Banyak guru yang hari ini merasa siap untuk menjadi bakal calon kepala sekolah. Mereka merasa sudah cukup berpengalaman mengajar, sudah lama mengabdi di sekolah, bahkan mungkin sudah pernah menjadi wali kelas berkali kali. Di permukaan, semua itu tampak seperti modal yang kuat untuk melangkah ke posisi kepala sekolah. Namun jika kita menengok lebih dalam, sering muncul pertanyaan yang jauh lebih mendasar. Apakah kesiapan itu benar benar lahir dari kompetensi dan integritas, atau hanya lahir dari rasa percaya diri yang tidak disertai pemahaman utuh tentang tugas kepala sekolah yang sesungguhnya.
Di banyak tempat masih kita temukan fenomena yang menggelisahkan. Guru yang ingin menjadi kepala sekolah masih membeli administrasi, masih meminta file administrasi dari orang lain tanpa mau memahami isinya, bahkan tidak jarang hanya mengganti nama dan kop surat. Administrasi yang seharusnya menjadi cerminan cara berpikir, cara merencanakan, dan cara bertanggung jawab, berubah menjadi barang dagangan yang bisa dipindah tangankan begitu saja. Di sini kita melihat adanya jarak yang sangat lebar antara klaim kesiapan dengan realitas perilaku. Orang yang sungguh siap mestinya justru tekun menyusun sendiri perangkat kerjanya, bukan menumpang pada usaha orang lain.
Administrasi pendidikan bukan sekadar tumpukan kertas, bukan hanya dokumen formal untuk memenuhi penilaian atau akreditasi. Di dalamnya ada cara berpikir sistematis, ada proses refleksi, ada upaya untuk merencanakan pembelajaran dan pengelolaan sekolah secara terarah. Seorang calon kepala sekolah yang masih membeli administrasi sebenarnya sedang mengirim pesan penting tentang dirinya. Pesan itu jelas. Ia belum siap memikul tanggung jawab intelektual dan moral yang melekat pada jabatan kepala sekolah. Jika untuk dokumen yang menjadi tanggung jawab pribadi saja masih harus dibeli, bagaimana kelak ia akan mengelola dokumen dan kebijakan yang menyangkut nasib seluruh warga sekolah.
Lebih jauh lagi, banyak guru yang ingin naik ke posisi kepala sekolah belum pernah benar benar menyentuh ranah yang menjadi inti tugas manajerial di sekolah. Mereka belum pernah terlibat serius dalam pengelolaan kurikulum, belum memahami detail sarana prasarana, belum terbiasa membaca data mutu, belum mengerti alur perencanaan dan evaluasi program. Mereka mungkin hebat di kelas, tetapi jabatan kepala sekolah menuntut cakupan kerja yang jauh lebih luas. Kepala sekolah bukan hanya guru yang dipromosikan, melainkan pemimpin pembelajaran sekaligus manajer lembaga pendidikan. Tanpa pengalaman dan minat pada wilayah kurikulum dan sarpras, klaim kesiapan hanya akan menjadi retorika yang kosong.
Dalam hirarki dan alur pengalaman di sekolah, sebenarnya jalur menuju kepala sekolah cukup jelas. Idealnya seseorang melewati proses pengkaderan. Pernah menjadi ketua tim kecil, pernah menjadi koordinator program, pernah menjadi wakil kepala sekolah, atau minimal aktif di kepanitiaan yang menyentuh banyak aspek manajemen. Dalam proses proses itu, orang belajar dua hal sekaligus. Pertama, belajar teknis mengelola program, merencanakan, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan. Kedua, yang lebih penting, belajar bersikap terhadap rekan kerja dan bawahan. Di sinilah karakter kepemimpinan diuji. Apakah ia cenderung membebani orang lain untuk menutupi kelemahannya, atau mau ikut memikul kerja demi kebaikan bersama.
Pernyataan bahwa kepala sekolah tidak seharusnya membebani guru dengan urusan administrasi yang menjadi tanggung jawabnya sendiri lahir dari pengalaman pahit banyak warga sekolah. Ada kepala sekolah yang menuntut laporan ini itu, tetapi dirinya sendiri tidak tertib administrasi. Ada kepala sekolah yang memerintahkan guru guru menyusun berkas untuk kepentingan pribadi sang kepala sekolah, misalnya untuk penilaian kinerja, kenaikan pangkat, atau pengajuan penghargaan. Guru akhirnya menjadi tumpuan untuk menambal ketidakmampuan pemimpinnya. Padahal secara etis, posisi kepala sekolah justru seharusnya melindungi guru dari beban beban yang tidak mendidik.
Jika sejak menjadi guru saja seseorang sudah terbiasa menyusahkan orang lain demi kelengkapan administrasinya, wajar jika muncul kekhawatiran tentang bagaimana perilakunya nanti ketika ia menjadi kepala sekolah. Jabatan tidak mengubah karakter secara ajaib. Jabatan justru akan memperbesar dampak dari karakter yang sudah ada. Guru yang suka minta administrasi jadi tanpa belajar, kemungkinan besar akan menjadi kepala sekolah yang suka memerintah tetapi enggan belajar. Guru yang senang mengambil jalan pintas, besar kemungkinan menjadi kepala sekolah yang membangun budaya instan di sekolah. Dari sini tampak bahwa masalah utama bukan pada dokumen itu sendiri, melainkan pada mentalitas di baliknya.
Budaya membeli administrasi sebenarnya memperlihatkan beberapa masalah mendasar. Pertama, ada pandangan bahwa yang penting tampak rapi di atas kertas, tidak peduli apakah isi dan prosesnya sungguh dijalankan. Ini melahirkan budaya kepalsuan dalam manajemen pendidikan. Kedua, ada keengganan untuk bersusah payah memahami dasar dasar kebijakan dan regulasi. Padahal kepala sekolah seharusnya menjadi rujukan ketika guru bertanya tentang aturan dan arah pengembangan sekolah. Ketiga, ada kecenderungan mengabaikan aspek etika. Membeli administrasi, menyalin tanpa izin, dan mengakui sebagai milik sendiri, sebenarnya sudah termasuk bentuk ketidakjujuran akademik.
Kepala sekolah yang baik adalah mereka yang menyadari dua sisi dari tugasnya. Di satu sisi ia adalah pemimpin pembelajaran, yang harus memahami kurikulum, proses belajar, asesmen, dan pengembangan profesional guru. Di sisi lain ia adalah manajer lembaga, yang harus mengerti perencanaan, pengelolaan sarana prasarana, keuangan, dan hubungan dengan masyarakat. Kedua sisi ini saling berkaitan. Keputusan tentang anggaran misalnya, tidak boleh dipisahkan dari kebutuhan pembelajaran. Pengadaan sarana prasarana tidak boleh hanya mengejar penampilan fisik, tetapi harus berangkat dari analisis kebutuhan belajar siswa. Calon kepala sekolah yang tidak tertarik pada kurikulum dan sarpras sesungguhnya belum menyentuh inti persoalan kepemimpinan sekolah.
Karena itu, sebelum seseorang merasa siap menjadi kepala sekolah, ia perlu bertanya dengan jujur pada dirinya sendiri. Sudahkah ia berhenti mengandalkan administrasi beli dan mulai menyusun sendiri sesuai konteks sekolahnya. Sudahkah ia terlibat dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan, pengembangan perangkat ajar, dan evaluasi program. Sudahkah ia belajar membaca data hasil belajar, data kehadiran, dan data lainnya sebagai dasar pengambilan keputusan. Sudahkah ia mengerti peta sarana prasarana di sekolah, mana yang layak, mana yang perlu diperbaiki, dan apa skala prioritasnya. Pertanyaan pertanyaan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh tanggung jawab moral.
Kita juga perlu mengingat bahwa pendidikan bukan hanya urusan prosedur dan administrasi. Di dalamnya ada amanah untuk membentuk manusia. Kepala sekolah memegang peran strategis sebagai figur yang dilihat dan ditiru oleh guru, tenaga kependidikan, dan siswa. Jika figur itu rapuh dalam soal kejujuran, suka mengambil jalan pintas, dan ringan menyerahkan tanggung jawabnya kepada orang lain, maka pesan yang sampai kepada warga sekolah akan sangat berbahaya. Siswa akan melihat bahwa kebohongan bisa dilegalkan selama terbungkus dokumen yang rapi. Guru akan merasa tidak perlu bersungguh sungguh, karena pemimpinnya sendiri tidak memberi teladan kesungguhan.
Sebaliknya, calon kepala sekolah yang menolak membeli administrasi, yang bersedia belajar dari bawah, yang mau menyusun sendiri dokumen demi dokumen walau lambat, justru sedang membangun karakter kepemimpinan yang kuat. Ia mungkin tertinggal secara penampilan di atas kertas pada awalnya, tetapi ia sedang menanam benih kesungguhan dan kemandirian. Ketika kelak memimpin, ia akan lebih mudah memahami kesulitan guru dalam menyusun administrasi, karena ia sendiri pernah berproses. Ia akan memandang administrasi bukan sebagai beban semata, tetapi sebagai alat untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Dari sini akan lahir kepemimpinan yang lebih empatik dan realistis.
Fenomena guru yang merasa siap menjadi kepala sekolah padahal masih bergantung pada administrasi beli perlu dibaca sebagai gejala yang menuntut koreksi bersama. Ini bukan sekadar kesalahan individu, tetapi juga cermin dari sistem yang sering kali lebih menonjolkan kelengkapan berkas daripada kualitas proses. Seleksi calon kepala sekolah yang hanya menilai tumpukan dokumen tanpa menguji kedalaman pemahaman dan integritas, tanpa mengecek apakah administrasi itu ia susun sendiri atau tidak, ikut memperkuat budaya kepalsuan ini. Di sini perlu ada perubahan cara pandang. Penilaian tidak boleh berhenti pada ada atau tidaknya berkas, tetapi harus menembus sampai pada proses dan karakter.
Pada akhirnya, jabatan kepala sekolah adalah amanah yang menyangkut masa depan banyak orang. Satu keputusan kepala sekolah bisa mempengaruhi iklim belajar satu sekolah. Satu kebiasaan buruk kepala sekolah bisa menjalar menjadi budaya buruk di seluruh lingkungan. Karena itu, kehati hatian dalam mempersiapkan diri menjadi kepala sekolah bukan hanya soal karier pribadi, melainkan soal tanggung jawab sosial. Guru yang hari ini bercita cita menjadi kepala sekolah perlu menyadari bahwa kesiapan tidak diukur dari seberapa banyak dokumen yang dimiliki, tetapi dari seberapa jujur ia dalam berproses, seberapa dalam ia memahami tugas, dan seberapa besar kesediaannya memikul tanggung jawab tanpa menyusahkan orang lain.
Jika dari sekarang seorang guru membiasakan diri membuat sendiri administrasi, belajar mengelola kurikulum, memahami sarpras, dan berlatih memimpin tim kecil dengan adil, maka ia sedang membangun pondasi yang kokoh. Sebaliknya, jika ia tetap merasa cukup dengan administrasi beli, tetap suka menyusahkan rekan sejawat demi kepentingan pribadi, dan tetap menghindari tugas tugas yang berat, maka klaim kesiapan menjadi kepala sekolah tinggal slogan yang menipu diri sendiri. Dunia pendidikan membutuhkan kepala sekolah yang bukan hanya pintar berbicara tentang visi, tetapi juga jujur dalam hal yang tampak sepele seperti menyusun RPP, program kerja, dan laporan kegiatan.
Dari semua uraian ini kita dapat menarik satu pelajaran penting. Menjadi kepala sekolah seharusnya tidak diartikan sebagai kesempatan untuk diperbantukan oleh guru dalam segala hal, apalagi untuk menutupi kelemahan diri. Justru sebaliknya, kepala sekolah adalah orang yang siap menjadi penanggung jawab utama, yang siap berdiri di depan ketika ada masalah, dan siap berada di belakang mendorong guru agar bisa berkembang. Jika sejak awal seorang calon kepala sekolah belum mampu bertanggung jawab terhadap administrasi miliknya sendiri, dan masih cenderung membebani guru lain, maka ia perlu menunda keinginan itu dan kembali memperbaiki diri.
Maka, sebelum mengisi formulir pendaftaran calon kepala sekolah, sebelum menyusun portofolio dan mengklaim diri siap, baiklah setiap guru bercermin sejenak. Tanyakan dengan jujur, apakah saya sudah berhenti menyusahkan orang lain dalam hal hal yang sejatinya menjadi tugas saya sendiri. Apakah saya sudah menjadikan kejujuran dan kerja keras sebagai dasar, bukan sekadar mengejar pengakuan dan jabatan. Bila jawabannya belum, itu bukan aib. Yang menjadi masalah adalah ketika kita tahu bahwa kita belum siap, tetapi tetap memaksa diri hanya demi kehormatan semu. Pendidikan membutuhkan pemimpin yang matang, bukan hanya yang berani maju. Dan kematangan itu dimulai dari hal yang tampak sederhana, yaitu kesediaan untuk bertanggung jawab penuh atas pekerjaan sendiri, termasuk administrasi yang sering kali dianggap remeh tetapi sesungguhnya mencerminkan integritas seorang pendidik.


0 Komentar