Pelajar yang Melupakan Membawa Tugasnya

Di antara deretan bangku-bangku kayu yang mulai berderit, di sebuah ruang kelas yang menjadi saksi bisu hadirnya banyak janji, seringkali terdengar alasan yang nyaris menjadi mantra: “Lupa, Bu.” Sebaris kalimat sederhana yang mencoba menjelaskan absennya selembar kertas bernama tugas. Alasan ini, meski tampak polos, sebetulnya membawa muatan besar dari sebuah gejala yang tak lagi sekadar tentang kelupaan. Ia menjadi wajah dari krisis tanggung jawab yang makin hari makin lazim, makin diterima, dan makin dimaafkan oleh kebiasaan.


 

Guru sosok yang setiap hari berdiri di depan kelas, bukanlah makhluk yang tak mengerti. Diamnya bukan tanda tak tahu, tetapi karena tahu terlalu banyak. Ia paham bahwa “lupa” yang berulang bukanlah lupa dalam arti sesungguhnya, melainkan bentuk halus dari penundaan, pengabaian, atau bahkan penyangkalan terhadap sebuah tanggung jawab kecil yang kelak akan menjadi cermin bagi tanggung jawab yang lebih besar. Ironisnya, anak-anak kini lebih takut akan nilai daripada makna, lebih peduli pada akhir semester daripada proses belajar itu sendiri. Maka, tugas pun menjadi sekadar beban administratif, bukan lagi jalan intelektual.

Anak-anak zaman kini, yang begitu lihai dalam memainkan gawai, mengatur jadwal bermain, bahkan menghafal nama-nama influencer dan tren TikTok terbaru, tiba-tiba bisa begitu ringkih ketika ditanya soal tugas. Lupa membawa tugas menjadi alasan yang dipilih karena ia terdengar paling aman. Ia seolah membebaskan pelaku dari beban moral; “lupa” tak membuat seseorang terlihat malas, hanya kurang beruntung. Tapi, betapa sering “lupa” itu hadir tiap minggu, tiap pelajaran, dan selalu di momen yang sama. Jika begitu, barangkali itu bukan lupa, tapi kebiasaan yang sudah lihai menyaru.

Guru tahu. Tentu tahu. Tapi dunia pendidikan bukan hanya tentang memberi tahu siapa yang salah, melainkan bagaimana menumbuhkan kesadaran. Maka seringkali diam itu bukan bentuk pembiaran, melainkan pilihan pedagogis yang strategis. Namun, sejauh mana diam itu bisa menyentuh hati yang sudah nyaman dalam pembenaran? Sejauh mana siswa bisa merasa malu bukan karena dimarahi, tetapi karena menyadari bahwa dirinya telah mengecilkan makna belajar itu sendiri?

Dalam dunia yang makin menuhankan efisiensi, anak-anak sering tumbuh dengan pandangan bahwa tugas adalah alat ukur yang harus diselesaikan dengan cepat, bukan dipahami. Maka, “lupa” pun menjadi senjata kecil untuk memberi ruang bagi kenyamanan lain: bermain, menonton, rebahan. Jika tugas datang merampas waktu santai, maka “lupa” datang sebagai pahlawan. Ironisnya, pahlawan ini tak pernah ditegur. Ia bahkan didukung oleh banyak kepala yang mengangguk setuju, karena sistem nilai tak lagi cukup memberi tekanan terhadap integritas pribadi.

Siswa yang sering lupa membawa tugas sebetulnya sedang melatih dirinya untuk mahir dalam mencari alasan. Ini bukan kemampuan yang harus dibanggakan. Sebab hidup kelak, di luar bangku sekolah, tidak akan selalu menerima alasan. Dunia kerja, relasi sosial, bahkan impian, tidak pernah bisa menerima “lupa” sebagai pembayaran dari kegagalan. Tapi siapa yang mengajari mereka akan hal ini? Jika guru hanya memberi nilai, dan tidak menyentuh makna, maka pelajaran ini tak pernah sampai ke jantung kesadaran.

Mungkin perlu ada sebuah pelajaran baru, yang tidak tertulis di kurikulum: pelajaran tentang konsekuensi. Tentang bagaimana satu kelalaian kecil hari ini adalah pondasi bagi keretakan besar esok hari. Tentang bagaimana membentuk karakter bukan dari ujian nasional, tetapi dari sikap sederhana: menyelesaikan tugas tepat waktu dan membawanya dengan penuh tanggung jawab.

Sayangnya, siswa kadang tidak menyadari bahwa setiap kali mereka mengatakan “lupa”, mereka juga sedang melatih otot malas yang makin kuat. Mereka membentuk karakter yang selalu punya alasan untuk tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Kelak, mereka akan menjadi orang dewasa yang pandai berdalih, bukan orang dewasa yang bertanggung jawab.

Namun, mari kita balik sedikit kaca pembesar ini. Bukankah kadang lingkungan juga ikut memelihara alasan-alasan semacam ini? Ketika sekolah terlalu fokus pada nilai ujian daripada nilai kejujuran, ketika penghargaan lebih diberikan pada hasil daripada proses, maka anak-anak pun belajar untuk berpura-pura. Tugas pun bukan lagi ladang belajar, tapi ladang perintah. Maka hilangnya tugas bukanlah musibah, melainkan perlawanan diam-diam.

Anak-anak yang selalu “lupa” membawa tugas, barangkali sedang menyampaikan pesan yang lebih dalam dari sekadar kelalaian. Mereka mungkin bosan dengan sistem yang terlalu mekanis, terlalu menuntut, atau terlalu birokratis. Tapi jika itu yang menjadi dasar, mengapa mereka tidak menyuarakannya dengan cara yang lebih terhormat dengan berdiskusi, bertanya, atau bahkan berdebat?

Karena memang, “lupa” adalah cara termudah untuk menghindari konflik. Ia tidak menyerang, tidak menyudutkan, hanya menyelinap masuk lewat simpati. Tapi sayangnya, simpati yang diberikan bukanlah solusi. Ia malah menjadi selimut tipis bagi penyakit karakter yang bisa menjalar kemana-mana. Dan jika tak segera disadari, anak-anak kita akan tumbuh bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai penghindar. Bukan sebagai pencipta jalan, tapi pencari celah.

Jadi, wahai siswa yang terlalu sering lupa, izinkan kami menyampaikan ini dengan lembut tapi tegas: Ketika engkau berkata lupa, engkau sedang membuka pintu pada kegagalan kecil yang akan mengundang kegagalan besar. Bukan karena gurumu marah, tapi karena dirimu sendiri sedang kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Gurumu diam, bukan karena tak tahu. Tapi karena berharap suatu hari nanti, kamu akan sadar sendiri. Bahwa setiap tugas bukan hanya pekerjaan rumah, tapi juga pekerjaan hati. Bahwa setiap alasan “lupa” adalah batu kecil yang menghalangi jalanmu sendiri. Bahwa sesungguhnya, kamu lebih hebat dari yang kamu kira asal kamu tidak memelihara kemalasanmu sendiri dengan dalih pelupa.

Jika suatu hari kamu merasa hidup terlalu keras, tengoklah ke belakang, pada hari-hari ketika kamu memilih untuk tidak membawa tugas. Mungkin di sanalah titik kecil pertama dari ketidaksiapanmu menghadapi dunia.

Dan semoga, sebelum semuanya terlambat, kamu akan sadar. Bahwa lebih baik merasa malu karena mengakui kesalahan hari ini, daripada hidup dalam keterlambatan yang terus kau tutupi dengan alasan yang sama. Jangan terlalu pandai membuat alasan, nanti kamu lupa bagaimana cara membuat perubahan.

Posting Komentar

0 Komentar