Di negeri yang katanya demokratis ini, adil kadang seperti kata bijak yang dipajang di dinding tapi dilupakan oleh penghuni rumahnya. Ia tidak benar-benar dihayati, hanya jadi ornamen untuk mengesankan tamu bahwa penghuni rumah ini adalah manusia-manusia yang tahu malu. Namun, seperti semua hiasan yang tak pernah dibersihkan, keadilan di negeri ini tertutup debu ketimpangan, bias kebijakan, dan politik akomodasi yang terlalu banyak kompromi tapi terlalu sedikit nurani.
Setiap tahun, puluhan ribu bahkan ratusan ribu anak muda mengantre untuk menjadi pegawai negeri sipil atau bekerja di badan usaha milik negara. Mereka datang dengan harapan, dengan ijazah yang dikumpulkan dari perantauan panjang yang kadang menyakitkan. Mereka belajar bertahun-tahun di kota-kota besar, membayar mahal demi sekeping gelar, lalu pulang ke daerah mereka dengan semangat membangun. Namun saat pendaftaran dibuka, mereka disuguhi satu kenyataan pahit: bukan kecerdasan yang lebih utama, tapi tempat lahir mereka.
Ada satu fenomena yang menarik—atau mungkin menyedihkan—yakni munculnya skema “alokasi khusus daerah”. Dengan dalih “pemerataan pembangunan” dan “penguatan daerah tertinggal”, sejumlah formasi PNS dan BUMN hanya diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari wilayah tertentu. Ini bukan soal afirmasi bagi mereka yang kurang akses, tapi lebih kepada pengistimewaan yang tidak selalu berbasis kebutuhan riil, melainkan seringkali berbasis pada kalkulasi politik dan simbolisme palsu.
Seseorang yang lulus cum laude dari universitas nasional ternama, yang mengabdikan hidupnya untuk belajar, bisa kalah dengan seseorang yang lahir di daerah “istimewa” meski memiliki capaian akademik yang biasa saja. Semua orang tahu, sistem ini tidak sedang mencari yang terbaik. Ia sedang mencari yang “layak” menurut politik identitas yang dibungkus dalam narasi kesetaraan semu. Seolah-olah keadilan adalah memberi tempat istimewa hanya karena seseorang lahir di suatu titik koordinat.
Padahal, meritokrasi seharusnya menjadi jantung dari sistem perekrutan pegawai negara. Ketika seseorang mengabdi pada negara, yang diuji mestinya bukan darahnya, bukan pula kampung halamannya, tapi pikirannya, integritasnya, dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah rakyat. Namun realitas berkata lain. Negeri ini masih mengukur kemampuan dari asal-usul, bukan usaha. Dari warisan, bukan pencapaian.
Ironisnya, diskriminasi semacam ini justru dilembagakan oleh negara sendiri. Diperhalus dengan bahasa-bahasa administratif yang terdengar mulia. Dikatakan bahwa ini bagian dari upaya keadilan sosial. Tapi bila keadilan sosial berarti memberi kursi kepada yang tidak siap hanya karena ia datang dari daerah tertentu, maka keadilan itu telah disulap menjadi ketidakadilan yang merata.
Tentu kita tidak menolak afirmasi bagi mereka yang benar-benar tertinggal, yang akses pendidikannya terbatas, yang fasilitasnya masih minim. Tapi pertanyaannya: apakah afirmasi itu diiringi dengan peningkatan kualitas? Atau hanya diberikan sebagai kompensasi diam-diam agar mereka merasa "diperhatikan", padahal sebenarnya sedang dikandangkan dalam sistem yang rendah ekspektasi? Dalam banyak kasus, afirmasi ini tidak pernah dibarengi dengan evaluasi yang ketat. Kita lebih senang menyenangkan daerah daripada membenahi manusia yang ada di dalamnya.
Lebih menyedihkan lagi, kebijakan ini menciptakan kelas sosial baru dalam birokrasi: para pegawai “berdarah murni lokal” yang dipandang istimewa, dan pegawai “perantau” yang harus berjuang dua kali lipat hanya untuk membuktikan bahwa mereka juga layak. Ini bukan hanya membunuh semangat kolaborasi dalam institusi, tapi juga menanamkan bibit-bibit kecemburuan dan fragmentasi. Alih-alih membangun Indonesia yang satu, kita malah sibuk menciptakan Indonesia yang banyak—terpisah-pisah oleh kebijakan yang terlalu cinta pada tempat dan terlalu lupa pada kualitas.
Lalu, di manakah letak intelektualitas dalam semua ini? Intelektualitas seharusnya berdiri di atas data, bukan rasa kasihan. Ia harus tajam dalam menganalisis, bukan lunak dalam berkompromi. Jika kita sungguh berpikir sebagai bangsa yang besar, maka kita harus berani jujur: tidak semua daerah siap, dan tidak semua orang dari daerah tertinggal itu tertinggal dalam hal kemampuan. Tapi memberi jaminan posisi hanya karena identitas adalah bentuk kemalasan berpikir yang menggelikan.
Kita sering sekali memuja kata “kesetaraan”, tapi takut menghadapi kenyataan bahwa kesetaraan tidak datang dari menurunkan standar. Kesetaraan datang dari membuka akses yang sama, memberikan pelatihan yang adil, menyediakan fasilitas yang memadai. Kesetaraan datang dari menciptakan lapangan yang rata, bukan dari memberi garis start yang berbeda hanya karena seseorang berasal dari provinsi A atau B. Itu bukan kesetaraan, itu hanyalah permainan ilusi agar negara tampak peduli padahal sebenarnya sedang menghindari masalah yang lebih besar.
Dalam diam, para anak muda yang cerdas mulai putus asa. Mereka yang lahir di kota kecil tapi belajar di kota besar merasa tak dianggap. Mereka sudah berkompetisi keras dengan teman-temannya di kampus, tapi kini harus kembali berkompetisi dengan aturan yang lebih absurd: garis keturunan. Mereka bertanya dalam hati: apakah semua pengorbanan itu sia-sia? Apakah negara ini hanya mencintai mereka yang lahir “di tempat yang tepat”?
Sayangnya, ya.
Tapi mari kita jangan terlalu pesimis. Negara ini, meski seringkali absurd, tetap punya potensi untuk berubah. Namun perubahan tidak datang dari diam atau dari basa-basi. Ia datang dari kritik yang tajam, dari pertanyaan yang tidak nyaman, dan dari keberanian menyebut yang salah sebagai salah. Maka jika ada satu hal yang bisa kita lakukan sebagai intelektual—atau setidaknya sebagai manusia yang masih punya nurani—maka itu adalah menolak tunduk pada sistem yang diskriminatif, bahkan ketika sistem itu dibungkus dalam selendang “perhatian terhadap daerah”.
Mungkin sekarang, kritik ini akan terdengar seperti suara di padang tandus. Tapi sejarah sering berpihak pada mereka yang berani. Dan barangkali kelak, saat negeri ini benar-benar lelah dengan kebohongannya sendiri, kita akan menoleh ke belakang dan berkata: kita pernah menulis tentang ini. Kita pernah mengingatkan. Kita tidak diam.
Dan kepada mereka yang dengan angkuhnya merasa spesial karena kebetulan lahir di titik yang diberi label “tertinggal” namun istimewa, ingatlah bahwa kemewahan identitas adalah modal yang rapuh. Seorang pemimpin atau pegawai negara yang baik tidak lahir dari tempatnya, tapi dari pikirannya. Maka berterimakasihlah pada negara yang terlalu baik hatinya—atau terlalu malas menyaring. Tapi jangan bangga terlalu cepat, karena dunia nyata tak bisa dibohongi dengan akta lahir.
Karena pada akhirnya, rakyat tidak peduli kamu lahir di mana. Mereka hanya peduli, apakah kamu bisa bekerja atau tidak. Dan sejarah akan mencatat, bukan siapa yang dulu diberi jalan pintas, tapi siapa yang benar-benar sampai di garis akhir dengan kerja keras dan integritas.
Masalahnya bukan pada afirmasi. Masalahnya adalah ketika afirmasi disulap menjadi karpet merah untuk mediokritas. Kita terlalu sering menyamakan ‘membuka akses’ dengan ‘menurunkan standar’. Padahal, itu dua hal yang sangat berbeda. Membuka akses berarti memberi kesempatan yang adil bagi semua orang untuk berlari pada lintasan yang sama. Tapi yang kita lakukan justru memberi beberapa orang sepeda motor, sementara yang lain tetap disuruh lari dengan kaki telanjang. Dan ironisnya, semua ini dibungkus dengan narasi: “demi pemerataan”.
Apakah negeri ini begitu malas mencetak manusia unggul sehingga harus mengandalkan kelonggaran dan keistimewaan sebagai solusi? Bukankah tujuan negara adalah menciptakan manusia-manusia tangguh dari seluruh pelosok, bukan justru memperkuat ketergantungan daerah pada perlakuan khusus?
Yang lebih menyakitkan adalah bagaimana para pengambil kebijakan ini tidak pernah jujur. Mereka tahu, sistem ini cacat. Mereka tahu, anak muda dari daerah istimewa yang lolos bukan selalu yang terbaik. Tapi mereka memilih diam, memilih popularitas politik, memilih stabilitas semu, ketimbang menata ulang sistem dengan risiko jangka pendek tapi manfaat jangka panjang. Sungguh, jika kejujuran adalah komoditas, para pengambil keputusan ini mungkin sudah lama bangkrut.
Lihatlah realitas di lapangan. Berapa banyak pegawai negeri yang hari ini menduduki kursi hanya karena "beruntung" lahir di tanah yang dianggap prioritas? Dan berapa banyak dari mereka yang kemudian jadi beban dalam birokrasi, tidak kompeten, malas belajar, tapi merasa berjasa karena telah “mewakili daerahnya”? Kalau representasi seperti ini yang kita agungkan, maka kita sedang membangun birokrasi berdasarkan simbol, bukan substansi. Dan itu, dalam bahasa intelektual, adalah kemunduran.
Mereka yang lahir di luar provinsi-provinsi yang dimanjakan negara tidak diberi hak yang sama untuk membuktikan diri. Bahkan yang sudah lama tinggal, membangun karier, dan berkontribusi di daerah itu pun tetap tidak bisa ikut seleksi karena satu alasan konyol: mereka tidak punya KTP setempat. Betapa lucunya, di abad ke-21, negara masih berpikir dengan logika feodal: bahwa identitas administratif lebih penting dari kontribusi aktual.
Kalau memang kita setuju bahwa negara ini adalah milik bersama, mengapa kita masih membagi-bagi hak berdasarkan lokasi geografis? Bukankah Indonesia ini satu? Bukankah kita menyanyikan lagu kebangsaan yang sama? Tapi tampaknya, nasionalisme itu hanya slogan. Ketika masuk ke dalam sistem seleksi, nasionalisme dihancurkan oleh syarat tempat lahir. Nasionalisme menjadi retorika, bukan prinsip.
Dan mari kita bicara lebih jujur lagi: banyak daerah yang terus-menerus diberi afirmasi bukan karena ketertinggalan objektif, tapi karena sensitivitas politik. Pemerintah terlalu takut kehilangan simpati dari daerah-daerah tersebut, sehingga memilih untuk terus “menyogok” mereka dengan kebijakan afirmatif. Ini bukan pembangunan. Ini penyuapan terselubung. Ini bukan solusi. Ini candu.
Ketika pegawai diseleksi bukan berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan identitas dan lokasi, maka hasilnya adalah birokrasi yang lemah, BUMN yang stagnan, dan pelayanan publik yang menyedihkan. Kita menciptakan ekosistem yang tidak sehat—di mana yang bekerja keras harus mengalah pada yang hanya cukup hadir. Maka jangan heran bila negara ini seringkali berjalan dengan pincang. Karena sejak awal, kaki yang digunakan untuk melangkah tidak pernah dipilih berdasarkan kekuatannya, tapi hanya karena kebetulan ia berada di sisi yang "benar" dari peta.
Dan yang lebih menjijikkan dari semua ini adalah kesunyian para akademisi. Banyak dari mereka tahu ini tidak adil. Tapi mereka diam. Mereka sibuk bermain aman, menyelamatkan proyek-proyek riset, menjaga akses pada kementerian, takut kehilangan pendanaan. Ilmu pengetahuan pun ditundukkan pada rasa takut, dan suara-suara kritis berubah jadi seminar tentang “pendekatan multikultural” yang tidak menyentuh akar persoalan.
Apakah kita ini bangsa pengecut? Ataukah kita bangsa yang terlalu takut kehilangan dukungan sehingga rela merusak sistem seleksi nasional hanya demi menjaga harmoni semu? Kalau begitu, jangan bicara meritokrasi. Jangan bicara revolusi mental. Jangan bicara “SDM unggul” kalau sistemnya masih dipenuhi keistimewaan berdasarkan peta, bukan prestasi.
Negara yang takut pada kualitas adalah negara yang sedang menggali kuburannya sendiri. Dan jika hari ini kita masih bersikukuh mempertahankan sistem seleksi berdasarkan lokasi, maka kelak birokrasi kita akan menjadi kuburan masal bagi potensi-potensi yang dibunuh sebelum diberi kesempatan berkembang.
Kepada para pemuda yang hari ini gagal hanya karena tidak punya KTP daerah istimewa, jangan menyerah. Tapi ingat juga: jangan ampuni sistem yang mempermainkan hidupmu. Jangan sujud pada keistimewaan palsu. Karena jika kamu diam, maka ketidakadilan akan merasa dirinya sah.
Dan kepada para pejabat yang bangga telah “memfasilitasi daerah tertentu”, tanyakan pada diri Anda: apakah Anda sedang membangun, atau sedang menjerumuskan? Apakah Anda menciptakan kesempatan, atau justru memperkuat ketimpangan yang Anda klaim ingin atasi?
Afirmasi yang tidak disertai kualitas hanyalah belas kasihan yang menjelma jadi kezaliman. Dan seleksi yang dibungkus dalam identitas lokal hanyalah bentuk modern dari diskriminasi yang diberi lisensi negara.
Ini bukan sekadar soal rekrutmen. Ini soal arah bangsa. Dan kalau kita terus membiarkan kualitas dikalahkan oleh lokasi, maka negeri ini akan terus jadi juara dalam satu hal: mengubur potensinya sendiri, dengan upacara yang megah, penuh lagu kebangsaan dan pidato tentang “pemerataan”.
Lama-lama, keistimewaan itu bukan lagi sekadar fasilitas. Ia berubah menjadi mentalitas. Lahir di tempat yang “diutamakan” oleh negara perlahan membuat sebagian orang merasa bahwa mereka tidak perlu bersaing dengan sungguh-sungguh. Mereka percaya bahwa sistem akan selalu memberi ruang, meskipun mereka tidak menyiapkan diri untuk mengisinya. Dan ketika mereka akhirnya duduk di kursi pegawai, mereka membungkus kelemahan mereka dengan kalimat andalan: “Saya kan dari daerah.”
Begitulah akhirnya, negara membangun generasi yang tidak tahan banting karena dibesarkan oleh sistem yang terlalu memanjakan. Dan lebih parahnya lagi, mereka tidak merasa ada yang salah. Karena sejak awal, negara sendiri yang mengajari bahwa tempat lahir lebih penting dari kesiapan mental, lebih berharga dari kompetensi.
Bukankah ini ironi terbesar dari bangsa yang konon ingin bersaing di dunia global? Di saat negara lain menyaring yang paling kompeten dari segala penjuru, kita justru menyaring berdasarkan peta. Kita memperlakukan posisi di BUMN atau PNS layaknya warisan keluarga, bukan jabatan publik yang harusnya diisi oleh orang-orang terbaik.
Dan ini bukan cuma merugikan individu dari luar daerah istimewa—ini merugikan seluruh bangsa. Karena ketika jabatan publik diisi oleh orang yang tidak siap, seluruh sistem pelayanan ikut memburuk. Ketika BUMN dikuasai oleh orang yang menang bukan karena kompetensinya, tapi karena kuota daerah, maka jangan heran kalau efisiensi dan profesionalisme jadi barang langka.
Lucunya, yang mengusung keistimewaan daerah ini selalu bicara soal “perjuangan sejarah”. Bahwa daerah mereka pernah berjasa. Bahwa mereka punya hak lebih karena masa lalu yang heroik. Tapi mari kita tanyakan hal ini dengan lebih serius: apakah keistimewaan administratif adalah cara terbaik untuk menghargai sejarah? Apakah memperbanyak kursi di formasi PNS adalah bentuk penghormatan terhadap perjuangan pendahulu?
Atau jangan-jangan, kita hanya memelihara semangat feodal dalam bungkus modern?
Karena pada akhirnya, hak istimewa ini tidak lagi berorientasi pada rakyat, tapi pada elite lokal yang ingin mempertahankan dominasinya. Keistimewaan ini bukan lagi soal memperbaiki nasib masyarakat, tapi memperkuat posisi politik orang-orang tertentu di pusat. Ini bukan bentuk pengakuan negara pada daerah, ini adalah barter politik. Dan barter politik selalu dibayar mahal oleh rakyat biasa.
Lebih menyakitkan lagi, ketika mereka yang memperoleh keistimewaan ini merasa lebih unggul secara moral. Mereka menuduh yang lain tidak paham konteks daerah. Mereka memainkan kartu identitas setiap kali kualitas mereka dipertanyakan. Mereka menjadikan asal-usul sebagai tameng, bukan sebagai motivasi untuk bekerja lebih baik. Dan negara, alih-alih mendidik mereka untuk siap bersaing secara sehat, justru terus memperkuat ilusi bahwa mereka spesial.
Kalau ini terus berlanjut, kita tidak sedang membangun kesetaraan. Kita sedang menumbuhkan kasta baru dalam birokrasi. Bukan berdasarkan kelas ekonomi atau etnis, tapi berdasarkan asal wilayah. Ini adalah bentuk diskriminasi terbalik, di mana yang mayoritas atau yang kompeten menjadi korban atas nama “pemerataan”. Kita tidak sedang meratakan medan tempur, kita sedang memiringkan medan agar kemenangan bisa dipastikan dari awal.
Dan jangan kira hal ini tidak mempengaruhi budaya kerja. Budaya rasa berhak ini masuk ke ruang rapat, ke meja pelayanan, ke laporan proyek. Ia menciptakan pegawai yang alergi evaluasi, karena merasa perekrutannya bukan atas dasar persaingan. Ia menciptakan ekosistem kerja yang penuh politisasi, karena sejak awal masuk pun sudah lewat jalur politik. Politik daerah, politik identitas, politik kuota.
Mereka tidak takut gagal, karena sistem tidak pernah mengajarkan mereka untuk takut. Mereka tidak terdorong untuk belajar, karena dari awal pun belajar tidak jadi syarat utama untuk diterima. Yang penting: lokasi. Yang penting: garis keturunan administratif. Dan dengan cara seperti ini, kita sedang membunuh gairah kompetisi dalam birokrasi, mengganti semangat merit dengan mental 'asal masuk'.
Pertanyaannya sekarang: siapa yang akan membayar semua ini?
Jawabannya sederhana: rakyat. Masyarakat yang datang ke kantor pelayanan tapi disambut pegawai yang tak paham tugasnya. Rakyat yang butuh bantuan cepat, tapi dihadapkan pada prosedur yang lambat karena yang bekerja tak pernah sungguh-sungguh belajar. Negara akhirnya dikuasai oleh orang-orang yang sekadar hadir, bukan yang membawa kemampuan.
Mereka yang punya kompetensi tapi bukan bagian dari daerah istimewa akhirnya tersingkir. Bukan karena mereka kurang layak, tapi karena sistem sudah menentukan bahwa mereka tidak boleh menang. Maka mereka pun pergi. Ke swasta, ke luar negeri, atau ke dalam diam yang panjang. Dan bangsa ini kehilangan mereka—anak-anak terbaiknya—hanya karena terlalu sibuk menjaga perasaan daerah.
Kalau begitu, pantaskah kita menyebut diri bangsa besar?
Bangsa besar tidak takut pada kompetisi. Bangsa besar tidak mendiskriminasi berdasarkan tempat lahir. Bangsa besar tidak membesarkan generasi yang lemah hanya karena takut kehilangan dukungan politik.
Dan jika hari ini kita membiarkan semua ini terus berjalan, maka kita sedang menciptakan tragedi yang akan diwariskan ke generasi berikutnya: bangsa yang tidak lagi percaya pada usaha. Bangsa yang mengira bahwa hak istimewa bisa menggantikan kerja keras. Bangsa yang gagal karena takut berkata jujur.
0 Komentar