Sabar dalam Kultur Budaya, Kolonial, dan Agama Yang Kejauhan Memaknainya.

Salah satu paradoks paling menarik dalam kebudayaan Indonesia hari ini adalah bagaimana “sabar” diagungkan sebagai kebajikan mulia, tetapi sekaligus sering dipraktikkan sebagai alasan untuk diam, pasif, dan tidak bergerak. Sabar dipuji sebagai “kekuatan yang gagah”, “kekuatan yang diam”, namun dalam praktik sehari-hari ia kerap berubah menjadi justifikasi untuk tidak melawan ketidakadilan, tidak mengajukan keberatan, bahkan tidak mengelola konflik yang perlu disuarakan. Pertanyaannya: bagaimana proses ini terjadi? Mengapa, secara kultural, begitu banyak orang Indonesia menggeser makna sabar dari daya juang batin menjadi kepasifan sosial? Dan sejak kira-kira zaman apa wacana tentang “diam sebagai kebijaksanaan” ini menguat?



Untuk menjawabnya, kita perlu membedah beberapa lapis: lapis religius (khususnya Islam sebagai agama mayoritas), lapis kultural-lokal (misalnya Jawa dengan konsep nrimo ing pandum dan ewuh pakewuh), lapis politik-historis (kolonialisme dan Orde Baru), serta lapis sehari-hari dalam keluarga, sekolah, dan birokrasi modern. Dari pertemuan lapis-lapis inilah lahir satu pola: sabar yang secara teologis dan filosofis seharusnya aktif, justru dipersempit menjadi “kekuatan yang diam” yang dilarang mengganggu harmoni bahkan bila harmoni itu hanya harmoni semu.

Secara teologis, sabar dalam tradisi Islam tidak pernah identik dengan pasif. Sabr adalah keteguhan untuk tetap berada di jalan yang benar di tengah kesulitan, termasuk berjuang menegakkan keadilan, menahan diri dari reaksi destruktif, dan tetap bertindak terarah. Hadis Nabi yang sangat populer di Nusantara berbunyi: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” Hadis ini bukan perintah untuk selalu diam, melainkan perintah untuk menyeleksi ucapan: kalau tidak bisa baik, lebih baik tidak diucapkan. Kata kuncinya bukan “diam” tetapi “baik” diam hanyalah alternatif ketika kebaikan tidak mungkin diucapkan. Artinya, secara normatif, ada saat ketika tidak hanya boleh, tapi justru wajib berkata dan bersuara, terutama dalam konteks amar makruf nahi mungkar dan pembelaan terhadap yang tertindas.

Namun ketika hadis dan konsep sabar ini turun ke dalam ruang sosial-budaya Indonesia, ia tidak bekerja di ruang kosong. Ia bertemu dengan struktur sosial yang hierarkis, ingatan kolonial yang panjang, dan nilai-nilai lokal yang sangat menekankan harmoni, kesopanan, dan penghindaran konflik terbuka. Di titik inilah sabar mulai “diambil alih” oleh logika sosial yang berbeda: sabar bukan lagi terutama kesetiaan pada kebenaran, tetapi kesetiaan pada ketertiban; bukan lagi kesetiaan pada keadilan, tetapi pada kerukunan formal.

Dalam budaya Jawa, misalnya, kita mengenal konsep nrimo ing pandum, yang secara harfiah berarti menerima bagian atau takdir yang diberikan. Dalam diskursus populer, nrimo sering direduksi menjadi sikap menerima apa adanya, pasrah, dan tidak melawan. Bahkan ada kesan luas bahwa orang Jawa “cenderung pasif dan berpasrah diri” karena pemahaman nrimo yang disederhanakan berupa pasrah dan berpangku tangan. Padahal, bila ditelusuri lebih dalam, banyak kajian menunjukkan bahwa nrimo ing pandum justru idealnya didahului oleh ikhtiar nyata, kerja konkret, baru kemudian penerimaan terhadap hasil. Dalam tradisi Jawa juga dikenal rangkaian “sabar, nrimo, lan tetep eling”, yang secara prinsip bukan fatalisme, tetapi usaha menjaga ketenangan batin di tengah usaha dan perjuangan. Akan tetapi, dalam praktik sosial, bagian “nrimo” dan “diam” sering ditonjolkan, sementara bagian “makaryo ing nyoto” (bekerja nyata) memudar.

Selain nrimo, ada konsep ewuh pakewuh: rasa sungkan, segan, tidak enak hati, terutama terhadap orang yang lebih tua, lebih tinggi status, atau lebih berkuasa. Dalam penelitian tentang budaya birokrasi di Indonesia, terutama di kalangan etnik Jawa, ewuh pakewuh diakui punya sisi positif: menghargai atasan, menjaga kesopanan, dan mendukung harmoni. Namun sisi negatifnya adalah hilangnya keberanian untuk memberi saran, kritik, atau koreksi terhadap kebijakan yang keliru. Di sini sabar dan ewuh pakewuh bertemu: ketika sebuah ketidakadilan atau ketidakefisienan terjadi, reaksi spontan yang muncul bukan “bagaimana memperbaikinya?”, tetapi “sabar saja, nanti juga beres”, atau “sudah, jangan dibahas, tidak enak sama atasan”.

Jika dilihat secara historis, pola ini diperkuat oleh struktur kekuasaan yang hierarkis sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional hingga kolonialisme. Rakyat diposisikan sebagai kawula, abdi, atau onderdaan yang baik bila ia patuh, tidak banyak bertanya, dan tidak mengganggu stabilitas. Dalam struktur seperti ini, sabar dan diam menjadi kebajikan politik: sabar berarti tidak melawan, diam berarti tidak membahayakan kekuasaan. Meskipun teks-teks keagamaan justru memuat banyak contoh kesabaran yang aktif, para nabi yang sabar sambil tetap menentang kezaliman, narasi yang ditekankan dalam pendidikan informal seringkali adalah narasi sabar sebagai penerimaan, bukan perlawanan.

Lapis berikutnya yang sangat kuat adalah pengalaman Orde Baru. Banyak analisis menyebut bahwa politik Orde Baru sangat berpusat pada agenda “stabilitas” dan “keamanan” sebagai prasyarat pembangunan. Dalam praktiknya, ini berarti kecurigaan terhadap kritik, pembungkaman oposisi, dan depolitisasi masyarakat luas. Salah satu cara depolitisasi itu bekerja adalah melalui bahasa: kritik dibingkai sebagai “mengganggu ketertiban”, demonstrasi dilihat sebagai “keributan”, dan keinginan untuk bersuara dipaksa tunduk pada wacana “jangan terlalu vokal, nanti repot”.

Di ruang inilah pepatah seperti “diam itu emas” menemukan tanah yang sangat subur. Padahal, jika kita lihat sejarahnya, pepatah “speech is silver, silence is golden” yang menjadi asal “diam itu emas” berasal dari tradisi Arab dan kemudian masuk ke budaya Eropa, dan baru populer dalam bahasa Inggris sekitar abad ke-19. Di dunia Islam sendiri, pujian terhadap diam terkait dengan kontrol diri dan kehati-hatian dalam bicara, bukan larangan untuk menyampaikan kebenaran. Hadis “berkata baik atau diam” jelas menempatkan “berkata baik” sebagai pilihan utama, dan diam hanya ketika itu mencegah keburukan. Namun di Indonesia, terutama di masa-masa ketika kebebasan bicara dibatasi, pepatah ini sering direinterpretasi: diam bukan lagi sekadar alat etis untuk menghindari ucapan buruk, tetapi menjadi strategi bertahan hidup dalam sistem yang represif. Diam dipromosikan sebagai kebijaksanaan, padahal kerap hanya topeng dari rasa takut.

Maka ketika Anda bertanya “pas kapan, zaman kapan ucapan itu ada?”, kita tidak bisa menyebut satu tahun tunggal, tetapi bisa memetakan lapisan-lapisan. Pada level global, pepatah “speech is silver, silence is golden” menguat di Eropa abad ke-19, lalu masuk ke bahasa-bahasa lain, termasuk Indonesia di abad ke-20, melalui pendidikan modern, terjemahan, dan literatur populer. Namun gagasan bahwa “diam itu terhormat”, “diam itu selamat”, dan “diam itu bijak” sudah memiliki akar lebih tua dalam tradisi Arab-Islam dan juga dalam pepatah-pepatah lokal di berbagai kebudayaan. Di Indonesia, kombinasi antara nilai harmoni lokal, ajaran agama tentang menahan lisan, dan pengalaman politik otoritarian membuat pepatah “diam itu emas” menjadi slogan yang seolah-olah abadi, padahal konstruksi historis.

Yang menarik, belakangan ini juga mulai muncul kritik terhadap pepatah ini: “diam bukan selalu emas”, terutama ketika diam berarti membiarkan ketidakadilan, kekerasan, atau kebohongan berlangsung tanpa koreksi. Kritik-kritik ini menyoroti bahwa ada konteks di mana “diam” justru dosa sosial: diam saat melihat korupsi, diam saat menyaksikan kekerasan, diam saat hak orang lain dilanggar.

Dalam konteks Indonesia, sering kali yang terjadi adalah reduksi dua kali lipat. Pertama, konsep sabar direduksi menjadi menahan diri dari ekspresi emosi, khususnya marah dan protes. Kedua, pepatah “diam itu emas” direduksi menjadi larangan bicara, tanpa lagi mempertimbangkan apakah yang akan diucapkan itu baik, jujur, dan perlu. Dari reduksi ganda inilah lahir bentuk sabar yang “dijadikan patung”: sabar sebagai ketiadaan gerak dan suara, bukan sebagai pengendali arah gerak dan suara itu.

Jika kita masuk ke ruang mikro baik keluarga dan sekolah, kita akan menemukan pola serupa. Anak yang bertanya terlalu banyak kadang dianggap “kurang ajar” atau “melawan”. Kalimat seperti “sudah, sabar, jangan banyak protes” sering dilontarkan bukan hanya ketika anak mengeluh soal hal sepele, tetapi juga ketika ia mempersoalkan ketidakadilan: misalnya dibully teman, atau diperlakukan tidak adil oleh guru. Pola pengasuhan yang mengidentikkan patuh dengan diam, dan diam dengan kesopanan, membuat sabar menjadi bagian dari proyek pembentukan “anak baik” yang jinak secara sosial.

Di sekolah, murid yang sabar sering diartikan sebagai murid yang jarang bertanya, yang mengikuti aturan tanpa banyak komentar. Padahal, murid yang kritis dan berani bicara sering justru adalah yang sedang melatih kesabaran tingkat tinggi: sabar menghadapi kemungkinan tidak disukai, sabar menghadapi risiko disalahpahami guru, sabar menghadapi tekanan teman sebaya. Namun, definisi sabar yang dominan adalah sabar sebagai tunduk, bukan sabar sebagai keberanian terukur.

Di dunia kerja, terutama di birokrasi dan korporasi yang hierarkis, sabar dan ewuh pakewuh lagi-lagi bertemu. Pegawai yang “sabar” dipuji karena tidak banyak menuntut, menerima lembur berlebihan, tidak mempersoalkan ketidakjelasan aturan, dan tidak mengkritik atasan secara terbuka. Kajian tentang budaya kerja ewuh pakewuh menunjukkan bahwa meskipun ada sisi positif berupa penghargaan terhadap atasan, ia juga melahirkan budaya “nrimo” yang menghambat feedback jujur dan inovasi. Sabar dalam arti menerima proses dan keterbatasan organisasi sah-sah saja; tetapi ketika sabar dipakai untuk menekan suara pegawai tentang eksploitasi dan ketidakadilan, sabar berubah dari kebajikan menjadi alat kontrol.

Lalu bagaimana dengan slogan-slogan motivasi seperti “kekuatan yang gagah itu sabar”, “kekuatan yang diam”? Pada satu sisi, slogan seperti ini berakar pada gagasan yang benar: ada kekuatan yang tidak perlu banyak dipamerkan, ada keteguhan batin yang tidak selalu harus meledak secara verbal. Namun di sisi lain, ketika slogan ini dipadukan dengan kultur patriarkis dan otoritarian, ia mudah sekali berubah fungsi: dari ajakan untuk mengelola emosi, menjadi perintah untuk menekan ekspresi dan aspirasi. Seseorang yang memprotes ketidakadilan sering dicap “kurang sabar”, padahal justru kesabarannya yang membuat ia bertahan cukup lama sebelum akhirnya bersuara.

Secara intelektual, kita bisa membedakan dua model sabar: sabar aktif dan sabar pasif. Sabar aktif adalah sabar yang bergerak: ia menahan diri dari reaksi impulsif, tetapi tetap mencari cara untuk mengubah keadaan. Ia tidak meledak secara emosional, namun tekun mengorganisir, berdiskusi, menulis, mengadvokasi. Dalam model ini, sabar adalah kekuatan yang menahan energi agar tidak bocor dalam bentuk kemarahan liar, tetapi diarahkan dalam bentuk strategi. Sabar pasif, sebaliknya, adalah sabar yang menghapuskan subjek: ia menerima tanpa mencoba memahami, pasrah tanpa mencari jalan keluar, diam tanpa refleksi.

Religiusitas dan budaya Indonesia sebenarnya menyediakan cukup banyak sumber bagi sabar aktif. Dalam tradisi Islam Nusantara, misalnya, terdapat banyak contoh kiai, ulama, dan tokoh masyarakat yang sabar menghadapi tekanan politik, tetapi tetap bersuara dan bergerak ketika prinsip dilanggar. Hadis “berkata baik atau diam” mengandung logika bahwa bila ada kebaikan yang jelas, tugas kita bukan diam, tetapi berkata. Dalam tradisi Jawa, seperti sudah disebut, nrimo ing pandum yang utuh justru menggabungkan usaha keras, lalu penerimaan terhadap hasil yang tak bisa dikendalikan. Filosofi ini, bila dibaca secara utuh, kompatibel dengan etos perjuangan: bekerja sekuat tenaga, lalu sabar menerima bahwa hasil tidak selalu sesuai harapan.

Namun yang sering beredar di ruang publik adalah versi “diedit”: hadis dipahami hanya bagian “diam”-nya, nrimo hanya bagian “menerima”-nya, pepatah hanya bagian “emas”-nya. Sementara dimensi perlawanan yang sabar, kerja keras yang sabar, dan keberanian yang sabar tenggelam. Di titik inilah kita bisa mengatakan bahwa ada semacam “politik sabar”: sabar dipilih, diseleksi, dan dipromosikan dalam bentuk yang menguntungkan status quo. Sabar yang aktif dan kritis berisiko mengganggu, sedangkan sabar yang diam membantu mempertahankan ketertiban, betapapun timpangnya.

Menjawab pertanyaan “kenapa sabar bagi orang Indonesia sering disalahartikan menjadi pasif?”, kita bisa merangkum beberapa faktor utama. Pertama, penekanan budaya pada harmoni dan penghindaran konflik, yang dalam banyak suku terutama Jawa, diinstitusikan melalui konsep sopan santun, nrimo, ewuh pakewuh, dan sejenisnya. Kedua, sejarah politik otoritarian yang lama, yang membuat diam menjadi strategi aman; di sini pepatah seperti “diam itu emas” dan hadis tentang diam dipakai untuk menyelubungi rasa takut dengan wacana kebijaksanaan. Ketiga, pola pendidikan keluarga dan sekolah yang mengidentikkan anak “baik” dengan anak yang patuh dan tidak banyak bersuara. Keempat, struktur sosial yang sangat hierarkis yang membuat kritik sering dibaca sebagai ancaman terhadap “tata krama”, bukan sebagai kontribusi.

Sedangkan pertanyaan “pas kapan ucapan itu ada?” tidak bisa dijawab dengan satu tanggal, tetapi bisa dijawab dengan peta genealogi. Secara kasar: akar pujian terhadap diam ada dalam teks-teks keagamaan dan pepatah kuno (Arab, Yunani, dan lain-lain) sejak berabad-abad lalu; pepatah “speech is silver, silence is golden” mengkristal di Eropa sekitar abad ke-19 dan masuk ke bahasa Indonesia pada abad ke-20 melalui pendidikan dan literatur modern; hadis “berkata baik atau diam” sudah menjadi bagian dari khazanah Islam Nusantara sejak Islam menyebar di kepulauan ini; sementara penekanan pada diam sebagai kebijaksanaan sosial-politik sangat menguat di abad ke-20, khususnya pada masa Orde Baru, dan kini diteruskan secara kultural meskipun konteks politiknya sudah berubah.

Dari perspektif kajian intelektual, menarik juga melihat bagaimana wacana tentang sabar ini mulai digugat di era digital. Media sosial membuka ruang suara-suara yang dulu tidak terdengar: korban kekerasan, pekerja yang dieksploitasi, warga yang menjadi korban kebijakan publik yang buruk. Dalam banyak kasus, justru mereka yang bersuara ini yang dituduh “tidak sabar”, “terlalu bawa perasaan”, atau “tidak kuat mental”. Di sini kita melihat benturan dua tafsir sabar: tafsir lama yang menghendaki ketertiban melalui diam, dan tafsir baru yang melihat sabar sebagai daya tahan untuk terus bersuara meski menghadapi backlash, bullying, atau ancaman.

Kajian kritis terhadap pepatah “diam itu emas” menunjukkan bahwa pepatah ini hanya benar dalam konteks tertentu: ketika diam mencegah kita menyakiti orang dengan ucapan, ketika diam melindungi rahasia yang harus dijaga, ketika diam memberi ruang bagi orang lain untuk didengar. Namun pepatah yang sama menjadi bermasalah ketika dipakai untuk membungkam korban, menekan kritik, atau melestarikan ketidakadilan struktural. Dalam konteks Indonesia, re-evaluasi ini penting: kita perlu memulihkan makna sabar sebagai kekuatan yang berjalan, bukan kekuatan yang dibekukan.

Pada akhirnya, mungkin yang perlu kita lakukan bukan menolak sabar, tetapi merebut kembali maknanya. Sabar tidak harus berarti pasif. Sabar bisa berarti tetap tenang tetapi terus menulis, meneliti, berorganisasi; tetap lembut tetapi tegas menolak kekerasan dan kebohongan; tetap santun tetapi berani mengoreksi. “Kekuatan yang gagah itu sabar” bisa kita pahami ulang bukan sebagai kekuatan yang diam membatu, melainkan kekuatan yang tahu kapan harus berhenti bicara untuk mendengarkan, dan kapan harus bersuara meski konsekuensinya berat.

Jika selama ini sabar dipersempit menjadi alasan untuk tidak bergerak dan tidak bersuara, tugas intelektual kita adalah membuka kembali teks-teks, sejarah, dan pengalaman, lalu menunjukkan bahwa sabar yang sejati justru mengandung keberanian, ketekunan, dan daya juang. Sabar bukanlah ketiadaan perjuangan; sabar adalah cara tertentu untuk berjuang pelan, tekun, dan konsisten, tanpa kehilangan suara.

Posting Komentar

0 Komentar