Mengapa Guru yang Mengajarkan Keberanian Justru Takut Bicara?

Pada setiap ruang kelas di negeri ini, dalam berbagai bentuk dan ukurannya, dari bangunan tua beratap seng hingga sekolah baru berpendingin ruangan, terdapat satu sosok yang hampir selalu menjadi pusat perhatian. Ia berdiri di depan papan tulis, menata buku, dan menyampaikan kalimat yang bahkan mungkin tidak sepenuhnya ia sadari efeknya: ajakan untuk berani. Guru, dalam segala keterbatasan dan kelebihannya, sering kali menjadi orang pertama yang memperkenalkan murid kepada konsep tentang kebenaran, tentang keberanian, dan tentang suara. Dari gurulah murid belajar bahwa menyampaikan pendapat adalah bagian dari harga diri, bahwa membela apa yang benar adalah fondasi keadilan, dan bahwa diam di hadapan ketidakbenaran dapat membuat seseorang kehilangan kemanusiaannya. Guru menjadi teladan awal bagi banyak generasi untuk memahami bahwa keberanian adalah pondasi yang harus dijunjung tinggi.


Namun, seiring berjalannya waktu, ada sebuah ironi besar yang tumbuh di tengah dunia pendidikan kita, sebuah ironi yang begitu lazim hingga banyak orang tak lagi merasa itu sebagai sesuatu yang janggal. Guru yang dahulu mengajarkan keberanian, kini justru hidup dalam ruang-ruang yang menuntut keheningan. Guru yang dahulu berteriak tentang kejujuran, kini menekan suaranya serendah mungkin. Guru yang dahulu meminta murid untuk melawan ketidakadilan, kini membatasi diri pada aturan-aturan yang membungkam kritik. Dunia pendidikan berubah, atau mungkin lebih tepatnya, mengungkap sisi yang selama ini tersembunyi: bahwa menjadi bagian dari sistem birokrasi sering kali memaksa keberanian untuk meredup, seperti api lilin yang ditiup perlahan oleh angin halus, bahkan sebelum sempat berkobar tinggi.

Ironi ini bukan sekadar cerita individual dari satu atau dua orang guru. Ia sudah menjelma menjadi fenomena sosial yang lebih besar. Ketika seorang guru yang idealis memasuki dunia Aparatur Sipil Negara (ASN), ia sering kali berhadapan dengan budaya birokrasi yang begitu kental dengan hierarki dan ketakutan. Di dunia baru ini, menyampaikan pendapat bukan lagi semudah berbicara di depan murid-murid yang ia ajari. Setiap kata memiliki konsekuensi, setiap keberanian memiliki harga, dan setiap kritik dianggap sebagai ancaman yang bisa berakibat panjang. Banyak guru akhirnya memilih untuk menahan diri, bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka tahu bahwa keberanian yang sama yang dulu mereka ajarkan kepada murid bisa membuat mereka kehilangan rasa aman dalam sistem yang tidak dirancang untuk menerima kritik.

Dalam konteks inilah makna keberanian berubah. Jika dulu keberanian adalah tentang mengungkapkan sesuatu yang benar, sekarang keberanian adalah tentang memilih diam demi keselamatan diri. Perubahan makna ini begitu halus, namun sangat signifikan. Seorang guru mungkin bangga pernah membesarkan murid yang berintegritas dan vokal, tetapi ia sendiri terjebak dalam jaring sistem yang membatasi geraknya. Sebab bagi sebagian besar guru, terutama yang sudah berada di dalam struktur ASN, keberanian bukan lagi sesuatu yang dipuji, tetapi sesuatu yang justru dianggap berbahaya. Mereka tahu bahwa satu kalimat yang salah bisa membuat laporan naik ke atasan, membuat rapor kinerja terpengaruh, bahkan menimbulkan masalah administratif yang panjang. Maka guru belajar bahwa diam lebih aman daripada berkata jujur, patuh lebih ringan daripada berpikir kritis, dan mengikuti arus lebih masuk akal daripada menjadi batu yang bergerak melawan aliran sungai.

Namun, apakah semua guru memilih jalan yang sama? Tentu tidak. Di antara kerumunan guru yang memilih diam, selalu ada sosok-sosok yang tetap menjaga integritas dan keberanian mereka. Sosok-sosok ini menjadi “anomali” di tengah sistem yang mendorong keseragaman. Mereka berani mengingatkan rekan sejawat tentang prosedur yang keliru, berani menegur praktik yang tidak seharusnya dilakukan, dan berani menyampaikan pendapat meski tahu itu bisa membuat mereka dianggap tidak kooperatif. Mereka tahu bahwa menegakkan kebenaran memiliki konsekuensi, tetapi mereka juga sadar bahwa kehilangan keberanian berarti kehilangan jati diri mereka sebagai pendidik. Guru jenis ini sangat langka, dan karena kelangkaannya, mereka sering kali menjadi sasaran pandangan sinis. Tidak sedikit yang menganggap mereka terlalu vokal, terlalu ribut, atau terlalu idealis—padahal sebenarnya, mereka hanya sedang melakukan hal yang seharusnya.

Kerumitan ini menjadikan dunia guru sebagai medan penuh paradoks. Di satu sisi, guru ingin menjadi role model bagi murid—menjadi sosok yang berbicara lantang tentang nilai-nilai moral yang benar. Di sisi lain, guru terperangkap dalam realitas kerja yang memaksa mereka untuk menurunkan volume suara mereka sendiri. Murid diajari untuk menyampaikan kritik secara terbuka, tetapi guru justru menghindari kritik dalam sistemnya. Murid diminta untuk tidak takut bersuara, tetapi guru takut tersandung peraturan. Murid didorong untuk memperjuangkan kebenaran, tetapi guru diminta untuk mengikuti arus demi menjaga stabilitas.

Dalam kondisi seperti ini, pendidikan tidak hanya berhenti menjadi transfer ilmu, tetapi juga menjadi arena pergulatan moral. Guru yang tidak lagi bisa menyuarakan kebenaran menghadapi dilema batin setiap harinya. Mereka mengajarkan sesuatu yang mereka sendiri tidak bisa lakukan. Ini bukan hanya kontradiksi, tetapi luka batin yang dalam. Ketika seorang guru berkata kepada murid bahwa mengatakan yang benar adalah sebuah kewajiban, ia tahu bahwa dirinya sering gagal melakukannya dalam rapat-rapat sekolah, dalam evaluasi kebijakan, dalam pengadaan, dalam administrasi, dan dalam banyak keputusan yang sebenarnya membutuhkan suara keberanian. Mereka merasakan ketidakselarasan antara apa yang harus diajarkan dan apa yang harus mereka patuhi. Di sinilah letak luka moral yang paling berat: sebuah kondisi di mana seseorang harus mengajarkan nilai yang tidak bisa ia praktikkan secara utuh.

Di tengah semua kerumitan ini, banyak guru akhirnya memilih untuk bersikap netral. Mereka tidak mau terlalu kritis, tetapi juga tidak ingin sepenuhnya mengikuti arus. Mereka berusaha hidup di tengah-tengah, menjaga keseimbangan antara idealisme yang masih tersisa dan kenyataan birokrasi yang tak bisa mereka lawan. Mereka menjadi guru yang menjalankan tugas dengan baik, mengajar dengan dedikasi, tetapi tidak ingin terseret arus politik kantor. Mereka bekerja dalam batas aman. Mereka memilih untuk tidak menjadi terlalu menonjol dalam hal keberanian, tetapi juga tidak ingin kehilangan diri sepenuhnya.

Namun netralitas ini tidak menyembuhkan dilema moral yang ada. Justru, ia sering membuat guru merasa kehilangan suara mereka perlahan-lahan. Setiap hari, guru terbiasa menggunakan suara untuk menjelaskan pelajaran, memotivasi murid, mengatur kelas, dan menginspirasi. Tetapi untuk hal-hal penting yang menyangkut kebenaran, suara itu sering tercekik oleh rasa takut. Rasa takut ini bukan hanya tentang kehilangan jabatan, tetapi juga kehilangan hubungan baik dengan rekan kerja, pimpinan, dan lingkungan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketakutan ini begitu manusiawi, sehingga banyak guru menganggapnya sebagai normal. Mereka membujuk diri bahwa diam adalah pilihan paling bijaksana, bahwa sistem terlalu besar untuk dilawan, dan bahwa keberanian hanya akan membawa mereka pada masalah yang tidak perlu.

Akan tetapi, ada pertanyaan besar yang terus mengusik di balik keheningan ini: bagaimana murid akan belajar tentang keberanian jika guru sebagai teladan justru kehilangan keberanian itu? Pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang karakter. Murid meniru apa yang mereka lihat, bukan hanya apa yang mereka dengar. Jika mereka melihat guru yang takut, mereka belajar bahwa ketakutan adalah norma. Jika mereka melihat guru yang diam, mereka belajar bahwa diam adalah pilihan paling aman. Jika mereka melihat guru yang tidak berani menyampaikan kebenaran, mereka belajar bahwa kebenaran hanya relevan jika tidak meresahkan pihak lain. Nilai-nilai moral akan merosot bukan karena tidak diajarkan, tetapi karena tidak dipraktikkan.

Di sinilah ironi Hari Guru Nasional menemukan wujud paling nyatanya. Pada satu hari setiap tahun, guru dipuji sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebagai garda depan pendidikan, sebagai agen perubahan. Tetapi setelah hari itu berlalu, sistem tetap berjalan seperti biasa—membuat guru kembali menahan suara, kembali menelan pendapat, kembali menyimpan keberanian di tempat yang jauh. Hari Guru Nasional seolah menjadi ruang perayaan sesaat, tetapi tidak menjadi momen refleksi struktural tentang bagaimana memperbaiki kondisi itu sendiri. Tidak banyak ruang untuk membicarakan bahwa keberanian guru telah direduksi menjadi formalitas belaka.

Namun meski demikian, tidak semua yang suram harus dianggap tak bisa diubah. Dunia pendidikan selalu memiliki peluang untuk diperbaiki, dan guru tetap menjadi elemen inti dalam perubahan itu. Keberanian memang bisa meredup, tetapi tidak akan pernah benar-benar padam. Ada banyak guru yang diam bukan karena mereka ingin diam, tetapi karena mereka masih mencari cara agar suara mereka tetap terdengar tanpa menghancurkan diri mereka sendiri. Mereka mencari cara untuk menyampaikan kebenaran dengan lebih halus, dengan strategi, atau dengan cara yang tidak frontal. Dalam banyak kasus, keberanian yang lembut ini justru jauh lebih efektif. Mereka mungkin tidak berteriak lantang, tetapi mereka tetap menunjukkan integritas melalui tindakan sehari-hari, melalui keputusan kecil yang konsisten, dan melalui ketegasan yang tidak perlu diumumkan.

Guru seperti ini adalah harapan yang nyata. Mereka bukan pahlawan yang dramatis, tetapi penjaga nilai yang senyap. Mereka tahu bahwa perubahan tidak harus selalu dimulai dengan teriakan, melainkan dengan keteguhan sikap yang terus dipertahankan. Mereka menolak menjadi bagian dari masalah, meski mereka tahu tidak bisa sepenuhnya menjadi solusi. Mereka menjadi jembatan antara idealisme dan realitas, antara keberanian dan kehati-hatian. Dan meski suara mereka tidak lantang, keberanian mereka tetap menjadi cahaya bagi murid-murid yang memperhatikan.

Akan tetapi, perubahan sejati tetap membutuhkan ruang. Guru tidak bisa selamanya menjalani kehidupan profesional dalam ketakutan. Sistem pendidikan harus mulai membuka mata bahwa kritik bukanlah ancaman, tetapi bahan bakar untuk memperbaiki keadaan. Manajemen sekolah perlu memahami bahwa keberanian guru bukan musuh, tetapi aset. Pemerintah perlu menyadari bahwa guru tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga fungsi moral dalam membentuk bangsa. Guru yang berani seharusnya tidak dimusuhi; mereka seharusnya dirangkul.

Mungkin perubahan besar itu belum tiba. Tetapi setiap suara kecil yang berani tetap memiliki makna. Setiap langkah kecil untuk mempertahankan integritas tetap berharga. Setiap guru yang memilih untuk tidak menyerah pada ketakutan tetap menjadi inspirasi, meski inspirasinya tidak selalu terlihat. Hari Guru Nasional bukan hanya hari untuk memuji mereka. Harusnya juga menjadi hari untuk mengingat bahwa keberanian guru bukan sekadar slogan. Ia adalah nilai yang harus dipelihara, dijaga, dan dihargai.

Jika pada akhirnya seorang guru berkata kepada muridnya bahwa kebenaran harus diperjuangkan, semoga itu bukan hanya kata-kata kosong. Semoga guru itu juga masih memiliki keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dalam dunia profesionalnya. Karena keberanian tidak selalu berarti berteriak keras, kadang, keberanian adalah bertahan menjaga diri, bertahan menyuarakan kebenaran dalam cara yang paling mungkin dilakukan, atau bahkan sekadar bertahan agar tidak kehilangan integritas diri.

Keheningan guru mungkin tampak seperti kelemahan, tetapi di balik keheningan itu selalu ada cerita. Cerita tentang perlawanan, tentang keteguhan hati, tentang dilema moral, dan tentang upaya untuk tetap menjadi sosok yang dulu mengajarkan keberanian. Sosok yang mungkin sedang meredup, tetapi tidak padam. Sosok yang mungkin terjebak, tetapi tidak kalah. Sosok yang mungkin diam, tetapi masih menyimpan suara yang suatu hari bisa kembali menguat.

Dan pada akhirnya, mungkin itu inti dari semua ini: bahwa keberanian seorang guru bukan hanya diukur dari suaranya, tetapi dari tekadnya untuk tetap setia pada nilai kebenaran, meski dunia di sekelilingnya menuntutnya untuk diam.

Posting Komentar

0 Komentar