Ada masa di mana manusia lebih sibuk menata bayangannya daripada memperbaiki cerminnya. Ia berdiri di depan pantulan yang buram, retak, bahkan sudah tak lagi memantulkan kebenaran, tapi tetap bersikeras bahwa yang salah adalah cahaya dari luar, bukan dirinya sendiri.
Kita hidup di zaman di mana kesalehan sosial lebih laris dijual daripada kejujuran hati. Banyak yang berlomba-lomba tampak benar di mata orang lain, meski sebenarnya tahu persis bahwa di ruang batin mereka sendiri, telah lama terjadi kudeta nurani. Sebuah revolusi kecil yang menggulingkan suara-suara lembut dari hati demi tepuk tangan dari luar.
Lucunya, seringkali yang paling merasa berhak menasihati justru yang paling jarang berkaca. Ia menunjuk dengan jari yang gemetar karena lelah menahan rapuhnya standar yang ia buat sendiri.Ia nyaring mengulang kata “adab” tapi gagap saat ditantang dengan keikhlasan. Ia mudah marah jika dikritik, tapi santai menertawakan orang lain seolah tak pernah membuat luka.
Dan yang lebih menggelikan lagi, ketika ia merasa kecewa atau tersinggung, bukan kepada dirinya sendiri ia meminta penjelasan, tapi malah mengutus “teman-teman” untuk menegur, menasihati, bahkan mengintimidasi. Bukankah ini bentuk ketidakdewasaan yang paling halus? Bukankah ini cara licik untuk menyampaikan amarah sambil tetap terlihat anggun?
Lalu, di mana letak intelektualitasnya jika tiap teguran dianggap serangan, setiap diskusi dipelintir jadi drama, dan setiap ketidaksetujuan dicap sebagai pengkhianatan? Bukankah dunia pemikiran menuntut ruang untuk berbeda tanpa perlu takut kehilangan relasi?
Sebab, menjadi dewasa bukan hanya soal usia, tapi tentang bagaimana seseorang belajar menelan pil pahit kebenaran tanpa harus menyumpahinya sebagai racun. Dan barangkali, yang membuat seseorang tersinggung bukan karena kalimatnya terlalu kasar, tapi karena ia terlalu akurat.
Ada jenis manusia yang menyukai panggung sunyi, tapi hanya jika ia berdiri di tengahnya. Ia ingin disebut rendah hati, asal semua orang tahu bahwa ia telah merendah. Ia bicara tentang keikhlasan, tetapi tak pernah absen menghitung jari-jari yang bertepuk untuknya. Ia pandai meramu kata, lihai menyusun narasi, dan sangat cekatan dalam membuat dirinya tampak suci, asalkan tidak terlalu dekat dengan kenyataan.
Ia membangun istana dari persepsi, temboknya dari pujian, dan pintunya dari gengsi. Tapi begitu ada satu suara—hanya satu—yang mencoba mengetuk dengan kejujuran, ia panik. Ia tak mengenal ketukan semacam itu. Baginya, pintu hanya boleh dibuka untuk mereka yang membawa mawar, bukan cermin.
Dan dalam situasi itu, topeng-topeng mulai berbicara. Ia tak menjawab dengan kejujuran, tapi dengan perantara. Bukan karena tidak bisa bicara sendiri, tapi karena takut suaranya terdengar gemetar.
Maka ia kirimkan utusan, utusan yang tak sadar sedang dimanfaatkan. “Tolong sampaikan baik-baik,” katanya, padahal maksudnya: "Sampaikan bahwa aku tersinggung, tapi jangan sampai aku terlihat lemah."
Inilah jenis kemunafikan yang paling rapi: ketika kritik disebut fitnah, ketika teguran disebut serangan, dan ketika pertanyaan dianggap sebagai bentuk makar. Maka lahirlah semacam budaya kesalehan palsu, di mana segala yang mengusik kenyamanan pribadi harus dibungkam dengan dalih adab. Sebab bagi mereka, “adab” bukan lagi jembatan menuju pemahaman, melainkan tameng untuk menghindari konfrontasi batin.
Betapa menyedihkan ketika seorang manusia merasa cukup hanya dengan tampak baik, bukan menjadi baik. Ia takut dibedah, bukan karena takut dosa, tapi karena takut kehilangan status. Status sosial, status spiritual, status digital—apa pun yang bisa menjadi mata uang baru dalam pasar kesalehan ini.
Dalam komunitas semacam itu, kebenaran bukan lagi sesuatu yang dicari, tapi sesuatu yang harus sesuai dengan suara mayoritas. Bukan karena mayoritas itu selalu benar, tapi karena mayoritas punya kekuatan untuk mendefinisikan siapa yang akan diasingkan. Maka kita temui manusia-manusia yang tampak gigih memperjuangkan kebenaran, padahal sejatinya hanya takut kehilangan posisi di tengah lingkaran sosial yang sempit.
Dan sialnya, mereka pandai menyebut “ukhuwah” ketika sedang nyaman, tapi mudah mengutip “al-wala wal bara” begitu merasa terancam. Ukhuwah hanya berlaku selama kamu setuju, dan adab hanya dituntut dari pihak yang mengkritik, bukan yang dikritik.
Bagaimana bisa manusia belajar jika setiap refleksi dianggap serangan? Bagaimana bisa tumbuh jika setiap luka dijadikan alasan untuk berhenti mendengar? Di mana letak intelektualitas jika semua diskusi harus diselimuti perasaan yang rapuh, seolah-olah satu kata jujur adalah palu godam bagi harga diri yang terlalu tipis?
Sungguh ironis. Mereka yang paling nyaring bicara tentang hati adalah mereka yang paling cepat merasa tersinggung. Mereka yang paling sering mengutip kisah Nabi adalah mereka yang paling sulit meneladani kesabaran beliau ketika dicaci.
Terkadang, kita harus bertanya: apakah kita ini pejuang kebenaran, atau hanya pengelola persepsi?
Refleksi Diri yang Dihindari
Ada kegelisahan yang tidak pernah sempat dirawat, hanya disembunyikan. Dan dari segala luka yang tak diobati, lahirlah perilaku-perilaku yang tampaknya bijak, tapi sejatinya hanya bentuk lain dari pelarian. Karena yang paling sulit bukan menghadapi orang lain, melainkan menghadapi diri sendiri—dalam kesunyian, dalam kejujuran, dalam kehilangan pertahanan.
Ada semacam rasa takut mendalam untuk duduk sendiri, menatap cermin, lalu bertanya dengan suara yang lirih: “Apa aku benar-benar seperti yang kupikirkan?” Tapi ketakutan itu begitu besar, hingga akhirnya suara itu diganti dengan pernyataan-pernyataan palsu yang diulang seperti mantra: “Aku sudah benar. Mereka yang salah. Aku yang niatnya baik. Mereka yang salah paham.”
Manusia yang menolak bercermin akan selalu sibuk menyalahkan pencahayaan.
Lalu muncullah kebiasaan-kebiasaan yang pada dasarnya merusak: membandingkan diri dengan orang lain untuk membuktikan bahwa kita masih lebih baik; mencari-cari kesalahan lawan bicara agar tak perlu mengakui kealpaan sendiri; menyuruh orang lain mengingatkan secara “personal dan baik-baik” padahal hanya ingin kritiknya disampaikan dalam format yang bisa dikendalikan emosinya.
Ini bukan lagi soal adab atau tidak adab, tapi tentang keinginan untuk tetap nyaman meski di tengah kesalahan. Dan yang lebih miris: saat ada yang jujur menyampaikan dengan niat baik, ia justru dipanggil, dihakimi, didiskreditkan—bukan karena salah ucap, tapi karena berani mengusik zona tenang yang sudah didekorasi oleh ilusi.
Orang seperti ini tidak butuh jawaban. Ia hanya ingin dikuatkan.
Padahal, tidak semua yang menegur itu membenci. Tidak semua yang mengingatkan itu merasa lebih suci. Justru, sebagian dari mereka tergerak oleh keprihatinan, oleh cinta yang tak nyaman, oleh dorongan untuk melihat kita tumbuh melebihi batas yang kita tetapkan sendiri. Tapi cinta macam itu sering kali disalahpahami, ditolak, bahkan dibenci.
Lucu rasanya, betapa mudah kita bicara tentang muhasabah saat bicara di hadapan umum, tapi begitu sulit menerapkannya saat kritik menyapa ruang pribadi. Kita serukan “jangan menilai orang dari satu sisi,” tapi dengan santainya menilai orang hanya dari satu momen. Kita penuhi media sosial dengan nasihat, tapi tak sanggup menerima satu nasihat pun yang datang tanpa amplop pujian.
Manusia seperti ini sebenarnya tidak kuat. Ia hanya punya sistem perlindungan yang rumit: membentuk lingkaran sosial yang selalu setuju, menjauh dari siapa pun yang berbeda pandangan, dan menciptakan dunia kecil di mana ia bisa menjadi versi terbaik dari dirinya—tanpa harus berubah sedikit pun.
Namun, dunia semacam itu adalah penjara yang dibuat dari ego.
Dan di dalam penjara itu, ia terus bicara tentang perubahan, sambil memastikan dirinya tidak terguncang. Ia ajarkan orang lain untuk bertumbuh, tapi tak siap kehilangan kenyamanan dari identitas yang ia rawat selama ini.
Sementara itu, mereka yang pernah mencoba mengingatkan mulai menjauh. Bukan karena menyerah, tapi karena sadar: tidak semua orang mau diselamatkan. Ada yang lebih memilih tenggelam dalam pujian daripada ditarik ke tepi oleh kritik. Dan kita tidak bisa memaksa seseorang untuk bertumbuh jika ia masih menganggap pertumbuhan sebagai penghinaan.
Maka diamlah sebagian orang. Tapi diam mereka bukan tanda lemah, melainkan bentuk kasih yang tahu batas. Mereka memilih menjauh bukan karena benci, tapi karena tak ingin terus berdebat dengan orang yang hanya ingin menang, bukan mengerti.
Sungguh, mencintai orang yang tak mau jujur dengan dirinya sendiri adalah bentuk kesedihan yang sunyi.
0 Komentar