur di Indonesia. Program ini dijalankan dengan alasan bahwa siswa terlalu banyak menghadapi tekanan ujian, dan bahwa evaluasi pembelajaran seharusnya tidak mengandalkan tes semata. Sekilas, alasan ini terdengar masuk akal dan bahkan progresif, sejalan dengan semangat pendidikan yang lebih humanis. Namun jika dikaji lebih dalam, kebijakan ini tidak melalui proses uji publik yang layak, tidak didukung oleh analisis kebutuhan dari lembaga pendidikan di wilayah tersebut, dan yang lebih serius, bertentangan dengan regulasi nasional mengenai standar penilaian pendidikan.
Dampak dari kebijakan tersebut sangat terasa di tingkat operasional. Banyak sekolah yang kebingungan dalam menyusun format evaluasi alternatif, karena tidak ada pedoman teknis yang disediakan pemerintah daerah. Guru-guru menjadi pihak yang paling terdampak karena mereka harus menyesuaikan proses belajar-mengajar dengan kebijakan baru yang tidak jelas arahnya. Belum lagi tekanan administratif untuk mengisi laporan-laporan evaluasi baru yang lebih rumit dan tidak terintegrasi dengan sistem sebelumnya. Alih-alih meringankan beban siswa dan guru, kebijakan ini justru menciptakan ketidakpastian, baik dalam aspek akademik maupun administratif.
Contoh lain yang juga mencerminkan populisme dalam kebijakan pendidikan adalah kebijakan seragam sekolah gratis yang diumumkan secara besar-besaran oleh kepala daerah menjelang pemilu. Dalam banyak kasus, pengadaan seragam gratis ini tidak dilandasi oleh kajian kebutuhan aktual, sehingga terjadi pemborosan anggaran pada item yang tidak menjadi prioritas utama sekolah. Dalam satu kasus di daerah urban, seragam sekolah diberikan kepada seluruh siswa secara merata, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masing-masing. Akibatnya, siswa dari keluarga mampu pun menerima bantuan, sementara sekolah justru kekurangan dana operasional lain yang lebih mendesak, seperti perbaikan infrastruktur atau pengadaan alat praktik. Kebijakan ini mendapat pujian dari masyarakat dalam jangka pendek, tetapi dalam evaluasi tahun berikutnya, diketahui bahwa kualitas seragam buruk, proses distribusi tidak merata, dan laporan keuangan program ini sulit diaudit karena data yang tidak sinkron.
Satu pola yang muncul dari kebijakan populis seperti ini adalah absennya prinsip tata kelola yang baik dalam proses perumusannya. Tidak ada studi kebutuhan yang dilakukan secara sistematik. Tidak ada partisipasi dari komunitas pendidikan, seperti asosiasi kepala sekolah, forum guru, atau pengawas pendidikan. Kebijakan dikeluarkan hanya berdasarkan intuisi politik dan tekanan opini publik. Lebih dari itu, kebijakan semacam ini sering kali tidak memiliki kerangka evaluasi yang jelas. Ukuran keberhasilan ditentukan bukan berdasarkan indikator kinerja yang objektif, melainkan dari persepsi publik dan pemberitaan media.
Dalam beberapa kasus, gubernur atau kepala daerah menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan narasi keberhasilan dari kebijakan populis tersebut. Konten-konten seperti video kunjungan ke sekolah, testimoni siswa yang mengaku senang mendapat seragam gratis, atau klaim meningkatnya minat belajar, disebarkan tanpa menyertakan data kuantitatif yang valid. Pendekatan komunikasi semacam ini semakin memperkuat citra pemimpin sebagai “pahlawan rakyat,” namun sesungguhnya menutup ruang diskusi dan evaluasi kritis terhadap dampak nyata kebijakan tersebut.
Kebijakan populis yang tidak disusun dengan basis keilmuan juga dapat menciptakan efek domino terhadap sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah kesenjangan antarwilayah yang semakin melebar. Ketika satu daerah memberlakukan sistem penilaian atau kurikulum alternatif tanpa koordinasi dengan pusat, maka peserta didik dari daerah tersebut akan mengalami kesulitan ketika harus berkompetisi di tingkat nasional, seperti dalam seleksi masuk perguruan tinggi atau olimpiade pendidikan. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerataan kualitas pendidikan yang menjadi amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Kelemahan lain dari kebijakan populis adalah rendahnya daya tahan terhadap perubahan pemerintahan. Karena kebijakan tersebut tidak dilembagakan secara struktural dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, maka sangat mungkin dihapus atau diubah secara total oleh kepala daerah berikutnya. Ketika hal ini terjadi, program pendidikan menjadi tidak berkelanjutan. Peserta didik, guru, dan sekolah sebagai lembaga, akan terus berada dalam siklus ketidakpastian kebijakan. Akhirnya, mereka lebih sibuk menyesuaikan diri dengan perubahan, daripada fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran.
Dalam konteks akuntabilitas publik, kebijakan populis juga bermasalah. Dalam banyak kasus, ketika program tidak berjalan sesuai rencana atau mengalami kegagalan, tidak ada evaluasi terbuka yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Bahkan, dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang menyuarakan kritik, baik dari kalangan akademik maupun organisasi profesi, justru dianggap sebagai lawan politik atau pembangkang. Hal ini mencerminkan tidak hanya kegagalan dalam tata kelola kebijakan, tetapi juga lemahnya kultur demokrasi deliberatif di tingkat daerah.
Melalui studi kasus ini, kita dapat menarik beberapa pelajaran penting. Pertama, kebijakan pendidikan harus dirumuskan berdasarkan kebutuhan riil dan hasil kajian yang mendalam, bukan hanya berdasarkan persepsi publik atau momentum politik. Kedua, pelibatan aktor-aktor kunci dalam sistem pendidikan sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan. Ketiga, setiap kebijakan harus memiliki dasar hukum yang kuat, indikator keberhasilan yang jelas, serta mekanisme evaluasi yang transparan.
Kritik terhadap kebijakan populis di bidang pendidikan tidak dimaksudkan untuk menolak keberpihakan terhadap rakyat, tetapi untuk menegaskan bahwa keberpihakan sejati harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang substansial, bukan simbolik. Pendidikan adalah sektor yang terlalu penting untuk dijadikan alat pencitraan politik. Ia harus dikelola secara ilmiah, sistematis, dan partisipatif, agar benar-benar mampu menciptakan manusia unggul yang mampu menjawab tantangan zaman.
Dalam menyusun kebijakan pendidikan yang efektif, berkelanjutan, dan berdampak luas, pemerintah daerah harus menjadikan tata kelola yang baik sebagai landasan utama. Tata kelola (governance) dalam konteks kebijakan pendidikan mencakup prinsip-prinsip dasar seperti akuntabilitas, transparansi, partisipasi, efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan terhadap hukum. Prinsip-prinsip ini bukan sekadar prosedur administratif, melainkan jantung dari sistem yang memastikan bahwa pendidikan tidak sekadar menjadi program, tetapi menjadi proses pembangunan manusia yang terukur dan terstruktur.
Kritik terhadap kebijakan populis yang tidak berbasis kajian harus diimbangi dengan tawaran kerangka kerja yang lebih baik. Salah satu kerangka tata kelola yang diakui secara luas adalah konsep “evidence-based policy” atau kebijakan berbasis bukti. Dalam kerangka ini, keputusan dibuat berdasarkan data empiris, kajian akademik, serta masukan dari para ahli dan pemangku kepentingan utama. Ini berbeda secara fundamental dengan pendekatan populis, yang kerap berbasis asumsi atau persepsi publik semata, tanpa validasi akademik yang kuat.
Pertama-tama, proses kebijakan pendidikan yang baik harus dimulai dari identifikasi masalah yang tepat. Seringkali, kebijakan populis gagal sejak tahap awal karena mereka merumuskan masalah secara simplistis. Misalnya, jika angka partisipasi sekolah rendah, solusi populis mungkin hanya berfokus pada insentif material seperti bantuan seragam atau penghapusan iuran. Padahal, akar masalah bisa jauh lebih kompleks: kualitas guru, akses transportasi, relevansi kurikulum, atau budaya lokal yang tidak mendukung pendidikan formal. Oleh karena itu, proses perumusan kebijakan yang sehat harus diawali dengan pemetaan menyeluruh terhadap kondisi objektif di lapangan. Di sinilah peran riset kebijakan pendidikan menjadi krusial.
Prosedur selanjutnya adalah konsultasi publik dan pelibatan multipihak. Pendidikan adalah sektor yang melibatkan banyak aktor: guru, kepala sekolah, siswa, orang tua, pengawas, dinas pendidikan, organisasi profesi, dan masyarakat sipil. Mengabaikan partisipasi mereka dalam perumusan kebijakan adalah bentuk pemutusan hubungan sosial dalam tata kelola. Konsultasi publik tidak hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai proses deliberatif di mana berbagai suara dan perspektif ditampung, dikaji, dan dirumuskan menjadi strategi yang realistis. Dalam konteks ini, forum-forum seperti musyawarah pendidikan, focus group discussion, dan uji publik rancangan kebijakan sangat penting.
Dalam hal teknis kebijakan, pemerintah daerah perlu memiliki perangkat regulasi yang jelas dan terintegrasi. Kebijakan pendidikan tidak boleh menjadi produk sepihak kepala daerah yang diumumkan melalui pidato, media sosial, atau surat edaran informal. Ia harus tertuang dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan gubernur yang didukung oleh naskah akademik dan rencana aksi yang rinci. Peraturan ini harus menjabarkan: tujuan kebijakan, sasaran, indikator keberhasilan, alokasi anggaran, tanggung jawab tiap unit kerja, serta mekanisme monitoring dan evaluasi. Tanpa perangkat ini, kebijakan hanya menjadi wacana populis yang tidak dapat diimplementasikan secara efektif.
Efektivitas dan efisiensi juga menjadi prinsip penting. Banyak kebijakan populis gagal karena boros anggaran, tidak tepat sasaran, atau tumpang tindih dengan program lain. Misalnya, jika pemerintah daerah membuat program pelatihan guru yang tidak relevan dengan kebutuhan aktual pembelajaran, atau mendistribusikan perangkat digital tanpa pelatihan penggunaan, maka program tersebut akan berakhir menjadi simbolisme politik yang mahal. Tata kelola yang baik menuntut adanya analisis cost-benefit, studi dampak jangka panjang, dan uji kelayakan implementasi. Dengan cara ini, setiap rupiah dari anggaran pendidikan benar-benar digunakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi pilar dalam kerangka kebijakan pendidikan yang sehat. Pemerintah daerah harus membuka akses terhadap dokumen kebijakan, rencana anggaran, dan hasil evaluasi kepada publik. Laporan pelaksanaan program pendidikan harus disusun secara periodik dan dipublikasikan melalui media resmi, agar masyarakat dapat memantau capaian dan kekurangan. Selain itu, mekanisme pengaduan atau grievance mechanism perlu dikembangkan agar aktor pendidikan di akar rumput dapat menyuarakan permasalahan implementasi kebijakan. Ini akan memperkuat kontrol sosial dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan kebijakan.
Selanjutnya, sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan pendidikan di tingkat daerah selaras dengan regulasi nasional. Pendidikan di Indonesia memiliki kerangka hukum yang cukup jelas, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ketidaksinkronan antara kebijakan daerah dan pusat tidak hanya akan menimbulkan kebingungan, tetapi juga menciptakan kesenjangan dalam pencapaian standar pendidikan nasional. Oleh karena itu, penyusunan kebijakan di daerah harus selalu merujuk pada kerangka hukum nasional dan dilakukan melalui koordinasi lintas tingkat pemerintahan.
Penting juga untuk mengembangkan kapasitas birokrasi pendidikan. Salah satu alasan mengapa kebijakan populis dapat mendominasi adalah karena lemahnya peran teknokrat di dalam dinas pendidikan. Banyak aparatur sipil negara yang hanya menjadi pelaksana pasif, tanpa kemampuan untuk menolak atau mengkritisi kebijakan yang keliru. Oleh karena itu, reformasi birokrasi pendidikan perlu dilakukan melalui pelatihan reguler, insentif berbasis kinerja, dan sistem rekrutmen yang berbasis merit. Dengan cara ini, birokrasi dapat menjadi kekuatan penyeimbang terhadap gaya kepemimpinan populis yang cenderung top-down.
Yang tidak kalah penting adalah pembangunan kultur kebijakan yang berbasis evaluasi. Banyak daerah yang tidak memiliki tradisi evaluasi kebijakan secara sistematis. Kebijakan diluncurkan, dijalankan, lalu ditinggalkan tanpa ada refleksi mendalam mengenai capaian, hambatan, dan pelajaran yang bisa diambil. Padahal, siklus kebijakan yang ideal mencakup tahap evaluasi sebagai dasar untuk revisi atau pengembangan program berikutnya. Evaluasi ini harus dilakukan secara independen, dengan melibatkan akademisi, lembaga riset, dan komunitas pendidikan. Evaluasi bukan hanya menilai “apa yang telah dilakukan,” tetapi juga “apa yang seharusnya dilakukan” di masa depan.
Terakhir, membangun ekosistem partisipatif dalam kebijakan pendidikan memerlukan dukungan budaya politik yang sehat. Masyarakat harus dilibatkan tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai subjek kebijakan. Dalam konteks ini, literasi kebijakan pendidikan harus ditingkatkan. Masyarakat perlu memahami bagaimana proses kebijakan berlangsung, siapa yang bertanggung jawab, serta bagaimana mereka dapat terlibat secara aktif. Media massa, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi memiliki peran besar dalam membangun kesadaran kritis ini.
Sebagai penutup bab ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kebijakan pendidikan yang baik bukanlah hasil ilham sesaat atau respons cepat terhadap tekanan publik, melainkan hasil dari proses panjang yang melibatkan kajian akademik, partisipasi multipihak, tata kelola yang transparan, serta evaluasi yang berkelanjutan. Pemerintah daerah, terutama kepala daerah seperti gubernur, harus memahami bahwa kekuasaan politik yang mereka miliki bukanlah alat untuk menciptakan pencitraan, melainkan mandat untuk membangun sistem pendidikan yang kuat dan tahan terhadap perubahan. Tanpa tata kelola yang baik, setiap kebijakan, sebaik apapun niatnya, akan berisiko menjadi sekadar retorika, bukan transformasi.
Kebijakan yang bersifat populis dan tidak berbasis pada kajian mendalam bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau kepala daerah semata, melainkan juga merupakan tantangan bagi ekosistem demokrasi secara keseluruhan. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan desentralistik seperti Indonesia, peran aktor non-pemerintah sangat penting dalam memastikan bahwa proses perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan berjalan sesuai prinsip tata kelola yang baik. Di antara aktor-aktor tersebut, akademisi, masyarakat sipil, dan media massa memiliki peran strategis yang tidak dapat diabaikan, terutama dalam mengkritisi kebijakan yang tidak berpijak pada landasan ilmiah serta dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Peran pertama datang dari kalangan akademisi dan lembaga pendidikan tinggi. Akademisi memiliki kapasitas untuk menyediakan landasan teoretis dan kajian empiris dalam perumusan kebijakan. Melalui penelitian yang sistematis dan metodologis, mereka dapat membantu mengidentifikasi masalah pendidikan yang sesungguhnya, menganalisis akar penyebabnya, serta merumuskan alternatif solusi berbasis data. Dalam konteks kebijakan publik, akademisi juga memiliki otoritas moral dan intelektual untuk menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang menyimpang, inkonsisten, atau bahkan kontra-produktif. Namun, di banyak daerah, hubungan antara pembuat kebijakan dan kalangan akademisi sering kali bersifat pragmatis, terbatas pada pembuatan naskah akademik formalitas, tanpa ada ruang sejati untuk dialog ilmiah.
Kelemahan ini menjadi celah bagi munculnya kebijakan populis, karena kepala daerah dapat dengan mudah mengabaikan proses ilmiah jika tidak ada tekanan dari komunitas akademik yang kuat dan berani bersuara. Oleh karena itu, dunia akademik perlu memperkuat posisinya sebagai aktor independen dalam ekosistem kebijakan publik. Ini bisa dilakukan melalui forum-forum diskusi terbuka, publikasi opini di media, serta keterlibatan aktif dalam uji publik kebijakan. Akademisi juga perlu lebih dekat dengan masyarakat dan sektor pendidikan akar rumput, agar suara mereka tidak dianggap elitis atau terpisah dari realitas sosial. Dengan demikian, kritik akademik terhadap kebijakan populis tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga berakar pada kondisi faktual.
Masyarakat sipil juga memegang peran penting dalam mengawasi dan mengoreksi kebijakan pendidikan yang menyimpang. Masyarakat sipil dalam hal ini meliputi organisasi non-pemerintah (NGO), asosiasi profesi, komunitas guru, forum orang tua siswa, dan berbagai bentuk organisasi sosial lainnya yang peduli terhadap isu pendidikan. Peran mereka sangat penting dalam memastikan adanya kontrol horizontal terhadap kekuasaan daerah. Jika kebijakan populis dibiarkan berjalan tanpa koreksi dari masyarakat sipil, maka ketimpangan dan ketidakefektifan akan terus berulang. Sayangnya, kapasitas masyarakat sipil di bidang pendidikan masih sering terfragmentasi. Banyak organisasi masyarakat sipil hanya berfokus pada kegiatan programatik dan pelayanan, tanpa memiliki kapasitas untuk melakukan advokasi kebijakan yang sistematis.
Untuk menjawab tantangan ini, perlu dibangun jaringan masyarakat sipil di tingkat lokal yang secara khusus memantau kebijakan pendidikan. Jaringan ini bisa mengorganisir diskusi publik, menyusun policy brief, dan menfasilitasi dialog antara pemerintah dan masyarakat. Dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat sipil menjadi semakin vital, karena pengawasan terhadap kebijakan daerah tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam bidang advokasi kebijakan, riset, dan komunikasi publik menjadi kebutuhan mendesak.
Media massa baik media konvensional maupun media digital, juga menjadi aktor penting dalam mengawal kebijakan pendidikan. Media memiliki daya jangkau luas dan kemampuan untuk membentuk opini publik. Dalam konteks kebijakan populis, media bisa berperan ganda: sebagai saluran kritik dan pengawasan, atau justru sebagai alat reproduksi pencitraan kepala daerah. Di era digital, kepala daerah yang populis sering kali sangat lihai menggunakan media sosial untuk membentuk narasi tentang keberhasilan kebijakan mereka. Sayangnya, media kadang ikut terjebak dalam framing yang dangkal, dengan hanya mengutip klaim-klaim kepala daerah tanpa melakukan verifikasi data atau analisis kritis.
Di sinilah pentingnya jurnalisme pendidikan yang bermutu. Wartawan dan redaksi media harus dibekali dengan pemahaman mendalam tentang isu-isu pendidikan dan tata kelola kebijakan. Liputan mendalam (in-depth reporting), jurnalisme data, dan investigasi kebijakan adalah pendekatan yang perlu dikembangkan. Media juga perlu menyediakan ruang untuk opini dari kalangan akademisi dan pelaku pendidikan, agar wacana publik tidak didominasi oleh narasi politis semata. Kolaborasi antara media, lembaga riset, dan masyarakat sipil bisa menghasilkan sinergi kuat untuk mendorong akuntabilitas kebijakan.
Lebih jauh, kolaborasi lintas aktor, akademisi, masyarakat sipil, dan media dapat menghasilkan gerakan advokasi kebijakan yang kuat. Sebagai contoh, jika sebuah kebijakan populis menghapus ujian semester tanpa persiapan teknis, maka akademisi dapat menyusun kritik berbasis kajian ilmiah, masyarakat sipil dapat mengorganisir suara guru dan orang tua untuk menyuarakan dampaknya, dan media dapat menyiarkan investigasi atas dampak kebijakan tersebut secara luas. Dengan sinergi semacam ini, tekanan terhadap pemerintah daerah menjadi lebih besar dan kebijakan yang keliru lebih sulit dipertahankan.
Namun, kerja-kerja kritik dan pengawasan ini membutuhkan dukungan sistemik. Pemerintah pusat perlu memberikan ruang legal dan politik bagi keterlibatan aktor non-pemerintah dalam proses kebijakan di daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan mewajibkan proses konsultasi publik dalam setiap penyusunan peraturan daerah, memperkuat kewenangan badan pengawas pendidikan, dan memberikan dukungan pendanaan bagi inisiatif masyarakat sipil. Di sisi lain, perguruan tinggi harus mendorong budaya pengabdian masyarakat yang tidak hanya berfokus pada kegiatan sosial, tetapi juga pada advokasi dan pembaruan kebijakan.
Akhirnya, masyarakat luas, termasuk orang tua, siswa, dan warga biasa, juga harus diberdayakan agar memiliki literasi kebijakan. Dalam banyak kasus, kebijakan populis tetap populer karena masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup untuk menilai kualitas kebijakan. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan politik harus diarahkan bukan hanya pada pemahaman tentang hak dan kewajiban, tetapi juga pada kemampuan membaca, menganalisis, dan mengevaluasi kebijakan publik. Jika masyarakat mampu berpikir kritis terhadap janji-janji politik dan memahami konsekuensi kebijakan secara mendalam, maka ruang bagi populisme akan semakin sempit.
Sebagai kesimpulan, aktor-aktor non-pemerintah memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga kualitas kebijakan pendidikan dari dominasi populisme. Akademisi harus berdiri kokoh sebagai penjaga akal sehat dalam perumusan kebijakan. Masyarakat sipil harus terus memperkuat suara dari bawah dan membangun partisipasi yang substantif. Media harus menjadi jendela transparansi dan arena debat publik yang sehat. Ketiganya harus bekerja sama, bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam membangun pendidikan yang adil, berkualitas, dan berkelanjutan. Tanpa keterlibatan mereka, kebijakan pendidikan akan terus berada dalam pusaran kepentingan politik jangka pendek, bukan sebagai instrumen pembangunan jangka panjang.
Kebijakan publik dalam bidang pendidikan adalah salah satu instrumen paling strategis dalam menentukan arah masa depan bangsa. Pendidikan bukan hanya soal program teknis atau anggaran tahunan, melainkan fondasi peradaban yang menentukan kualitas sumber daya manusia suatu negara. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus dirumuskan dengan kehati-hatian, kecermatan metodologis, dan keberanian untuk menjawab persoalan secara struktural. Dalam konteks ini, munculnya gaya kepemimpinan populis yang kerap membuat kebijakan tanpa kajian mendalam menimbulkan keprihatinan serius.
Populisme dalam kepemimpinan daerah sering kali berwujud dalam kebijakan yang bersifat simbolik, cepat, dan popular secara politis, namun miskin dalam substansi dan perencanaan teknis. Kebijakan semacam ini biasanya tidak melalui proses analisis kebutuhan yang kuat, mengabaikan kerangka hukum yang berlaku, serta menutup partisipasi publik yang kritis. Akibatnya, bukan hanya efektivitas kebijakan yang dipertaruhkan, melainkan juga kredibilitas institusi publik dan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, ketidaktepatan kebijakan ini berisiko menciptakan kerusakan sistemik dalam jangka panjang, termasuk penurunan kualitas pembelajaran, keraguan terhadap lembaga pendidikan, hingga ketimpangan akses.
Kritik terhadap gaya kebijakan semacam ini tidak berarti menolak kreativitas atau kecepatan dalam pengambilan keputusan. Namun, kritik ini penting untuk mengingatkan bahwa inovasi kebijakan harus tetap berpijak pada prinsip tata kelola yang baik: berbasis bukti, inklusif, akuntabel, dan selaras dengan kerangka hukum nasional. Setiap kebijakan publik, apalagi dalam bidang pendidikan, harus menjawab persoalan secara nyata, bukan sekadar merespons tekanan politik jangka pendek.
Dari uraian sebelumnya, terdapat beberapa simpulan penting:
- Kebijakan populis yang tidak berbasis kajian dapat merusak sistem pendidikan dengan menghasilkan keputusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan, menimbulkan kebingungan implementasi, dan menyia-nyiakan anggaran negara.
- Tata kelola kebijakan pendidikan yang baik harus melibatkan proses ilmiah, seperti pemetaan masalah, konsultasi publik, penyusunan regulasi formal, serta evaluasi yang berkelanjutan. Proses ini memastikan bahwa kebijakan bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga relevan dan efektif secara teknis.
- Kekuatan koreksi terhadap kebijakan populis tidak dapat hanya bertumpu pada pemerintah pusat, tetapi membutuhkan peran aktif dari akademisi, masyarakat sipil, dan media. Ketiganya harus menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran, mengawal transparansi, dan memastikan bahwa kebijakan yang dijalankan membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
- Literasi kebijakan di kalangan masyarakat umum perlu ditingkatkan, agar warga dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi secara bermakna, tidak hanya sebagai pemilih dalam pemilu, tetapi juga sebagai pengawas kebijakan dan penuntut akuntabilitas publik.
Berdasarkan simpulan tersebut, berikut adalah rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti oleh berbagai pihak:
1. Bagi Kepala Daerah dan Pemerintah Daerah:
-
Menghentikan praktik pembuatan kebijakan yang terburu-buru dan tidak berdasar pada riset. Setiap kebijakan strategis harus didahului oleh kajian ilmiah yang melibatkan para ahli, pelaku pendidikan, dan masyarakat.
-
Membentuk lembaga penasihat kebijakan daerah yang terdiri dari akademisi, praktisi pendidikan, dan masyarakat sipil untuk menelaah setiap kebijakan sebelum diimplementasikan.
-
Menjalankan konsultasi publik secara transparan dalam proses penyusunan kebijakan pendidikan, dan mempublikasikan hasil-hasilnya sebagai bagian dari komitmen terhadap akuntabilitas.
2. Bagi Akademisi dan Perguruan Tinggi:
-
Aktif melakukan penelitian kebijakan pendidikan lokal dan menerbitkan hasilnya dalam bentuk yang dapat diakses publik dan pengambil kebijakan.
-
Terlibat dalam forum-forum advokasi kebijakan, baik melalui media massa, diskusi terbuka, maupun kemitraan dengan pemerintah daerah.
-
Mendorong pendidikan kebijakan publik dalam kurikulum agar mahasiswa tidak hanya kritis secara akademik, tetapi juga melek terhadap proses kebijakan nyata.
3. Bagi Organisasi Masyarakat Sipil:
-
Memperkuat jaringan advokasi kebijakan pendidikan, khususnya di tingkat daerah, agar bisa menjadi penghubung antara masyarakat dan pembuat kebijakan.
-
Memberikan pelatihan kepada komunitas akar rumput tentang hak-hak mereka dalam pendidikan dan bagaimana mereka dapat terlibat dalam penyusunan kebijakan.
-
Membuat laporan pemantauan kebijakan pendidikan yang independen dan disebarluaskan kepada publik untuk memperkuat fungsi kontrol sosial.
4. Bagi Media Massa dan Jurnalis:
-
Mengembangkan liputan kebijakan pendidikan yang lebih mendalam dan berbasis data, tidak hanya sekadar memberitakan klaim atau pencitraan pemerintah daerah.
-
Menyediakan ruang yang lebih luas untuk opini, analisis, dan kritik kebijakan dari kalangan ahli dan pelaku pendidikan.
-
Menjalin kemitraan dengan lembaga riset dan organisasi masyarakat sipil untuk memperluas basis informasi dan meningkatkan kualitas jurnalisme pendidikan.
5. Bagi Pemerintah Pusat:
-
Memberikan panduan dan supervisi lebih kuat terhadap proses penyusunan kebijakan daerah, agar tetap sesuai dengan standar nasional dan prinsip tata kelola yang sehat.
-
Menyediakan mekanisme insentif dan sanksi terhadap pemerintah daerah berdasarkan kualitas kebijakan dan capaian pendidikan mereka.
-
Memfasilitasi pelatihan reguler bagi pejabat daerah tentang perumusan kebijakan berbasis bukti, pendekatan partisipatif, dan evaluasi kebijakan.
Dengan menjalankan rekomendasi tersebut secara konsisten, diharapkan kebijakan pendidikan di tingkat daerah dapat keluar dari jebakan populisme dan kembali kepada semangat pelayanan publik yang berorientasi pada kualitas dan keadilan. Pendidikan yang baik adalah hasil dari kebijakan yang baik dan kebijakan yang baik hanya dapat lahir dari proses yang terbuka, ilmiah, dan bertanggung jawab.


0 Komentar