Di sebuah dunia yang katanya sudah modern, ketika manusia bisa memesan makanan hanya dengan gerakan jari, ada satu ironi besar yang tetap eksis dengan penuh percaya diri: sekolah yang dzalim kepada gurunya. Sekolah yang katanya lembaga pendidikan, lembaga yang membentuk karakter, mencetak akhlak mulia, mengubah gelap menjadi terang, malah seringkali menjadi pabrik kekecewaan bagi para pejuang ilmu, yaitu guru-gurunya sendiri. Salah satu bentuk kezaliman itu adalah telat membayar gaji, memotong hak, dan membuat perjanjian kerja yang bahkan jin pun malas membacanya karena begitu tidak adil.
Mari kita lihat satu per satu persoalan ini, tapi dengan napas panjang, cita rasa intelektual, dan tawa tipis-tipis agar kita tidak sesak dada sebelum sampai di ujung pembahasan.
1. Telat Gajian: Ketika Amanah Dijadikan Bahan Candaan
Dalam Islam, membayar hak pekerja tepat waktu bukan hanya soal etika profesional, tapi juga urusan akhirat. Rasulullah SAW bersabda, "Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah). Hadis ini sederhana, to the point, dan tidak membutuhkan tafsir berlapis-lapis. Tapi, entah kenapa, beberapa sekolah merasa hadis ini bersifat opsional, bukan wajib.
Seorang guru yang sudah menyiapkan materi, mengoreksi tugas, menghadapi kenakalan murid, kadang menghadapi juga kemarahan orang tua murid yang merasa anaknya adalah 'malaikat kecil' tanpa dosa, ternyata harus menunggu gaji seperti menunggu musim durian tiba: lama, tidak pasti, dan penuh harap-harap cemas.
Ironisnya, sekolah tetap menuntut ketepatan waktu dari guru: datang jam 07.00 tepat, nilai harus masuk sebelum deadline, tugas-tugas administratif mesti diselesaikan tanpa cela. Tapi giliran membayar hak, mereka berlindung di balik kata-kata indah: "Sabar itu pahala, Pak. Bukankah kita semua sedang belajar ikhlas?"
Kalau sabar bisa mengisi ATM, mungkin guru akan diam. Tapi kenyataannya, nasi, listrik, cicilan motor, semua butuh sesuatu yang lebih konkret daripada nasihat keikhlasan: butuh uang.
Telat gajian, dalam pandangan Islam, adalah bentuk kezaliman. Dalam hadis lain disebutkan bahwa ada tiga orang yang akan menjadi musuh Allah pada hari kiamat, dan salah satunya adalah orang yang mempekerjakan seseorang dan tidak membayar upahnya. Bayangkan, musuh Allah, bukan hanya musuh guru.
2. Pemotongan Gaji: Drama Tanpa Panggung
Setelah sekian lama gaji telat, ternyata ketika datang, dia pun tidak utuh. Ada potongan-potongan misterius yang datang tanpa pemberitahuan, tanpa persetujuan, tanpa logika. Seperti kisah mistis di malam Jumat, gaji guru terpotong karena alasan absurd: "Denda keterlambatan," "Biaya seragam guru," "Sumbangan pembangunan gedung," bahkan "dana sosial" yang entah siapa yang mengelolanya.
Pemotongan gaji tanpa izin adalah bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap amanah. Dalam Islam, harta seseorang tidak boleh diambil tanpa keridhaan yang jelas dan terang. Rasulullah SAW bersabda: "Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan keridhaan dirinya." (HR. Ahmad).
Jadi kalau mau motong gaji, harus minta izin. Dan izinnya bukan model "pakai tekanan halus" ala: "Kalau nggak setuju, nanti kontraknya tidak diperpanjang, ya."
Itu bukan minta izin. Itu perampokan elegan.
Dalam hukum Islam, mengambil hak orang lain tanpa keridhaan jelas merupakan kezaliman, dan kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat. Kalau kita berpikir bahwa korupsi hanya dilakukan oleh pejabat, maka kita salah besar. Korupsi kecil-kecilan di sekolah dengan memotong hak guru juga sama busuknya, hanya beda ukuran skala.
3. Perjanjian Kerja: Lemah, Abu-abu, dan Penuh Jerat
Ketika pertama kali direkrut, guru sering diberikan surat perjanjian kerja yang panjang, rumit, dengan banyak klausul yang sebenarnya tidak sah dalam pandangan Islam maupun dalam logika manusia sehat. Kadang tidak ada kejelasan mengenai gaji, tunjangan, hak cuti, bahkan standar kenaikan jabatan. Semua mengambang, penuh kalimat multitafsir, membuka peluang bagi "interpretasi sepihak".
Dalam muamalah Islam, akad (perjanjian) harus jelas, transparan, dan tanpa tipu daya. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 282, bahwa kalau melakukan transaksi, buatlah perjanjian secara tertulis. Bahkan untuk utang-piutang saja Allah minta kita bikin akad jelas, apalagi untuk kerja formal seperti guru, yang masa depannya bergantung pada surat perjanjian itu.
Perjanjian yang tidak jelas hanya melahirkan ketidakadilan. Seperti anak kecil yang main monopoli tapi selalu mengganti aturan setiap lima menit, sekolah-sekolah ini mengganti perjanjian seenak udel: "Oh, dulu dijanjikan ada tunjangan, tapi sekarang kondisi keuangan tidak memungkinkan ya, Pak."
Pertanyaannya sederhana: kalau keuangan tak menentu, kenapa mengikat janji dengan kata-kata manis saat rekrutmen? Bukankah itu mirip seperti akad palsu yang dalam Islam disebut ghurur (penipuan tersembunyi)?
Perjanjian yang tidak adil bukan hanya dosa, tapi juga menyalahi adab. Imam Nawawi dalam Al-Majmu' menjelaskan bahwa akad kerja itu sah jika kedua belah pihak ridha dan syarat-syaratnya tidak zalim. Kalau dari awal sudah ada jebakan, maka akad itu batal menurut syariat.
Refleksi Akhir: Mengapa Ini Terjadi dan Apa Solusinya?
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian besar institusi pendidikan masih menganggap guru sebagai "alat produksi ilmu" bukan "manusia mulia pembawa cahaya".
Padahal dalam Islam, guru menempati posisi sangat tinggi. Ali bin Abi Thalib berkata, "Barang siapa mengajarkanku satu huruf, maka aku menjadi budaknya."
Tapi dalam praktik banyak sekolah hari ini, guru diajarkan ribuan huruf dan dibalas dengan gaji yang telat, dipotong, dan dijerat perjanjian tidak bermoral.
Solusinya jelas: pertama, pihak sekolah harus bertaubat. Ini serius. Taubat nasuha. Karena menzalimi guru adalah dosa besar. Taubat ini bukan hanya istighfar, tapi memperbaiki sistem pembayaran, memperjelas perjanjian kerja, menghilangkan praktik pemotongan tanpa izin, dan mulai menghormati guru sebagai amanah dari Allah, bukan beban kas keuangan.
Kedua, sekolah harus membangun manajemen profesional. Jika memang belum mampu menggaji guru dengan layak, jangan membuka lembaga pendidikan dengan janji-janji kosong. Dalam Islam, lebih baik sedikit tapi berkah daripada banyak tapi penuh kezaliman.
Ketiga, para guru perlu membekali diri dengan pengetahuan hukum kerja, baik dalam perspektif syariat maupun hukum negara. Guru bukan hanya mendidik murid, tapi juga harus cerdas melindungi hak dirinya sendiri. Rasulullah SAW berkata, "Seorang Muslim itu tidak boleh tertipu dua kali dari lubang yang sama."
Kalau sudah sekali telat gaji dan dipotong tanpa persetujuan, jangan diam saja lalu berharap keajaiban akan datang. Perlu ada komunikasi elegan, atau bahkan aksi kolektif yang sopan tapi tegas.
Dan akhirnya, mari kita ingat, sekolah itu tempat menanamkan akhlak. Jika dari manajemennya sudah korup, zalim, tidak adil, maka jangan heran kalau murid-murid yang lulus dari situ menjadi generasi penuh kepalsuan, ketidakjujuran, dan kebiasaan menunda hak orang lain. Sebab apa yang tumbuh dari tanah yang rusak, tak akan pernah melahirkan buah yang manis.
Refleksi Akhir: Kalau Pendidikan Zalim, Apa yang Mau Diharapkan?
Kalau di tempat pendidikan saja keadilan diinjak-injak, mau dari mana lahirnya generasi beradab?
Kalau dari kecil murid melihat gurunya diperlakukan seperti bola yang ditendang-tendang manajemen, jangan heran kalau besar nanti mereka menganggap menindas itu wajar.
Islam memuliakan guru setinggi-tingginya. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Barang siapa mengajarkanku satu huruf, maka aku menjadi budaknya."
Tapi di zaman now, guru mengajar seribu huruf malah dianggap bawahan biasa. Bahkan kadang dianggap cost center: semakin kecil gaji guru, semakin bahagia bendahara sekolah.
Solusinya? Pertama, pihak sekolah harus tobat. Bukan tobat main-main kayak "Ya Allah, saya tobat, besok insyaAllah telat lagi," tapi tobat nasuha: mengubah sistem, memperbaiki perjanjian, menghormati hak guru.
Kedua, manajemen harus profesional. Kalau belum mampu menggaji layak, ya jangan janji muluk-muluk. Dalam Islam, lebih baik janji sedikit tapi ditepati, daripada janji segudang tapi cuma omong kosong.
Ketiga, guru harus cerdas. Jangan cuma pintar mengajar, tapi juga paham hak-haknya. Rasulullah SAW mengingatkan, "Seorang Mukmin tidak boleh tertipu dua kali dari satu lubang."
Dan tentu saja, jangan lupa sedikit humor dalam menghadapi realita ini. Karena kalau semuanya disikapi dengan marah, hati cepat panas. Tapi kalau disikapi dengan senyum, setidaknya hati tetap adem sambil jalan ke ATM, walaupun saldo masih kosong.
Mungkin kelak di hari kiamat, ada antrian guru di hadapan Allah. Bukan antrian mau masuk surga, tapi antrian sambil melaporkan slip gaji penuh misteri.
Dan mungkin akan terdengar suara manajemen sekolah berbisik, "Ya Allah, itu cuma masalah administrasi biasa..."
Tapi Allah, yang Maha Mengetahui, hanya tersenyum, lalu berfirman, "Aku lebih adil dari semua kepala sekolah yang pernah ada."
Jadi kepada para sekolah, sebelum tiba saat itu, bayar lah gaji guru dengan benar. Karena bisa jadi, guru yang dizalimi itu lebih kuat doanya daripada seribu proposal sponsorship acara sekolah.
0 Komentar