Bantuan sosial di Indonesia, seperti cinta yang datang tiba-tiba menjelang musim kampanye, selalu mengandung dilema: antara kasih sayang negara dan rayuan politisi. Di satu sisi, ia menjanjikan kebaikan: sembako turun dari langit, dana langsung masuk rekening, beras tiba di pintu rumah. Tapi di sisi lain, bantuan sosial sering kali seperti cinta toxic membuat rakyat merasa diperhatikan, padahal diam-diam sedang dijauhkan dari kemandirian.
Inilah yang akan kita kaji dalam tulisan ini: bagaimana bantuan sosial, yang secara teori adalah kebijakan publik untuk menjamin jaring pengaman sosial, dalam praktiknya dapat menjadi instrumen politik yang bukan hanya meninabobokan rakyat, tapi juga memperpanjang ketergantungan. Dan seperti halnya pacar yang posesif, negara melalui bantuan sosialnya kadang tak ingin rakyatnya terlalu mandiri karena kalau sudah mandiri, siapa lagi yang bisa digoda dengan karung beras dan foto politisi di tengahnya?
Namun sebelum kita menuduh terlalu jauh, mari kita akui: konsep bantuan sosial tidak salah secara ontologis. Dalam teori negara kesejahteraan (welfare state), intervensi pemerintah dalam bentuk transfer langsung, subsidi, dan program sosial adalah bagian dari upaya menciptakan keadilan distributif. Masalahnya bukan pada ide dasar bantuan sosial, tetapi pada bagaimana bantuan itu digunakan atau lebih tepatnya, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk tujuan yang tidak selalu mulia. Dan tentu saja, semua itu dibungkus dalam narasi kebaikan yang memabukkan: "Ini adalah bentuk perhatian kami pada rakyat kecil." Padahal rakyat kecil ingin jadi besar, bukan dijaga agar tetap kecil agar tetap layak diberi perhatian.
Mari kita lanjut masuk ke bagian lebih dalam: bagaimana bantuan sosial menjadi alat politik, bagaimana rakyat dibentuk menjadi pemilih yang patuh dan penuh rasa terima kasih (meski perutnya tetap lapar setelah tanggal tua), dan bagaimana ini semua menjadi drama nasional dengan skenario yang sudah berulang dari rezim ke rezim.
Bantuan Sosial dan Politik: Antara Beras, Baliho, dan Balas Budi
Ada semacam hukum tak tertulis dalam politik elektoral Indonesia: semakin dekat hari pemilu, semakin besar pula karung-karung bansos yang datang dari truk pemerintah. Tak jarang, beras premium itu disalurkan dengan penuh semangat oleh aparat desa yang tiba-tiba mengenakan rompi dengan lambang kementerian dan wajah sumringah tokoh politik tertentu. Jangan heran kalau satu karung beras bisa menyimpan dua kilo nasi dan satu ton pesan politik tersirat.
Bantuan sosial, dalam praktik politik populis, bukan sekadar penyaluran kebutuhan—ia adalah investasi. Bukan investasi untuk masa depan rakyat, tentu, tapi investasi elektoral. Masyarakat yang lapar adalah ladang suara yang subur, apalagi bila mereka dilatih untuk percaya bahwa bantuan yang mereka terima bukan hak, melainkan hadiah. Ketika bantuan disalurkan tanpa pendekatan pemberdayaan, yang tumbuh bukan kemandirian, melainkan mentalitas tunduk: “Terima kasih, Pak, karena telah menyelamatkan kami dari kelaparan. Kami tidak akan lupa memilih Anda.”
Inilah yang disebut oleh beberapa ilmuwan politik sebagai clientelism, di mana relasi antara elite dan rakyat tidak dibangun atas dasar kewarganegaraan yang setara, melainkan seperti relasi antara patron dan klien. Dalam relasi ini, elite menyediakan sumber daya (bansos), dan rakyat memberikan loyalitas (suara). Tidak perlu terlalu canggih, cukup beras lima kilogram, minyak goreng dua liter, dan satu kupon dengan barcode untuk mendata kesetiaan.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Ia berakar pada sejarah panjang relasi negara dan warga di Indonesia yang penuh ambiguitas. Negara hadir secara paternalistik, bukan sebagai fasilitator tetapi sebagai pemilik kebenaran dan pemberi anugerah. Maka jangan heran jika bantuan sosial bukan dilihat sebagai bentuk hak rakyat yang dijamin konstitusi, tetapi sebagai kemurahan hati pemerintah. Ada rasa “berhutang budi” yang sengaja dibangun, agar setiap pemberian menjadi alasan untuk menuntut kesetiaan politik.
Mengapa Miskin Itu Menguntungkan Secara Politik?
Secara ekonomi, tentu tidak. Tapi secara politik, rakyat miskin adalah modal yang tak ternilai. Orang lapar lebih mudah dijanjikan kenyang. Orang putus asa lebih mudah diajak percaya pada mimpi. Maka, alih-alih membebaskan rakyat dari kemiskinan, beberapa strategi kekuasaan justru memilih untuk mempertahankan status quo sambil sesekali memberikan bantuan, agar rasa “butuh” itu tetap terpelihara.
Politisi yang cerdas tahu bahwa pemberdayaan itu berbahaya. Rakyat yang mandiri tidak akan mudah diiming-imingi. Rakyat yang cerdas akan bertanya, “Kenapa dulu janji ini tidak ditepati?” Maka, dalam banyak kasus, program pemberdayaan yang memerlukan proses panjang dan membuahkan hasil jangka menengah-kepanjangan, dikalahkan oleh program bansos instan yang bisa difoto dan disebar ke media sosial dalam satu hari. Lagi pula, beras lebih fotogenik daripada pelatihan kewirausahaan.
Kita sedang menyaksikan bagaimana kemiskinan tidak hanya menjadi masalah sosial, tetapi juga komoditas politik. Semakin banyak rakyat miskin, semakin besar kebutuhan akan bantuan, dan semakin besar peluang untuk tampil sebagai penyelamat. Bahkan, beberapa pengamat sinis (atau realistis?) menyebut bahwa jika kemiskinan benar-benar diberantas, banyak politisi akan kehilangan panggungnya. Sebab siapa yang akan mengucapkan terima kasih kalau semua orang sudah bisa makan sendiri?
Dan di sinilah letak ironi dari sistem bantuan sosial yang tidak dibarengi reformasi struktural. Ia menjadi seperti pengobatan gejala, bukan penyebab. Seperti dokter yang memberikan obat batuk, tapi membiarkan pasien terus merokok di ruang periksa. Tentu saja batuknya sembuh sebentar, tapi besok datang lagi. Dan setiap datang, sang dokter mendapat reputasi sebagai penyelamat. Begitu juga dengan bantuan sosial: gejalanya (kemiskinan akut) diredam sebentar, tapi akar masalah (ketimpangan struktural) dibiarkan tumbuh dengan subur.
Ekonomi Politik Bantuan Sosial: Ketika Kemiskinan Menjadi Infrastruktur Elektoral
Dalam logika kapitalisme modern, segala hal bisa dimonetisasi. Udara bisa jadi bisnis (lihat saja industri air kemasan), dan rasa takut bisa dijual dalam bentuk asuransi. Maka jangan heran kalau kemiskinan pun bisa dikapitalisasi secara politik. Tak lagi sekadar kondisi ekonomi, kemiskinan dalam konteks bantuan sosial menjadi semacam infrastruktur elektoral yang perlu dijaga, dibina, bahkan dalam beberapa kasus, direproduksi.
Kita sedang berbicara tentang sistem yang tidak secara eksplisit mendukung kemiskinan, tapi juga tidak secara serius ingin mengakhirinya. Di sinilah politik bantuan sosial bekerja: bukan untuk mencabut akar kemiskinan, tetapi untuk membuatnya tetap tumbuh dalam kondisi yang bisa dikontrol. Bantuan sosial menjadi alat penyangga stabilitas politik, bukan pendorong transformasi ekonomi. Ia seperti pengganjal kaki meja yang sudah patah—fungsinya bukan memperbaiki, tapi menstabilkan seadanya agar meja tidak rubuh sebelum pemilu.
Di balik satu karung bansos yang dibagikan, ada jaringan ekonomi-politik yang kompleks: anggaran negara, kontraktor pengadaan, logistik distribusi, bahkan perusahaan percetakan yang mencetak foto politisi di karung beras. Semua bekerja dalam satu ekosistem yang—secara ironis—membutuhkan rakyat miskin untuk tetap berjalan. Bayangkan jika semua orang sejahtera, siapa yang akan antre mengambil sembako di kelurahan? Siapa yang akan masuk tenda biru demi mendapatkan amplop "transportasi"? Dan siapa yang akan merasa terharu melihat pejabat membagikan telur ayam dengan penuh senyum dan kamera?
Ekonomi bantuan sosial tidak bergerak di ruang kosong. Ia tumbuh dalam struktur politik yang memelihara dependensi. Di desa, kepala desa tahu bahwa distribusi bansos adalah momen emas untuk memperkuat posisi. Di tingkat kecamatan, camat dapat tampil heroik di depan warga. Di pusat, para menteri tersenyum dalam jumpa pers sambil memamerkan grafik keberhasilan pengentasan kemiskinan—yang angkanya turun sedikit, lalu naik lagi setahun kemudian. Tapi yang penting bukan kenyataan, yang penting adalah narasi. Dan narasi itu butuh media.
Media dan Romantisasi Bantuan Sosial: Menjual Simpati, Membungkus Dominasi
Satu aspek penting dari suksesnya politik bansos adalah kehadiran media yang tidak netral. Tentu, tidak semua media bersalah, tapi cukup banyak yang bersedia menjadi panggung sandiwara kesejahteraan. Setiap kali ada program bantuan sosial yang dibagikan, kamera langsung menyala, jurnalis berdiri di tengah tumpukan beras, dan narasi dibentuk: “Pemerintah kembali menunjukkan perhatian kepada masyarakat.” Padahal, siapa yang menuntut perhatian? Yang diminta adalah keadilan.
Media memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi publik. Maka ketika bantuan sosial diberitakan sebagai hadiah dari negara, bukan hak rakyat, di sanalah rakyat mulai dilatih untuk bersyukur pada kekuasaan, bukan menuntut akuntabilitasnya. Rakyat yang bersyukur cenderung diam. Rakyat yang bersyukur cenderung memilih kembali pemimpin yang membuat mereka bersyukur. Dan dalam politik, diam adalah emas—terutama bagi yang sedang berkuasa.
Narasi tentang “kerja keras pemerintah” dalam menyalurkan bansos sering kali tak menyentuh pertanyaan struktural: mengapa masyarakat masih butuh bantuan terus-menerus? Mengapa harga sembako terus naik? Mengapa petani tetap miskin padahal panen? Mengapa anak muda harus antre daftar bansos ketimbang wirausaha? Tapi pertanyaan-pertanyaan itu membosankan dan mengganggu rating. Lebih menarik jika diberitakan kisah haru: seorang ibu menangis bahagia karena akhirnya bisa makan enak setelah menerima bansos. Kamera mendekat, air mata jatuh, narasi selesai. Masalah? Tetap di tempat.
Dalam dunia sinetron, tokoh protagonis adalah korban yang tetap tabah. Dalam dunia politik bansos, rakyat dijadikan protagonis—asal tetap dalam peran korban. Pemerintah menjadi tokoh penyelamat. Dan seperti semua cerita yang baik, akhir kisahnya ditentukan pada hari pemilu.
Mentalitas Bansos: Ketika Rasa Malu Ditarik Perlahan
Salah satu dampak jangka panjang dari sistem bantuan sosial yang tidak berbasis pemberdayaan adalah terbentuknya mentalitas yang bisa kita sebut “mentalitas bansos”. Ini bukan istilah akademik resmi, tapi cukup tepat untuk menggambarkan kondisi ketika individu atau komunitas mulai merasa bahwa bertahan hidup adalah soal menunggu bantuan, bukan soal menciptakan peluang.
Ada suatu titik di mana rasa malu menjadi hilang. Bukan karena masyarakat tidak punya harga diri, tetapi karena sistem telah mengikisnya secara perlahan. Ketika bantuan sosial datang terus-menerus, tanpa mekanisme partisipatif, tanpa pelibatan warga dalam perencanaan, maka yang tumbuh adalah ketergantungan. Warga mulai percaya bahwa negara adalah dewa yang maha memberi, bukan entitas publik yang digerakkan oleh kewajiban konstitusional. Mereka lupa bahwa uang bansos itu berasal dari pajak mereka sendiri (termasuk pajak rokok, pajak listrik, pajak kendaraan, dan bahkan pajak dari mi instan yang mereka makan). Negara bukan memberi dari saku pribadi, tetapi dari dompet bersama.
Namun, seperti kata orang tua zaman dulu: kalau terlalu sering dikasih, lupa caranya minta. Dan kalau terlalu sering minta, lupa caranya usaha.
Mentalitas bansos ini menjadi ironi dalam narasi pembangunan. Di satu sisi, negara berbicara tentang bonus demografi, transformasi digital, dan ekonomi kreatif. Tapi di sisi lain, sistem sosialnya terus memelihara praktik-praktik yang meninabobokan. Anak muda diajak ikut program inkubasi startup, tapi di sisi lain melihat orang tuanya antre bansos di bawah tenda biru sambil mendengarkan pidato camat. Diksi “inovasi” dan “bantuan langsung tunai” bercampur dalam satu ruang publik yang sama. Lama-lama, inovasi pun terasa seperti bantuan, dan bantuan pun diharap jadi solusi semua masalah.
Pemberdayaan: Alternatif yang Membosankan, Tapi Esensial
Sekarang, mari bicara tentang alternatif. Pemberdayaan masyarakat, secara teori dan praktik, memang tidak sepopuler bansos. Ia tidak bisa difoto instan, tidak menghasilkan berita dramatis, dan tidak memberikan sensasi “langsung kenyang.” Tapi justru karena itulah ia penting. Pemberdayaan adalah proses yang pelan, menyakitkan, dan membosankan—tapi membebaskan.
Berikan bansos, rakyat makan hari ini. Berikan pelatihan pertanian organik, koperasi, literasi digital, dan pendidikan vokasi, maka mereka bisa makan selamanya—dan mungkin tidak akan butuh Anda lagi. Dan inilah yang, secara politis, menakutkan. Rakyat yang kuat tidak akan bergantung. Rakyat yang tahu haknya akan cerewet. Rakyat yang sudah bisa cari makan sendiri tidak akan tergoda hanya karena diberi mie instan gratis.
Program-program pemberdayaan membutuhkan pemimpin yang tidak takut kehilangan panggung. Dibutuhkan negara yang mau memfasilitasi, bukan mengatur. Dibutuhkan politisi yang siap dicibir karena hasil programnya tidak instan. Dibutuhkan narasi pembangunan yang menghargai proses, bukan hasil palsu. Dalam dunia yang digerakkan rating dan viralitas, ini bukan hal mudah. Tapi justru karena sulit, ia layak diperjuangkan.
0 Komentar