Di tengah dunia yang nyaris tak pernah diam, ketika notifikasi tak lagi mengenal jeda dan opini menjadi mata uang sehari-hari, saya memilih untuk tidak selalu bersuara. Atau lebih tepatnya, saya memilih untuk tidak selalu menanggapi. Terutama terhadap apa yang dituliskan orang lain di media sosial, entah itu status yang bernada ringan, yang penuh pencapaian, yang mengabarkan duka, ataupun yang menyuarakan kegelisahan.
Saya membaca, saya memperhatikan. Saya juga merasakan. Tapi sering kali, saya tidak meninggalkan komentar.
Bukan karena saya tidak punya pendapat. Bukan juga karena saya merasa lebih tinggi, atau merasa tidak perlu berinteraksi. Tapi karena saya makin percaya bahwa tidak semua hal membutuhkan tanggapan. Tidak semua yang dibagikan menginginkan respons. Tidak semua yang dikatakan perlu disambut dengan kata-kata baru.
Mungkin ini terdengar aneh, bahkan tidak sosial. Karena dunia digital yang kita hidupi sekarang sangat mendorong interaksi. Setiap platform didesain untuk membangkitkan partisipasi. Ada tombol ‘suka’ untuk setiap emosi, ada kolom komentar di bawah semua cerita, ada algoritma yang memantau seberapa cepat kita membalas, seberapa aktif kita merespons. Semuanya terasa mengajak kita untuk hadir secara konstan, untuk menjadi bagian dari arus, untuk terus terlihat dan terdengar.
Namun justru di tengah segala dorongan itu, saya merasa penting untuk sesekali menjauh dari pola. Untuk hadir dengan cara yang lebih diam. Untuk terlibat tanpa harus tampil. Untuk menjadi saksi tanpa harus menjadi peserta aktif dalam setiap percakapan.
Saya mulai menyadari bahwa komentar betapapun niatnya baik, kadang bisa menjadi beban. Kadang bisa menjadi gangguan. Bahkan bisa jadi bentuk pengambilalihan makna. Kita tidak sadar bahwa ketika seseorang menulis status, mereka sebenarnya sedang menciptakan ruang. Dan ruang itu tidak selalu harus kita isi dengan opini kita.
Ada orang yang menulis tentang pekerjaannya, mungkin bukan untuk pamer, tapi untuk menandai perjuangan panjangnya. Ada orang yang berbagi tentang kehilangan, bukan untuk mengundang simpati, tapi sebagai cara menenangkan dirinya sendiri. Ada orang yang curhat tentang kelelahan hidup, bukan karena ingin solusi, tapi karena ingin merasa tidak sendiri.
Dan di antara semua bentuk ekspresi itu, kehadiran kita bisa jadi terlalu cepat. Komentar kita bisa terlalu terburu-buru. Kita ingin menghibur, menasihati, memberi semangat—tapi kadang malah membuat orang merasa tidak dimengerti. Atau merasa narasinya diambil alih. Kita tidak bermaksud buruk, tentu saja. Tapi niat baik kadang butuh jeda. Butuh kepekaan. Butuh kesediaan untuk tidak segera menambahkan kata.
Saya juga belajar bahwa banyak hal tidak membutuhkan pendapat saya. Bukan karena saya tidak cukup pintar, atau tidak cukup penting, tapi karena kadang suara saya tidak menambah makna apa-apa. Kadang lebih baik membiarkan sesuatu utuh dalam bentuk aslinya. Seperti puisi yang tidak perlu dijelaskan. Seperti senja yang tidak perlu diabadikan. Cukup dirasakan. Cukup dinikmati dalam keheningan.
Di masa lalu, saya termasuk orang yang mudah tergoda untuk ikut menanggapi. Melihat status tentang hal yang saya kenal, saya langsung ingin berbagi pendapat. Melihat cerita yang menyentuh, saya tergesa menulis semangat. Melihat postingan yang sedikit berbeda pandangan, saya merasa perlu meluruskan atau memperluas. Tapi makin ke sini, saya menyadari bahwa itu semua, sebaik apapun niatnya, tidak selalu dibutuhkan. Bahkan kadang justru bisa melukai.
Ada satu momen yang sangat membekas. Seorang teman menulis status yang sangat pribadi tentang keluarganya. Banyak yang langsung mengomentari dengan berbagai saran, motivasi, bahkan doa. Saya pun tergoda. Tapi saya urungkan. Dan keesokan harinya, dia menulis lagi dengan nada yang sedikit getir tentang betapa melelahkannya mendapat banyak komentar ketika yang ia butuhkan hanya keheningan dan pemahaman. Sejak saat itu, saya mulai lebih berhati-hati. Karena kita tak pernah tahu benar isi hati orang lain. Kita hanya melihat sebagian kecil dari yang mereka tunjukkan. Dan kita sering terlalu cepat menanggapi, padahal belum benar-benar memahami.
Kadang kita juga perlu bertanya: apakah komentar kita benar-benar untuk mereka, atau sebenarnya untuk diri kita sendiri? Apakah kita ingin mendukung, atau hanya ingin terlihat peduli? Apakah kita ingin menyemangati, atau sekadar ingin hadir di layar orang lain? Dunia media sosial membuat garis antara empati dan eksistensi menjadi kabur. Kita ingin membantu, tapi kita juga ingin terlihat membantu. Kita ingin menyemangati, tapi kita juga ingin diingat sebagai orang yang menyemangati.
Di sinilah diam menjadi pilihan yang tidak mudah. Karena diam menuntut kita untuk menahan ego. Diam mengajak kita mengakui bahwa kita bukan pusat dari semua cerita. Diam membantu kita untuk lebih mendengar. Untuk benar-benar membaca, bukan sekadar lewat mata, tapi lewat hati. Untuk hadir tanpa harus tampil. Untuk menjadi manusia, bukan hanya akun.
Ada juga yang bilang bahwa diam itu pasif. Bahwa tidak berkomentar berarti tidak peduli. Tapi saya justru melihat sebaliknya. Diam adalah bentuk kepedulian yang lebih dalam. Kepedulian yang tidak ingin mengganggu. Kepedulian yang memberi ruang. Kepedulian yang hadir dalam bentuk sunyi, tapi tidak hampa.
Saya pernah membaca satu kalimat sederhana: “Sometimes, the most loving thing you can do is to say nothing.” Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menulisnya. Tapi kalimat itu sangat melekat. Karena memang begitu adanya. Kadang, yang paling dibutuhkan oleh seseorang bukanlah nasihat, bukan saran, bukan pujian, bahkan bukan doa. Tapi kesediaan untuk menemaninya dalam diam. Kesediaan untuk tidak menambah kata saat ia sedang berusaha memahami dirinya sendiri.
Dan mungkin ini juga tentang kelelahan. Kita hidup di zaman yang membuat kita terus-menerus merasa harus punya pendapat. Tentang politik, sosial, budaya, ekonomi, bahkan kehidupan pribadi orang lain. Seolah-olah diam adalah kekalahan. Seolah-olah tidak menanggapi berarti tidak tahu, atau tidak punya posisi. Padahal kadang diam adalah kemenangan kecil. Kemenangan melawan dorongan untuk bicara tanpa makna. Kemenangan untuk tetap hadir tanpa harus menjelaskan kehadiran itu.
Saya menulis ini bukan untuk menyuruh orang berhenti berkomentar. Bukan juga untuk menghakimi siapa pun yang aktif di media sosial. Saya percaya bahwa setiap orang punya cara tersendiri untuk hadir, untuk mendukung, untuk menyampaikan empati. Ada orang yang memang menyampaikan perhatiannya lewat kata-kata. Ada yang lewat emoji. Ada yang lewat berbagi pengalaman. Dan itu tidak salah. Semua bentuk kehadiran bisa berarti. Tapi saya ingin menawarkan satu sudut pandang kecil: bahwa diam pun bisa jadi bentuk cinta. Bahwa tidak semua ruang perlu diisi. Bahwa kadang, yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk orang lain adalah membiarkan mereka menyelesaikan kalimatnya sendiri.
Maka kalau suatu hari Anda menulis sesuatu dan saya tidak berkomentar, jangan buru-buru mengira saya tak membaca. Jangan langsung merasa saya tak peduli. Bisa jadi, saya membaca kalimat Anda dengan saksama. Bisa jadi saya memikirkan maknanya lama setelah saya scroll ke bawah. Bisa jadi saya mendoakan Anda dalam hati. Tapi saya memilih untuk tidak berkata apa-apa, karena saya tahu, kadang kata-kata justru bisa merusak keheningan yang indah.
Saya tidak selalu benar. Saya pun masih sering tergoda untuk berbicara. Tapi saya sedang belajar. Belajar untuk hadir dengan cara yang lebih lembut. Belajar untuk memberi ruang, bukan hanya perhatian. Belajar bahwa cinta bisa tampil tanpa suara.
Dan kalau Anda membaca ini, mungkin Anda pun merasakan hal yang sama. Mungkin Anda pun mulai lelah dengan komentar-komentar kosong. Mungkin Anda pun ingin dunia yang lebih pelan, lebih tenang, lebih tulus. Mungkin Anda pun sedang belajar diam.
Jika begitu, kita sedang berada di jalan yang sama.
Kita sedang belajar bahwa dalam diam, ada makna yang kadang lebih jernih. Dalam diam, ada penghormatan yang lebih dalam. Dan dalam diam, kita bisa hadir sepenuhnya, tanpa harus mengganggu keutuhan cerita orang lain.

0 Komentar