Dinamika pendidikan Indonesia senantiasa berubah seiring berbagai kebijakan pemerintah yang dirancang untuk menciptakan akses dan pemerataan. Di antara upaya yang digulirkan, program zonasi dan keberadaan sekolah unggulan menjadi dua instrumen paling menonjol yang sering ditinjau bersama, terutama dalam hubungannya dengan nilai UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer). Perbedaan hasil rerata UTBK antara peserta dari sekolah unggulan dan sekolah zonasi seringkali menciptakan wacana bahwa jurang prestasi antara kedua kategori ini sangat lebar. Namun, narasi seperti itu perlu diselidiki lebih jauh: apakah kesenjangan prestasi semata-mata fenomena statistik? Bagaimana peran seleksi internal sekolah unggulan? Sejauh mana kebijakan zonasi mampu menjawab tantangan kualitas pendidikan?
Tulisan ini menelusuri dimensi historis, struktural, sosial, dan filosofis di balik perbedaan performa akademik yang mencuat dalam data UTBK, dan mengkonstruksi refleksi tentang peluang, limitasi, dan kemungkinan terbaik dalam menata masa depan sistem pendidikan nasional. Dengan mendalami dinamika kebijakan zonasi dan sekolah unggulan secara bersamaan, kita memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang realitas ketimpangan pendidikan yang muncul bukan hanya karena faktor individu, melainkan sistem yang mengaturnya. Skor UTBK hanyalah gejala dari struktur pembelajaran yang lebih dalam dan luas.
Sejak lama, sistem pendidikan Indonesia dibentuk oleh struktur yang tidak merata. Sekolah-sekolah tertentu menikmati fasilitas yang baik, tenaga pengajar berkualitas, akses terhadap informasi dan teknologi, serta dukungan finansial yang kuat dari masyarakat maupun pemerintah daerah yang makmur. Sementara itu, di daerah lain, sekolah-sekolah bergulat dengan persoalan dasar: kekurangan guru, buku pelajaran, fasilitas laboratorium, atau bahkan bangunan sekolah yang layak. Ketika kebijakan zonasi diterapkan, logika dasar yang diharapkan adalah agar semua siswa dapat memperoleh pendidikan berkualitas di mana pun mereka tinggal. Artinya, tidak ada lagi konsep sekolah unggulan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar atau tinggal di luar wilayah sekolah tersebut. Namun kenyataannya, tujuan ini belum sepenuhnya tercapai.
Kebijakan zonasi memang menggeser paradigma seleksi siswa berdasarkan nilai ke pendekatan berdasarkan jarak geografis. Ini berarti bahwa anak-anak yang tinggal dekat dengan sekolah negeri tertentu memiliki peluang besar untuk diterima, terlepas dari latar belakang akademik mereka. Hal ini dirancang untuk menghindari diskriminasi berbasis nilai semata dan memberi ruang kepada siswa dari berbagai latar belakang untuk mengakses sekolah berkualitas. Tapi realitas yang muncul kemudian tidak sesederhana yang dibayangkan oleh pembuat kebijakan. Banyak sekolah unggulan yang dulunya bisa memilih siswa terbaik dari berbagai wilayah kini 'dipaksa' menerima siswa dari lingkungan sekitarnya, yang mungkin belum memiliki rekam akademik sekuat sebelumnya. Ini mengubah komposisi akademik siswa dan berdampak pada pencapaian kolektif seperti nilai UTBK.
Sebaliknya, sekolah swasta dan beberapa sekolah negeri yang memiliki status otonomi atau semi-otonom tetap mempertahankan seleksi berdasarkan nilai. Sekolah-sekolah ini secara de facto masih berperan seperti 'sekolah unggulan' dan memiliki privilese untuk menjaring siswa dengan kemampuan tinggi. Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa sekolah unggulan masih memiliki daya saing UTBK yang tinggi karena memang sejak awal mereka menyaring siswa yang secara akademik sudah unggul. Performa UTBK mereka mencerminkan kualitas input yang sudah baik sejak masuk, bukan semata kualitas pembelajaran selama tiga tahun masa SMA.
Sekolah zonasi, di sisi lain, menghadapi tantangan yang berbeda. Dengan komposisi siswa yang lebih heterogen, baik dari segi kemampuan maupun motivasi belajar, guru harus bekerja lebih keras untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan pembelajaran. Ini tidak mudah, terutama jika sekolah tidak memiliki dukungan tambahan berupa sumber daya manusia, dana, serta pelatihan guru secara intensif. Dalam banyak kasus, guru di sekolah zonasi harus menghadapi tantangan mengajar siswa yang belum memiliki fondasi belajar yang kuat, tanpa banyak bantuan atau pendampingan profesional.
Masalah lain yang muncul adalah ekosistem belajar yang belum mendukung. Siswa dari latar belakang sosial ekonomi rendah, yang banyak ditemukan di lingkungan sekolah zonasi, sering kali menghadapi tekanan hidup yang membuat fokus pada pendidikan menjadi terganggu. Kurangnya dukungan belajar di rumah, ketiadaan akses terhadap les privat, hingga keterbatasan dalam kepemilikan perangkat belajar seperti komputer dan akses internet memperbesar tantangan mereka untuk berkompetisi secara setara di UTBK. Akibatnya, skor UTBK dari sekolah-sekolah zonasi cenderung lebih rendah bukan karena para siswanya kurang cerdas, melainkan karena mereka tidak memiliki sarana yang memadai untuk mengembangkan potensi tersebut.
Selain itu, tekanan sosial dan psikologis yang dihadapi siswa dalam sistem zonasi sering tidak terlihat di permukaan. Bayangkan seorang siswa yang pintar, namun tidak diterima di sekolah unggulan karena terhalang zonasi. Ia terpaksa masuk sekolah zonasi yang kurang memiliki fasilitas belajar. Motivasi belajarnya bisa menurun karena lingkungan yang kurang suportif. Sebaliknya, siswa dengan kemampuan sedang yang masuk sekolah unggulan bisa terdorong untuk berkembang lebih jauh karena dukungan lingkungan belajar yang kompetitif dan inspiratif. Ini menunjukkan bahwa lingkungan belajar sangat mempengaruhi hasil, dan bahwa kebijakan zonasi membutuhkan reformasi lanjutan agar bisa menciptakan lingkungan belajar yang setara.
Dari sudut pandang kebijakan publik, pendekatan zonasi seharusnya tidak berhenti pada distribusi siswa saja. Pemerintah perlu memastikan bahwa distribusi kualitas pendidikan juga merata. Ini meliputi pelatihan dan peningkatan kapasitas guru, penyediaan infrastruktur belajar yang merata, pemberian dana afirmatif kepada sekolah-sekolah di daerah dengan indeks pembangunan rendah, dan penyediaan sumber belajar yang inovatif dan murah. Tanpa langkah-langkah ini, zonasi hanya akan menjadi kebijakan administratif tanpa makna substansial dalam peningkatan kualitas pendidikan.
Perlu diingat bahwa UTBK bukan satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan. Pendidikan seharusnya menghasilkan manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter, kepekaan sosial, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Sekolah zonasi berpeluang besar menjadi pusat pendidikan karakter jika mampu dibina dan didampingi secara efektif. Perlu ada kesadaran bahwa keberhasilan pendidikan tidak diukur dari rerata nilai saja, tetapi dari sejauh mana sekolah mampu membentuk pribadi-pribadi yang mampu berkontribusi di masyarakat.
Namun demikian, untuk bisa bersaing di level nasional, seperti dalam seleksi masuk perguruan tinggi, siswa dari sekolah zonasi harus mendapatkan perlakuan khusus. Pemerintah bisa menyelenggarakan program pendampingan belajar untuk siswa dari sekolah zonasi, menyediakan modul pembelajaran UTBK gratis, pelatihan soal, atau bahkan membuka pusat belajar digital yang bisa diakses oleh seluruh siswa di Indonesia. Kolaborasi antara sekolah unggulan dan sekolah zonasi juga bisa menjadi jalan tengah. Sekolah unggulan bisa membina sekolah zonasi dalam bentuk program kemitraan, berbagi sumber daya, pertukaran guru, dan bimbingan akademik. Dengan demikian, ekosistem belajar bisa menjadi lebih merata.
Lebih lanjut, sistem seleksi masuk perguruan tinggi juga bisa dirancang ulang agar lebih inklusif. Jalur seleksi afirmatif berbasis wilayah, indeks pembangunan manusia, atau kategori sosial ekonomi bisa dipertimbangkan secara lebih serius. Ini bukan bentuk diskriminasi terbalik, melainkan bentuk koreksi terhadap ketimpangan struktural yang sudah lama terjadi. Dengan demikian, siswa dari sekolah zonasi tetap memiliki peluang masuk ke perguruan tinggi terbaik tanpa harus bertarung dengan kondisi awal yang sangat timpang.
Ke depan, tantangan terbesar sistem pendidikan nasional adalah menyatukan kualitas dengan keadilan. Sekolah unggulan harus tetap menjadi laboratorium inovasi pendidikan, tetapi sekolah zonasi harus menjadi bukti bahwa pendidikan berkualitas bisa diakses oleh semua orang. Kedua jenis sekolah ini harus saling mengisi dan tidak saling menegasikan. Pemerintah perlu menjamin bahwa tidak ada sekolah yang tertinggal hanya karena lokasi atau kemampuan finansial masyarakat sekitarnya. Untuk itu, perlu perencanaan jangka panjang, investasi dalam sumber daya manusia, dan kemauan politik yang kuat untuk membangun sistem pendidikan yang berkeadilan.
Dengan demikian, perbedaan nilai UTBK antara sekolah unggulan dan sekolah zonasi bukanlah sesuatu yang mengejutkan atau tidak wajar. Itu adalah cerminan dari sistem seleksi, distribusi sumber daya, dan ketimpangan akses yang telah berlangsung lama. Yang tidak wajar adalah jika kita membiarkan ketimpangan itu terus berlangsung tanpa usaha untuk memperbaikinya. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan tugas negara adalah memastikan bahwa hak itu bisa diwujudkan dalam kenyataan. Zonasi harus menjadi awal dari pemerataan, bukan akhir dari perjuangan kualitas. Sekolah unggulan dan zonasi bisa sama-sama unggul jika diberi kesempatan dan dukungan yang adil.
Dalam menghadapi tantangan global, kita tidak bisa hanya mengandalkan segelintir sekolah elit untuk mencetak generasi unggul. Kita butuh sistem pendidikan nasional yang kuat, merata, dan mampu mengangkat semua potensi yang dimiliki bangsa ini. UTBK hanyalah satu indikator kecil dari kualitas pendidikan. Mari kita bangun sistem yang lebih luas, lebih adil, dan lebih manusiawi. Itulah esensi dari pendidikan: bukan sekadar mencetak skor tinggi, tetapi membangun bangsa yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi masa depan.
0 Komentar