Dalam kehidupan sosial modern, jabatan sering kali menjadi penanda keberhasilan seseorang. Ketika seseorang berhasil mencapai posisi tertentu dalam institusi, baik sebagai aparatur sipil negara, manajer perusahaan, atau bahkan sekadar mendapat gelar "atasan", masyarakat cenderung memandangnya sebagai orang yang sukses. Jabatan menjadi semacam medali sosial yang menunjukkan bahwa seseorang telah "jadi sesuatu". Namun, di balik pujian dan apresiasi yang menyertai pencapaian jabatan, terdapat satu persoalan mendasar yang kerap luput dari perbincangan: apakah jabatan itu benar-benar menggambarkan kualitas, ataukah hanya simbol yang digunakan untuk memvalidasi eksistensi diri?
Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji kembali hubungan antara jabatan dan validasi diri. Banyak orang yang secara diam-diam atau bahkan secara terbuka, menjadikan pencapaian jabatan sebagai tolok ukur nilai dirinya. Seolah-olah eksistensi seseorang baru sah diakui ketika ia sudah memiliki posisi dalam struktur sosial tertentu. Ini bukan hanya persoalan ambisi, tetapi juga cerminan dari bagaimana masyarakat membentuk persepsi tentang harga diri dan keberhasilan. Kita dididik sejak kecil bahwa untuk dianggap berhasil, kita harus "menjadi" sesuatu: dokter, insinyur, pegawai negeri, atau pimpinan perusahaan. Padahal, menjadi sesuatu tidak selalu berarti memberi manfaat.
Jabatan, dalam banyak kasus, telah berubah menjadi alat validasi sosial. Ia bukan lagi semata-mata instrumen untuk menjalankan tanggung jawab sosial atau kontribusi terhadap publik, tetapi berubah menjadi instrumen pembuktian diri. Ketika seseorang memperkenalkan diri dengan titel jabatannya lebih dulu ketimbang nama dan kontribusinya, maka kita tahu bahwa ia telah menyatu dengan posisinya. Dalam bahasa lain, jabatan itu telah menjadi bagian dari identitas personal yang harus dipertahankan, bukan karena fungsinya, tetapi karena gengsinya.
Fenomena ini tidak lahir begitu saja. Ia merupakan produk budaya yang lama tertanam, bahwa pencapaian formal lebih dihargai daripada dampak riil. Seorang pegawai negeri yang tidak pernah menyelesaikan masalah masyarakat pun tetap dianggap lebih berhasil daripada petani yang setiap hari memberi makan kota. Seorang manajer yang toxic dan memperlambat kerja tim pun tetap disanjung karena ia memiliki gelar dan ruang kerja pribadi. Dalam sistem seperti ini, kualitas personal, integritas, dan kontribusi nyata menjadi sekunder, bahkan bisa jadi tidak penting sama sekali.
Kita telah memasuki era di mana jabatan menjadi semacam topeng. Ia menutupi kekosongan kontribusi, kekurangan karakter, bahkan potensi merugikan orang lain. Banyak orang yang, setelah menduduki posisi tertentu, justru menunjukkan perilaku yang menyusahkan: birokrasi yang rumit, kebijakan yang menyulitkan, sikap otoriter, dan ketidakmampuan menerima kritik. Semua itu dibungkus dalam legitimasi jabatan. Seolah-olah jabatan memberikan hak untuk berlaku sewenang-wenang. Maka tak heran, jika dalam sistem sosial yang seperti ini, banyak orang takut kepada jabatan, bukan menghormatinya. Jabatan tidak lagi bermakna pelayanan, melainkan alat dominasi.
Pertanyaannya: mengapa jabatan begitu sering dijadikan alat validasi? Salah satu jawabannya terletak pada krisis identitas. Banyak orang yang tidak mengenal dirinya secara mendalam. Mereka tidak mengetahui apa nilai dirinya jika tidak diukur dengan prestasi eksternal. Akibatnya, jabatan dijadikan cermin untuk melihat diri sendiri. Tanpa jabatan, mereka merasa kosong, tidak berarti, tidak dihargai. Ini adalah tragedi yang menyedihkan. Karena pada titik ini, manusia berhenti menjadi subjek dan berubah menjadi objek dari sistem sosial yang ia sendiri ciptakan.
Krisis validasi ini juga berakar dari cara kita dididik dan dibesarkan. Sejak kecil, banyak anak diajarkan bahwa nilai mereka tergantung pada hasil, bukan proses; pada gelar, bukan karakter. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang lebih menghargai raport bagus ketimbang kejujuran, lebih bangga pada lomba juara ketimbang kemampuan bekerjasama. Maka ketika dewasa, mereka pun secara otomatis membawa mentalitas ini ke dunia kerja. Jabatan menjadi medali yang harus diperoleh agar dianggap berhasil, bukan karena mereka ingin melayani, tetapi karena ingin diakui.
Ironisnya, di saat jabatan menjadi tujuan akhir, maka nilai-nilai yang seharusnya menjadi pondasi justru dikorbankan. Kejujuran, empati, profesionalisme, dan kerendahan hati menjadi nilai yang tidak kompetitif. Bahkan dalam banyak kasus, justru orang yang menyimpan nilai-nilai itulah yang sulit naik jabatan, karena tidak bermain dalam sistem politik yang penuh intrik. Akibatnya, kita sering menyaksikan orang yang paling "berbahaya" secara sosial justru berada di posisi paling tinggi secara struktural. Ini bukan semata-mata ironi, tetapi kegagalan sistemik.
Jabatan seharusnya menjadi amanah, bukan alat pembuktian. Ia adalah sarana, bukan tujuan. Ketika seseorang memperoleh jabatan, ia seharusnya merenung: apa konsekuensi moral dari posisi ini? Apa dampak sosial dari keputusan yang saya buat? Apakah keberadaan saya di sini memudahkan orang lain, atau justru menyulitkan mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini harus muncul dalam diri setiap orang yang sedang, akan, atau sudah menduduki jabatan. Tanpa kesadaran semacam itu, jabatan hanya akan menjadi alat untuk mengukuhkan ego.
Sudah saatnya kita memutar balik cara pandang terhadap jabatan. Sukses bukan berarti punya posisi tinggi. Sukses adalah ketika seseorang menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, apapun jabatannya. Seorang guru yang menginspirasi muridnya jauh lebih mulia daripada direktur yang memanipulasi data. Seorang satpam yang melayani dengan ramah lebih terhormat daripada pejabat yang menindas bawahan. Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang bernilai bukanlah jabatan yang ia pegang, tetapi dampak yang ia berikan.
Kita perlu membangun budaya di mana jabatan tidak lagi menjadi alat validasi diri. Kita perlu membentuk sistem yang menilai orang berdasarkan kontribusinya, bukan posisi strukturalnya. Kita harus berani menyuarakan bahwa seseorang bisa sangat berharga meskipun tidak memiliki jabatan formal apapun. Justru terkadang, semakin tinggi jabatannya, semakin ia harus mempertanyakan: apakah saya masih melayani, atau justru telah menjadi penguasa kecil dalam sistem yang meminggirkan banyak orang?
Kehormatan sejati lahir bukan dari simbol sosial, tetapi dari integritas personal. Kita bisa menghormati seorang pejabat, tapi hanya jika ia benar-benar menunjukkan kepemimpinan yang melayani. Kita bisa menghargai seorang manajer, tapi hanya jika ia memanusiakan bawahannya. Tanpa nilai-nilai ini, jabatan hanyalah papan nama. Maka penting bagi kita semua untuk berhenti menjadikan jabatan sebagai pelampung harga diri. Identitas manusia tidak bisa direduksi hanya pada gelar atau posisi.
Setiap orang punya nilai, bahkan sebelum ia menjabat apapun. Dan nilai itu lahir dari bagaimana ia memperlakukan sesama, bagaimana ia memikul tanggung jawab, dan bagaimana ia berkontribusi. Maka mari kita geser cara pandang kita. Mari kita hormati karakter, bukan jabatan. Mari kita puji kontribusi, bukan gelar. Dan mari kita bangun masyarakat di mana orang-orang tidak perlu menjadi "orang besar" untuk dihargai, karena menjadi manusia yang utuh sudah cukup mulia adanya.


0 Komentar