Berani Memilih, Berani Bertahan: Komitmen Itu Tidak Mengenal Kata “Banting Setir”

Dalam setiap perjalanan hidup manusia, terdapat persimpangan-persimpangan yang menuntut sebuah keputusan. Pilihan-pilihan itu tidak selalu sederhana, dan sering kali datang dengan konsekuensi yang tidak sepenuhnya kita pahami pada awalnya. Namun demikian, ketika sebuah keputusan telah diambil dengan kesadaran penuh, maka yang diperlukan adalah sebuah komitmen yang kuat untuk berjalan sesuai arah yang telah ditentukan. Pepatah lama mengatakan, “apa yang telah kita mulai, maka selesaikanlah.” Di sinilah letak esensi dari kalimat "The decision has been made, don't look back." Sebuah keputusan yang telah diputuskan melalui proses kontemplasi, perenungan yang panjang, dan pertimbangan matang, adalah hasil akhir dari kebebasan berpikir manusia yang harus dihormati dengan konsistensi dalam tindakan.

 

Namun pada kenyataannya, tidak semua manusia mampu bertahan dalam jalur yang telah dipilihnya. Godaan untuk "banting setir" atau bahkan menyerah di tengah jalan sering kali hadir dengan berbagai alasan, baik alasan eksternal maupun internal. Lingkungan sosial yang tidak mendukung, kegagalan yang bertubi-tubi, hingga rasa bosan yang datang secara alamiah dalam diri manusia, semuanya adalah tantangan yang menguji komitmen sejati seseorang. Akan tetapi, apakah pantas keputusan yang telah dibuat dengan susah payah itu dikorbankan hanya karena hambatan-hambatan sementara? Di sinilah perbedaan antara mereka yang sukses dan gagal, bukan terletak pada seberapa sering mereka mengalami kegagalan, tetapi pada bagaimana mereka bersikap setelah kegagalan itu datang.

Mencintai bakat adalah sebuah tindakan penghargaan terhadap anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Bakat bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba tanpa alasan; ia adalah potensi yang tertanam dalam diri seseorang yang menunggu untuk dikembangkan. Bakat adalah benih, dan komitmen adalah air yang menyuburkan pertumbuhannya. Tanpa adanya dedikasi, bakat akan menjadi seperti pedang berkarat yang tidak pernah diasah. Ketika seseorang menyadari bahwa ia memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka adalah tugas moral dan intelektualnya untuk mengasah bakat tersebut hingga mencapai puncak tertingginya. Dengan kata lain, mencintai bakat berarti bersedia berjuang untuknya, meskipun jalan yang dilalui penuh dengan rintangan.

Dalam konteks ini, istilah “banting setir” sering kali menjadi pelarian bagi mereka yang tidak siap menghadapi kesulitan. Mengubah arah hidup tanpa alasan yang kuat adalah bentuk pengkhianatan terhadap potensi diri sendiri. Seseorang yang mudah berpindah haluan hanya karena merasa lelah, bosan, atau mengalami kegagalan awal, sebenarnya belum sepenuhnya memahami arti perjuangan. Perjalanan meraih keberhasilan adalah sebuah marathon, bukan sprint. Ia membutuhkan stamina mental yang kuat, bukan hanya semangat yang menggebu-gebu di awal. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa keputusan yang telah kita buat adalah cerminan dari komitmen kita terhadap diri sendiri, bukan sekadar reaksi impulsif yang mudah berubah oleh keadaan.

Dalam kajian filsafat eksistensialisme, khususnya menurut pandangan Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab penuh atas pilihannya sendiri. Tidak ada yang bisa disalahkan atas kehidupan kita selain diri kita sendiri. Sartre menolak konsep determinisme yang menyatakan bahwa hidup manusia sudah ditentukan oleh faktor eksternal atau takdir semata. Sebaliknya, Sartre menegaskan bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya; artinya, apa yang kita lakukan dan putuskan dalam hidup kitalah yang menentukan siapa kita sebenarnya. Berdasarkan pemikiran ini, keputusan yang telah dibuat harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Mencari-cari alasan untuk berhenti di tengah jalan adalah bentuk pelarian dari tanggung jawab eksistensial itu.

Demikian pula dalam ajaran-ajaran spiritualitas Timur, seperti dalam filsafat Zen, terdapat prinsip tentang “mindfulness” atau kesadaran penuh dalam setiap tindakan. Ketika seseorang memutuskan untuk menekuni suatu jalan, maka ia diajarkan untuk hadir sepenuhnya dalam jalan tersebut, tanpa tergoda untuk membandingkan dengan jalan lain yang tampak lebih mudah atau lebih menarik. Fokus adalah kunci. Dalam tradisi samurai Jepang, seorang samurai tidak pernah mempertanyakan jalannya setelah ia memilihnya; ia berjalan di jalur itu sampai akhir, dengan segala risiko dan tantangan yang menyertainya. Ini bukan soal keberhasilan semata, melainkan soal kehormatan pribadi dalam menjaga komitmen.

Selain aspek spiritual dan filosofis, dari sisi psikologi modern, ketekunan (grit) adalah salah satu prediktor terbesar dari kesuksesan seseorang. Angela Duckworth, seorang psikolog dari University of Pennsylvania, dalam penelitiannya menemukan bahwa ketekunan dan passion terhadap tujuan jangka panjang lebih menentukan kesuksesan dibandingkan dengan bakat semata. Dalam bukunya yang berjudul “Grit: The Power of Passion and Perseverance”, Duckworth menjelaskan bahwa orang-orang yang sukses bukanlah mereka yang paling berbakat, melainkan mereka yang paling gigih mempertahankan komitmennya walaupun berulang kali jatuh dan gagal. Ini mempertegas kembali bahwa mencintai bakat bukan sekadar mengenali bahwa kita berbakat dalam suatu bidang, melainkan terus-menerus memperjuangkannya dengan semangat yang konsisten.

Fenomena “banting setir” yang marak terjadi di era modern sebenarnya juga mencerminkan gejala superficialitas dalam memandang kehidupan. Banyak orang ingin hasil yang instan, kepuasan yang cepat, dan menghindari proses panjang yang melelahkan. Media sosial dan budaya pop yang memuja-muja kesuksesan dalam waktu singkat turut memperparah kondisi ini. Akibatnya, banyak orang merasa tidak puas dengan pilihan hidupnya hanya karena melihat orang lain tampak lebih sukses dalam bidang lain. Mereka lupa bahwa rumput tetangga selalu tampak lebih hijau karena kita tidak pernah melihat perjuangan dan air mata di balik kesuksesan orang lain.

Selain itu, perubahan arah hidup yang tidak direncanakan dengan matang sering kali menghasilkan frustrasi yang lebih besar. Ketika seseorang meninggalkan jalur yang telah dibangunnya bertahun-tahun hanya untuk memulai dari nol di bidang lain, ia berpotensi kehilangan momentum, kehilangan keahlian yang sudah dikembangkan, serta kehilangan jaringan yang telah dibangun. Tentu saja, dalam beberapa kasus, perubahan karier bisa menjadi keputusan yang baik jika didasarkan pada alasan yang kuat, misalnya perubahan nilai hidup atau panggilan hati yang lebih dalam. Namun jika perubahan itu hanya didasarkan pada ketidakmampuan menghadapi tantangan, maka yang terjadi hanyalah siklus kegagalan yang berulang-ulang di bidang mana pun ia berpindah.

Dengan demikian, fokus terhadap keputusan yang telah dibuat bukan berarti menutup diri dari evaluasi atau koreksi. Justru orang yang berkomitmen terhadap jalannya adalah orang yang terus menerus memperbaiki dirinya agar lebih baik. Namun evaluasi diri ini tidak boleh disalahartikan sebagai ketidaktetapan hati atau keraguan terhadap jalan yang telah dipilih. Evaluasi adalah untuk memperbaiki cara, bukan mengganti tujuan. Ketika seseorang menyadari bahwa caranya salah, maka yang harus diubah adalah strateginya, bukan impiannya. Ia tetap berjalan ke arah yang sama, hanya saja dengan cara yang lebih bijaksana dan efektif.

Kesimpulannya, dalam konteks mencintai bakat dan pilihan hidup, yang terpenting bukanlah bagaimana kita memulai, melainkan bagaimana kita tetap bertahan dan berkembang dalam jalur yang telah kita pilih. Konsistensi adalah harga yang harus dibayar untuk keberhasilan sejati. Komitmen adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap potensi diri sendiri. Dan keputusan yang telah diambil dengan kesadaran penuh adalah janji kepada diri sendiri yang harus ditepati. Oleh karena itu, jangan pernah ada istilah “banting setir” atau “nyerah” hanya karena kita merasa lelah atau kalah sesaat. Lelah itu wajar, kalah itu biasa, tetapi menyerah adalah pilihan. Dan pilihan itu tidak seharusnya kita ambil jika kita menghormati keputusan awal yang telah kita buat.

Hidup yang bermakna adalah hidup yang dijalani dengan integritas, yaitu kesatuan antara pikiran, kata, dan tindakan. Ketika kita telah berjanji pada diri sendiri untuk menekuni suatu bakat atau jalur hidup, maka integritas kita diuji dalam konsistensi kita untuk menjalani janji tersebut, bahkan ketika tidak ada yang melihat, bahkan ketika hasilnya belum tampak, dan bahkan ketika hati kita sendiri mulai ragu. Karena pada akhirnya, keberhasilan bukan sekadar soal hasil, melainkan soal bagaimana kita menjadi pribadi yang utuh dan setia pada panggilan hidup kita. Maka berjalanlah terus, jangan menoleh ke belakang. The decision has been made, don't look back.

Posting Komentar

0 Komentar