Dalam era digital yang mengikat manusia dengan jaringan tak kasat mata bernama media sosial, pertunjukan kebaikan telah mengambil peran baru yang amat berbeda dari zaman sebelumnya. Dahulu kala, kebaikan adalah laku tersembunyi, semacam hubungan vertikal antara manusia dan nilai-nilai kebaikan itu sendiri, entah berbasis agama, budaya, atau moralitas sekuler. Kini, kebaikan itu ditransmisikan, disiarkan, bahkan dikapitalisasi dalam bentuk konten. Tidak jarang, kebaikan yang dibagikan di sosial media disertai dengan pujian berlebihan dari audiens yang tak sepenuhnya rasional. Fenomena ini mengundang banyak pertanyaan intelektual: mengapa kebaikan perlu dipertontonkan? Mengapa publik begitu mudah memuja? Dan, adakah dampak sosiologis, psikologis, serta filosofis yang mendalam dari pola ini?
Sosial media adalah ruang eksibisi besar, di mana individu membangun representasi dirinya bukan hanya untuk eksistensi, melainkan juga untuk validasi. Dalam logika media sosial, validasi kerap kali berbentuk angka: jumlah likes, komentar, dan share. Fenomena ini menggeser nilai intrinsik kebaikan menjadi nilai ekstrinsik berbentuk pengakuan publik. Ketika seseorang berbagi kebaikan — entah memberi makanan kepada tunawisma, membantu korban bencana, atau sekadar menyumbangkan sejumlah uang — tanpa sadar atau secara sadar ia mengundang audiens untuk menilai dan merespons. Dan respons yang paling mudah serta instan adalah pujian.
Pujian ini, dalam banyak kasus, bersifat irasional. Ia tidak berbasis pada analisis mendalam tentang konteks kebaikan itu sendiri, motivasi di baliknya, atau bahkan dampak riil dari tindakan tersebut. Alih-alih mempertimbangkan semua variabel tersebut, publik cenderung memberikan pujian secara impulsif, emosional, dan sering kali berlebihan. Seseorang yang membagikan video tentang dirinya menyantuni anak yatim, misalnya, bisa dipuja sebagai “pahlawan zaman ini”, “manusia berhati malaikat”, bahkan “orang suci”, tanpa proses kritik yang sehat. Padahal, dalam dunia nyata, tidak ada manusia yang sesempurna itu, dan tindakan tunggal, betapapun mulianya, tidak membentuk keseluruhan karakter seseorang.
Secara psikologis, perilaku memuja ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai halo effect, yaitu kecenderungan kognitif manusia untuk menilai keseluruhan kepribadian seseorang berdasarkan satu tindakan positif. Fenomena ini sangat kuat di media sosial karena keterbatasan informasi. Audiens tidak memiliki akses terhadap keseluruhan kehidupan orang yang mereka puja; mereka hanya melihat fragmen-fragmen tertentu yang dikurasi dengan cermat. Dalam keterbatasan data ini, pikiran manusia memilih jalur termudah: menganggap tindakan positif sebagai representasi penuh dari pribadi seseorang.
Di sisi lain, perilaku berbagi kebaikan sendiri sering kali tidak murni. Ada dua kutub dalam motivasi seseorang menyiarkan kebaikan di media sosial: motivasi idealis dan motivasi pragmatis. Pada kutub idealis, seseorang mungkin berharap dapat menginspirasi orang lain untuk berbuat baik. Ia membagikan kebaikannya sebagai contoh nyata, sebagai bentuk dakwah sosial, sebagai seruan moral kepada dunia. Namun di kutub pragmatis, ada keinginan untuk membangun citra diri, mendapatkan validasi, meningkatkan popularitas, atau bahkan meraih keuntungan material (seperti endorse, dukungan politik, atau kapitalisasi brand personal). Dalam banyak kasus, motivasi ini bercampur secara kompleks dan sulit dipisahkan. Ironisnya, audiens jarang sekali mempertanyakan motif ini, karena pujian impulsif tidak memberi ruang bagi kritik mendalam.
Dalam perspektif sosiologi, fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya apresiasi di era digital mengalami distorsi. Apresiasi menjadi mekanisme sosial yang dangkal, cepat, dan transaksional. Hubungan antara pelaku kebaikan dan audiens adalah hubungan simbiosis: pelaku mendapatkan pengakuan, audiens mendapatkan rasa moralitas instan tanpa harus berbuat apa-apa. Dengan memuji seseorang di kolom komentar, audiens merasa telah “berkontribusi” pada penyebaran kebaikan, padahal kontribusi itu sebatas klik dan ketikan pujian kosong.
Dari kacamata filosofi moral, terutama dalam tradisi Kantian, tindakan moral seharusnya didasarkan pada niat baik yang otonom, tidak didorong oleh keinginan akan penghargaan eksternal. Immanuel Kant berpendapat bahwa nilai moral dari sebuah tindakan tidak terletak pada akibatnya, melainkan pada maksud moral di balik tindakan itu. Ketika kebaikan dipertontonkan demi pujian, tindakan itu, menurut Kant, kehilangan nilai moral murninya. Ia menjadi instrumental: kebaikan dilakukan bukan demi kebaikan itu sendiri, melainkan demi hasil sekunder berupa pujian, ketenaran, atau bahkan keuntungan finansial.
Fenomena ini juga memperlihatkan dinamika kekuasaan baru dalam masyarakat digital. Seseorang yang berhasil membangun citra kebaikan di media sosial memperoleh semacam otoritas moral yang sulit digugat. Ia menjadi "tokoh panutan" baru yang, dalam banyak kasus, tidak melalui proses seleksi moral atau intelektual yang ketat. Kekuasaan moral ini berbahaya ketika disalahgunakan, karena publik cenderung mempercayai orang-orang ini secara membabi buta. Tidak sedikit kasus di mana figur publik yang dipuja sebagai "baik" ternyata kemudian terungkap memiliki sisi gelap yang disembunyikan di balik narasi kebaikan yang dibangun dengan cermat.
Dari sudut pandang media studies, kita bisa membaca ini sebagai bagian dari spectacle society, sebagaimana digambarkan oleh Guy Debord. Dalam masyarakat spektakel, realitas tidak lagi diakses secara langsung, melainkan melalui representasi. Orang tidak lagi mengevaluasi tindakan kebaikan berdasarkan substansi, melainkan berdasarkan bagaimana tindakan itu dikemas, disajikan, dan diedarkan. Video yang dibuat dengan sudut kamera yang dramatis, backsound yang menyentuh, dan narasi yang mengharukan akan lebih mudah mendapatkan pujian, terlepas dari kebenaran atau efektivitas kebaikan itu sendiri.
Teknologi algoritma juga memperparah fenomena ini. Platform sosial media didesain untuk memperkuat konten yang mendapatkan engagement tinggi. Akibatnya, konten kebaikan yang viral — apalagi jika dikemas secara emosional — akan terus didorong ke lebih banyak orang, menciptakan siklus pujian yang semakin membesar. Di sini, kebaikan bukan lagi soal perubahan sosial nyata, melainkan soal performativitas: bagaimana kebaikan dipertontonkan, dinikmati, dan diputar ulang dalam siklus tanpa akhir.
Namun, tentu saja tidak semua orang yang berbagi kebaikan di media sosial termotivasi oleh keinginan pragmatis, dan tidak semua pujian publik bersifat irasional. Ada juga kebaikan yang tulus dan apresiasi yang proporsional. Tantangannya adalah bagaimana kita, sebagai publik, membangun budaya apresiasi yang lebih kritis. Bukan untuk menjadi sinis, melainkan untuk menjaga nilai kebaikan itu sendiri agar tidak terdegradasi menjadi sekadar tontonan.
Mungkin sudah saatnya kita menumbuhkan budaya bertanya ketika melihat kebaikan yang dipertontonkan: Apa dampak nyata dari tindakan ini? Siapa yang benar-benar diuntungkan? Apakah tindakan ini bisa menginspirasi perubahan struktural, atau sekadar memperkuat citra individual? Dan, yang tak kalah penting: apakah saya bisa mengambil inspirasi ini untuk melakukan kebaikan yang nyata, bukan sekadar menekan tombol "like"?
Dalam dunia yang penuh dengan manipulasi visual, performativitas emosi, dan algoritma kapitalistik, mempertahankan nilai kebaikan yang murni adalah sebuah tantangan intelektual sekaligus moral. Kita perlu belajar untuk mengapresiasi tanpa mendewakan, mengkritik tanpa mencela, dan, yang paling penting, tetap berbuat baik tanpa harus mengharapkan tepuk tangan.
Fenomena pujian berlebihan terhadap kebaikan di media sosial juga membuka pertanyaan besar tentang narasi kebaikan itu sendiri. Kebaikan macam apa yang mendapat panggung? Siapa yang menentukan bahwa suatu tindakan layak disebut sebagai kebaikan yang pantas dipuji? Di sini kita menemukan bahwa kebaikan yang viral cenderung adalah kebaikan yang sederhana, emosional, dan mudah dikonsumsi secara visual. Memberi makanan, membantu orang miskin, menyantuni anak yatim — semua ini mudah dimengerti, mudah dipahami dalam hitungan detik. Sedangkan kebaikan yang kompleks, seperti memperjuangkan keadilan struktural, membangun pendidikan jangka panjang, atau memperbaiki sistem pelayanan publik, jarang mendapatkan perhatian. Padahal, dalam jangka panjang, kebaikan jenis kedua ini mungkin jauh lebih transformatif.
Dengan demikian, media sosial tidak hanya mengubah bagaimana kita menampilkan kebaikan, tetapi juga bagaimana kita mendefinisikan apa itu kebaikan. Ada bahaya serius bahwa definisi kebaikan menyempit menjadi sekadar tindakan yang terlihat, emosional, dan instan. Kita berisiko melupakan bahwa banyak kebaikan sejati berlangsung dalam kesunyian, dalam proses panjang, dalam ketekunan yang tidak fotogenik.
Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa dalam banyak tradisi spiritual, kebaikan yang tersembunyi justru dipandang lebih tinggi nilainya. Dalam tradisi Islam, misalnya, ada hadis yang mengatakan bahwa salah satu dari tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah di hari kiamat adalah orang yang bersedekah dengan tangan kanan, namun tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan. Ini adalah pengakuan terhadap nilai kebaikan yang murni, yang tidak mencari validasi eksternal. Demikian pula dalam tradisi Kristiani, Yesus mengajarkan untuk tidak meniup trompet saat memberi sedekah, tetapi melakukannya dalam kerahasiaan.
Akhirnya, fenomena berbagi kebaikan di sosial media dan pujian berlebihan terhadapnya adalah cermin dari kondisi manusia modern: haus akan pengakuan, tergoda oleh citra, dan terperangkap dalam logika performatif dunia digital. Ini bukan untuk mengatakan bahwa berbagi kebaikan di sosial media itu selalu salah, melainkan bahwa kita perlu membangun kesadaran kritis terhadap praktik ini. Kita harus mempertanyakan motif, dampak, dan narasi di balik setiap tindakan, bukan untuk mencurigai segalanya dengan sinisme, tetapi untuk menjaga agar nilai kebaikan tetap otentik dalam dunia yang semakin dipenuhi ilusi.
Mungkin, dalam perjalanan ke depan, tantangan terbesar bukanlah bagaimana membuat kebaikan kita terlihat, melainkan bagaimana menjaga agar kebaikan itu tetap setia pada dirinya sendiri — setia pada cita-cita luhur membantu sesama, membangun dunia yang lebih adil, dan melampaui godaan sesaat dari dunia maya yang penuh sorotan.
0 Komentar