Istilah “cepu” dalam percakapan sehari-hari sering digunakan untuk menstigma seseorang yang melapor atau mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran. Di sekolah, label ini kerap ditempelkan kepada siswa yang memberi tahu guru tentang perundungan, kecurangan ujian, atau penyalahgunaan fasilitas. Di tempat kerja, ia dialamatkan pada rekan yang berbicara mengenai praktik yang tidak etis, mark-up anggaran, konflik kepentingan, atau pelecehan. Yang menarik bukan sekadar keberadaan label itu, melainkan fungsinya yang subtil namun efektif sebagai alat pengendali sosial, menekan kejujuran dengan sanksi simbolik. Ketika kejujuran diputar balik menjadi deviasi, nilai moral dipertukarkan dengan loyalitas sempit; institusi pun berisiko merayakan keselarasan semu sambil membiarkan pelanggaran menyejarah. Tulisan ini membedah praktik pelabelan “cepu” sebagai mekanisme kontrol, meninjau akar psikologis dan sosiologisnya, serta menawarkan rancangan institusional yang dapat memulihkan integritas di sekolah dan tempat kerja tanpa terjebak dalam retorika moral yang hampa.
Pertama-tama perlu ditegaskan pembedaan antara “melapor sebagai tindakan etis” dan “mengadukan sebagai tindakan balas dendam”. Pelapor dianggap bermotif rendah, ingin menjilat atasan, ingin terlihat suci, atau ingin menjatuhkan lawan. Imajinasi ini nyaman bagi kelompok yang diuntungkan status quo, sebab ia menutup kemungkinan bahwa pelapor mengutamakan nilai bersama keadilan, keselamatan, keberlangsungan institusi, di atas kepentingan sempit. Dengan demikian, label “cepu” bekerja sebagai teknologi bahasa yang mendomestikasi kebenaran, membuatnya tampak tidak layak diperjuangkan karena menimbulkan “masalah sosial” berupa kegaduhan, ketidaknyamanan, dan disharmoni. Bila harmoni ditafsirkan semata sebagai absennya konflik, maka kejujuran mudah sekali diseret ke ruang hening, dan pelanggaran mendapatkan oksigen untuk bertumbuh di balik dinding yang rapi.Dalam perspektif etika normatif, larangan moral terhadap pelabelan “cepu” dapat dijelaskan dari tiga sudut. Pertama, etika kewajiban menilai kebenaran sebagai keharusan yang tidak boleh digadaikan pada keuntungan atau rasa takut. Kewajiban berkata benar memprioritaskan martabat rasional atas kalkulasi sosial. Kedua, etika akibat memeriksa dampak kolektif: diam terhadap pelanggaran mungkin memelihara ketenangan sementara, tetapi menimbulkan biaya sosial jangka panjang seperti kerusakan reputasi institusi, ketidakadilan pada korban, dan budaya permisif terhadap kecurangan. Ketiga, etika kebajikan menganggap kejujuran dan keberanian sebagai karakter yang ingin dibentuk oleh sekolah dan tempat kerja; label “cepu” merusak formasi karakter ini karena memaksa individu berwajah ganda yang dikatakan di depan berbeda dari yang diketahui di dalam.
Namun etika saja tidak cukup menjelaskan kuatnya stigma. Kita perlu melihat dinamika psikologi sosial. Fenomena konformitas menunjukkan bahwa manusia, terutama dalam kelompok yang kohesif, cenderung menyesuaikan penilaiannya dengan mayoritas, bahkan saat mayoritas keliru. Tekanan ini lebih terasa ketika keanggotaan kelompok memberi identitas dan perlindungan, gang pertemanan di sekolah, tim di kantor, atau komunitas minat bersama. Label “cepu” lantas menjadi alat yang murah dan efektif untuk menandai mereka yang menyimpang dari koreografi mayoritas. Di sini juga bekerja apa yang sering disebut spiral kebisuan, ketika opini yang berlawanan dengan arus dominan jarang diungkap karena takut diisolasi, diam menjadi norma, dan mereka yang jujur tampak sebagai minoritas eksentrik, padahal bisa jadi banyak yang setuju tetapi menahan diri. Efek penonton menambah lapisan lain: semua orang mengasumsikan orang lain akan bertindak, sehingga tidak ada yang bertindak. Dalam kombinasi ini, keberanian moral memerlukan lebih dari sekadar niat baik; ia butuh struktur yang mengurangi biaya sosial bagi sang pelapor.
Sekolah menyediakan laboratorium awal dari proses ini. Di sana, siswa belajar tentang aturan, tetapi lebih sering lagi mereka belajar tentang “aturan tak tertulis” seperti jangan bikin masalah, jangan buat teman sendiri celaka, jangan cari perhatian. Paradoksnya, kurikulum formal mengajarkan kejujuran sebagai nilai, sementara kurikulum tersembunyi mengajarkan keheningan sebagai kelaziman. Penilaian sosial dari sebaya sering lebih menentukan perilaku daripada nilai yang tertulis di dinding kelas. Jika sekolah tidak merawat ekologi keberanian bagi ruang aman untuk melapor, mekanisme tindak lanjut yang transparan, dan perlindungan terhadap retaliasi, maka siswa mempelajari pelajaran paling kuat dari semua kebenaran adalah komoditas berisiko yang sebaiknya diperdagangkan secara privat, bukan dibawa ke ruang publik. Ketika mereka kelak memasuki dunia kerja, pelajaran ini terbawa dan terinstitusionalisasi menjadi politik kantor, diam itu emas, yang bersuara akan dikotakkan.
Lingkungan kerja memperkenalkan variabel baru, hierarki formal, insentif finansial, dan konsekuensi karier. Di sini label “cepu” memperoleh pakaian yang lebih halus “tidak mindful terhadap budaya,” “tidak dewasa secara organisasi,” “tidak menjaga keselarasan”, namun fungsi kontrolnya tetap sama. Perusahaan sering berbicara tentang nilai integritas, tetapi integritas diuji ketika kebenaran mengganggu kenyamanan manajerial atau mengancam target bisnis. Bila mekanisme pelaporan bersifat kosmetik atau sekadar kotak saran yang tak pernah dibuka, hotline yang tidak anonim, atau komite etik yang berada di bawah pihak yang berpotensi menjadi objek laporan, para pekerja segera menangkap sinyal bahwa berbicaralah hanya ketika kebenaran kondusif bagi narasi resmi. Maka lahirlah budaya “presentasi kebenaran,” bukan kebenaran itu sendiri, slide yang indah menutupi angka yang manipulatif, notulen yang rapi menghapus diskusi yang sulit. Di bawahnya, label “cepu” mengintai sebagai ancaman non-formal: kariermu mungkin tidak akan “tumbuh” di sini bila terlalu lurus.
Untuk memahami mengapa label ini begitu efisien, kita perlu mengamati bagaimana kekuasaan bekerja melalui wacana. Bahasa bukan sekadar alat menggambarkan dunia, melainkan alat membentuknya. Menamai pelapor sebagai “cepu” menempatkannya dalam kategori moral yang tercemar; ia bukan lagi warga yang bertanggung jawab, melainkan pengkhianat kelompok. Kategori ini mengundang sanksi: ejekan, pengucilan, dan pembatalan peluang. Sanksi-sanksi ini bersifat murah secara material tetapi mahal secara emosional, sehingga efektif menjerat individu. Melalui sanksi simbolik, kekuasaan memproduksi subjek yang patuh, bukan melalui paksaan semata, tetapi melalui internalisasi rasa takut gagal menjadi “bagian dari kami.” Ini menjelaskan mengapa sering kali tidak perlu ada ancaman eksplisit; label itu sendiri sudah memadai sebagai “teknologi pengendali.”
Bergerak dari diagnosis ke terapi, perubahan membutuhkan desain kelembagaan yang mengurangi jarak antara nilai de jure dan praktik de facto. Di sekolah, reformasi paling mendasar adalah membangun sistem pelaporan yang jelas, mudah, dan aman. Keamanan di sini tidak semata-mata soal anonimitas teknis, melainkan jaminan sosial bahwa pelapor tidak akan dikorbankan. Guru dan wali kelas perlu dilatih untuk membedakan laporan berbasis integritas dari konflik antarpribadi, serta untuk menindaklanjuti dengan prosedur yang adil bagi semua pihak. Lebih penting lagi, sekolah harus menata ulang imajinasi tentang “loyalitas.” Loyalitas tidak identik dengan tutup mata demi “kelompok.” Loyalitas sejati ialah kesetiaan pada nilai bersama—keadilan bagi korban perundungan, keselamatan dalam praktik laboratorium, kejujuran dalam penilaian—yang justru memperkuat kebersamaan jangka panjang. Menggeser imajinasi ini perlu pedagogi yang mempraktikkan deliberasi: forum kelas reguler untuk membahas kasus nyata, bukan sekadar hafalan slogan. Dalam forum tersebut, guru memfasilitasi konflik nilai secara aman, mengajak siswa merasakan ketegangan antara persahabatan dan keadilan, antara kenyamanan dan kebenaran, sehingga pelabelan “cepu” kehilangan daya magisnya karena dikonfrontasi oleh pengalaman reflektif.
Kurikulum tersembunyi juga harus disentuh melalui arsitektur sosial. Pemberian penghargaan atas keberanian moral, bukan hanya penghargaan akademik bahkan memunculkan role model yang menggeser norma. Cerita keberhasilan institusi menanggapi laporan dengan adil harus dirayakan secara terbuka agar menjadi memori kolektif yang baru. Sebaliknya, ketika pelapor dipinggirkan, institusi mesti mengakui kegagalan itu dan memperbaiki mekanisme, bukan menyapu di bawah karpet. Transparansi prosedural menjelaskan tahapan penanganan, batas waktu respons, kriteria pembuktian—membangun kepercayaan pada sistem sehingga pelaporan tidak lagi dipersepsikan sebagai aksi melawan komunitas, melainkan partisipasi menjaga komunitas.
Di tempat kerja, rancangan kelembagaan harus mengintegrasikan integritas ke dalam tata kelola dan manajemen talenta. Saluran pelaporan tidak boleh berada sepenuhnya di bawah garis komando yang berpotensi menjadi objek laporan; adanya unit kepatuhan yang independen, akses ke pihak ketiga, atau ombuds internal yang dilindungi mandatnya menjadi krusial. Anonimitas sebaiknya bukan satu-satunya andalan—sebab anonimitas yang rapuh dapat melahirkan perburuan siapa pelapor—melainkan bagian dari paket perlindungan yang mencakup non-retaliasi yang ditegakkan secara nyata. Non-retaliasi tidak boleh berhenti pada dokumen kebijakan; ia harus diukur melalui metrik karier: apakah karyawan yang melapor kemudian diparkir tanpa promosi? Apakah penilaiannya menurun karena dianggap “tidak kolaboratif”? Jika ya, maka institusi sedang mengirim sinyal bersifat performatif.
Pemimpin memegang peran simbolik dan praktis. Simbolik, karena apa yang mereka rayakan dan apa yang mereka diamkan membentuk rasa aman psikologis. Praktis, karena mereka mampu membongkar mekanisme yang memberi ganjaran pada ketundukan ketimbang integritas. Kepemimpinan yang memadai bukan yang selalu setuju dengan karyawan yang bersuara, melainkan yang menyediakan ruang bagi ketidaknyamanan epistemik: menerima bahwa informasi buruk lebih berguna daripada ilusi baik. Ketika seorang pemimpin secara publik melindungi orang yang mengangkat masalah, bahkan jika masalah itu menyulitkan target jangka pendek, ia mengubah kurva biaya-manfaat sosial untuk semua orang. Tindakan seperti itu menciptakan “keberanian yang dapat ditiru,” menular dari satu tim ke tim lain. Dalam konteks ini, pelabelan “cepu” kehilangan daya guna karena organisasi telah meredefinisi kehormatan: bukan lagi milik mereka yang menjaga ketenangan palsu, melainkan milik mereka yang menjaga kebenaran kendati berbiaya.
Dimensi budaya tidak boleh diabaikan. Pada masyarakat yang sangat menghargai harmoni, kejujuran sering dikaitkan dengan ketidaksantunan. Di sekolah, anak yang mengingatkan temannya supaya tidak mencontek dinilai “sok benar.” Di kantor, rekan yang mempertanyakan angka dinilai “kurang luwes.” Namun harmoni yang menyingkirkan kebenaran hanya menunda konflik, memperbesar biaya ketika kebohongan meledak di kemudian hari. Kita memerlukan pembedaan antara konflik destruktif dan konflik produktif. Konflik destruktif menyerang martabat; konflik produktif menyerang masalah. Melaporkan pelanggaran adalah konflik produktif karena bertujuan memperbaiki sistem. Untuk itu, bahasa juga harus diperbaiki. Alih-alih menuduh individu, pelaporan sebaiknya dibingkai sebagai perbaikan proses: bagaimana kita memperkecil peluang kecurangan ini terjadi lagi? Bagaimana kita membuat penilaian lebih adil, prosedur keuangan lebih transparan, interaksi lebih aman? Jika perbaikan proses menjadi imajinasi bersama, pelabelan “cepu” tidak menemukan panggung karena percakapan telah berpindah dari drama personal ke desain sistemik.
Ada pula dimensi pedagogi emosi. Kejujuran yang disampaikan tanpa kepekaan dapat memicu defensif; kepekaan tanpa kejujuran melahirkan kepalsuan. Di sekolah, siswa perlu belajar memberi umpan balik yang tegas namun beradab, dan menerima umpan balik tanpa mengalihkannya menjadi permusuhan. Di kantor, pelatihan keberanian sipil—mengemukakan perbedaan tanpa menghina, memegang teguh bukti tanpa merendahkan—perlu menjadi kompetensi yang dihargai. Pada titik ini, integritas bukan hanya soal “apa yang kita katakan,” tetapi “bagaimana kita mengatakannya.” Bila bahasa kejujuran menjadi seni yang dikuasai banyak orang, label “cepu” kehilangan daya karena asosiasi yang merusak—kasar, menusuk dari belakang, merusak tim—tidak lagi menempel. Kejujuran tampil sebagai kecakapan profesional, bukan sekadar keberanian moral yang heroik namun menyendiri.
Mekanisme evaluasi dan insentif memperdalam dampak. Selama metrik keberhasilan hanya menghargai output kuantitatif tanpa memasukkan kualitas proses, kejujuran akan selalu tersisih. Di sekolah, jika ranking akademik semata menjadi tiket kehormatan, kecurangan akan mencari celah, dan yang melapor dianggap mengganggu “masa depan.” Di kantor, jika bonus hanya melekat pada angka penjualan tanpa memperhitungkan kepatuhan prosedur, akuntabilitas menjadi beban, bukan keunggulan. Karena itu, desain metrik sebaiknya memasukkan indikator integritas: tingkat kepatuhan, kualitas dokumentasi, kerapian audit, keamanan psikologis tim. Ketika integritas memengaruhi pengakuan formal, label “cepu” berbalik arah: yang berani melapor diakui sebagai penjaga standar, bukan musuh kelompok.
Kita juga perlu menyentuh ranah hukum dan kebijakan, bukan semata sebagai ancaman sanksi, melainkan sebagai jaring pengaman institusional. Perlindungan pelapor yang tertulis rapi namun tidak diketahui warga organisasi sama saja tidak ada. Sosialisasi yang cerdas harus memaparkan bukan hanya “apa yang harus dilaporkan” dan “ke mana melapor,” tetapi juga “apa yang terjadi setelah laporan,” “siapa yang melindungi pelapor,” “bagaimana menjaga kerahasiaan,” dan “batasan apa yang harus dipahami agar laporan tetap adil.” Di sekolah, orang tua perlu dilibatkan agar tidak mempersoalkan anak yang melapor sebagai “mencemarkan nama baik,” melainkan memahami bahwa laporan yang bertanggung jawab adalah kontribusi pada keselamatan bersama. Di kantor, dewan pengarah atau pemegang saham perlu menyadari bahwa perlindungan pelapor bukan pengeluaran yang sia-sia; ia adalah investasi reputasi dan keberlanjutan, seperti asuransi terhadap risiko etis yang dapat menghancurkan nilai.
Tentu, tidak semua laporan bermutu. Ada laporan yang lahir dari konflik personal, salah paham, atau bahkan fitnah. Menyadari ini, kita tidak kembali ke budaya diam; sebaliknya, kita membangun standar pembuktian dan proses klarifikasi yang adil. Standar itu meliputi dokumentasi waktu-tempat, konsistensi narasi, kesempatan setara untuk menanggapi, dan penilaian yang bebas konflik kepentingan. Proses yang adil melindungi semua pihak: pelapor dari retaliasi, terlapor dari penghukuman prematur, dan institusi dari keputusan reaktif. Ketika orang menyaksikan bahwa sistem mampu membedakan laporan yang serius dari rumor yang ringan, mereka mempercayai kanal resmi dan tidak mencari keadilan melalui gosip atau linimasa. Pada keadaan demikian, label “cepu” tidak bekerja karena pelaporan tidak lagi dikaitkan dengan intrik, melainkan dengan tata kelola yang matang.
Pada tataran individu, keberanian moral tidak lahir dari ruang hampa. Ia perlu komunitas. Siswa yang berdiri sendirian melawan arus mudah tumpas; karyawan junior yang bersuara di ruang rapat dipatahkan oleh tatapan dingin. Karenanya, strategi yang efektif selalu melibatkan pembentukan koalisi kecil: dua atau tiga orang yang saling menopang, berbagi beban emosi, dan merancang cara menyampaikan kebenaran dengan cerdas. Koalisi ini, bila mendapatkan dukungan institusional, dapat menyalakan perubahan yang lebih luas. Dalam banyak kasus, perubahan norma dimulai dari minoritas yang gigih, bukan dari mayoritas yang nyaman. Ketika minoritas ini diberi ruang dan legitimasi, yang diam ikut bergerak—bukan karena tiba-tiba tercerahkan, melainkan karena biaya sosial untuk berpihak pada kebenaran menjadi lebih rendah. Perubahan organisasi kerap mengikuti hukum kritis: sedikit pergeseran titik tumpu dapat menggoyang struktur yang besar.
Ada pula dimensi naratif yang perlu direbut kembali. Cerita populer sering memuja “kompak” sebagai puncak kebajikan kelompok, padahal kekompakan yang berjuang menutup kebenaran adalah kekompakan yang rapuh. Kita membutuhkan narasi baru: bahwa orang yang berani bicara bukan pengkhianat, melainkan penjaga pagar yang mencegah rumah runtuh; bahwa melapor bukan mengadukan teman, melainkan mengingatkan komunitas supaya tidak menyakiti dirinya sendiri; bahwa integritas bukan oposisi terhadap loyalitas, melainkan bentuk tertinggi dari loyalitas pada misi bersama. Narasi ini perlu masuk ke tradisi ritual institusi—apel pagi, town hall, rapat bulanan—bukan sekadar muncul ketika krisis. Sebab budaya dibentuk oleh repetisi; yang diulang akan menjadi bentuk default. Bila narasi penghormatan pada kejujuran diulang cukup sering, label “cepu” akan terasa asing dan memalukan untuk diucapkan.
Pada akhirnya, perlawanan terhadap pelabelan “cepu” bukan proyek sentimental, melainkan pembenahan rasional atas cara kita hidup bersama. Di sekolah, ia menentukan jenis warga yang hendak dilahirkan: penentu masa depan yang berani bersikap atau operator yang mahir membaca arah angin. Di tempat kerja, ia menentukan umur panjang organisasi: apakah ia berumur pendek, penuh kilau palsu dan laporan tahunan yang menipu, atau ia tahan lama karena memelihara koreksi diri. Kebenaran, seperti halnya udara, tidak selalu terlihat, tetapi absennya segera terasa: lesu, pengap, dan akhirnya mencekik. Label “cepu” menebalkan kabut yang menutupi jendela; tugas institusi adalah membuka jendela itu, bukan memarahi siapa pun yang mencoba mengelapnya.
Sebagai penutup, mari kembali ke inti sederhana: kejujuran adalah darah yang mengalirkan oksigen ke dalam badan sosial. Tanpanya, sekolah menjadi panggung reputasi, bukan laboratorium kebajikan; kantor menjadi pabrik angka, bukan rumah gagasan. Pelabelan “cepu” adalah gumpalan yang menyumbat aliran ini. Kita bisa membiarkannya hingga organ berhenti berfungsi, atau kita bisa melakukan operasi yang diperlukan: memperbaiki saluran pelaporan, melindungi pelapor, mengajar keberanian sipil, menata ulang insentif, dan mengubah narasi. Operasi itu menuntut keteguhan, menuntut ketidaknyamanan, tetapi hasilnya adalah tubuh sosial yang bugar yang mampu berlari lebih jauh karena napasnya tidak lagi pendek. Ketika langkah-langkah itu diambil dengan konsisten, kata “cepu” tidak lagi punya tempat terhormat di kamus kita. Ia menjadi artefak dari masa ketika kita lebih takut pada kebenaran daripada pada kebohongan; masa yang kita tinggalkan demi institusi yang matang, warga yang utuh, dan kerja yang bermakna.


0 Komentar